Senin, 05 Maret 2018

RH Truth Daily Enlightenment “BERPUSAT PADA ALLAH”   6 Maret 2018

Selanjutnya dalam Roma 4:15 tertulis: Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran. Kalimat yang mengatakan bahwa hukum Taurat membangkitkan murka Allah, maksudnya adalah bahwa sekalipun manusia sudah mengerti hukum Tuhan πŸ’—, tetapi mereka melanggarnya, maka hal itu membangkitkan murka Allah.

Dalam hal ini manusia yang sudah mengingkari perjanjian (pseustes), bukan saja tidak mampu memenuhi standar kesucian Allah πŸ’—, tetapi juga gagal melakukan hukum-hukum yang sebenarnya masih belum berstandar kesucian yang dikehendaki oleh Allah.

Keadaan ini adalah keadaan manusia πŸ‘₯ yang telah kehilangan kemuliaan Allah. Kehilangan kemuliaan Allah pada dasarnya adalah tidak memiliki potensi bermoral seperti Allah.
Manusia yang tidak memiliki potensi bermoral seperti Allah, bagaimanapun tidak akan mampu melakukan kehendak Allah.

Walaupun Abraham belum sempurna, tetapi pola hidupnya adalah pola hidup keberagamaan. Abraham tidak berpusat pada hukum seperti orang-orang beragama, tetapi berpusat pada Allah. Kehidupan yang berpusat kepada Allah πŸ’— dalam hidup Abraham ditunjukkan dengan kehidupannya yang selalu dalam penurutan terhadap kehendak Allah.

Sesungguhnya inilah yang dimaksud dengan hidup dalam iman, tidak seperti orang beragama yang hidup berdasarkan hukum. Demikianlah sistem keberagamaan, hukum dan tata cara ibadah atau seremonialnya mengatur kehidupan umat.
Bagi umat Perjanjian Baru, ibadahnya adalah menyembah Allah πŸ’— dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:24).

Ibadah yang tidak dibatasi atau diatur oleh aturan tata ibadah atau seremonial, tetapi kehidupan yang selalu melakukan kehendak Allah πŸ’—, di mana pun, kapan pun dan melalui segala perkara.
Orang yang masih hidup di bawah hukum berarti masih berpusat pada hukum.

Keadaan manusia πŸ‘₯ yang mengingkari perjanjian bukan saja tidak mampu berpusat pada Allah, tetapi juga tidak mampu berpusat pada hukum. Dan kenyataannya, tidak ada orang yang dapat melakukan hukum dengan sempurna.
Keadaan seperti ini mendatangkan murka Allah.

Demikianlah keadaan manusia pada umumnya. Semua manusia telah kehilangan kemuliaan Allah, artinya manusia πŸ‘₯ tidak lagi memiliki potensi moral untuk bisa hidup dalam kesucian Allah. Manusia hanya bisa berbuat baik dalam kebaikan secara relatif, tetapi tidak mampu hidup dalam kesucian yang berstandar Allah.

Kebaikan manusia, masih dalam kebaikan yang berpusat pada hukum.
Orang yang masih berpusat pada hukum sebenarnya masih belum memenuhi standar kehidupan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah; sebab standar manusia yang dikehendaki Allah bukan hidup sesuai dengan hukum, tetapi menjadi manusia πŸ‘₯ sesuai dengan rancangan Allah semula, yaitu kehidupan yang berpusat pada Allah.

Kehidupan yang berpusat kepada Allah artinya kehidupan yang selalu melakukan kehendak Allah; dalam segala hal yang dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Keselamatan dalam Yesus Kristus πŸ’— mengembalikan manusia untuk dapat berpusat kepada Allah.

Ini bukan suatu proses sekejap, tetapi sebuah proses panjang. Alkitab pun menunjukkan bahwa iman merupakan sesuatu yang bersifat progresif (Ibr. 12:1-3). Tuhan πŸ’— yang membawa iman kita kepada kesempurnaan.
Jadi, sangatlah keliru kalau memahami hidup oleh iman hanyalah keyakinan atau beriman terhadap Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Iman adalah tindakan penurutan.
Hal ini menunjuk bukan sesuatu yang bersifat adikodrati, juga bukan sesuatu yang bersifat ajaib, tetapi bersifat natural dan logis, artinya sesuatu yang bisa dipahami dengan akal dan dialami, dijalani, dan dilakukan dalam pengertian dan kesadaran.

Oleh sebab itu, sangatlah keliru kalau iman dipahami sebagai pemberian dari Allah secara spektakuler atau yang secara ajaib (jujurnya, secara mistik) muncul atau ada di dalam diri seseorang.
Orang yang berpendirian bahwa iman itu secara ajaib muncul atau ada di dalam diri seseorang, membangun premis bahwa Tuhan πŸ’—menentukan orang-orang tertentu dapat selamat dan yang lain tidak.

Selanjutnya mereka meyakini bahwa orang-orang yang ditentukan untuk selamat akan dituntun oleh Tuhan, sehingga dengan sendirinya atau secara otomatis dapat menjadi orang yang hidup sesuai dengan rancangan Allah πŸ’— dan suatu hari juga dilayakkan masuk surga. Doktrin keselamatan seperti ini menyimpang dari apa yang diajarkan Paulus.

Mereka tidak teliti dan detail memperhatikan kata per kata dan kalimat per kalimat sehingga salah memahami pikiran Paulus yang diilhami oleh Roh Kudus.
Biasanya mereka menyoroti Alkitab πŸ“š lepas dari konteksnya. Kesalahan itu juga disebabkan karena mereka telah memiliki premis sendiri yang sudah tertanam dalam pikiran mereka ketika menggali kekayaan kebenaran dari tulisan Paulus tersebut.
Sehingga mereka gagal menangkap pikiran Paulus oleh ilham Roh Kudus.


JBU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar