Kunci kehidupan baru dalam diri orang yang menerima anugerah keselamatan dalam Tuhan Yesus 💗 adalah “menurut Roh”. Kalimat “menurut Roh” dalam teks aslinya adalah en kainoteti pneumatos (ἐν καινότητι πνεύματος), yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan in newness of spirit yang bisa berarti roh yang baru atau pembaharuan roh.
Kalau suasana keberagamaan samawi -seperti agama Yahudi- adalah suasana hidup di bawah bayang-bayang hukum, tetapi dalam kehidupan orang yang menerima anugerah berbeda.
Perbedaannya adalah:
Pertama, seorang yang hidup di dalam anugerah tidak lagi mempersoalkan bagaimana melakukan hukum demi memperkenan hati Allah.
Perkenanan di hadapan Allah dimulai dari ketaatan Tuhan Yesus 💗 yang menggantikan tempat kita. Kalau selanjutnya kita hidup sesuai dengan hukum bahkan menjadi sempurna bukan karena supaya kita diselamatkan, tetapi agar kita dilayakkan menjadi anggota keluarga Kerajaan.
Berbeda dengan penganut agama samawi seperti bangsa Israel biasanya ketaatan kepada hukum dilakukan demi perkenanan di hadapan Allah.
Dalam hal ini seakan-akan Allah mewakilkan kehendak-Nya di dalam hukum-hukum-Nya dan jika hukum-hukum itu dilakukan, maka hal itu memperkenan hati Allah.
Jika umat melakukan hukum-hukum tersebut berarti bertindak setia kepada Allah 💗 dan menyukakan hati-Nya.
Biasanya ketaatan kepada hukum juga dikaitkan dengan berkat dan kutuk. Bila menaati hukum akan memperoleh berkat, tetapi kalau melanggar hukum akan menanggung kutuk atau laknat.
Berkat dan kutuk di sini berorientasi pada pemenuhan kebutuhan jasmani dan perkara-perkara lahiriah.
Mereka 👥 tidak mengenal kebenaran mengenai kehidupan yang akan datang Kerajaan Allah yang akan dinyatakan secara fisik.
Bisa dimengerti kalau mereka tidak memiliki jangkauan hidup menjadi sempurna, sebab selain mereka tidak mengenal tuntutan untuk sempurna sebagai anak-anak Allah, mereka juga tidak berkemampuan untuk dapat menjadi sempurna.
Kedua, suasana keberagamaan samawi -seperti agama Yahudi- terdapat unsur mempersembahkan “sesuatu yang dapat memperkenan hati Allah”. Dalam hal ini umat merasa memiliki potensi untuk menyukakan hati Allah 💗 dengan perbuatan baik.
Mereka tidak mengenal bahwa sesungguhnya yang dikehendaki oleh Allah adalah kesempurnaan (sesuai dengan rancangan semula Allah).
Dengan cara berpikir demikian orang-orang yang memeluk agama samawi tersebut tidak menyadari dirinya sebagai orang “sakit”. Tidak heran kalau mereka merasa bisa memberi persembahan, bukan mengharapkan belas kasihan Tuhan 💗atas keadaan mereka yang tidak sesuai dengan rancangan dan standar Allah.
Terkait dengan hal ini Tuhan Yesus 💗 berkata: Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mat. 9:12-13).
Agama samawi -seperti agama Yahudi- tidak mengenal anugerah, bahkan mereka 👥 menolaknya.
Mereka tidak mengenal bahwa hanya darah Anak Domba Allah (Tuhan Yesus) yang dapat mengangkat dosa manusia.
Darah binatang tidak dapat menyucikan dan membenarkan.
Manusia membutuhkan pengganti untuk memikul dosa.
Allah 💗 tidak dapat mengampuni dosa manusia tanpa sarana penebusan.
Pengampunan yang diberikan tanpa sarana dan landasan adalah ajaran palsu.
Allah yang melakukan hal itu adalah allah yang tidak memiliki tatanan atau hukum di dalam dirinya.
Bagi orang percaya yang memiliki penebusan oleh darah Tuhan Yesus 💗, bukan berarti sudah memiliki penyelesaian secara tuntas anugerah keselamatan.
Banyak orang Kristen merasa sudah memiliki keselamatan secara utuh dan lengkap dengan menerima Yesus sebagai Juruselamat dalam pengakuan.
Biasanya dengan prinsip hanya oleh anugerah dan keselamatan terjadi bukan karena perbuatan baik, orang Kristen sudah merasa berstatus sebagai anak-anak Allah dan berhak masuk surga. Mereka 👥 melupakan fakta bahwa setiap orang akan menghadap takhta pengadilan Allah.
Dalam pengadilan tersebut diperkarakan apakah seseorang layak masuk Kerajaan Surga atau tidak. Harus diingat, bahwa hanya orang yang melakukan kehendak Bapa 💗 yang masuk dalam Kerajaan Surga.
Dalam hal ini Paulus sendiri mengatakan bahwa ia berusaha untuk berkenan kepada Allah (2Kor. 2:9-10).
Orang percaya 👥 yang menerima Yesus sebagai Juruselamat harus memiliki tindakan “hidup bagi Allah”.
Hidup bagi Allah, tidak hanya hidup dalam ketaatan kepada hukum seperti agama samawi, tetapi dalam segala hal melakukan kehendak Bapa.
Dalam hal ini anugerah bukanlah menjadi kesempatan untuk berbuat dosa secara semena-mena. Inilah yang diperingatkan secara tegas oleh Paulus kepada jemaat Roma (Rm. 6:1-3).
Kalau Paulus mengatakan hal tersebut, berarti ada potensi atau bahkan telah menjadi kenyataan adanya orang-orang Kristen 👥 pada waktu itu yang menjadikan anugerah sebagai kesempatan berbuat sesuka hati mereka; tidak hidup dalam kehendak Allah.
Setelah menerima anugerah, seseorang harus hidup bagi Allah 💗 dengan pembaharuan roh atau roh yang diperbaharui. Inilah konsekuensi atau risiko menjadi anak tebusan yang dimiliki oleh Allah. Harus hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah, yang sama artinya melakukan kehendak Bapa.
Inilah rancangan Allah semula.
Sesungguhnya gaya hidup ini jauh lebih sulit dibandingkan hanya melakukan hukum seperti yang dilakukan umat beragama samawi, seperti agama Yahudi.
Kesalahan banyak orang Kristen 👥 adalah merasa sudah dibebaskan dari hukum, sehingga mereka merasa tidak perlu lagi memiliki perilaku yang baik menurut hukum.
Harus diperhatikan bahwa orang percaya memang tidak lagi di bawah hukum Taurat, tetapi orang percaya harus hidup dalam moral yang baik, bahkan harus hidup dalam perilaku yang selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah (menjadi sempurna seperti Bapa).
Karena penebusan membuat seseorang menjadi milik Allah 💗, maka orang percaya harus hidup hanya bagi Allah semata-mata.
Inilah ikatan perjanjian yang baru dengan Allah 💗 dalam kehidupan umat Perjajian Baru.
Harus diingat orang percaya berkeadaan bebas dari hukum Taurat masuk ke dalam hukum Kasih, yaitu Pribadi atau hakikat Allah sendiri sebagai standar kesuciannya.
JBU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar