Bersahabat dengan Tuhan sebenarnya sama artinya dengan menempatkan diri dengan benar di hadapan Tuhan atau menempatkan Tuhan di tempat terhormat di dalam hidup ini. Hal ini tidak dapat terjadi kalau seseorang sudah terlanjur menempatkan “yang lain” di tempat terhormatnya. Yang dimaksud dengan “yang lain” di sini adalah segala hal yang bisa berupa kekayaan dunia ini, manusia yang dicintai lebih dari Tuhan, dan lain sebagainya. “Yang lain” ini bisa diistilahkan sebagai dunia dengan segala yang ada di dalamnya. Bagaimana kita tahu bahwa masih ada “yang lain” dalam hidup seseorang? Hal ini bisa dibuktikan dengan cara ini: Kalau demi sesuatu, seseorang bisa melakukan apa pun tanpa batas, tetapi kalau untuk Tuhan tidak, berarti Tuhan hanya menjadi teman (hetairos). Dalam hal ini Tuhan hanya menjadi alat atau sarana untuk meraih segala sesuatu yang diinginkan.
Banyak gereja yang bertindak sebagai “broker” (makelar) melalui “oknum pendeta” agar tangan Tuhan bisa diulurkan melakukan apa yang dibutuhkan oleh umat. Padahal kalau umat menjadikan Tuhan sebagai sahabat, tanpa perantara siapa pun umat dapat berurusan langsung dengan Tuhan dan Tuhan berkenan terlibat dalam segala persoalan sahabat-sahabat-Nya. Tidak sedikit gereja yang tidak mengajar dan menasihati serta membimbing umat untuk menjadikan Tuhan sebagai sahabat. Seharusnya menjadi masalah utama dalam kehidupan umat yang harus digumuli pelayanan gereja adalah bagaimana umat mengenal Tuhan dengan benar. Umat harus belajar untuk menempatkan diri secara benar di hadapan-Nya dan menempatkan Tuhan secara terhormat di dalam kehidupannya. Inilah fokus penggembalaan yang benar. Di lain pihak umat Tuhan harus menyediakan diri (waktu, tenaga, dan segala sesuatu) untuk dimuridkan atau diajar mengenal kebenaran Tuhan guna bisa membangun persabahatan dengan Tuhan. Memang proses menjadi sahabat Tuhan tidak mudah. Hal ini berkenaan dengan keterikatan seseorang dengan dunia ini. Pada mulanya mereka ada di level berteman dengan Tuhan.
Melalui pertumbuhan iman yang sejati, mereka bertumbuh sampai menjadi sahabat Tuhan. Pertumbuhan iman ini ditandai dengan pudarnya keindahan dunia di pemandangannya. Kalau seorang Kristen masih mengeraskan hati mengasihi dunia dan segala yang ada padanya, pelayanan yang sebaik apa pun tidak akan signifikan mengubah hidupnya. Baginya, dunia adalah keindahan yang menjadi sahabatnya dan tujuan hidupnya. Ini pula berarti ia menjadi seperti Esau yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan (Ibr. 12:16-17). Ini berarti ia adalah orang yang tidak setia yang bersahabat dengan dunia (Yak. 4:4). Celaka! Orang yang masih memandang dunia indah menurut versi manusia berdosa menunjukkan bahwa ia belum melihat kemuliaan Allah.
Ketika seseorang melihat kemuliaan Allah atau keindahan Kerajaan Allah, maka keindahan dunia menjadi tidak ada artinya sama sekali; sangat tidak sebanding dengan keindahan Kristus. Keindahan dunia maksudnya adalah segala sesuatu yang dianggap memiliki nilai tinggi pada zamannya, di mana semua orang memburunya dan berusaha memiliki sebanyak mungkin. Pada zaman batu, hampir tidak ada yang dianggap bernilai tinggi kecuali makanan dari berbagai bahan mentah yang ada. Perkakas yang digunakan pada umumnya terbuat dari batu. Pada zaman perunggu yang dianggap bernilai adalah perkakas dari perunggu. Selanjutnya pada zaman besi yang dianggap bernilai terbuat dari besi. Zaman berganti zaman, setiap orang mengalami perubahan pola berpikir sesuai dengan zamannya. Pada zaman kita ini semakin banyak obyek yang dianggap memiliki nilai tinggi (rumah, mobil, apartemen, deposito, kapal pesiar, jet pribadi, kehormatan, pangkat, dan lain sebagainya). Tidak heran kalau mereka menjadikan semua itu sebagai sahabat.
Pengalaman yang paling penting dan sangat utama serta benar-benar indah dalam kehidupan orang percaya adalah ketika keindahan dunia menjadi pudar di pemandangannya (Flp. 3:7-9). Hal ini yang harus dialami orang percaya yang mau menjadi sahabat Tuhan (Yun. philos; φίλος). Selama keindahan dunia belum pudar di mata seseorang, maka ia belum pantas untuk menjadi anak-anak Allah yang juga menjadi sahabat-Nya. Kalau seseorang masih bersahabat dengan mamon, berarti ia berharap mamon akan bisa mendampinginya. Orang seperti ini telah tertipu oleh mamon yang tidak jujur (Yun. adikia; ἀδικία), artinya tidak dapat dipercayai. Pada waktu hidup ia tidak menyadari jahatnya mamon, tetapi ketika ia membutuhkan seorang pendamping penting yang sangat dibutuhkan di lembah bayang-bayang maut barulah ia menyadari betapa jahatnya kekayaan. Sebenarnya kekayaan tidak jahat kalau kita memperlakukan dengan benar, yaitu menjadikan teman (hetairos; ἑταῖρος) untuk bersahabat dengan Tuhan. Tetapi kekayaan akan menjadi jahat kalau dijadikan sahabat, sementara Tuhan hanya sebagai teman.
https://overcast.fm/+IqODM-B9M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar