Pada dasarnya, kesucian adalah berkenan di hadapan Allah. Hanya makhluk manusia yang dapat berkenan di hadapan Tuhan; maksudnya hanya manusia yang dapat melakukan segala sesuatu yang Tuhan kehendaki dan yang Tuhan rencanakan secara tepat. Inilah kehormatan dan kebesaran kita sebagai manusia ciptaan Tuhan. Berkenan di hadapan Tuhan adalah hal yang paling rumit dan tersulit dalam kehidupan ini. Inilah hal yang harus diperjuangkan lebih dari memperjuangkan segala sesuatu. Berkenan di hadapan Tuhan adalah harta abadi yang tidak akan pernah bisa diambil oleh siapa pun. Tuhan tidak akan mengizinkan orang yang tidak berkenan di hadapan Tuhan masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Orang yang gagal berkenan di hadapan Tuhan berarti gagal menjadi anak-anak Allah. Sebab anak-anak Allah yang benar memiliki ciri berkenan di hadapan Tuhan.
Disucikan atau dikuduskan dimaksudkan agar melalui proses pendewasaan atau pemuridan, kita dapat benar-benar berkeadaan menjadi suci seperti Allah (1Ptr. 1:16). Hal pengudusan ini paralel dengan pembenaran atau dianggap benar. Oleh pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib, maka orang berdosa dapat dibenarkan secara pasif. Tetapi orang percaya tidak boleh merasa puas karena sudah merasa dianggap benar secara pasif. Orang percaya harus berjuang untuk berkeadaan benar-benar menjadi benar atau suci. Kalau tidak benar-benar menjadi benar atau suci, maka pengudusan atau pembenaran secara pasif menjadi sia-sia atau batal.
Sejatinya, Tuhan Yesus mengorbankan diri-Nya untuk memuaskan keadilan Allah. Masalah dosa sebenarnya bukan masalah bercak-bercak hitam (dosa) dalam diri manusia (seperti suatu bidang yang dikotori suatu kotoran), tetapi mengenai murka Allah atas pemberontakan manusia. Yang kedua ini harus dipandang lebih penting. Tidak ada agama dalam dunia ini yang memiliki gagasan keselamatan seperti ini dan tidak mungkin mereka memilikinya, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.
Pengudusan atau penyucian oleh darah Tuhan Yesus (yang membuat status orang berdosa berubah) barulah pengudusan secara pasif. Kita -sebagai orang-orang yang ditebus, dibenarkan dan memperoleh pengampunan dosa- bersikap pasif. Semua dikerjakan oleh Tuhan Yesus tanpa peran dan jasa kita sama sekali. Dengan pengertian ini, maka tidak seorang pun dapat membanggakan diri bahwa dirinya kudus atau suci oleh karena usahanya. Sebab pengudusan oleh darah Tuhan Yesus adalah pengudusan sepihak yang Allah lakukan tanpa peran manusia sama sekali. Inilah yang dimaksud bahwa keselamatan manusia bukan usaha manusia atau bukan karena perbuatan baiknya, tetapi karena anugerah Allah semata-mata.
Status baru yang dimiliki manusia ini membuat manusia ditempatkan kembali, bukan sebagai pemberontak, melainkan sebagai anak. Ibrani 12 menyebutnya sebagai anak, tetapi anak gampang (Yun. nothos). Status inilah yang juga memberi peluang dimana Allah Bapa dapat mendidik mereka yang mengakui dan menerima Yesus Kristus sebagai Pencipta dan Pemilik kehidupan. Allah mendidik mereka agar mereka dapat mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:5-10). Dalam hal ini, pengudusan Allah memiliki dua aspek. Pertama, dikuduskan, yang berarti diubah statusnya; dan kedua, pemberian potensi atau kemungkinan manusia berkeadaan seperti Bapa. Hal kedua ini harus diresponi manusia. Agar dari nothos (anak gampang) menjadi anak yang sah atau pangeran (Yun. huios). Perubahan dari nothos ke huios melibatkan masing-masing individu.
Pengudusan tidak berhenti hanya sampai status kita berubah, sebab pengudusan harus berlanjut pada proses dimana kita yang dikuduskan haruslah benar-benar menjadi kudus. Dalam 1 Tesalonika 4:7 Firman Tuhan berkata: “Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus”. Sejajar dengan 1 Tesalonika 4:7, dalam 1 Petrus 1:16 Firman Tuhan tegas berkata: “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus”. Dan banyak lagi teks Alkitab yang berupa perintah untuk menjadi kudus. Dalam hal ini orang percaya dipanggil untuk hidup dalam kekudusan. Pengudusan ini adalah pengudusan aktif.
Banyak orang Kristen puas hanya sampai pengudusan di level pasif ini. Mereka merasa bahwa pengudusan dalam hidup mereka sudah tuntas. Biasanya mereka juga percaya bahwa sakramen sudah cukup menguduskan. Padahal sakramen tidak bisa menguduskan kalau hanya dari segi teknisnya; sakramen menguduskan kalau dari segi esensinya. Misalnya baptisan, yang menguduskan bukanlah air baptisan atau tindakan dibaptis itu sendiri, tetapi kesediaan meninggalkan manusia lama dan hidup dalam hidup yang baru,tentu melalui proses pembelajaran Firman Tuhan (Rm. 6:4). Contoh lain misalnya Perjamuan Kudus, yang menyucikan bukanlah roti dan anggur yang diminum dalam Perjamuan Kudus itu, tetapi darah Tuhan Yesus Kristus.
https://overcast.fm/+IqOD5ysPc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar