Selasa, 24 September 2019

Renungan Harian 19 September 2019 TATANAN MENGENAI MORAL ALLAH

     Allah adalah kudus, Allah menghendaki manusia yang dirancang segambar dan serupa dengan diri-Nya juga berkeadaan kudus seperti keberadaan-Nya. Dalam 1 Petrus 1:17, Firman Tuhan mengatakan: “kuduslah kamu sebab Aku kudus”. Tuhan menghendaki kesucian orang percaya berstandar kesucian-Nya. Bagaimanakah sebenarnya kesucian yang dikehendaki oleh Tuhan itu? Banyak orang Kristen yang tidak mengerti kesucian yang harus dikenakan dalam kehidupannya. Untuk memahami bagaimana mencapai kesucian Allah, terlebih dahulu kita memahami arti dosa bagi umat Perjanjian Lama, bangsa-bangsa lain, dan umat Perjanjian Baru. Bagi bangsa Israel, pada prinsipnya dosa berarti ketidaktaatan kepada hukum Taurat yang tertulis di atas loh batu dan perkamen (sejenis alat tulis). Dalam hal ini dosa bagi orang Yahudi ukurannya adalah hukum Taurat yang tertulis. Tidak melakukan hukum Taurat berarti berdosa di hadapan Allah.

     Pemberontakan orang Yahudi terhadap Allah sering terjadi, khususnya ketika bangsa itu menyembah berbagai berhala atau allah lain seperti Asitoret, Baal, Dagon, Molok, Milkom, dan lain sebagainya. Ketika mereka menyembah kepada allah asing, maka secara bersamaan mereka melanggar hukum-hukum dalam Taurat. Pelanggaran terhadap hukum Taurat ini seperti seorang warga negara melanggar hukum yang diberlakukan di sebuah negara atau kerajaan. Jadi, pelanggaran terhadap hukum Taurat sama artinya dengan sikap atau tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

     Dalam Roma 2:23 dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi telah melanggar hukum Taurat. Kata “melanggar” dalam teks asli bahasa Yunani menggunakan kata parabasis (παράβασις). Hukum Taurat telah ditetapkan untuk dipatuhi guna mengatur kehidupan bangsa Yahudi, tetapi orang-orang Yahudi tidak mematuhinya. Dengan demikian pelanggaran terhadap Taurat yang tertulis adalah dosa. Taurat di sini sebagai tolak ukur pengaturan Tuhan atas umat pilihan-Nya. Dalam hal ini hukum Taurat diberikan kepada bangsa Israel untuk menunjuk standar kebenaran moral mereka. Selain itu hukum Taurat menunjukkan bahwa manusia dalam ketidakberdayaan karena kodrat dosa tidak akan dapat melakukan hukum dengan sempurna.

     Kalau bagi orang Yahudi, dosa berarti pelanggaran terhadap hukum Taurat, lalu bagaimana dengan orang non-Yahudi yang tidak memiliki hukum Taurat? Non Yahudi di sini adalah mereka yang bukan orang Israel yang hidup sebelum zaman anugerah atau orang-orang yang hidup di zaman anugerah tetapi yang tidak pernah mendengar Injil. Untuk menjawab persoalan ini Paulus mengemukakan kebenaran dalam Roma 2:12-16. Bagi orang non-Yahudi, dosa berarti pelanggaran terhadap hati nurani. Dalam teks tersebut disinggung oleh Paulus bahwa orang yang tidak memiliki hukum Taurat yang tertulis harafiah, mereka memiliki hukum di dalam hati mereka. Tuhan yang menuliskannya.

     Bagi umat Perjanjian Baru, kata dosa yang paling sering atau paling banyak digunakan adalah “hamartia” (ἁμαρτία). Kata ini berarti suatu “keluncasan” atau meleset. Kata hamartia ini sebenarnya dari pengertian katanya sendiri berarti luncas, tidak kena sasaran, atau meleset. Sebenarnya kata itu sendiri secara etimologi (asal usul kata) tidak mengandung unsur atau makna “kejahatan”. Ibarat suatu target memanah atau menembak, bila tembakan tidak tepat mengenai pusat pusaran target berarti meleset. Inilah hamartia itu.

     Bagi orang percaya dosa bukan hanya berarti melanggar hukum atau norma umum, tetapi dosa segala sesuatu yang tidak sesuai (menyimpang atau meleset) dari kehendak Allah; jadi tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Berkenaan dengan hal ini harus diingatkan bahwa ada moral yang diperuntukkan bagi orang percaya. Moral atau kesucian orang percaya berdasarkan ukuran “seperti Bapa” (Mat. 5:48). Ini berarti orang percaya dipanggil untuk memiliki moral seperti moral Allah Bapa. Hanya kalau seseorang bermoral seperti Bapa maka dapat disebut sebagai anak-anak Allah.

     Setiap orang Kristen dituntut memiliki standar kesucian seperti Bapa atau sempurna. Jadi bila kehidupan kita belum seperti Yesus atau belum seperti yang Bapa kehendaki, itu berarti belum sesuai dengan kehendak-Nya. Selama masih belum seperti Bapa, maka itu berarti masih “luncas”. Dalam hal ini pengertian luncas atau hamartia bukanlah sebuah dosa yang “fatalistik”. Sekilas penjelasan ini membuat kesan seolah-olah meremehkan pengertian dosa, sebenarnya tidak. Dosa dunia telah ditanggulangi oleh Tuhan Yesus Kristus. Semua orang yang “menerima-Nya”, dimerdekakan dari kutuk dosa. Dimerdekakan dari kutuk dosa artinya kemerdekaan dari akibat dosa Adam. Tetapi keadaan orang percaya harus suci, artinya selalu bertindak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.


https://overcast.fm/+IqOA5pVXg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar