Dalam 1 Yohanes 1:8 tertulis: “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” Dari tulisan ini sangatlah jelas Firman Tuhan mengatakan bahwa jika kita berkata: “Kita tidak berdosa,” maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam diri kita. Maksud ayat ini bukan hanya sekadar agar kita mengaku bahwa kita orang berdosa, memohon pengampunan untuk memperoleh penyucian, kemudian selesai. Inilah yang selalu dilakukan oleh banyak orang Kristen. Tidak sedikit dari mereka yang merasa cukup dengan melakukan hal ini ketika ada dalam gereja. Seakan-akan dosa selama satu minggu bisa diselesaikan dalam waktu beberapa menit, dalam kebaktian di gereja. Segala kesalahan yang dilakukan sepanjang hari tidak dipersoalkan hari itu juga atau saat itu juga, tetapi hanya pada hari Minggu. Itulah sebabnya mereka berkewajiban datang ke gereja pada hari Minggu untuk menyelesaikannya.
Biasanya orang-orang Kristen seperti di atas memandang hari Minggu sebagai hari istimewa, yang dianggap sebagai hari yang lebih suci dari hari yang lain. Jadi bisa dimengerti kalau mereka mengasumsikan bahwa hari Minggu adalah “hari Tuhan.” Padahal Firman Tuhan menyatakan bahwa tidak ada satu hari yang lebih istimewa daripada hari yang lain, karena setiap hari adalah harinya Tuhan. Orang-orang Kristen seperti ini biasanya menjadi orang Kristen hanya pada hari Minggu. Perlu diingat, bahwa Kristen artinya seperti Kristus. Sejatinya, dengan cara hidup orang Kristen seperti itu, mereka bukanlah orang Kristen yang sesungguhnya. Malangnya, mereka tidak menyadari keadaan mereka di hadapan Tuhan, yang suatu hari nanti akan tertolak dari hadapan Tuhan. Kalau gereja tidak menyadarkan jemaat akan keadaan tersebut -tetapi malah meninabobokan dengan liturgi gereja- maka tanpa disadari secara tidak langsung gereja seperti itu menggiring mereka ke dalam kegelapan abadi. Sungguh ironis, tidak sedikit gereja-gereja seperti itu dilayani oleh teolog-teolog yang memiliki kualifikasi akademis yang baik, tetapi jemaat sendiri tidak mengenakan Kekristenan yang sejati sesuai dengan kebenaran Injil.
Tidak jarang pengakuan dosa yang dilakukan secara bersama-sama di gereja hanya sekadar bersifat formalitas, tanpa sungguh-sungguh menyadari dosanya. Dengan demikian dikesankan bahwa dosa bukan sesuatu yang mengerikan. Terkait dengan hal ini, harus dipahami bahwa dosa bukan sekadar pelanggaran moral. Dalam bahasa aslinya, kata “dosa” adalah hamartia, yang artinya luncas atau meleset, atau dengan kalimat lain “tidak mengenai sasaran.” Dosa bukan hanya menyangkut pelanggaran moral umum. Dosa adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan standar kekudusan Theos (Bapa) (1Ptr. 1:16). Standar kekudusan Bapa adalah diri-Nya sendiri, artinya keberadaan moral Bapa sendiri. Itulah sebabnya setiap orang percaya harus memiliki pikiran dan perasaan Kristus, sebab Yesuslah Pribadi yang memiliki moral Bapa.
Sebenarnya banyak dosa yang kita lakukan setiap hari, yang mana hal ini sama artinya dengan mendukakan hati Tuhan terus menerus. Oleh sebab itu sesungguhnya tidak cukup hanya dalam satu kesempatan saja mengucapkan pengakuan dosa tanpa mempersoalkan butir-butir dosa yang dilakukan. Ini sebenarnya sebuah tindakan yang tidak menghormati Tuhan. Sebab setelah mengucapkan pengakuan dosa dan permohonan ampun, sepulang dari gereja perilakunya tetap tidak berubah. Banyak dosa yang terus menerus dilakukan dengan perasaan tidak bersalah. Mereka yang hidup secara demikian bukan saja tidak menghormati Tuhan, tetapi juga melecehkan kekudusan-Nya.
Seharusnya, pengakuan dosa dilakukan setiap kali kita melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Seketika itu juga kita mohon pengampunan Tuhan yang disertai dengan komitmen untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Masalahnya juga adalah apakah kita memiliki kepekaan untuk bisa menyadari bahwa suatu gerak pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan kita tidak berkenan di hadapan Tuhan? Pada umumnya kesadaran mengenai suatu kesalahan hanya pada tindakan yang melanggar hukum atau norma moral secara umum. Padahal banyak gerak pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan kita yang “meleset” dari kesucian Tuhan. Dalam hal ini, kita harus belajar kebenaran Firman Tuhan yang murni, yang membangun kecerdasan roh, yang sama dengan kepekaan atau ketajaman terhadap perilaku kita; apakah sesuai dengan kesucian Tuhan atau tidak.
Perjalanan hidup setiap hari adalah perjalanan hidup untuk mengoreksi diri dan mengalami perubahan, sehingga kita semakin mencapai standar kekudusan yang dikehendaki oleh Tuhan. Kekudusan yang dikehendaki Tuhan bukan sesuatu yang mudah dicapai, harus dipergumulkan sepanjang umur hidup kita, dan memang untuk itulah kita dipanggil dan dipilih (Ef. 1:4-5). Tidak semua orang memiliki panggilan menjadi orang terpilih untuk mendengar Injil yang benar. Bagi kita yang terpilih mendengar Injil, harus mencapai standar yang “ditentukan” yaitu menjadi anak-anak Allah, artinya berkeberadaan sebagai anak-anak Allah yang sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus.
https://overcast.fm/+IqOCwW-BU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar