Selasa, 02 Juli 2019

Renungan Harian 02 Juli 2019 STANDAR KESUCIAN

     Seperti pengakuan Paulus, kalau kebenaran atau kesucian hidup diukur hanya berdasarkan dosa-dosa moral umum yang standarnya adalah hukum Taurat, maka ada orang-orang yang akan berani mengaku bahwa dirinya tidak berdosa (Flp. 3:6-7). Paulus menyatakan bahwa sebelum mengenal Yesus, ditinjau dari hukum Taurat dirinya tidak bercacat. Juga seperti misalnya orang muda kaya dalam Matius 19:16-19 yang mengaku sudah menaati Taurat. Berbeda dengan mereka, keberdosaan orang percaya tidak diukur dari sekadar melanggar hukum Taurat. Kalau memerhatikan standar kesucian umat Perjanjian Baru, dapat diperoleh bahwa ukuran kesucian sekaligus ukuran keberdosaan adalah dengan melakukan kehendak Allah. Inilah prinsip hidup Yesus: “Makanan-Ku melakukan kehendak Allah dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34). Dengan demikian, orang percaya memiliki ukuran moral “hidup seperti Tuhan Yesus hidup” (1Yoh. 2:6), yaitu tidak mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya; yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup (1Yoh. 2:15-16). Oleh sebab itu dosa dalam konteks kehidupan orang percaya tidak boleh dipahami dari hanya sekadar melanggar moral atau melanggar hukum Taurat.

     Orang percaya harus mengakui dosa, artinya mengakui keberadaannya di hadapan Tuhan. Keberadaan di sini dikaitkan dengan standar kesucian seperti yang dijelaskan di atas. Kalau sudah menyadari keberadaan ini, orang percaya harus mengakuinya, mohon pengampunan. Tuhan akan menyucikannya dari segala kejahatan (1Yoh. 1:9). Pengakuan keberdosaan ini bukan hanya menyangkut kesalahan moral atau pelanggaran umum yang telah dilakukan, tetapi keberadaan diri yang belum mencapai kesucian seperti yang Tuhan kehendaki. Kalau seseorang tidak mengaku dirinya berdosa, berarti ia menipu dirinya sendiri. Dalam hal ini keberadaan orang tersebut adalah keadaan meleset (Yun. Hamartia), keadaan yang belum mencapai seperti keadaan yang Tuhan kehendaki.

     Kata “menipu” dalam teks aslinya adalah planao (πλανάω). Kata ini selain menipu atau mengelabui (deceive) juga berarti menyesatkan (lead astray), memberi pengertian yang salah (mislead) dan menyebabkan ngelantur, mengembara atau jalan tiada arah (cause to wander). Ia merasa bahwa dirinya tidak berdosa, padahal keberadaannya jauh dari standar kesucian Tuhan. Itulah sebabnya tidak ada perasaan krisis dalam diri mereka untuk bergumul keluar dari kejahatan (Yun. adikia) tersebut. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran. Kalau mereka mengenal kebenaran, maka mereka akan menyadari keberdosaan mereka. Dengan keadaan ini banyak orang Kristen yang sebenarnya jalan tiada arah. Mereka menyesatkan dirinya sendiri oleh karena kebodohannya.

     Pada akhirnya kehidupan orang percaya adalah kehidupan yang tidak diatur oleh siapa pun kecuali oleh Allah sendiri sebagai Bapa. Hukum Taurat yang diberikan Tuhan hanya menjadi “tutor” sementara, sebab akhirnya tanpa tekanan dan bayang-bayang hukum seseorang bisa memiliki kelakuan -bukan saja tidak melanggar hukum- tetapi hidup sesuai dengan kehendak Allah. Dalam hal ini orang percaya harus memiliki kualitas moral seperti Allah sendiri. Kualitas moral seperti inilah yang sebenarnya Allah Bapa kehendaki untuk dimiliki oleh anak-anak-Nya, dan mereka harus memilikinya. Sebab Tuhan Yesus berkata bahwa kita “harus sempurna.” Dengan demikian menjadi sempurna maksudnya adalah agar orang percaya hidup dalam pengaturan Tuhan sepenuhnya.

     Sebenarnya Allah tidak memformat manusia sejak semula untuk hidup di bawah bayang-bayang hukum (Taurat), itulah sebabnya pada waktu penciptaan, Allah tidak merumuskan hukum untuk dilakukan. Allah merancang manusia untuk berkeberadaan segambar dan serupa dengan diri-Nya. Hal ini berarti Allah memberikan kemampuan moral kepada manusia untuk bisa memahami pikiran dan perasaan-Nya, sehingga segala sesuatu yang dilakukan sesuai dengan keinginan Allah. Jadi, sempurna seperti Bapa artinya segala sesuatu yang dilakukan oleh orang percaya sesuai dengan yang Allah Bapa kehendaki. Dengan demikian, orang percaya yang selalu berjalan dengan Allah untuk belajar melakukan kehendak-Nya secara benar, akan memiliki frekuensi pikiran dan perasaan yang “nyambung” dengan Allah. Sehingga pada akhirnya dengan tanpa paksaan, orang percaya akan selalu berjalan sesuai dengan kehendak Allah, yang sama artinya dengan berjalan seiring dengan Tuhan sendiri.

     Di sini seseorang bisa berdialog dengan Allah. Dialog ini akan semakin terbuka dan intensif, sehingga seseorang bisa tinggal di dalam Dia, artinya dalam persekutuan dengan Bapa seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus (Yoh. 17:20-21). Itulah sebabnya Tuhan menghendaki agar kita memiliki pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Yun. Phroneo). Pikiran dan perasaan inilah yang hampir sama dengan nurani (Yun. Suneidesis). Nurani Yesus seperti inilah yang berkualitas tinggi sehingga segala sesuatu yang dilakukan selalu sesuai dengan kehendak Bapa. Semua orang percaya dipanggil untuk memiliki standar kesucian seperti ini.


https://overcast.fm/+IqODGJHxE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar