Sebelum ditebus oleh darah Yesus, kita adalah tawanan dosa yang membuat kita terbelenggu dalam keadaan kehilangan kemuliaan Allah, sehingga kita tidak bisa mencapai kesucian yang dikehendaki oleh Allah. Sebagai orang percaya, kita dibebaskan dari cengkeraman kuasa kegelapan, kita telah dimerdekakan oleh penebusan salib-Nya (Gal. 5:1). Manusia berdosa seperti tawanan perang yang tidak bisa dimiliki kembali oleh Allah sebagai Pemiliknya, oleh sebab itu perlu ditebus agar dapat kembali dimiliki sepenuhnya oleh Allah (1Kor. 6:19-20). Tuhan Yesus menebus kita dari ketertawanan hukum dosa, dimana kita telah terbelenggu dalam kondisi tidak bisa mencapai standar kesucian Allah. Kalau ibarat suatu barang yang digadaikan, kita adalah barang yang digadaikan. Tuhan Yesus menebus kita agar kita dapat dimiliki-Nya dan digunakan sesuai dengan keinginan-Nya.
Tuhan Yesus menebus kita artinya bahwa Tuhan Yesus membeli kita dengan darah-Nya. Sebelum kita dibeli, kita bukanlah milik Tuhan yang bisa dikuasai Allah sepenuhnya untuk menggenapi rencana Bapa; yaitu mengembalikan manusia kepada rancangan semula yaitu sempurna seperti Dia atau sesuai dengan gambar-Nya. Dengan penebusan tersebut berarti kita menjadi milik Tuhan (1Kor. 6:19-20). Sebagai tanda bahwa kita menjadi milik Tuhan, maka Tuhan menaruh Roh Kudus di dalam diri kita sebagai materai (Ef. 1:13). Dengan materai tersebut, maka sebagai anak tebusan-Nya, kita harus memberi diri untuk dikuasai oleh Tuhan, sehingga bisa berkata: Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kritus yang hidup di dalam aku.
Terkait dengan tatanan mengenai pengampunan harus dikaitkan dengan hal pembenaran. Pembenaran atau dibenarkan dalam bahasa Inggris adalah justification. Kata justification berasal dari bahasa Latin justifikatio. Dalam bahasa Ibrani: tsadaq (צָדַק)dan dalam bahasa Yunani adalah dikaios (δικαιος). Kata-kata ini sebenarnya ada dalam istilah hukum, yang artinya membebaskan seseorang dari tuntutan hukum sehingga orang tersebut dinyatakan tidak bersalah atau dinyatakan benar, sehingga tidak pantas untuk dihukum. Biasanya yang berhak menyatakan orang tidak bersalah (dibenarkan) adalah hakim, setelah melewati suatu proses mekanisme peradilan yang benar. Pembenaran atas seseorang bisa dinyatakan sah bila ada pembuktian bahwa orang tersebut berhak untuk menerima pembenaran tersebut dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada zaman raja-raja Israel, kadang-kadang raja juga berfungsi sebagai hakim yang memutuskan suatu kasus.
Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah Hakim (Mzm. 7:9-12; Yes. 5:6; 10:22; Kis. 17:31; Rm 2:5; 3:5; dan lain sebagainya). Sebagai Hakim, keputusan Allah pasti adil berdasarkan koridor hukum yang benar dalam diri-Nya sebagai pribadi Yang Mahaadil dan Mahabenar. Dalam hal ini Allah sendiri adalah hukumnya. Berhubung Allah adalah Allah yang adil, maka semua tindakan Allah pastilah berdasarkan format keadilan dalam diri-Nya.Ingat, bahwa Allah adalah Allah yang tertib, bukan Allah yang bertindak sembarangan tanpa aturan. Dalam diri-Nya ada hukum keadilan dan Ia tidak bisa menyangkali diri-Nya sendiri. Semua tindakan-Nya bisa dibuktikan benar, sebab dalam diri-Nya ada rule (hukum) yang dengan ketat ditegakkan-Nya.
Ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah harus menyatakan manusia bersalah. Itulah sebabnya Allah harus mengusir mereka dari Eden (Kej. 3). Pengusiran itu menunjukkan peta keadilan Tuhan yang harus ditegakkan. Kalau Allah bisa diajak kompromi, Adam bisa tetap dipertahankan di Eden. Tetapi ternyata terbukti manusia berbuat kesalahan, maka apa yang ditabur harus juga dituainya. Manusia harus menuai apa yang ditaburnya. Manusia harus menanggung akibat dari keputusan dan tindakannya. Ini bagian dari pemerintahan Allah yang harus digelar secara fair. Dengan demikian Allah tidak bisa dipersalahkan. Ia tidak akan pernah kolusi dan nepotistik, sebab Ia adalah Allah yang adil (Why. 16:7). Ia Allah yang tidak pandang muka (1Ptr. 1:17)
Kalau Allah mengampuni, maka harus ada perangkat yang jelas sebagai landasannya untuk Ia bisa memberikan pengampunan kepada manusia. Demikian pula dengan pembenaran. Manusia tidak bisa dibenarkan tanpa perangkat yang dapat menjadi dasar azas keadilan. Allah tidak bisa berkata langsung bahwa manusia bisa dibenarkan-Nya berdasarkan selera-Nya. Selera Allah adalah kudus dan adil. Tidak mungkin ada tindakan Alah di luar hakikat-Nya tersebut. Ia adalah Allah yang memiliki sistem, hukum, atau rule of the game dalam diri-Nya. Ketika Allah menyatakan bahwa manusia dianggap tidak bersalah atau dibenarkan, maka harus juga melalui proses peradilan yang jujur dan adil. Harus ada pembuktian bahwa manusia bisa dibenarkan. Ini adalah tatanan Allah.
https://overcast.fm/+IqOBoF7UE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar