Semua manusia pasti mencari apa yang disebut sebagai ketenangan, artinya sebuah keadaan tanpa masalah yang menyakitkan. Ternyata pencarian itu tidak pernah berakhir, sebab ketenangan itu tidak pernah diperoleh. Sebab mereka melakukan kesalahan seperti orang kaya yang tertulis dalam Lukas 12:16-20. Kesalahan itu disebabkan dua prinsip hidup, pertama adanya filosofi “aku ingin” atau “aku mau.” Kedua, “bersenang-senanglah, hai jiwaku.” Pencarian ketenangan semakin jauh bahkan tidak akan memeroleh, kalau hasrat “aku ingin atau aku mau” semakin kuat dan harapan untuk memperoleh ketenangan jiwa berlandaskan fasilitas tersebut tidak pudar. Dengan cara inilah manusia tertipu oleh dunia dan kuasa kegelapan. Untuk mendapatkan perhentian, prinsip hidupnya harus diubah, dari “aku ingin” diganti dengan “apa yang Tuhan kehendaki.” “Bersenang-senanglah, hai jiwaku” menjadi “senangkan hati-Mu ya, Tuhan.” Di singkatnya hidup ini, yang harus diutamakan adalah apa yang Tuhan kehendaki, ini sama dengan “jika Tuhan menghendaki.” Semua yang dilakukan harus sesuai dengan keinginan Tuhan (Yak. 4:13-17). Dalam hidup ini tidak ada yang baik selain “membuat hati Tuhan senang.” Sebab memang manusia diciptakan untuk kesenangan-Nya.
Zaman anugerah adalah zaman di mana Tuhan membuka tangan-Nya untuk menyambut manusia untuk masuk menjadi anggota keluarga-Nya. Hendaknya tidak salah dimengerti, seakan-akan zaman anugerah adalah zaman di mana surga mudah dicapai tanpa usaha untuk berkenan di hadapan Tuhan. Hendaknya orang percaya tidak berpikir dangkal seakan-akan dengan percaya dalam pikiran, otomatis dapat dibenarkan. Pembenaran hanyalah oleh iman (Rm. 3:24,28, 5:1,9; dan lain-lain). Sebenarnya, iman artinya penyerahan diri kepada obyek yang dipercayai. Obyek itu adalah Tuhan Yesus. Pembenaran bukan karena melakukan hukum Taurat, tetapi karena mengikut Tuhan Yesus. Bagi jemaat Roma yang mengalami aniaya hebat, mereka tidak memiliki Taurat dan korban penghapus dosa dengan darah domba, tetapi mereka memiliki Tuhan Yesus yang menebus dosa dan mengikut jejak-Nya, yaitu melakukan kehendak Bapa. Mereka rela menderita seperti yang Tuhan Yesus alami dan mengenakan gaya hidup menyukakan hati Bapa seperti Tuhan Yesus. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa orang yang dibenarkan memiliki ciri: prinsip dan gaya hidup hidup seperti yang dimiliki oleh Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus mengatakan bahwa barangsiapa mengikut Dia harus melepaskan diri dari segala miliknya. Segala milik ini dapat diwakili oleh satu kata: “keinginan.” Sekilas hal ini mustahil, tetapi kalau Tuhan memberikan perintah, maka Tuhan akan memampukan untuk melakukannya. Untuk ini, tidak ada yang dapat melatih dan menolong orang percaya untuk dapat melakukannya selain Tuhan Yesus, oleh karenanya Tuhan berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:28-29). Kelegaan di sini adalah perhentian (Yun. anapauso; ἀναπαύσω), yang artinya tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, kecuali hidup seperti yang Tuhan Yesus peragakan. Untuk itu Tuhan Yesus berkata: “Belajarlah pada-Ku.” Belajar apa? Kalau hanya menjadi orang baik tidak perlu belajar dari Tuhan Yesus, Taurat bisa membantu dan memandu. Tuhan Yesus mengajarkan gaya hidup-Nya. Ketika seseorang mengikuti gaya hidup Tuhan Yesus, maka ia menjadikan Tuhan Yesus sebagai perhentiannya. Jadi, perhentian orang percaya bukan hari atau sesuatu yang lain, tetapi Tuhan Yesus sendiri.
Banyak pendeta menawarkan kelegaan yang keliru. Mereka mengajarkan bahwa kelegaan tersebut sekadar terlepas dari masalah-masalah pemenuhan kebutuhan jasmani. Merasa lega sudah sembuh dari sakit, lega sudah memiliki rumah pribadi, lega sudah mendapat penghasilan yang baik, lega sudah mendapat jodoh, lega karena masalah berat sudah selesai, dan lain sebagainya. Kelegaan seperti ini bukanlah kelegaan yang dimaksud oleh Tuhan Yesus. Kelegaan semacam itu adalah kelegaan yang dicari oleh anak-anak dunia. Orang percaya diajar merasakan kelegaan di tengah-tengah suasana sulit bagaimanapun juga. Justru di sini orang percaya bisa membuktikan bahwa damai sejahtera Tuhan adalah damai sejahtera yang melampaui segala akal.
Jika seseorang sudah merasakan damai sejahtera Allah yang sejati yang melampaui segala akal tersebut, maka ia tidak akan mengingini yang lain. Tujuan hidupnya adalah Tuhan dan Kerajaan-Nya. Tentu saja untuk mencapai level ini seseorang harus terus menerus mengalami pembaharuan pikiran dan pergaulan pribadi dengan Tuhan. Orang percaya yang menjadikan Tuhan dan Kerajaan-Nya sebagai tujuan, akan berusaha untuk mengikuti gaya hidup Tuhan Yesus guna menyukakan hati Bapa. Tidak mungkin seseorang yang menikmati damai sejatera Tuhan tidak memiliki kerinduan untuk serupa dengan Tuhan Yesus. Damai sejahtera itu tidak dapat dinikmati tanpa karakter seperti Tuhan Yesus.
https://overcast.fm/+IqODOrvJo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar