Senin, 16 September 2019

Renungan Harian 12 September 2019 HUKUM PEMBUKTIAN

     Allah tidak akan pernah bertindak secara sembarangan tanpa aturan, tanpa hukum, atau rule. Allah adalah Allah yang tertib dan selalu bertindak dalam tatanan-Nya yang konsisten dan sempurna. Di dalam diri-Nya ada hukum, aturan, sistem, atau kebijakan-kebijakan dari kecerdasan-Nya yang sempurna. Dalam bertindak ada hukum atau semacam “The rule of the game” (aturan main) atau “The rule of the life” (hukum kehidupan) yang oleh kedaulatan-Nya sendiri Allah tetapkan. Allah bertindak sesuai dengan hukum atau aturan tersebut. Hukum atau tatanan dalam diri Allah inilah yang pasti dipahami oleh oknum yang disebut Lusifer, sehingga ia berani memberontak kepada Allah. Ia tahu bahwa Allah terikat dengan hukum dalam diri-Nya dan Ia tidak dapat menyangkalinya. Lusifer memanfaatkan realitas tersebut untuk mewujudkan keinginannya.

     Seharusnya pemahaman terhadap hakikat Allah dimaksudkan agar makhluk ciptaan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Inilah yang Allah Bapa kehendaki, menciptakan makhluk yang segambar dengan diri-Nya dengan kemampuan mengenal hakikat-Nya agar bertindak seperti Dia bertindak, sehingga dapat menyenangkan atau memuaskan hati Allah Bapa. Tetapi Lusifer memanfaatkan pengenalan akan hakikat-Nya tersebut untuk memberontak kepada-Nya. Seharusnya dengan mengenal seluk-beluk Allah (hakikat-Nya), anak-anak-Nya meninggikan, memuliakan, dan mengokohkan takhta-Nya, tetapi Lusifer sebaliknya menemukan celah untuk bisa merebut takhta-Nya serta mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri.

     Memang hal ini tidak tertulis secara eksplisit (terang-terangan), tetapi inilah fakta yang bisa ditangkap secara logis yang bisa menjawab pertanyaan diatas (mengapa Allah tidak bisa segera membinasakan Iblis?). Dari menganalisa secara jujur, mendalam, dan analistis atas tindakan-tindakan Allah yang ditulis dalam Alkitab, maka kita dapat memperoleh pemahaman yang tepat berkenaan dengan diri Allah dan hukum kehidupan ini. Sangatlah logis kalau dipahami bahwa tidak mungkin Lusifer berani melawan Allah Bapa tanpa alasan atau dasar yang kuat. Ternyata Lusifer melihat celah peluang atau kemungkinan untuk bisa memenangi perlawanan terhadap Allah, sebab Allah tidak bisa bertindak di luar hukum keadilan-Nya. Lusifer mencoba mencari kesempatan untuk mendapat keuntungan dari realitas tersebut. Ia membawa dirinya dengan Allah pada suatu “pertarungan”. Lusifer “berjudi” dengan keputusannya sendiri. Ia berharap bisa memperoleh apa yang diinginkan, yaitu mengangkat diri sebagai penguasa menyamai Allah. Itulah sebabnya dikatakan dalam Yehezkiel 28:16, bahwa ia berdagang. Berdagang artinya melakukan suatu usaha untuk memperoleh keuntungan, tetapi masih bersifat “spekulatif” (untung-untungan). Di mana pun, aktivitas perdagangan memiliki unsur spekulatif ini.

     Mengapa Allah tidak bisa membinasakan Lusifer saat itu juga ketika ia memberontak? Sebab tindakan Lusifer belum bisa dikatakan salah selama tidak ada verifikasi atau pembuktian bahwa Lusifer bersalah. Harus ada semacam “corpus delicti”. Istilah corpus delicti ini sebenarnya diambil dari istilah hukum, tetapi dibawa ke ranah teologi. Pertama yang menggunakan istilah ini adalah Dr. J. Verkuyl dalam bukunya Etika Kristen. Dalam tulisannya, Dr. J. Verkuyl menyatakan bahwa hukum Taurat adalah corpus delicti. Tanpa hukum Taurat maka pelanggaran tidak terbukti sebagai pelanggaran. Harus ada corpus delicti untuk membuktikan suatu kesalahan.

     Kalau menurut etimologi, maka kata corpus delicti berasal dari bahasa Latin. Corpus artinya tubuh atau badan, sedangkan delicti artinya pelanggaran. Secara sempit, corpus delicti artinya bukti suatu kejahatan. Corpus delicti adalah fakta penting dalam dunia hukum untuk menegakkan suatu keadilan, bahwa suatu tindakan seseorang tidak bisa dikatakan salah dan orang tersebut dihukum sebelum terbukti kesalahannya. Dengan demikian corpus delicti menunjuk fakta yang membuktikan bahwa suatu kesalahan atau kejahatan telah dilakukan.

     Sama seperti kasus bagaimana bisa membuktikan bahwa suatu benda warnanya putih kalau tidak ada verifikasi warna lain. Terkait dengan corpus delicti, dalam tulisannya Rasul Paulus menulis: Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran (Rm. 4:15). Juga di ayat yang lain ia menulis: Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat (Rm. 5:13). Dari apa yang dipaparkan Roma 4:15; 5:13 membuka pikiran kita untuk memahami bahwa Allah bertindak dengan aturan yang sempurna. Seperti misalnya dalam menunjukkan kesalahan dan menghukum harus ada pembuktian. Itulah sebabnya Taurat diberikan juga untuk membuktikan bahwa manusia terbukti bersalah (Rm. 4:15; 5:13).


https://overcast.fm/+IqODf-Zpk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar