Selasa, 30 Juli 2019

Renungan Harian 27 Juli 2019 LUKISAN ABADI

     Setiap manusia pasti meninggalkan jejak kehidupan. Setipis apa pun jejak itu, pasti ada (Why. 14:13). Bahkan ternyata hewan pun meninggalkan jejak bagi makhluk lain, juga untuk manusia. Kalau seekor ikan membuat seseorang tidak mati kelaparan, sehingga orang itu bisa melanjutkan perjalanan hidupnya dan mengukir sebuah sejarah bagi orang lain, bukankah ikan tersebut ikut berperan? Kalau benda dan hewan bisa mengukir jejak, apalagi manusia. Setiap orang mengukir sejarah kehidupan, pertama tentu sejarah kehidupannya sendiri, selanjutnya kehidupan orang lain. Interaksi antar manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pengaruh/memengaruhi adalah suatu realitas yang pasti terjadi.

     Bagi binatang, mereka tidak perlu mempersoalkan ukiran kehidupan yang dihasilkan, sebab setelah melewati matahari fana di bumi ini, mereka lenyap tiada bekas. Berbeda dengan manusia yang ada dalam perjalanan waktu; waktu di bumi ini dan kekekalan. Semua yang dilakukan dan terjadi dalam kehidupan setiap orang akan memiliki catatan abadi. Untuk ini seseorang harus menghayati realitas kekekalan jiwa manusia (immortality of soul). Berkenaan dengan hal ini kita perlu merenungkan fakta kekekalan energi atau hukum termodinamika yang dirumuskan oleh James Prescoot Joule abad 19, seorang ahli fisika berkebangsaan Inggris. Dalam hukum kekekalan energi mengatakan bahwa energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tapi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan. Energi didefinisikan sebagai kemampuan suatu materi untuk melakukan kegiatan. Suatu benda dapat memiliki energi dalam bentuk energi kinetik dan energi potensial. Suatu benda memiliki energi kinetik apabila ia bergerak (rotasi, vibrasi, bunyi, panas, dan listrik). Adapun energi potensial ada pada suatu benda bila ia ditarik atau didorong oleh benda lain, apabila benda tidak memiliki gaya tarik menarik atau tolak menolak, maka benda tersebut tidak memiliki energi potensial.

     Analogi yang bisa ditarik artinya bertalian dengan hukum energi tersebut adalah di dalam diri setiap insan, Allah memberikan energi yang menggerakkan seluruh keberadaan jasmaniah dan rohaniah kita. Berbeda dengan benda yang membutuhkan intervensi pihak eksternal untuk mengarahkan energinya, manusia memiliki kebebasan mengarahkan energinya dari dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini ada tiga pelajaran yang diperoleh. Pertama, bahwa manusia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan. Kedua, bahwa manusia bisa memengaruhi orang lain. Ketiga, bahwa walaupun hidup seseorang bisa dipengaruhi yang lain, tetapi ia tetap dapat dengan dominan mengarahkan dirinya sendiri. Sebab inti energi ada di dalam dirinya, kecuali bila ia sendiri yang menyerahkan dirinya kepada lingkungan atau faktor eksternal.

     Hewan secerdas bagaimanapun tetaplah seekor hewan, tidak memiliki kesadaran akan kekekalan seperti manusia. Dalam Pengkhotbah 3:11 tertulis: “… Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka…” Kalimat “memberikan kekekalan dalam hati” memiliki arti bahwa Tuhan memberi kesadaran mengenai kekekalan. Tidaklah mengherankan kalau di banyak suku terdapat kepercayaan mengenai keabadian dengan berbagai istilah dan penjelasan. Ritual mereka mengantar orang mati ke “peristirahatan terakhir,” memberi pesan dan kesan yang sangat kuat mengenai keyakinan terhadap kekekalan ini.

     Manusia modern hari ini sangat materialistis. Kesadaran terhadap kekekalan terkikis habis oleh semangat materialisme. Hal ini akan memicu seseorang tidak memedulikan kekekalan. Kalau seseorang tidak memedulikan kekekalan, maka hidupnya menjadi ceroboh. Bagi mereka yang penting bagaimana membuat hidup hari ini berbunga-bunga indah. Mereka tidak pernah memikirkan bahwa kehidupan membuat ukiran abadi. Apa yang dilakukan seseorang di bumi ini membuat goresan abadi. Inilah orang-orang bodoh yang meninggalkan kesan dan pesan buruk sepanjang masa. Sehebat apa pun orang-orang seperti ini di dalam dunia hari ini, mereka akan mengakhirinya dalam kemiskinan abadi bahkan menjadi sampah abadi (Luk. 12:10-21, 16:19-31).

     Orang-orang bodoh yang dilukiskan dalam Injil Lukas tersebut sebenarnya melewatkan hidupnya di bumi seperti mimpi. Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa semua kesenangan yang mereka miliki akan berakhir dan tidak akan pernah dimiliki selamanya. Inilah orang-orang yang “rupanya dipandang hina oleh Tuhan,” yang ketika mati seperti terbangun dalam mimpi (Mzm. 73:20). Kata “rupa” dalam teks aslinya adalah tselem (צֶלֶם). Tselem di sini menunjuk pada komponen-komponen rohaniah dalam diri manusia. Secara pandang mata fisik mereka megah dan indah, tetapi manusia rohaniah atau batiniah mereka rusak. Kalau seseorang mengerti kebenaran ini dan menerimanya, maka setiap hari menjadi hari yang berharga, sebab ia mengerjakan sesuatu yang bersifat kekal. Setiap kali pada pagi hari membuka mata, ia berusaha mendandani manusia batiniahnya dan berusaha melakukan segala sesuatu sebagai pelayanan bagi Tuhan. Dengan demikian membuat lukisan indah yang akan diingat di kekekalan.

https://overcast.fm/+IqOBYH0yo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar