Murid-murid Yesus dan orang-orang yang selama ini mengikut Tuhan Yesus dan berharap dapat mengubah nasib mereka, melihat bahwa Tuhan Yesus tunduk kepada kekuatan Roma, maka semangat mereka menjadi patah. Selama ini mereka mengikut Tuhan Yesus dengan mempertaruhkan segenap hidup mereka, meninggalkan segala sesuatu adalah karena mereka hendak mengubah nasib atau keadaan hidup mereka. Mereka mau menjadi orang terhormat di mata manusia. Dengan ditangkapnya Tuhan Yesus, disiksa, dan dihukum mati, maka mereka menjadi tawar hati dan meninggalkan Tuhan Yesus. Murid-murid yang terutama -yang selama itu ada di samping Tuhan Yesus- begitu kecewa sampai mereka bermaksud kembali ke profesi semula, di antaranya sebagai penjala ikan. Bisa dibayangkan bagaimana dengan profesi Matius sebagai pemungut cukai, tidak mudah ia dapat menduduki kembali jabatan yang pernah didudukinya. Langit hidup mereka menjadi runtuh. Kebersamaan dengan Tuhan Yesus selama tiga setengah tahun yang penuh harapan, sirna sekejap. Mereka memandangnya seperti sebuah mimpi sangat buruk. Sulit bagi mereka menerima kenyataan itu.
Hal itu terjadi sebab mereka tidak tahu rencana Allah dan kebenaran-Nya. Mereka memaksakan rencana mereka sendiri dan membangun kebenaran mereka sendiri pula. Pada dasarnya mereka tidak mengikut Tuhan Yesus, tetapi mereka bermaksud agar Tuhan Yesus mengikut mereka. Kejayaan yang mereka maksudkan dan harapkan adalah kejayaan dan kemuliaan yang berbeda dengan konsep Tuhan. Hal ini memberi pelajaran yang mahal bagi kita orang percaya sekarang ini. Inti Kekristenan adalah mengenakan cara berpikir Tuhan. Ketidakberdayaan-Nya menghadapi kekuatan agama Yahudi dan Roma bukanlah sebuah kekalahan atau kelemahan, justru itulah kekuatan.
Tuhan Yesus bukan tidak sanggup membela diri dengan menurunkan malaikat dari surga, tetapi Ia memilih menderita sampai mati di salib. Dengan cara itulah Ia memuliakan Allah Bapa. Itulah kekuatan. Sesuatu disebut sebagai kekuatan kalau melakukan apa yang Allah Bapa kehendaki, walau di mata manusia dianggap sebagai kelemahan dan ketidakberdayaan. Dalam kehidupan orang percaya yang benar, kita diajar untuk memberi diri mengikuti jejak Tuhan Yesus dengan menaati kehendak-Nya. Walaupun untuk itu kita dianggap lemah, tidak berdaya, dan bodoh. Dengan mengikuti kehendak Bapa, kita bisa dianggap tidak beruntung dibanding mereka yang berani berlaku curang. Demi kebenaran kita harus berani tidak memiliki kelimpahan materi seperti mereka yang ada di jalan orang fasik. Bahkan kita harus berani tidak memiliki apa-apa demi kehidupan yang akan datang. Untuk ini, cara berpikir kita harus sesuai dengan cara berpikir Tuhan.
Dengan berpikir menggunakan cara berpikir Tuhan, maka prinsip-prinsip hidup kita akan bertolak belakang dengan cara berpikir dunia. Bagi mereka yang dianggap kemegahan adalah kekayaan dunia dan segala kehormatannya. Tetapi bagi orang percaya yang bernilai tinggi adalah ketaatan kepada kehendak Allah, apa pun keadaannya. Dalam hal ini kemegahan hidup bukanlah diukur dari penampilan lahiriah dan duniawi. Betapa kontrasnya prinsip Kekristenan yang berbeda dengan prinsip manusia pada umumnya. Padahal setiap hari –begitu seseorang membuka mata- yang dikejar orang dunia adalah kemegahan fisik atau materi. Mereka tidak mengerti bagaimana melakukan kehendak Tuhan. Mereka tidak akan mengerti kalau ada orang-orang yang tekun belajar kebenaran Firman Tuhan, menyediakan diri bertemu dengan Tuhan setiap hari dan berusaha menjaga kesucian hidupnya.
Tidak sedikit orang-orang yang tidak mengerti kebenaran memandang orang-orang Kristen yang berbuat demikian adalah orang-orang fanatik yang picik atau dianggap sebagai korban indoktrinasi hamba-hamba Tuhan tertentu. Mereka adalah juga orang Kristen, tetapi tidak fanatik seperti itu. Mereka memandang bahwa diri mereka sudah menjadi Kristen yang proporsional. Bila berbeda dengan pandangan Kekristenan mereka, akan dianggap sebagai “fanatik dan keterlaluan.” Itulah yang di mata mereka sebagai kebodohan, yang sama nadanya dengan “kelemahan.”
Memang menjadi orang percaya harus fanatik yang sehat. Fanatik yang sehat artinya memang bersikap berlebihan, tetapi tidak membabi buta sebab membela Tuhan dan meyakini-Nya dengan pengertian. Hal ini telah dilakukan oleh Tuhan Yesus, dalam keyakinan-Nya kepada Allah Bapa dan pembelaan serta ketaatan-Nya kepada Allah Bapa sangat luar biasa; Tuhan Yesus taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Satu sisi, di mata orang Kristen kebanyakan fanatisme seperti itu adalah kebodohan yang senada dengan kelemahan, tetapi di mata Allah adalah proporsional. Dan itulah kekuatan. Tentu saja fanatisme orang percaya yang benar tidak melukai siapa pun. Fanatisme yang sehat akan melahirkan kesucian hidup, kehidupan yang bertanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, dan gereja Tuhan. Untuk memiliki fanatisme yang sehat seperti Tuhan Yesus kepada Allah Bapa, kita harus berani menyangkal diri dan memikul salib. Inilah yang harus menjadi pergumulan utama hidup ini, menjadi seperti Tuhan Yesus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar