Sesungguhnya, iman berarti tetap teguh memercayai Pribadi Allah dan tidak mencurigai Tuhan π walau dalam keadaan yang tidak mungkin untuk memercayai Dia.
Hal ini sangat jelas dikemukakan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma. Ditulis di dalam Roma 4:18, sekalipun tidak ada alasan atau bagi Abraham untuk memercayai Allah, tetapi Abraham sama sekali tidak meragukan Allah.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan Paulus untuk menjelaskan iman yang sejati.
Pertama, Paulus menjelaskan keberanian Abraham mempersembahkan anaknya Ishak.
Dalam Roma 4:17 tertulis: “Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa” di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.
Kita tidak tahu apakah pada zaman Abraham sudah ada mukjizat yang pernah terjadi mengenai orang mati yang bisa bangkit, tetapi faktanya Abraham percaya bahwa Allah sanggup membangkitkan orang mati.
Bahkan sekalipun perintah Allah adalah memotong-motong tubuh Ishak sebagai korban bakaran. Sangat besar kemungkinan belum pernah ada mukjizat orang mati bangkit, apalagi bila sudah dipotong-potong seluruhnya.
Tetapi Abraham melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah π tanpa keraguan sama sekali.
Kepercayaan Abraham kepada Allah sangat luar biasa, benar-benar “gila-gilaan”, ekstrem, dan benar-benar tidak bisa dipahami oleh pikiran normal manusia. Inilah iman sejati yang menjadi pola, teladan, dan inspirasi kehidupan iman sepanjang zaman.
Dalam Roma 4:18-19, tertulis: Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”
Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Walaupun keadaan Abraham dan Sara -karena usia- semakin tidak memberi potensi untuk menaruh kepercayaan kepada Pribadi Allah (akan memberi keturunan), tetapi Abraham tetap percaya.
Iman seperti yang dimiliki Abraham ini harus menjadi pola iman kita kepada Allah π
Iman dilahirkan atau muncul dari keadaan yang mustahil.
Sama seperti iman yang diajarkan kepada orang kaya di dalam Matius 19:16-26.
Orang kaya itu harus melepaskan segala sesuatu, barulah bisa memiliki iman seperti Abraham, kehidupan yang berkualitas atau hidup kekal.
Orang-orang Kristen abad mula-mula harus melepaskan segala sesuatu untuk memiliki iman yang benar.
Dari tulisan Paulus dalam Roma 4 ini dijelaskan kepada kita π₯ bahwa keyakinan atau kepercayaan kepada Pribadi Allah tidak harus memiliki dasar. Ini adalah kepercayaan atau iman yang sejati. Kepercayaan kepada Pribadi Allah harus utuh. Titik.
Sama seperti ketika seseorang berjanji kepada kita, kesediaan kita menerima janjinya adalah kepercayaan kita kepada pribadi orang tersebut. Dalam Roma 4:21 tertulis: … dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
Sebagai anak-anak Allah, Bapa kita, kita harus percaya kepada Pribadi Allah walau tidak ada dasar untuk memercayai-Nya selain memercayai bahwa Allah sangat bisa dipercayai.
MKita tidak boleh memiliki keraguan sedikit pun terhadap Pribadi-Nya yang Mahaagung.
Iman seperti yang ditunjukkan oleh Abraham ini rupanya yang pantas diperuntukkan bagi Allah. Hanya iman seperti itu yang patut dimiliki setiap orang percaya.
Keyakinan Abraham kepada Allah π tetap kokoh walau dirinya semakin tua dan Sara semakin tua sehingga semakin kecil kemungkinan memiliki anak atau semakin mustahil memiliki keturunan.
Dalam keadaan tersebut iman Abraham tidak menjadi surut.
Kunci dari keyakinan Abraham kepada Allah dalam konteks mempersembahkan Ishak dan kepastian memiliki keturunan adalah bahwa Allah π sanggup membangkitkan orang mati dan oleh Firman-Nya sanggup menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada.
Dan Abraham meyakini Pribadi Allah yang yang “dapat dipercayai”.
Dengan penjelasan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa iman dapat dimiliki seseorang kalau orang tersebut melewati keadaan-keadaan tertentu yang ekstrem sampai pada keadaan tidak memiliki dasar atau alasan untuk memercayai Allah.
Dalam hal ini betapa tidak mudahnya seseorang memiliki iman yang sejati. Tetapi kita harus berani memercayai Pribadi Allah π, sama seperti Abraham. Dalam hal ini jelas sekali bahwa iman harus diuji. Dalam Roma 4:20-22 tertulis: Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
Abraham tidak memberi tempat kepada keraguan atau ketidakpercayaan kepada Allah di dalam hatinya.
JBU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar