Selasa, 10 September 2019

Renungan Harian 07 September 2019 TATANAN UNTUK BISA DIBENARKAN

     Kata “pembenaran” berasal dari kata “benar” atau “kebenaran”, yang dalam bahasa Yunaninya adalah dikaiosune. Kata ini digunakan Tuhan Yesus dalam Matius 5:20. Inilah panggilan untuk memiliki sebuah kehidupan yang istimewa seperti yang terkandung dalam ucapan Tuhan Yesus di dalam Matius 5:20, Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Dengan demikian sesungguhnya pembenaran oleh iman bukan sekadar aktivitas pikiran. Pembenaran atas orang percaya dapat terjadi atau berlanagsung apabila orang percaya memiliki iman yang benar, yaitu tindakan untuk hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah.

     Kata “hidup keagamaanmu” dalam Matius 5:20 teks aslinya adalah dikaiosunen, yaitu kebenaran yang bertalian dengan tingkah laku. Adapun kata “lebih benar” terjemahan aslinya adalah perisseuse, dari akar kata perrisuo, yang dapat diterjemahkan make, more, exceed, membuat lebih besar. “Hidup secara luar biasa” di sini adalah luar biasa dalam kelakuan atau karakter, bukan pada prestasi popularitas, kebesaran gelar pangkat, harta kekayaan, dan lain-lain yang pada umumnya manusia memburunya dan terjebak di dalamnya. Dengan demikian, orang yang mengikut Yesus dengan benar pasti memiliki keberadaan moral lebih dari orang pada umumnya; bahkan lebih dari ulama agama, seperti ulama agama Yahudi.

     Ketekunan masuk proses penyempurnaan ini digambarkan dalam Lukas 18:1-8, seperti janda yang tekun membela haknya. Pembenaran juga dapat ditinjau dari dimensi yang akan datang (future). Suatu kali akan dinyatakan secara deklaratif dan umum bahwa orang-orang percaya yang setia hidup dalam kebenaran-Nya atau mengikut Tuhan Yesus dengan benar adalah orang-orang yang dibenarkan. Hal ini berangkat dari apa yang dikemukakan oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 18 tersebut. Jadi, janda tersebut adalah gambaran orang percaya yang teguh dengan integritasnya tidak mengikuti hidup jalan dunia (Luk. 17:26-37). Ini adalah orang percaya yang berupaya untuk menjadi serupa dengan Tuhan Yesus.

     Jadi pembenaran (pembenaran dimensi pertama) dari Allah bila diresponi dengan benar akan melahirkan ketekunan (mendengar Firman Tuhan untuk memiliki iman); ketekunan seperti inilah yang dituntut dari setiap anak Tuhan memilikinya (pembenaran dimensi kedua). Dalam Lukas 18:8, terdapat keraguan dalam hati Tuhan, apakah ada iman seperti janda itu di akhir zaman nanti. Bila orang percaya memiliki ketekunan seperti janda tersebut, maka akan melahirkan iman yang seperti Tuhan kehendaki. Hal ini akan mendatangkan pembenaran dari Tuhan di akhir zaman (pembenaran dimensi ketiga). Kalau Alkitab menyatakan bahwa kita dibenarkan bukan karena perbuatan, tetapi karena iman (Rm. 4), bukan berarti dengan mudah seseorang dapat dibenarkan dengan meyakini di pikiran atau nalarnya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Itu hanya berarti memercayai identitas-Nya. Bahkan tidak cukup dengan memercayai sejarah-Nya. Untuk mengerti makna yang benar, orisinal, dan tepat mengenai dibenarkan oleh iman, kita harus melihat latar belakang jemaat Roma yang menerima tulisan tersebut.

     Iman yang dimiliki jemaat Roma tidaklah sama dengan iman yang dimiliki orang Kristen sekarang ini, kecuali mereka memiliki ketekunan seperti jemaat Roma. Jemaat Roma hidup dalam tekanan yang hebat dari pemerintahan Romawi, mereka harus mempertaruhkan segenap hidup mereka (kewarganegaraan, keluarga, kenyamanan hidup, bahkan nyawa mereka) demi iman mereka kepada Tuhan Yesus. Mereka adalah orang-orang yang telah meninggalkan segala sesuatu, sama seperti Abraham yang telah meninggalkan segala sesuatu. Jika tidak memiliki kualitas iman seperti Abraham, maka belumlah dapat dibenarkan. Ini adalah tatanan Allah.

     Kalau dikatakan bahwa orang percaya pada waktu itu -khususnya jemaat Roma- tidak dibenarkan karena atau oleh perbuatan mereka, karena mereka memang tidak memiliki hukum seperti orang Yahudi. Harus diperhatikan bahwa perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan menurut Taurat (Rm. 3:20, 28; dan lain sebagainya). Bahkan orang-orang Kristen pada waktu itu dipandang tidak memiliki agama, karena Kekristenan belum melembaga menjadi agama. Mereka tidak memiliki kitab, karena kitab Perjanjian Baru barulah terhimpun lengkap di akhir abad 2. Mereka juga tidak memiliki rumah ibadah dan seremonial atau upacara agama atau liturgi. Mereka berkumpul bersama di kuburan-kuburan (katakombe). Mereka dipandang sebagai tidak memiliki perbuatan yang didasarkan pada nilai-nilai hukum tertentu, sama seperti Abraham yang hidup pada zaman sebelum Taurat. Dengan keadaaan orang percaya yang luar biasa tersebut -yaitu hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah, bukan berdasarkan hukum- maka barulah mereka layak menerima pembenaran dari Allah.


https://overcast.fm/+IqOBUmBWU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar