Senin, 16 September 2019

Renungan Harian 16 September 2019 TATANAN ALLAH MENGENAI KETAATAN YESUS

     Dalam Alkitab kita menemukan usaha Iblis untuk menghindarkan dan mencegah Tuhan Yesus dari kematian di kayu salib. Tetapi Tuhan Yesus dalam integritas-Nya yang tinggi tetap taat sampai mati di kayu salib untuk menyelesaikan tugas penyelamatan. Pertama, Iblis berusaha mencegah Tuhan Yesus memikul salib dengan cara menawarkan keindahan dan kemuliaan dunia (Luk. 4:5-8). Berikutnya, Iblis memakai nama Allah melalui Petrus untuk mencegah Tuhan Yesus ke Yerusalem (Mat. 16:21-23). Selanjutnya, beberapa kali Tuhan Yesus hendak diangkat jadi raja oleh orang-orang Yahudi (Yoh. 6:15; 12:1-13). Iblis menjanjikan hidup tanpa penderitaan di bumi. Di Taman Getsemani Tuhan Yesus menghadapi pergumulan antara melakukan kehendak Bapa atau kehendak-Nya sendiri (Mat. 26:38-44). Tuhan Yesus juga menghadapi situasi dimana Ia bisa memanggil malaikat-malaikat-Nya untuk menyelamatkan diri-Nya dari pasukan Roma yang menangkapnya (Mat. 26:53). Tetapi Ia tetap pada pendirian-Nya, yaitu minum cawan (penderitaan) yang harus dialami-Nya. Akhirnya di kayu salib -Ia bukan tidak bisa turun dari salib (kalau Ia mau, Ia bisa) ketika Ia ditantang untuk turun dari salib (Mat. 27:40-42)-tetapi sekali lagi Ia tetap teguh dengan pendirian-Nya, mati di kayu salib.

     Kematian Tuhan Yesus di kayu salib dalam ketaatan kepada Bapa di surga adalah kematian yang sangat mengerikan bagi Lusifer. Karena dengan hal itu ia terbukti bersalah dan hukuman baginya ditentukan. Ada semacam “rule of the game” dalam pergulatan antara Kerajaan Terang dan kerajaan kegelapan. Kalau ada yang bisa melakukan kehendak Bapa dengan sempurna, berarti Lusifer kalah dan harus dihukum; tetapi kalau tidak ada, maka Lusifer beroleh kemenangan. Ia akan menguasai jagat raya, manusia, dan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Manusia yang juga disebut sebagai Adam terakhir yang menjadi “jagonya” Allah Bapa adalah Tuhan Yesus. Kalau Tuhan Yesus gagal, maka tidak bisa dibayangkan betapa rusaknya jagat raya ini, karena surga dan bumi dalam kekuasaan Lusifer. Ia akan menjadi “Bintang Timur yang gilang gemilang”, artinya akan menerima kekuasaan baik di surga maupun di bumi (Why. 22:16). Tetapi kemenangan Tuhan Yesus menjadikan Ia berhak memproklamirkan kekuasaan-Nya bahwa segala kuasa di surga dan di bumi ada dalam tangan-Nya dan Ia adalah Bintang Timur yang gilang gemilang itu.

     Kehidupan Tuhan Yesus seperti sebuah gelanggang pertandingan untuk menemukan siapa yang akan menjadi pemenang. Tuhan Yesus adalah pertaruhan Allah Bapa. Kalau Ia kalah berarti tidak ada keselamatan atas umat ciptaan-Nya. Kalah di sini maksudnya bahwa Tuhan Yesus gagal hidup dalam ketaatan yang sempurna kepada Bapa di surga (Ibr. 2:9). Kalau Tuhan Yesus tidak taat kepada Bapa atau berarti kalah atau gagal, maka cita-cita Lusifer berkuasa menyamai Allah bisa tercapai. Inilah yang memang diingini dan terus diupayakan oleh oknum jahat tersebut. Dalam hal ini betapa berat beban yang dipikul oleh Tuhan Yesus. Ia harus menang untuk menjadi Tuhan “bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:11), tetapi kalau Tuhan Yesus kalah, maka Iblis menjadi “tuhan” untuk kemuliaan dirinya sendiri. Untuk ini Tuhan Yesus harus menang untuk merebut “Bintang Timur” (Why. 22:16).

     Kalau Tuhan Yesus tidak saleh, Ia akan tetap ada dalam kubur. Jadi kebangkitan Tuhan Yesus adalah prestasi-Nya sendiri yang menyediakan diri untuk hidup dalam kesalehan. Kebangkitan-Nya bukti bahwa Ia “lulus” dalam taat kepada Bapa; taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Itu adalah prestasi-Nya sendiri, maksudnya adalah bahwa Bapa tidak memberikan kemudahan agar Ia dapat menang atau bisa hidup saleh dengan mudah. Alkitab menegaskan bahwa dalam segala hal Ia disamakan dengan saudara-saudara-Nya, maksudnya adalah dengan manusia (Ibr. 2:17). Ia juga walaupun Anak (Anak Tunggal Allah), Ia belajar taat dari apa yang diderita-Nya (Ibr. 5:8). Dalam hal ini kita bisa mengerti mengapa Ia sampai menaikkan doa dengan ratap tangis dan keluhan.

      Bicara mengenai kuasa kebangkitan Tuhan (Flp. 3:9-10), hendaknya kita tidak menghubungkannya dengan kuasa spektakuler Allah yang bersifat mistik atau adikodrati. Kebangkitan Tuhan Yesus bukan karena kuasa Allah yang spektakuler adikodrati yang mampu membangkitkan tubuh dari kematian, tetapi karena ketaatan-Nya kepada Bapa (Ibr. 5:7). Jadi, kuasa kebangkitan Tuhan Yesus terletak kepada ketaatan-Nya kepada Bapa. Ketaatan ini bukan sekadar ketaatan melakukan hukum, tetapi ketaatan kepada apa yang diingini oleh Bapa. Ada semacam ruleyang harus ditegakkan. Kalau Tuhan Yesus tidak taat kepada Bapa, maka Bapa tidak akan membangkitkan-Nya. Kalau Bapa membangkitkan Tuhan Yesus karena Ia adalah Anak Allah -bukan karena ketaatan-Nya- berarti Allah bersikap nepotisme dan curang.


https://overcast.fm/+IqOCMYwuE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar