Kumpulan dari Khotbah, Seminar dan hal lain yang berhubungan dengan Gereja Rehobot Ministry
Selasa, 30 Juli 2019
Quote Juli #5
Today's Quote:
Orang yang masih berusaha untuk membela nama baiknya adalah orang yang kurang mencari perkenanan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,25 Juli 2019
Today's Quote:
Orang yang bersedia diubahkan oleh Tuhan adalah orang yang layak menerima kemuliaan.
Dr. Erastus Sabdono,
26 Juli 2019
Today's Quote:
Kehidupan bukanlah untaian sandiwara yang alur ceritanya sudah disusun, tetapi sebuah gelanggang perjuangan yang akhir ceritanya tergantung dari setiap keputusan yang kita ambil.
Dr. Erastus Sabdono,
27 Juli 2019
Today's Quote:
Jangan menggeliat hanya karena mau keluar dari kondisi ekstrem, tapi menggeliatlah agar kita dapat keluar dari karakter yang buruk, dari hati yang duniawi, dari pikiran yang tertuju kepada perkara-perkara dunia.
Dr. Erastus Sabdono,
28 Juli 2019
Today's Quote:
Semua yang kita lakukan dalam hidup ini menimbulkan reaksi dan tindakan Allah atas diri kita.
Dr. Erastus Sabdono,
29 Juli 2019
Today's Quote:
Jika kita tidak berani memikul tanggung jawab dengan segala konsekuensinya, jangan menjadi manusia.
Dr. Erastus Sabdono,
30 Juli 2019
Today's Quote:
Pola pikir yang salah merupakan potensi penyesatan yang harus diwaspadai.
Dr. Erastus Sabdono,
31 Juli 2019
Orang yang masih berusaha untuk membela nama baiknya adalah orang yang kurang mencari perkenanan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,25 Juli 2019
Today's Quote:
Orang yang bersedia diubahkan oleh Tuhan adalah orang yang layak menerima kemuliaan.
Dr. Erastus Sabdono,
26 Juli 2019
Today's Quote:
Kehidupan bukanlah untaian sandiwara yang alur ceritanya sudah disusun, tetapi sebuah gelanggang perjuangan yang akhir ceritanya tergantung dari setiap keputusan yang kita ambil.
Dr. Erastus Sabdono,
27 Juli 2019
Today's Quote:
Jangan menggeliat hanya karena mau keluar dari kondisi ekstrem, tapi menggeliatlah agar kita dapat keluar dari karakter yang buruk, dari hati yang duniawi, dari pikiran yang tertuju kepada perkara-perkara dunia.
Dr. Erastus Sabdono,
28 Juli 2019
Today's Quote:
Semua yang kita lakukan dalam hidup ini menimbulkan reaksi dan tindakan Allah atas diri kita.
Dr. Erastus Sabdono,
29 Juli 2019
Today's Quote:
Jika kita tidak berani memikul tanggung jawab dengan segala konsekuensinya, jangan menjadi manusia.
Dr. Erastus Sabdono,
30 Juli 2019
Today's Quote:
Pola pikir yang salah merupakan potensi penyesatan yang harus diwaspadai.
Dr. Erastus Sabdono,
31 Juli 2019
Renungan Harian 31 Juli 2019 PHRONIMOS
Perumpamaan mengenai dasar atau pondasi kehidupan dalam Matius 7:24-27 memberikan beberapa pelajaran yang sangat penting dan berharga. Pertama, hanya ada dua jenis manusia yang mendengar perkataan Tuhan. Yang satu berkategori bijaksana dan yang lain bodoh. Kata “bijaksana” adalah phronimos (φρόνιμος) yang memiliki beberapa pengertian intelligent, wise, prudent, mindful of one’s interests sensible, thoughtful (cerdas, bijak, berhati-hati atau tidak ceroboh, sensitif untuk suatu kepentingan, masuk akal, bijaksana). Kata “bodoh” dalam teks ini adalah moros (μωρός), yang artinya adalah foolish, impious, godless, stupid (bodoh, fasik, murtad, tidak cerdas). Kata moros juga menunjukkan sesuatu yang tidak bergerak atau tidak berkembang. Kata yang sejajar dengan phronimos adalah sophos (σοφός), yang artinya adalah kebijaksanaan (Ef. 5:15).
Kata sophos memiliki keterkaitan dengan kemampuan berpikir hasil dari sebuah perjalanan bersama dengan Tuhan. Kata sophos lebih menunjuk kepada sesuatu yang memiliki unsur keahlian berdasarkan sebuah proses belajar. Kata ini dalam teks Yunani juga berarti skilled, expert, wise, cultivated, learned (terampil, ahli, bijak, dibudidayakan, belajar). Phronimos lebih memiliki unsur adikodrati -walaupun tidak mutlak- yang bertalian dengan kemampuan berpikir atau intelek, tentu juga hasil pimpinan Roh Kudus. Kebalikan kata sophos adalah asophos (ἄσοφος). Tetapi kebalikan dari kata phronimos adalah moros yang memiliki pengertian “tidak berkembang.”
Perkataan Tuhan adalah kebenaran Injil. Kalau seseorang mengerti kebenaran Injil tetapi tidak melakukannya, maka percuma saja apa yang didengarnya. Pada dasarnya apa yang diajarkan Tuhan Yesus adalah cara atau gaya hidup-Nya. Setiap orang yang mendengar kebenaran Injil pasti diberi pengertian lebih jauh dalam dirinya bagaimana mengikuti jejak-Nya. Masalahnya apakah kita bersedia kehilangan hidup kita sendiri untuk mengenakan kehidupan Tuhan Yesus atau tidak. Dalam hal ini dibutuhkan ketekunan yang tinggi.
Orang yang melepaskan diri dari segala miliknya dapat menjadi murid, artinya bisa berkembang (tidak moros) (Luk. 14:33). Pengiringan kita kepada Tuhan Yesus tidak dapat menjadi sambilan. Segenap hidup harus rela dirampas olehnya. Ketika seseorang berusaha mengenakan kebenaran Injil yang didengar -yaitu berusaha sesuai dengan gaya hidup-Nya- maka ia akan menjadi cerdas (phronimos). Hal ini akan dialami seseorang karena pengurapan Tuhan bekerja dalam diri seseorang (1Yoh. 2:27). Dengan hal ini Tuhan Yesus sebagai Guru akan dialami setiap individu. Ia mengajar kepada masing-masing pribadi melalui Roh Kudus.
Seseorang dapat menjadi bijaksana menurut Alkitab (phronimos) adalah sebuah perjalanan panjang yang diajar oleh Roh Kudus. Hal ini tidak bisa diperoleh dengan cepat. Pada suatu saat akan datang pengujian apakah seseorang bijaksana atau tidak. Tuhan Yesus memberi perumpamaan mengenai gadis bodoh dan bijaksana. Kata “bijaksana” dalam teks tersebut adalah phronimos (Mat. 25:2). Hujan, banjir, dan angin bertiup menunjuk kepada pengujian yang pasti akan dialami setiap individu (Yak. 1:12; 1Ptr. 1:6-7). Tuhan Yesus sendiri mengalami pengujian ini yang sama dengan baptisan api (Luk. 12:50; Mrk. 10:38). Demikian pula dunia akan dibawa ke masa pengujian atau yang sama dengan penampian. Yohanes Pembaptis berbicara mengenai penampian ini. Yohanes Pembaptis berbicara kepada orang-orang yang kelihatannya mau menjadi pengikut Tuhan tetapi tidak sungguh-sungguh mau bertobat, bahwa mereka akan ditampi (Mat. 3:7-12). Penampian itu akan membuktikan apakah mereka sungguh-sungguh bertobat atau tidak.
Yohanes Pembaptis mengajak setiap pendengarnya untuk memiliki kehidupan yang berkenan di hadapan Tuhan. Hal ini sejajar dengan spirit Perjanjian Baru yang menuntut orang percaya sungguh-sungguh berkualitas sebagai anak Allah. Status sudah tidak perlu lagi, soal keturunan Abraham secara daging tidak lagi berarti sejak zaman anugerah, yang penting adalah pertobatan yang dibuktikan dengan baptisan air (Rm. 6:1-5). Tuhan akan bertindak tegas kepada setiap orang. Ketegasan Tuhan itu digambarkan oleh Yohanes dengan kampak. Dalam Yohanes 15:1-7, Tuhan Yesus menyatakan bahwa carang yang berbuah dibersihkan untuk lebih banyak berbuah, tetapi carang yang tidak berbuah dikeratnya.
Harus dipersoalkan, apakah kita termasuk carang yang berbuah atau tidak. Supaya kita lolos dari keratan Tuhan Yesus dan yang akan memperlengkapi orang percaya dengan baptisan api. Baptisan api adalah penderitaan karena mengikut Yesus. Hal ini akan terjadi atas setiap orang percaya (Mrk. 9:49). Masa penampian yang Tuhan akan lakukan atas manusia di bumi ini pasti terjadi. Tuhan bagai seorang petani gandum yang membersihkan tempat pengirikan untuk mengumpulkan gandum ke dalam lumbung, tentu debu jeraminya dibuang. Ini berbicara mengenai masa penampian yang sekarang sedang berlangsung. Penampian itu melalui pengaruh dunia yang jahat dan penganiayaan atas orang percaya, apakah orang percaya tetap setia dalam imannya. Dan juga melalui pengajaran sesat dan transfer spirit dari roh jahat melalui berbagai sarana.
https://overcast.fm/+IqOBQVmKo
Kata sophos memiliki keterkaitan dengan kemampuan berpikir hasil dari sebuah perjalanan bersama dengan Tuhan. Kata sophos lebih menunjuk kepada sesuatu yang memiliki unsur keahlian berdasarkan sebuah proses belajar. Kata ini dalam teks Yunani juga berarti skilled, expert, wise, cultivated, learned (terampil, ahli, bijak, dibudidayakan, belajar). Phronimos lebih memiliki unsur adikodrati -walaupun tidak mutlak- yang bertalian dengan kemampuan berpikir atau intelek, tentu juga hasil pimpinan Roh Kudus. Kebalikan kata sophos adalah asophos (ἄσοφος). Tetapi kebalikan dari kata phronimos adalah moros yang memiliki pengertian “tidak berkembang.”
Perkataan Tuhan adalah kebenaran Injil. Kalau seseorang mengerti kebenaran Injil tetapi tidak melakukannya, maka percuma saja apa yang didengarnya. Pada dasarnya apa yang diajarkan Tuhan Yesus adalah cara atau gaya hidup-Nya. Setiap orang yang mendengar kebenaran Injil pasti diberi pengertian lebih jauh dalam dirinya bagaimana mengikuti jejak-Nya. Masalahnya apakah kita bersedia kehilangan hidup kita sendiri untuk mengenakan kehidupan Tuhan Yesus atau tidak. Dalam hal ini dibutuhkan ketekunan yang tinggi.
Orang yang melepaskan diri dari segala miliknya dapat menjadi murid, artinya bisa berkembang (tidak moros) (Luk. 14:33). Pengiringan kita kepada Tuhan Yesus tidak dapat menjadi sambilan. Segenap hidup harus rela dirampas olehnya. Ketika seseorang berusaha mengenakan kebenaran Injil yang didengar -yaitu berusaha sesuai dengan gaya hidup-Nya- maka ia akan menjadi cerdas (phronimos). Hal ini akan dialami seseorang karena pengurapan Tuhan bekerja dalam diri seseorang (1Yoh. 2:27). Dengan hal ini Tuhan Yesus sebagai Guru akan dialami setiap individu. Ia mengajar kepada masing-masing pribadi melalui Roh Kudus.
Seseorang dapat menjadi bijaksana menurut Alkitab (phronimos) adalah sebuah perjalanan panjang yang diajar oleh Roh Kudus. Hal ini tidak bisa diperoleh dengan cepat. Pada suatu saat akan datang pengujian apakah seseorang bijaksana atau tidak. Tuhan Yesus memberi perumpamaan mengenai gadis bodoh dan bijaksana. Kata “bijaksana” dalam teks tersebut adalah phronimos (Mat. 25:2). Hujan, banjir, dan angin bertiup menunjuk kepada pengujian yang pasti akan dialami setiap individu (Yak. 1:12; 1Ptr. 1:6-7). Tuhan Yesus sendiri mengalami pengujian ini yang sama dengan baptisan api (Luk. 12:50; Mrk. 10:38). Demikian pula dunia akan dibawa ke masa pengujian atau yang sama dengan penampian. Yohanes Pembaptis berbicara mengenai penampian ini. Yohanes Pembaptis berbicara kepada orang-orang yang kelihatannya mau menjadi pengikut Tuhan tetapi tidak sungguh-sungguh mau bertobat, bahwa mereka akan ditampi (Mat. 3:7-12). Penampian itu akan membuktikan apakah mereka sungguh-sungguh bertobat atau tidak.
Yohanes Pembaptis mengajak setiap pendengarnya untuk memiliki kehidupan yang berkenan di hadapan Tuhan. Hal ini sejajar dengan spirit Perjanjian Baru yang menuntut orang percaya sungguh-sungguh berkualitas sebagai anak Allah. Status sudah tidak perlu lagi, soal keturunan Abraham secara daging tidak lagi berarti sejak zaman anugerah, yang penting adalah pertobatan yang dibuktikan dengan baptisan air (Rm. 6:1-5). Tuhan akan bertindak tegas kepada setiap orang. Ketegasan Tuhan itu digambarkan oleh Yohanes dengan kampak. Dalam Yohanes 15:1-7, Tuhan Yesus menyatakan bahwa carang yang berbuah dibersihkan untuk lebih banyak berbuah, tetapi carang yang tidak berbuah dikeratnya.
Harus dipersoalkan, apakah kita termasuk carang yang berbuah atau tidak. Supaya kita lolos dari keratan Tuhan Yesus dan yang akan memperlengkapi orang percaya dengan baptisan api. Baptisan api adalah penderitaan karena mengikut Yesus. Hal ini akan terjadi atas setiap orang percaya (Mrk. 9:49). Masa penampian yang Tuhan akan lakukan atas manusia di bumi ini pasti terjadi. Tuhan bagai seorang petani gandum yang membersihkan tempat pengirikan untuk mengumpulkan gandum ke dalam lumbung, tentu debu jeraminya dibuang. Ini berbicara mengenai masa penampian yang sekarang sedang berlangsung. Penampian itu melalui pengaruh dunia yang jahat dan penganiayaan atas orang percaya, apakah orang percaya tetap setia dalam imannya. Dan juga melalui pengajaran sesat dan transfer spirit dari roh jahat melalui berbagai sarana.
https://overcast.fm/+IqOBQVmKo
Renungan Harian 30 Juli 2019 SEBAGAI MAKHLUK KEKAL
Banyak manusia yang tidak menghayati dirinya sebagai makhluk kekal, sehingga tanpa sadar merendahkan martabatnya sendiri. Ia akan menilai dirinya dan orang lain dengan ukuran duniawi, yaitu dengan ukuran harta dan kehormatan manusia. Pada hakikatnya orang-orang seperti ini menjadikan dirinya sendiri bernilai rendah, tidak berbeda jauh dari benda mati yang fana atau hewan. Penghargaannya terhadap harta dunia dan kehormatan manusia begitu tingginya sampai ia tidak pernah bisa melayani Tuhan dengan benar. Tidak mungkin orang-orang seperti ini menghargai Tuhan secara pantas, sebab kalau penghargaannya terhadap dunia sudah meleset, maka penghargaan terhadap Tuhan pun juga meleset. Dalam hal ini dibutuhkan kebenaran Firman Tuhan yang mencelikkan mata pengertian seseorang agar mengerti dan dapat menghayati secara penuh keberadaannya sebagai makhluk kekal ini. Orang-orang seperti ini juga tidak akan menghargai manusia lain secara utuh dengan cara pandang yang benar.
Dalam banyak kesempatan Tuhan Yesus sebenarnya menyadarkan pendengar-Nya terhadap realitas ini, misalnya bahwa manusia tidak hidup dari roti saja, agar manusia mengumpulkan harta di surga, panggilan mendahulukan Kerajaan Surga, harus lebih takut kepada Bapa yang dapat membuang jiwa ke neraka, dan lain sebagainya. Juga ketika Yesus berkata, apa gunanya seseorang beroleh dunia ini kalau membinasakan jiwanya; Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki cara berpikir orang-orang yang berasal dari atas. Setiap kali Tuhan Yesus berbicara mengenai Kerajaan Allah, manusia diingatkan untuk masuk ke dalam pemerintahan Allah yang abadi.
Paulus pun menekankan hal ini dalam semua tulisannya (2Kor. 4:16-18; 2Kor. 5:1-10; Flp. 3:7-20; Kol. 3:1-4; dan lain sebagainya). Sebenarnya seluruh teks dalam Perjanjian Baru, baik yang diajarkan oleh Tuhan Yesus maupun yang ditulis oleh rasul-rasul mengarahkan orang percaya kepada kesadaran ini. Kalau pelayanan tidak membuat orang menghayati bahwa dirinya adalah makhluk kekal yang berasal dari atas, berarti pelayanan itu gagal. Orang Kristen seperti itu belumlah masuk ke dalam keselamatan yang dibawa oleh Tuhan Yesus. Sebab pikiran mereka masih tertuju kepada perkara-perkara duniawi, sehingga kehidupan di dunia hari ini adalah kehidupan yang dinikmati secara salah. Kenikmatannya akan membuat seseorang semakin tidak dapat menghayati bahwa dirinya adalah makhluk kekal. Sampai pada level tertentu, orang tersebut akan berhasil dituai Iblis menjadi mempelainya.
Kegagalan banyak manusia -di dalamnya termasuk orang Kristen- adalah tidak menghayati dirinya sebagai makhluk kekal. Dalam kehidupan banyak orang Kristen, irama hidup yang dimiliki sudah terlanjur seirama dengan anak-anak dunia yang buta terhadap realitas ini. Sehingga sulit sekali menyadarkan orang yang mata hatinya sudah tertutup terhadap kebenaran siapa sesungguhnya dirinya itu. Cara hidup yang salah itu sudah kuat mengakar dalam diri banyak orang. Sehingga yang mereka kejar adalah apa yang dapat disediakan dan diberikan oleh dunia hari ini, tetapi orang yang menghayati bahwa dirinya adalah makhluk kekal akan berusaha meraih apa yang lebih dari kehidupan ini. Yang lebih dari kehidupan ini adalah Tuhan dan Kerajaan-Nya. Dengan demikian sebagai dampaknya, pertama, ia akan berusaha untuk tidak terikat dengan kekayaan dunia. Kedua, ia berusaha untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Ia akan lebih mudah meninggalkan dosa. Ketiga, ia akan berusaha semaksimal mungkin melayani Tuhan untuk membawa orang lain ke langit baru dan bumi yang baru.
Hidup yang sesungguhnya adalah nanti di dunia yang akan datang. Ini berbeda dengan cara berpikir dan gaya hidup orang yang memandang bahwa hidup yang sesungguhnya adalah nanti. Hidup sekarang ini hanyalah persiapan untuk memasuki kehidupan nanti. Oleh sebab itu orang yang mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang tidak akan mempersoalkan hal-hal duniawi yang bertujuan untuk nilai diri. Dalam hal ini seseorang harus mengambil keputusan untuk memilih. Memilih Kerajaan Tuhan atau kerajaannya sendiri yang akhirnya ada di bawah koordinasi setan. Berkenaan dengan hal ini kita bisa mengerti saat Paulus mengatakan “bahwa dirinya tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2Kor. 4:18).
Paulus memiliki tiga ciri di atas, orang yang menghayati bahwa dirinya adalah makhluk kekal yaitu tidak terikat keindahan dunia, berusaha hidup berkenan kepada Tuhan dan melayani Dia tanpa batas. Jika seseorang menghayati dirinya sebagai makhluk kekal, maka ia akan memiliki penampilan yang sangat berbeda dengan mereka yang fokusnya masih pemenuhan kebutuhan jasmani. Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang yang berasal dari bumi akan berkata-kata dalam bahasa bumi (Yoh. 3:31); bahwa orang-orang yang belum menyadari dirinya adalah makhluk kekal tidak akan bisa berkata-kata mengenai kekekalan.
https://overcast.fm/+IqOD4KzhA
Dalam banyak kesempatan Tuhan Yesus sebenarnya menyadarkan pendengar-Nya terhadap realitas ini, misalnya bahwa manusia tidak hidup dari roti saja, agar manusia mengumpulkan harta di surga, panggilan mendahulukan Kerajaan Surga, harus lebih takut kepada Bapa yang dapat membuang jiwa ke neraka, dan lain sebagainya. Juga ketika Yesus berkata, apa gunanya seseorang beroleh dunia ini kalau membinasakan jiwanya; Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki cara berpikir orang-orang yang berasal dari atas. Setiap kali Tuhan Yesus berbicara mengenai Kerajaan Allah, manusia diingatkan untuk masuk ke dalam pemerintahan Allah yang abadi.
Paulus pun menekankan hal ini dalam semua tulisannya (2Kor. 4:16-18; 2Kor. 5:1-10; Flp. 3:7-20; Kol. 3:1-4; dan lain sebagainya). Sebenarnya seluruh teks dalam Perjanjian Baru, baik yang diajarkan oleh Tuhan Yesus maupun yang ditulis oleh rasul-rasul mengarahkan orang percaya kepada kesadaran ini. Kalau pelayanan tidak membuat orang menghayati bahwa dirinya adalah makhluk kekal yang berasal dari atas, berarti pelayanan itu gagal. Orang Kristen seperti itu belumlah masuk ke dalam keselamatan yang dibawa oleh Tuhan Yesus. Sebab pikiran mereka masih tertuju kepada perkara-perkara duniawi, sehingga kehidupan di dunia hari ini adalah kehidupan yang dinikmati secara salah. Kenikmatannya akan membuat seseorang semakin tidak dapat menghayati bahwa dirinya adalah makhluk kekal. Sampai pada level tertentu, orang tersebut akan berhasil dituai Iblis menjadi mempelainya.
Kegagalan banyak manusia -di dalamnya termasuk orang Kristen- adalah tidak menghayati dirinya sebagai makhluk kekal. Dalam kehidupan banyak orang Kristen, irama hidup yang dimiliki sudah terlanjur seirama dengan anak-anak dunia yang buta terhadap realitas ini. Sehingga sulit sekali menyadarkan orang yang mata hatinya sudah tertutup terhadap kebenaran siapa sesungguhnya dirinya itu. Cara hidup yang salah itu sudah kuat mengakar dalam diri banyak orang. Sehingga yang mereka kejar adalah apa yang dapat disediakan dan diberikan oleh dunia hari ini, tetapi orang yang menghayati bahwa dirinya adalah makhluk kekal akan berusaha meraih apa yang lebih dari kehidupan ini. Yang lebih dari kehidupan ini adalah Tuhan dan Kerajaan-Nya. Dengan demikian sebagai dampaknya, pertama, ia akan berusaha untuk tidak terikat dengan kekayaan dunia. Kedua, ia berusaha untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Ia akan lebih mudah meninggalkan dosa. Ketiga, ia akan berusaha semaksimal mungkin melayani Tuhan untuk membawa orang lain ke langit baru dan bumi yang baru.
Hidup yang sesungguhnya adalah nanti di dunia yang akan datang. Ini berbeda dengan cara berpikir dan gaya hidup orang yang memandang bahwa hidup yang sesungguhnya adalah nanti. Hidup sekarang ini hanyalah persiapan untuk memasuki kehidupan nanti. Oleh sebab itu orang yang mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang tidak akan mempersoalkan hal-hal duniawi yang bertujuan untuk nilai diri. Dalam hal ini seseorang harus mengambil keputusan untuk memilih. Memilih Kerajaan Tuhan atau kerajaannya sendiri yang akhirnya ada di bawah koordinasi setan. Berkenaan dengan hal ini kita bisa mengerti saat Paulus mengatakan “bahwa dirinya tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2Kor. 4:18).
Paulus memiliki tiga ciri di atas, orang yang menghayati bahwa dirinya adalah makhluk kekal yaitu tidak terikat keindahan dunia, berusaha hidup berkenan kepada Tuhan dan melayani Dia tanpa batas. Jika seseorang menghayati dirinya sebagai makhluk kekal, maka ia akan memiliki penampilan yang sangat berbeda dengan mereka yang fokusnya masih pemenuhan kebutuhan jasmani. Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang yang berasal dari bumi akan berkata-kata dalam bahasa bumi (Yoh. 3:31); bahwa orang-orang yang belum menyadari dirinya adalah makhluk kekal tidak akan bisa berkata-kata mengenai kekekalan.
https://overcast.fm/+IqOD4KzhA
Renungan Harian 29 Juli 2019 PHILOS ATAU HETAIROS
Kegiatan hidup mengumpulkan harta di surga harus mencengkeram hidup seseorang, sehingga tidak ada tujuan lain yang menjadi wilayah hidupnya. Wilayah hidupnya adalah Kerajaan Surga. Dia akan berjuang bagaimana menghadirkan pemerintahan Allah dalam hidupnya. Tentu saja sukacita hidupnya tidak lagi tertumpu pada hal apa pun selain Tuhan. Keindahan dunia menjadi benar-benar pudar. Dengan memiliki langkah hidup seperti ini, Tuhan akan membuka pikirannya untuk mengenali kekayaan Kerajaan Surga. Hal ini tidak dapat diberikan kepada sembarang orang. Mutiara bukan untuk babi. Bisa dimengerti kalau ada orang yang tidak menghargai keselamatan dan Kerajaan Surga dalam hidupnya. Mereka belum bisa barter seperti perumpamaan peladang yang menemukan harta yang terpendam di ladangnya (Mat. 13:44).
Paulus adalah contoh manusia yang menemukan kekayaan dalam Kristus yang oleh karena-Nya ia rela melepaskan semuanya dan menganggapnya sampah supaya memperoleh Kristus (Flp. 3:8). Ia harus melepaskan semuanya, barulah memperoleh Kristus. Kalau Paulus tidak melepaskan semua kebesarannya, ia tidak akan memperoleh Kristus. Banyak orang tidak berani bertindak seperti Paulus ini, sehingga tidak pernah menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidupnya. Orang yang menghadirkan Kerajaan Surga dalam hidupnya akan bekerja keras menghargai hidup dan mengembangkan potensi yang diberikan Tuhan. Sebab di surga pun kita akan mengembangkan semua potensi yang Tuhan berikan dan mengelola langit baru dan bumi baru yang sempurna, yang Tuhan berikan. Melakukan segala kegiatan hidup hari ini adalah ibadah kepada Tuhan, maka segala sesuatu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan profesional. Dalam hal ini orang malas adalah orang yang tidak mungkin dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus. Sama dengan orang rajin tetapi tidak mempersembahkan prestasi hidupnya bagi Kerajaan Allah.
Orang yang menghadirkan Kerajaan Allah akan berusaha meraih setinggi-tingginya prestasi dalam hidup di dunia ini dalam bidang yang digelutinya untuk dipersembahkan bagi Tuhan. Inilah kehidupan yang mempermuliakan Tuhan dalam segala hal yang dilakukan (1Kor. 10:31). Inilah kehidupan yang menggelar isi Doa Bapa Kami, “dipermuliakanlah nama-Mu.” Orang yang menghadirkan suasana surga adalah orang yang mencintai “tanah airnya.” Orang-orang ini akan menjadi pejabat-pejabat tinggi dalam Kerajaan Surga nanti. Mereka adalah pengawal-pengawal kerajaan atau yang sama dengan imamat yang rajani. Salah satu terjemahan Bahasa Inggris menerjemahkan “imamat yang rajani” dengan musketeer (pengawal). Hal ini seperti imam-imam dalam Perjanjian Lama yang mengawal pekerjaan Allah di Bait Allah.
Pernahkah Saudara merenungkan kenyataan bahwa pada suatu hari nanti kita akan sendiri tanpa siapa pun dan apa pun? Sekarang ini, ketika banyak orang ada di sekitar kita, kita tidak memikirkan hal itu sama sekali. Setiap saat ketika menginginkan siapa pun untuk menemani kita, mereka bisa datang. Apalagi kita yang memiliki kekuasaan dan kekayaan, kita bisa menghadirkan siapa pun untuk mendampingi. Tetapi suatu saat kita akan dipisahkan dengan semua orang, dan tidak seorang pun bisa menemani. Tidak seorang pun bisa menghindarkan diri kenyataan ini.
Sungguh-sungguh suatu kecerobohan, kalau seseorang tidak mengumpulkan harta di surga. Binatang tidak perlu memikirkan hal tersebut, sebab mereka makhluk yang tidak memiliki kelanjutan di keabadian. Berbeda dengan manusia yang akan memasuki lembah bayang-bayang maut. Tidak sedikit orang Kristen yang ketakutan ketika ada di ujung maut. Itulah sebabnya pelayanan gereja harus serius memperkarakan hal ini. Di pihak lain, jemaat Tuhan harus serius mau mendengar, menangkap pesan ini dan memperkarakannya di dalam hidupnya. Harus diusahakan sebelum seseorang memasuki lembah akhir hayat tersebut, ia sudah sungguh-sungguh bersahabat dengan Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan: “Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi” (Luk. 16:9). Perlu kita perhatikan kata “persahabatan” dalam ayat ini, yaitu philos atau filos (φίλος), bukan teman (hetairos; ἑταῖρος).
Kata hetairos adalah kata yang digunakan Tuhan Yesus untuk menyapa Yudas di Taman Getsemani ketika mengkhianati diri-Nya (Mat. 26:50). Berkenaan dengan ini, banyak orang Kristen yang merasa sudah bersahabat dengan Tuhan padahal barulah berteman. Mereka memang tidak berteman dengan setan melalui dukun, tetapi mereka hanya berteman dengan Tuhan melalui gereja dan pendeta. Jemaat datang ke gereja diajar untuk berteman dengan Tuhan, yaitu bagaimana memanfaatkan Tuhan untuk segala persoalan dan kebutuhan yang berkenaan dengan pemenuhan jasmani dan ambisi serta cita-cita manusia. Tetapi mereka tidak diajar untuk menjadikan Tuhan sebagai sahabat. Dengan cara ini mereka sebenarnya bersikap tidak pantas terhadap Tuhan.
https://overcast.fm/+IqOAwft2E
Paulus adalah contoh manusia yang menemukan kekayaan dalam Kristus yang oleh karena-Nya ia rela melepaskan semuanya dan menganggapnya sampah supaya memperoleh Kristus (Flp. 3:8). Ia harus melepaskan semuanya, barulah memperoleh Kristus. Kalau Paulus tidak melepaskan semua kebesarannya, ia tidak akan memperoleh Kristus. Banyak orang tidak berani bertindak seperti Paulus ini, sehingga tidak pernah menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidupnya. Orang yang menghadirkan Kerajaan Surga dalam hidupnya akan bekerja keras menghargai hidup dan mengembangkan potensi yang diberikan Tuhan. Sebab di surga pun kita akan mengembangkan semua potensi yang Tuhan berikan dan mengelola langit baru dan bumi baru yang sempurna, yang Tuhan berikan. Melakukan segala kegiatan hidup hari ini adalah ibadah kepada Tuhan, maka segala sesuatu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan profesional. Dalam hal ini orang malas adalah orang yang tidak mungkin dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus. Sama dengan orang rajin tetapi tidak mempersembahkan prestasi hidupnya bagi Kerajaan Allah.
Orang yang menghadirkan Kerajaan Allah akan berusaha meraih setinggi-tingginya prestasi dalam hidup di dunia ini dalam bidang yang digelutinya untuk dipersembahkan bagi Tuhan. Inilah kehidupan yang mempermuliakan Tuhan dalam segala hal yang dilakukan (1Kor. 10:31). Inilah kehidupan yang menggelar isi Doa Bapa Kami, “dipermuliakanlah nama-Mu.” Orang yang menghadirkan suasana surga adalah orang yang mencintai “tanah airnya.” Orang-orang ini akan menjadi pejabat-pejabat tinggi dalam Kerajaan Surga nanti. Mereka adalah pengawal-pengawal kerajaan atau yang sama dengan imamat yang rajani. Salah satu terjemahan Bahasa Inggris menerjemahkan “imamat yang rajani” dengan musketeer (pengawal). Hal ini seperti imam-imam dalam Perjanjian Lama yang mengawal pekerjaan Allah di Bait Allah.
Pernahkah Saudara merenungkan kenyataan bahwa pada suatu hari nanti kita akan sendiri tanpa siapa pun dan apa pun? Sekarang ini, ketika banyak orang ada di sekitar kita, kita tidak memikirkan hal itu sama sekali. Setiap saat ketika menginginkan siapa pun untuk menemani kita, mereka bisa datang. Apalagi kita yang memiliki kekuasaan dan kekayaan, kita bisa menghadirkan siapa pun untuk mendampingi. Tetapi suatu saat kita akan dipisahkan dengan semua orang, dan tidak seorang pun bisa menemani. Tidak seorang pun bisa menghindarkan diri kenyataan ini.
Sungguh-sungguh suatu kecerobohan, kalau seseorang tidak mengumpulkan harta di surga. Binatang tidak perlu memikirkan hal tersebut, sebab mereka makhluk yang tidak memiliki kelanjutan di keabadian. Berbeda dengan manusia yang akan memasuki lembah bayang-bayang maut. Tidak sedikit orang Kristen yang ketakutan ketika ada di ujung maut. Itulah sebabnya pelayanan gereja harus serius memperkarakan hal ini. Di pihak lain, jemaat Tuhan harus serius mau mendengar, menangkap pesan ini dan memperkarakannya di dalam hidupnya. Harus diusahakan sebelum seseorang memasuki lembah akhir hayat tersebut, ia sudah sungguh-sungguh bersahabat dengan Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan: “Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi” (Luk. 16:9). Perlu kita perhatikan kata “persahabatan” dalam ayat ini, yaitu philos atau filos (φίλος), bukan teman (hetairos; ἑταῖρος).
Kata hetairos adalah kata yang digunakan Tuhan Yesus untuk menyapa Yudas di Taman Getsemani ketika mengkhianati diri-Nya (Mat. 26:50). Berkenaan dengan ini, banyak orang Kristen yang merasa sudah bersahabat dengan Tuhan padahal barulah berteman. Mereka memang tidak berteman dengan setan melalui dukun, tetapi mereka hanya berteman dengan Tuhan melalui gereja dan pendeta. Jemaat datang ke gereja diajar untuk berteman dengan Tuhan, yaitu bagaimana memanfaatkan Tuhan untuk segala persoalan dan kebutuhan yang berkenaan dengan pemenuhan jasmani dan ambisi serta cita-cita manusia. Tetapi mereka tidak diajar untuk menjadikan Tuhan sebagai sahabat. Dengan cara ini mereka sebenarnya bersikap tidak pantas terhadap Tuhan.
https://overcast.fm/+IqOAwft2E
( Sunday Bible Teaching ) SBT, 21 Juli 2019 Pdt.Dr. Erastus Sabdono
Bagaimanapun manusia harus terikat oleh Allah.
Sebab manusia itu anak Allah.
Roh manusia itu berasal dari Allah, bukan Roh Allah atau Roh Kudus, Yakobus 4 : 5
Dengan cemburu artinya : Bapa merasa berhak agar roh manusia kembali ke pemiliknya.
Ibrani 12 : 9
Karena Bapa itu Bapa segala roh.
Roh manusia juga keluar dari Bapa.
Dialah asal segala sesuatu.
Dialah sumber segala hikmat, berkat, dan kebijaksanaan dan dari padanya juga keluar roh yang ditaruh dalam diri manusia menjadi roh manusia.
Idealnya adalah manusia menjadi bagian dari hidup Allah yang adalah Bapanya.
Keterpisahan dari Allah karena manusia tidak mencapai standar moral Allah.
Kejatuhan manusia dalam dosa sehingga manusia tidak memiliki kemuliaan Allah.
Itu menempatkan manusia tidak bisa menjadi bagian dari Allah yang adalah Bapanya.
Tetapi keselamatan Yesus Kristus memberi akses atau kesempatan untuk itu.
Yohanes 17 : 20
Doa Tuhan Yesus Aku dalam engkau, engkau dalam Aku, dan mereka di dalam kita.
Ini satu dimensi hidup yang luar biasa, yang tidak dimengerti oleh orang - orang di luar gereja
Bagaimana manusia mrnjadi bagian hidup Allah yang disembah.
Dalam kalangan orang Kristen, ini tidak dipahami dan dimengerti.
Bukan satu organisasi, tetapi menjadi satu di atas dasar iman yang benar.
Gereja yang tidak kelihatan itu menunjuk individu, di segala tempat.
Selalu saja ada orang - orang yang memiliki kehidupan yang dikehendaki Tuhan, orang yamg mengalami perubahan kodrat, orang yang mengalami kelahiran baru,
Orang - orang inilah bagian dari gereja yang tidak kelihatan itu.
Yang nanti pada akhir aman akan diketahui.
Kalau kita melihat individu melakukan kesalahan jangan disalahkan agamanya.
Karena Keagamaan itu sifatnya individu.
Gereja ⛪ harus membawa orang ke dalam gereja yang tidak kelihatan itu.
Yang utama dalam suatu gereja adalah pembaharuan pikiran dan perubahan kodrat.
Ibrani 12 : 10
Dengan kehidupan kita yang mengambil bagian kekudusan Bapa.
Kita bisa memiliki hubungan eksklusif relasi antara anak dan Bapa.
Jangan mengecilkan pengertian Anak Allah bagi kita.
Anak sebuah hubungan yang mestinya eksklusif.
Allah Anak Tuhan Yesus tampil mewakili Bapa di Surga menjadi kekasih bagi manusia.
Dan orang yang membangun relasi dengan Tuhan Yesus sebagai kekasihnya akan dibawa Tuhan Yesus juga membangun relasi yang eksklusif dengan Bapa.
Orang yang tidak membangun hubungan atau relasi dengan Tuhan Yesus sejak di bumi 🌎 ini tidak akan memiliki hubungan eksklusif dengan Tuhan Yesus selamanya.
Alkitab berkata tidak memiliki Anak tidak memiliki Bapa.
Itulah sebabnya kita umat pilihan benar - benar tergantung kepada Tuhan dan terikat dengan Dia dalam ikatan yang kuat.
Yesus yang berjanji kepada kita sampai kesudahan jaman harus menjadi pribadi yang hidup yang kita alami.
Untuk itu kita harus berani berprinsip :
" Aku tidak mengingini apapun dan siapapun, aku hanya mengingini Engkau... Tuhan ".
Dan Tuhan pasti tahu kita menginginkan Dia.
Oleh sebab itu kita harus berani menanggalkan keinginan, kerinduan, passion kita apapun dan siapapun.
Passion kita Tuhan.
Beban kita untuk memiliki sesuatu, Dia pribadinya.
Allah tidak menghendaki Roh dari padaNya terbawa napsu daging sehingga terseret ke api kekal.
Yakobus 4 : 5
Orang yang belum dewasa rohani selalu minta tolong terus kepada Tuhan, karena tidak menyadari dirinya milik Tuhan.
Beda dengan orang yang sudah dewasa rohani, dia akan kerja keras, tanggung jawabnya, dia tidak perlu minta karena tahu Bapa akan mempercayakan kepadanya sesuai kapasitas yang dia miliki.
Kita ini istimewa dalam segala hal Allah turut bekerja.
Setiap orang memiliki kurikulum untuk didewasakan.
Lewat pengalaman hidup kita dapat merasakan lawatan Tuhan, sehingga kita bisa punya hubungan intim dengan Tuhan.
Setelah kita dewasa Tuhan mempercayakan kita pekerjaanNya.
Setiap kita pasti memiliki tugas dari Bapa yang spesifik.
Berjuanglah untuk Tuhan.
Temukan bagian yang harus kita penuhi untuk Tuhan.
Kita bagian dari Bapa dan Tuhan, sehingga Tuhan ingin memiliki hubungan yang eksklusif dengan kita.
Kalau kita tidak haus akan Dia, maka kita tidak akan perdulikan hal itu.
Yakobus 4 : 1 - 3
Ini ciri hidup orang yang gratis, dia merasa berhak memiliki keinginan, dia merasa memiliki hasrat suka - suka sendiri.
Kita punya keinginan dan hasrat, tapi jangan suka - suka sendiri.
Hasrat kita arahkan ke Tuhan.
Di dunia yang rusak ini, memiliki keinginan berbahaya, kecuali melakukan kehendak Bapa.
Ketika seseorang dapat dibahagiakan dunia ini, dia merasa memiliki segala sesuatu.
Sesuatu yang membahagiakan hidupmu itu kepadanya engkau mengarahkan, kepadanya engkau mengabdi.
Dan ketika terikat sesuatu yang bukan Allah pasti itu pengkhianatan.
Jadi kalau sekarang kita mengumbar keinginan itu bahaya.
Dunia yang jahat ini, bumi yang terkutuk ini berbahaya.
Keinginan kita harus melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaanNya.
Nanti di langit dan bumi yang baru baru kita boleh mengumbar semua keinginan dengan semua fasilitasnya.
Manusia yang memberontak tidak layak menikmati ciptaan yang sempurna.
Terkutuknya bumi ini menjadi solusi kebaikan Tuhan.
Seperti kematian itu kebaikan Tuhan.
Manusia diberhentikan dulu supaya ada kebangkitan.
Manusia sudah banyak keinginan dan liar, maka harus menyangkal diri.
Apapun yang kita lakukan semua harus untuk Tuhan.
Tuhan lebih mengenal kita daripada kita mengenal Dia
Sekarang kita masih punya harga diri, dan merasa terhormat.
Membangun relasi hubungan dengan Tuhan
harganya segenap hidup.
Tuhan yang baik tidak akan membahagiakan kita dengan diriNya.
Yakobus 4 : 5
Bahasa Kekristenan hubungan Bapa dan Anak
Tuhan menuntut hidup kita sepenuhnya bagi Dia, sebab kita milikNya.
Hidup ini tidak gratis
Jangan sampai roh kita terseret oleh dunia.
Yakobus 4 : 1 - 4
Ini ciri orang yang merasa hidup ini gratis.
Hasrat kita harus kita tujukan kepada Tuhan.
Ketika seseorang bisa dibahagiakan dunia ini, maka dia terikat dunia.
Menyangkal diri artinya : tidak melakukan apa yang tidak dikenan Tuhan.
Tuhan ingin mewarnai jiwa kita, bukan diwarnai dunia.
Karena Tuhan ingin roh kita kembali kepada Bapa.
Keinginan - keinginan mewarnai kita.
Kalau keinginan kita Tuhan diwarnai Tuhan.
Kalau keinginan kita yang lain diwarnai dunia 🌎
Ini tergantung kita, Tuhan menunggu, karena kebebasan kita itu diri sendiri.
Tuhan memberikan fasilitas untuk bisa memerdekaan diri.
Kita harus menjadi bagian dari Bapa.
JBU 🌷
Renungan Harian 28 Juli 2019 BERSAHABAT DENGAN TUHAN
Bersahabat dengan Tuhan sebenarnya sama artinya dengan menempatkan diri dengan benar di hadapan Tuhan atau menempatkan Tuhan di tempat terhormat di dalam hidup ini. Hal ini tidak dapat terjadi kalau seseorang sudah terlanjur menempatkan “yang lain” di tempat terhormatnya. Yang dimaksud dengan “yang lain” di sini adalah segala hal yang bisa berupa kekayaan dunia ini, manusia yang dicintai lebih dari Tuhan, dan lain sebagainya. “Yang lain” ini bisa diistilahkan sebagai dunia dengan segala yang ada di dalamnya. Bagaimana kita tahu bahwa masih ada “yang lain” dalam hidup seseorang? Hal ini bisa dibuktikan dengan cara ini: Kalau demi sesuatu, seseorang bisa melakukan apa pun tanpa batas, tetapi kalau untuk Tuhan tidak, berarti Tuhan hanya menjadi teman (hetairos). Dalam hal ini Tuhan hanya menjadi alat atau sarana untuk meraih segala sesuatu yang diinginkan.
Banyak gereja yang bertindak sebagai “broker” (makelar) melalui “oknum pendeta” agar tangan Tuhan bisa diulurkan melakukan apa yang dibutuhkan oleh umat. Padahal kalau umat menjadikan Tuhan sebagai sahabat, tanpa perantara siapa pun umat dapat berurusan langsung dengan Tuhan dan Tuhan berkenan terlibat dalam segala persoalan sahabat-sahabat-Nya. Tidak sedikit gereja yang tidak mengajar dan menasihati serta membimbing umat untuk menjadikan Tuhan sebagai sahabat. Seharusnya menjadi masalah utama dalam kehidupan umat yang harus digumuli pelayanan gereja adalah bagaimana umat mengenal Tuhan dengan benar. Umat harus belajar untuk menempatkan diri secara benar di hadapan-Nya dan menempatkan Tuhan secara terhormat di dalam kehidupannya. Inilah fokus penggembalaan yang benar. Di lain pihak umat Tuhan harus menyediakan diri (waktu, tenaga, dan segala sesuatu) untuk dimuridkan atau diajar mengenal kebenaran Tuhan guna bisa membangun persabahatan dengan Tuhan. Memang proses menjadi sahabat Tuhan tidak mudah. Hal ini berkenaan dengan keterikatan seseorang dengan dunia ini. Pada mulanya mereka ada di level berteman dengan Tuhan.
Melalui pertumbuhan iman yang sejati, mereka bertumbuh sampai menjadi sahabat Tuhan. Pertumbuhan iman ini ditandai dengan pudarnya keindahan dunia di pemandangannya. Kalau seorang Kristen masih mengeraskan hati mengasihi dunia dan segala yang ada padanya, pelayanan yang sebaik apa pun tidak akan signifikan mengubah hidupnya. Baginya, dunia adalah keindahan yang menjadi sahabatnya dan tujuan hidupnya. Ini pula berarti ia menjadi seperti Esau yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan (Ibr. 12:16-17). Ini berarti ia adalah orang yang tidak setia yang bersahabat dengan dunia (Yak. 4:4). Celaka! Orang yang masih memandang dunia indah menurut versi manusia berdosa menunjukkan bahwa ia belum melihat kemuliaan Allah.
Ketika seseorang melihat kemuliaan Allah atau keindahan Kerajaan Allah, maka keindahan dunia menjadi tidak ada artinya sama sekali; sangat tidak sebanding dengan keindahan Kristus. Keindahan dunia maksudnya adalah segala sesuatu yang dianggap memiliki nilai tinggi pada zamannya, di mana semua orang memburunya dan berusaha memiliki sebanyak mungkin. Pada zaman batu, hampir tidak ada yang dianggap bernilai tinggi kecuali makanan dari berbagai bahan mentah yang ada. Perkakas yang digunakan pada umumnya terbuat dari batu. Pada zaman perunggu yang dianggap bernilai adalah perkakas dari perunggu. Selanjutnya pada zaman besi yang dianggap bernilai terbuat dari besi. Zaman berganti zaman, setiap orang mengalami perubahan pola berpikir sesuai dengan zamannya. Pada zaman kita ini semakin banyak obyek yang dianggap memiliki nilai tinggi (rumah, mobil, apartemen, deposito, kapal pesiar, jet pribadi, kehormatan, pangkat, dan lain sebagainya). Tidak heran kalau mereka menjadikan semua itu sebagai sahabat.
Pengalaman yang paling penting dan sangat utama serta benar-benar indah dalam kehidupan orang percaya adalah ketika keindahan dunia menjadi pudar di pemandangannya (Flp. 3:7-9). Hal ini yang harus dialami orang percaya yang mau menjadi sahabat Tuhan (Yun. philos; φίλος). Selama keindahan dunia belum pudar di mata seseorang, maka ia belum pantas untuk menjadi anak-anak Allah yang juga menjadi sahabat-Nya. Kalau seseorang masih bersahabat dengan mamon, berarti ia berharap mamon akan bisa mendampinginya. Orang seperti ini telah tertipu oleh mamon yang tidak jujur (Yun. adikia; ἀδικία), artinya tidak dapat dipercayai. Pada waktu hidup ia tidak menyadari jahatnya mamon, tetapi ketika ia membutuhkan seorang pendamping penting yang sangat dibutuhkan di lembah bayang-bayang maut barulah ia menyadari betapa jahatnya kekayaan. Sebenarnya kekayaan tidak jahat kalau kita memperlakukan dengan benar, yaitu menjadikan teman (hetairos; ἑταῖρος) untuk bersahabat dengan Tuhan. Tetapi kekayaan akan menjadi jahat kalau dijadikan sahabat, sementara Tuhan hanya sebagai teman.
https://overcast.fm/+IqODM-B9M
Banyak gereja yang bertindak sebagai “broker” (makelar) melalui “oknum pendeta” agar tangan Tuhan bisa diulurkan melakukan apa yang dibutuhkan oleh umat. Padahal kalau umat menjadikan Tuhan sebagai sahabat, tanpa perantara siapa pun umat dapat berurusan langsung dengan Tuhan dan Tuhan berkenan terlibat dalam segala persoalan sahabat-sahabat-Nya. Tidak sedikit gereja yang tidak mengajar dan menasihati serta membimbing umat untuk menjadikan Tuhan sebagai sahabat. Seharusnya menjadi masalah utama dalam kehidupan umat yang harus digumuli pelayanan gereja adalah bagaimana umat mengenal Tuhan dengan benar. Umat harus belajar untuk menempatkan diri secara benar di hadapan-Nya dan menempatkan Tuhan secara terhormat di dalam kehidupannya. Inilah fokus penggembalaan yang benar. Di lain pihak umat Tuhan harus menyediakan diri (waktu, tenaga, dan segala sesuatu) untuk dimuridkan atau diajar mengenal kebenaran Tuhan guna bisa membangun persabahatan dengan Tuhan. Memang proses menjadi sahabat Tuhan tidak mudah. Hal ini berkenaan dengan keterikatan seseorang dengan dunia ini. Pada mulanya mereka ada di level berteman dengan Tuhan.
Melalui pertumbuhan iman yang sejati, mereka bertumbuh sampai menjadi sahabat Tuhan. Pertumbuhan iman ini ditandai dengan pudarnya keindahan dunia di pemandangannya. Kalau seorang Kristen masih mengeraskan hati mengasihi dunia dan segala yang ada padanya, pelayanan yang sebaik apa pun tidak akan signifikan mengubah hidupnya. Baginya, dunia adalah keindahan yang menjadi sahabatnya dan tujuan hidupnya. Ini pula berarti ia menjadi seperti Esau yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan (Ibr. 12:16-17). Ini berarti ia adalah orang yang tidak setia yang bersahabat dengan dunia (Yak. 4:4). Celaka! Orang yang masih memandang dunia indah menurut versi manusia berdosa menunjukkan bahwa ia belum melihat kemuliaan Allah.
Ketika seseorang melihat kemuliaan Allah atau keindahan Kerajaan Allah, maka keindahan dunia menjadi tidak ada artinya sama sekali; sangat tidak sebanding dengan keindahan Kristus. Keindahan dunia maksudnya adalah segala sesuatu yang dianggap memiliki nilai tinggi pada zamannya, di mana semua orang memburunya dan berusaha memiliki sebanyak mungkin. Pada zaman batu, hampir tidak ada yang dianggap bernilai tinggi kecuali makanan dari berbagai bahan mentah yang ada. Perkakas yang digunakan pada umumnya terbuat dari batu. Pada zaman perunggu yang dianggap bernilai adalah perkakas dari perunggu. Selanjutnya pada zaman besi yang dianggap bernilai terbuat dari besi. Zaman berganti zaman, setiap orang mengalami perubahan pola berpikir sesuai dengan zamannya. Pada zaman kita ini semakin banyak obyek yang dianggap memiliki nilai tinggi (rumah, mobil, apartemen, deposito, kapal pesiar, jet pribadi, kehormatan, pangkat, dan lain sebagainya). Tidak heran kalau mereka menjadikan semua itu sebagai sahabat.
Pengalaman yang paling penting dan sangat utama serta benar-benar indah dalam kehidupan orang percaya adalah ketika keindahan dunia menjadi pudar di pemandangannya (Flp. 3:7-9). Hal ini yang harus dialami orang percaya yang mau menjadi sahabat Tuhan (Yun. philos; φίλος). Selama keindahan dunia belum pudar di mata seseorang, maka ia belum pantas untuk menjadi anak-anak Allah yang juga menjadi sahabat-Nya. Kalau seseorang masih bersahabat dengan mamon, berarti ia berharap mamon akan bisa mendampinginya. Orang seperti ini telah tertipu oleh mamon yang tidak jujur (Yun. adikia; ἀδικία), artinya tidak dapat dipercayai. Pada waktu hidup ia tidak menyadari jahatnya mamon, tetapi ketika ia membutuhkan seorang pendamping penting yang sangat dibutuhkan di lembah bayang-bayang maut barulah ia menyadari betapa jahatnya kekayaan. Sebenarnya kekayaan tidak jahat kalau kita memperlakukan dengan benar, yaitu menjadikan teman (hetairos; ἑταῖρος) untuk bersahabat dengan Tuhan. Tetapi kekayaan akan menjadi jahat kalau dijadikan sahabat, sementara Tuhan hanya sebagai teman.
https://overcast.fm/+IqODM-B9M
Renungan Harian 27 Juli 2019 LUKISAN ABADI
Setiap manusia pasti meninggalkan jejak kehidupan. Setipis apa pun jejak itu, pasti ada (Why. 14:13). Bahkan ternyata hewan pun meninggalkan jejak bagi makhluk lain, juga untuk manusia. Kalau seekor ikan membuat seseorang tidak mati kelaparan, sehingga orang itu bisa melanjutkan perjalanan hidupnya dan mengukir sebuah sejarah bagi orang lain, bukankah ikan tersebut ikut berperan? Kalau benda dan hewan bisa mengukir jejak, apalagi manusia. Setiap orang mengukir sejarah kehidupan, pertama tentu sejarah kehidupannya sendiri, selanjutnya kehidupan orang lain. Interaksi antar manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pengaruh/memengaruhi adalah suatu realitas yang pasti terjadi.
Bagi binatang, mereka tidak perlu mempersoalkan ukiran kehidupan yang dihasilkan, sebab setelah melewati matahari fana di bumi ini, mereka lenyap tiada bekas. Berbeda dengan manusia yang ada dalam perjalanan waktu; waktu di bumi ini dan kekekalan. Semua yang dilakukan dan terjadi dalam kehidupan setiap orang akan memiliki catatan abadi. Untuk ini seseorang harus menghayati realitas kekekalan jiwa manusia (immortality of soul). Berkenaan dengan hal ini kita perlu merenungkan fakta kekekalan energi atau hukum termodinamika yang dirumuskan oleh James Prescoot Joule abad 19, seorang ahli fisika berkebangsaan Inggris. Dalam hukum kekekalan energi mengatakan bahwa energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tapi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan. Energi didefinisikan sebagai kemampuan suatu materi untuk melakukan kegiatan. Suatu benda dapat memiliki energi dalam bentuk energi kinetik dan energi potensial. Suatu benda memiliki energi kinetik apabila ia bergerak (rotasi, vibrasi, bunyi, panas, dan listrik). Adapun energi potensial ada pada suatu benda bila ia ditarik atau didorong oleh benda lain, apabila benda tidak memiliki gaya tarik menarik atau tolak menolak, maka benda tersebut tidak memiliki energi potensial.
Analogi yang bisa ditarik artinya bertalian dengan hukum energi tersebut adalah di dalam diri setiap insan, Allah memberikan energi yang menggerakkan seluruh keberadaan jasmaniah dan rohaniah kita. Berbeda dengan benda yang membutuhkan intervensi pihak eksternal untuk mengarahkan energinya, manusia memiliki kebebasan mengarahkan energinya dari dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini ada tiga pelajaran yang diperoleh. Pertama, bahwa manusia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan. Kedua, bahwa manusia bisa memengaruhi orang lain. Ketiga, bahwa walaupun hidup seseorang bisa dipengaruhi yang lain, tetapi ia tetap dapat dengan dominan mengarahkan dirinya sendiri. Sebab inti energi ada di dalam dirinya, kecuali bila ia sendiri yang menyerahkan dirinya kepada lingkungan atau faktor eksternal.
Hewan secerdas bagaimanapun tetaplah seekor hewan, tidak memiliki kesadaran akan kekekalan seperti manusia. Dalam Pengkhotbah 3:11 tertulis: “… Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka…” Kalimat “memberikan kekekalan dalam hati” memiliki arti bahwa Tuhan memberi kesadaran mengenai kekekalan. Tidaklah mengherankan kalau di banyak suku terdapat kepercayaan mengenai keabadian dengan berbagai istilah dan penjelasan. Ritual mereka mengantar orang mati ke “peristirahatan terakhir,” memberi pesan dan kesan yang sangat kuat mengenai keyakinan terhadap kekekalan ini.
Manusia modern hari ini sangat materialistis. Kesadaran terhadap kekekalan terkikis habis oleh semangat materialisme. Hal ini akan memicu seseorang tidak memedulikan kekekalan. Kalau seseorang tidak memedulikan kekekalan, maka hidupnya menjadi ceroboh. Bagi mereka yang penting bagaimana membuat hidup hari ini berbunga-bunga indah. Mereka tidak pernah memikirkan bahwa kehidupan membuat ukiran abadi. Apa yang dilakukan seseorang di bumi ini membuat goresan abadi. Inilah orang-orang bodoh yang meninggalkan kesan dan pesan buruk sepanjang masa. Sehebat apa pun orang-orang seperti ini di dalam dunia hari ini, mereka akan mengakhirinya dalam kemiskinan abadi bahkan menjadi sampah abadi (Luk. 12:10-21, 16:19-31).
Orang-orang bodoh yang dilukiskan dalam Injil Lukas tersebut sebenarnya melewatkan hidupnya di bumi seperti mimpi. Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa semua kesenangan yang mereka miliki akan berakhir dan tidak akan pernah dimiliki selamanya. Inilah orang-orang yang “rupanya dipandang hina oleh Tuhan,” yang ketika mati seperti terbangun dalam mimpi (Mzm. 73:20). Kata “rupa” dalam teks aslinya adalah tselem (צֶלֶם). Tselem di sini menunjuk pada komponen-komponen rohaniah dalam diri manusia. Secara pandang mata fisik mereka megah dan indah, tetapi manusia rohaniah atau batiniah mereka rusak. Kalau seseorang mengerti kebenaran ini dan menerimanya, maka setiap hari menjadi hari yang berharga, sebab ia mengerjakan sesuatu yang bersifat kekal. Setiap kali pada pagi hari membuka mata, ia berusaha mendandani manusia batiniahnya dan berusaha melakukan segala sesuatu sebagai pelayanan bagi Tuhan. Dengan demikian membuat lukisan indah yang akan diingat di kekekalan.
https://overcast.fm/+IqOBYH0yo
Bagi binatang, mereka tidak perlu mempersoalkan ukiran kehidupan yang dihasilkan, sebab setelah melewati matahari fana di bumi ini, mereka lenyap tiada bekas. Berbeda dengan manusia yang ada dalam perjalanan waktu; waktu di bumi ini dan kekekalan. Semua yang dilakukan dan terjadi dalam kehidupan setiap orang akan memiliki catatan abadi. Untuk ini seseorang harus menghayati realitas kekekalan jiwa manusia (immortality of soul). Berkenaan dengan hal ini kita perlu merenungkan fakta kekekalan energi atau hukum termodinamika yang dirumuskan oleh James Prescoot Joule abad 19, seorang ahli fisika berkebangsaan Inggris. Dalam hukum kekekalan energi mengatakan bahwa energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tapi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan. Energi didefinisikan sebagai kemampuan suatu materi untuk melakukan kegiatan. Suatu benda dapat memiliki energi dalam bentuk energi kinetik dan energi potensial. Suatu benda memiliki energi kinetik apabila ia bergerak (rotasi, vibrasi, bunyi, panas, dan listrik). Adapun energi potensial ada pada suatu benda bila ia ditarik atau didorong oleh benda lain, apabila benda tidak memiliki gaya tarik menarik atau tolak menolak, maka benda tersebut tidak memiliki energi potensial.
Analogi yang bisa ditarik artinya bertalian dengan hukum energi tersebut adalah di dalam diri setiap insan, Allah memberikan energi yang menggerakkan seluruh keberadaan jasmaniah dan rohaniah kita. Berbeda dengan benda yang membutuhkan intervensi pihak eksternal untuk mengarahkan energinya, manusia memiliki kebebasan mengarahkan energinya dari dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini ada tiga pelajaran yang diperoleh. Pertama, bahwa manusia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan. Kedua, bahwa manusia bisa memengaruhi orang lain. Ketiga, bahwa walaupun hidup seseorang bisa dipengaruhi yang lain, tetapi ia tetap dapat dengan dominan mengarahkan dirinya sendiri. Sebab inti energi ada di dalam dirinya, kecuali bila ia sendiri yang menyerahkan dirinya kepada lingkungan atau faktor eksternal.
Hewan secerdas bagaimanapun tetaplah seekor hewan, tidak memiliki kesadaran akan kekekalan seperti manusia. Dalam Pengkhotbah 3:11 tertulis: “… Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka…” Kalimat “memberikan kekekalan dalam hati” memiliki arti bahwa Tuhan memberi kesadaran mengenai kekekalan. Tidaklah mengherankan kalau di banyak suku terdapat kepercayaan mengenai keabadian dengan berbagai istilah dan penjelasan. Ritual mereka mengantar orang mati ke “peristirahatan terakhir,” memberi pesan dan kesan yang sangat kuat mengenai keyakinan terhadap kekekalan ini.
Manusia modern hari ini sangat materialistis. Kesadaran terhadap kekekalan terkikis habis oleh semangat materialisme. Hal ini akan memicu seseorang tidak memedulikan kekekalan. Kalau seseorang tidak memedulikan kekekalan, maka hidupnya menjadi ceroboh. Bagi mereka yang penting bagaimana membuat hidup hari ini berbunga-bunga indah. Mereka tidak pernah memikirkan bahwa kehidupan membuat ukiran abadi. Apa yang dilakukan seseorang di bumi ini membuat goresan abadi. Inilah orang-orang bodoh yang meninggalkan kesan dan pesan buruk sepanjang masa. Sehebat apa pun orang-orang seperti ini di dalam dunia hari ini, mereka akan mengakhirinya dalam kemiskinan abadi bahkan menjadi sampah abadi (Luk. 12:10-21, 16:19-31).
Orang-orang bodoh yang dilukiskan dalam Injil Lukas tersebut sebenarnya melewatkan hidupnya di bumi seperti mimpi. Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa semua kesenangan yang mereka miliki akan berakhir dan tidak akan pernah dimiliki selamanya. Inilah orang-orang yang “rupanya dipandang hina oleh Tuhan,” yang ketika mati seperti terbangun dalam mimpi (Mzm. 73:20). Kata “rupa” dalam teks aslinya adalah tselem (צֶלֶם). Tselem di sini menunjuk pada komponen-komponen rohaniah dalam diri manusia. Secara pandang mata fisik mereka megah dan indah, tetapi manusia rohaniah atau batiniah mereka rusak. Kalau seseorang mengerti kebenaran ini dan menerimanya, maka setiap hari menjadi hari yang berharga, sebab ia mengerjakan sesuatu yang bersifat kekal. Setiap kali pada pagi hari membuka mata, ia berusaha mendandani manusia batiniahnya dan berusaha melakukan segala sesuatu sebagai pelayanan bagi Tuhan. Dengan demikian membuat lukisan indah yang akan diingat di kekekalan.
https://overcast.fm/+IqOBYH0yo
Renungan harian 26 Juli 2019 MENDAHULUKAN KERAJAAN SURGA
Banyak pembicara menjadikan Matius 6:33 sebagai kiat atau cara atau metode untuk memperoleh berkat jasmani. Menyimpulkannya secara dangkal dan sederhana bahwa mencari Kerajaan Allah akan mendatangkan berkat jasmani. Mencari kerajaan Allah diartikan sebagai rajin ke gereja dan memberi dukungan terhadap pelayanan gereja. Itulah sebabnya tidak sedikit orang bergereja hanya untuk mendapat "tambahannya", yaitu pemenuhan kebutuhan jasmani. Pemahaman yang salah ini menyesatkan, sehingga banyak orang tidak menangkap makna orisinal ucapan Tuhan Yesus ini. Kesalahan ini telah berlangsung lama sekali, sehingga dampaknya adalah telah terbentuknya bangunan berpikir yang salah dalam hidup banyak orang kristen. Kesalahan ini cukup berakibat fatal.
Untuk memahami makna orisinal ayat ini, harus terlebih dahulu melihat konteks dimana ayat ini terletak. Konteks ayat ini adalah perkataan Tuhan Yesus mengenai
kekhawatirannya. Tuhan mengajarkan agar orang percaya tidak boleh memiliki kekhawatiran negatif, sehingga usaha memenuhi kebutuhan jasmani mengalahkan atau melampaui panggilan untuk mengumpulkan harta di sorga, mempertajam pengertian mengenal kebenaran, dan mengabdi kepada Tuhan (Mat. 6:19-24). Perkara makan dan minum tidak boleh menjadi hal utama, sehingga mengabaikan panggilan penting yang memiliki dampak kekal tersebut. Hal ini tidak boleh terjadi. Berkenaan dengan hal ini, di dalam Matius 6:32 terdapat pernyataan yang harus dipahami dengan benar, Tuhan berkata: " Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah". Apa yang dicari mereka? Kehidupan mengenai hal jasmani dan kelangsungannya yang bersifat sementara. Sedangkan orang percaya harus memfokuskan diri pada obyek lain, yaitu Kerajaan Surga.
Kerajaan Surga memiliki pengertian bahwa pemerintahan Allah hari ini melalui Roh Kudus, dan perwujudannya secara fisik nanti di langit baru dan bumi yang baru. Jika fokus hidup orang percaya diarahkan pada kehidupan hari ini dan kelangsungannya, berarti ia tidak mengenal Allah dan bukan merupakan warga keluarga Kerajaan Allah. Di sini letak perbedaan mencolok antara orang percaya dan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus. Tetapi kenyataannya, dalam lingkungan komunitas Kristen banyak yang belum mengenal Allah. Hal ini nampak sekali dari cara hidupnya yang tidak mendahulukan dan mencari Kerajaan Allah. Secara kulit atau kemasan luar, mereka orang percaya atau anak Bapa, tetapi di dalamnya mereka adalah orang yang tidak mengenal Allah.
Ada kata penting yang harus diperhatikan dalam Injil Matius 6:33. "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu". Kata " carilah" dalam teks aslinya adalah zeteite, dari akar kata zeteo, yang berarti seek, look for, search for (mencari), investigate (menyelidiki), examine (memeriksa), consider (mempertimbangkan), deliberate (disengaja), somewhat removed from the idea if seeking: try to obtain (mencoba untuk mendapatkan), desire to possess (keinginan untuk memiliki), strive for (berjuang untuk sesuatu tujuan), aim (mengarah kepada sesuatu), desire, wish, ask for, request demand (menuntut). Kalau Tuhan berkata: "carilah", artinya ada suatu perjuangan dengan keras untuk memperoleh sesuatu. Sesuatu itu adalah Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.
Kebenaran dalam teks ini adalah dikaiosune, yang artinya adalah kebenaran yang bertalian dengan tingkah laku, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan (Mat. 5:20). Berkenaan dengan hal ini Tuhan Yesus memang menghendaki agar orang percaya hidup secara luar biasa dalam kelakuan. Untuk ini, orang percaya harus berjuang agar dapat menghadirkan pemerintahan Allah dalam kehidupan pribadinya. Melalui hal ini seseorang dipersiapkan menjadi warga Kerajaan Surga dengan memiliki kwalitas kebaikan yang telah ditampilkan atau diperagakan oleh Tuhan Yesus semasa hidup-Nya. Hal ini tidak mungkin dapat terwujud tanpa perjuangan yang berat. Jika pemerintahan Allah dihadirkan, maka pada waktu realisasi dari Kerajaan Tuhan Yesus secara fisik datang, orang benar diperkenan masuk ke dalamnya.
Kesalahan banyak orang Kristen adalah mereka merasa bahwa secara otomatis akan bisa mengalami pemerintahan Allah, padahal Tuhan Yesus sendiri mengajarkan agar menghadirkan Kerajaan-Nya. Hal ini terungkap dalam isi Doa Bapa Kami. Kalau orang Kristen merasa bahwa pemerintahan Allah bisa hadir dengan sendiri tanpa usaha keras pribadi, maka hidupnya sama dengan mereka yang tidak mengebal Allah. Tidak ada realisasi hidup dalam pemerintahan Allah. Ini berarti keselamatan tidak terjadi dalam kehidupan orang itu. Dengan hal ini kita dapati suatu pelajaran yang mahal bahwa mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya sama dengan nengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar; seperti yang dimaksud Paulus dalam suratnya (Flp. 2:12). Orang yang tidak mendahulukan Kerajaan Allah berarti tidak bersedia diselamatkan. Keselamatan disini tidak berkaitan langsung dengan masalah kehidupan jasmani. Dengan demikian ketika Tuhan Yesus memanggil orang percaya untuk mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, berarti orang percaya harus mulai meninggalkan dunia dengan segala kesenangannya.
https://overcast.fm/+IqOCPWVS4
Untuk memahami makna orisinal ayat ini, harus terlebih dahulu melihat konteks dimana ayat ini terletak. Konteks ayat ini adalah perkataan Tuhan Yesus mengenai
kekhawatirannya. Tuhan mengajarkan agar orang percaya tidak boleh memiliki kekhawatiran negatif, sehingga usaha memenuhi kebutuhan jasmani mengalahkan atau melampaui panggilan untuk mengumpulkan harta di sorga, mempertajam pengertian mengenal kebenaran, dan mengabdi kepada Tuhan (Mat. 6:19-24). Perkara makan dan minum tidak boleh menjadi hal utama, sehingga mengabaikan panggilan penting yang memiliki dampak kekal tersebut. Hal ini tidak boleh terjadi. Berkenaan dengan hal ini, di dalam Matius 6:32 terdapat pernyataan yang harus dipahami dengan benar, Tuhan berkata: " Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah". Apa yang dicari mereka? Kehidupan mengenai hal jasmani dan kelangsungannya yang bersifat sementara. Sedangkan orang percaya harus memfokuskan diri pada obyek lain, yaitu Kerajaan Surga.
Kerajaan Surga memiliki pengertian bahwa pemerintahan Allah hari ini melalui Roh Kudus, dan perwujudannya secara fisik nanti di langit baru dan bumi yang baru. Jika fokus hidup orang percaya diarahkan pada kehidupan hari ini dan kelangsungannya, berarti ia tidak mengenal Allah dan bukan merupakan warga keluarga Kerajaan Allah. Di sini letak perbedaan mencolok antara orang percaya dan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus. Tetapi kenyataannya, dalam lingkungan komunitas Kristen banyak yang belum mengenal Allah. Hal ini nampak sekali dari cara hidupnya yang tidak mendahulukan dan mencari Kerajaan Allah. Secara kulit atau kemasan luar, mereka orang percaya atau anak Bapa, tetapi di dalamnya mereka adalah orang yang tidak mengenal Allah.
Ada kata penting yang harus diperhatikan dalam Injil Matius 6:33. "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu". Kata " carilah" dalam teks aslinya adalah zeteite, dari akar kata zeteo, yang berarti seek, look for, search for (mencari), investigate (menyelidiki), examine (memeriksa), consider (mempertimbangkan), deliberate (disengaja), somewhat removed from the idea if seeking: try to obtain (mencoba untuk mendapatkan), desire to possess (keinginan untuk memiliki), strive for (berjuang untuk sesuatu tujuan), aim (mengarah kepada sesuatu), desire, wish, ask for, request demand (menuntut). Kalau Tuhan berkata: "carilah", artinya ada suatu perjuangan dengan keras untuk memperoleh sesuatu. Sesuatu itu adalah Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.
Kebenaran dalam teks ini adalah dikaiosune, yang artinya adalah kebenaran yang bertalian dengan tingkah laku, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan (Mat. 5:20). Berkenaan dengan hal ini Tuhan Yesus memang menghendaki agar orang percaya hidup secara luar biasa dalam kelakuan. Untuk ini, orang percaya harus berjuang agar dapat menghadirkan pemerintahan Allah dalam kehidupan pribadinya. Melalui hal ini seseorang dipersiapkan menjadi warga Kerajaan Surga dengan memiliki kwalitas kebaikan yang telah ditampilkan atau diperagakan oleh Tuhan Yesus semasa hidup-Nya. Hal ini tidak mungkin dapat terwujud tanpa perjuangan yang berat. Jika pemerintahan Allah dihadirkan, maka pada waktu realisasi dari Kerajaan Tuhan Yesus secara fisik datang, orang benar diperkenan masuk ke dalamnya.
Kesalahan banyak orang Kristen adalah mereka merasa bahwa secara otomatis akan bisa mengalami pemerintahan Allah, padahal Tuhan Yesus sendiri mengajarkan agar menghadirkan Kerajaan-Nya. Hal ini terungkap dalam isi Doa Bapa Kami. Kalau orang Kristen merasa bahwa pemerintahan Allah bisa hadir dengan sendiri tanpa usaha keras pribadi, maka hidupnya sama dengan mereka yang tidak mengebal Allah. Tidak ada realisasi hidup dalam pemerintahan Allah. Ini berarti keselamatan tidak terjadi dalam kehidupan orang itu. Dengan hal ini kita dapati suatu pelajaran yang mahal bahwa mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya sama dengan nengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar; seperti yang dimaksud Paulus dalam suratnya (Flp. 2:12). Orang yang tidak mendahulukan Kerajaan Allah berarti tidak bersedia diselamatkan. Keselamatan disini tidak berkaitan langsung dengan masalah kehidupan jasmani. Dengan demikian ketika Tuhan Yesus memanggil orang percaya untuk mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, berarti orang percaya harus mulai meninggalkan dunia dengan segala kesenangannya.
https://overcast.fm/+IqOCPWVS4
Renungan Harian 25 Juli 2019 PEMALSUAN KARUNIA
Di gereja-gereja tertentu sering terdapat seperti manifestasi karunia Roh Kudus (bahasa roh, penglihatan, nubuat, dan lain sebagainya). Banyak orang menjadi bingung apakah itu berasal dari Allah atau bukan. Kadang-kadang secara sembarangan fenomena tersebut dicap palsu atau sesat, padahal benar-benar fenomena yang berasal dari Allah. Tetapi juga sering fenomena yang berasal bukan dari Allah (adanya pemalsuan karunia), tetapi diakui sebagai berasal dari Allah. Pemalsuan karunia sulit dideteksi, apalagi kalau yang melakukan adalah seorang pendeta atau yang berjabatan “hamba Tuhan” seperti worship leader dan orang-orang yang berdiri di mimbar.
Di masyarakat yang menghargai tokoh agama –seperti di Indonesia- tidak mudah menilai tindakan seorang rohaniwan. Sering terdapat rohaniwan yang mengajarkan bahwa menghakimi hamba Tuhan atau melawan pendeta akan dikutuk. Kemudian mereka menyamakan membedakan roh dengan menghakimi dan melawan hamba Tuhan. Padahal membedakan roh bukanlah menghakimi. Kalau menghakimi pasti disertai eksekusi hukuman (sebagaimana tugas hakim), tetapi membedakan roh hanya membedakan dan tidak bersikap apa-apa selama Tuhan tidak memberi komando untuk berbuat sesuatu.
Membedakan roh juga bukan melawan, membedakan roh hanya berusaha untuk mengetahui apakah karunia yang ditampilkan berasal dari Allah atau bukan, sebab Iblis juga bisa memakai siapa saja untuk menyesatkan umat Tuhan. Ingat Iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat terang (2Kor. 11:14). Setiap orang berhak mengetahui dengan tepat apakah hal tersebut adalah pemalsuan atau bukan. Jika sudah diintimidasi dituduh sebagai menghakimi dan melawan hamba Tuhan, maka jemaat tidak mengaktifkan nalar dan karunia dalam dirinya untuk membedakan roh. Inilah cara Iblis menyesatkan anak-anak Tuhan, yaitu membuat mereka ada dalam pasivitas. Pasivitas menggiring jemaat kepada pembantaian, sehingga mereka tanpa sadar dibodohi dan diintimdasi sampai tidak memiliki integritas diri.
Justru yang sering melakukan intimidasi adalah orang-orang yang mengaku hamba Tuhan. Tanpa mereka sadari, mereka dipakai oleh Iblis untuk merusak maksud dan tujuan Allah membangun jemaat-Nya. Maksud Tuhan membangun jemaat-Nya adalah untuk mempersiapkan jemaat menjadi manusia yang sempurna seperti Bapa sehingga bisa tampil sebagai corpus delicti. Orang percaya dipanggil bukan hanya untuk sibuk tenggelam dalam karunia roh yang tidak signifikan, tapi yang membawa mereka kepada kesempurnaan. Bukan kesempurnaan untuk membangun karunia roh, tetapi karunia roh turut berguna membangun jemaat menuju kesempurnaan.
Orang percaya yang memiliki kepribadian yang baik dan kapasitas diri yang memadai -sehingga dapat dipercayai dengan karunia membedakan roh- dapat dengan mudah dan cepat membedakan apakah karunia yang sedang didemontrasikan adalah karunia Roh Kudus atau palsu. Palsu di sini bisa berarti berasal dari Iblis, tetapi juga bisa berasal dari diri sendiri manusia itu sendiri, khususnya karunia berbahasa roh dan bernubuat dan berbagai kesaksian alam roh lainnya. Pemalsuan yang berasal dari roh-roh jahat bisa lebih cepat dideteksi (walau tidak mutlak), sebab biasanya akan disertai dengan manisfestasi ekstrem (berteriak, mata mendelik, tubuh dibanting-banting, dan lain sebagainya). Selain ekstrem, juga sering kebodohan Iblis akan cepat terbaca oleh logika yang sehat; bahasa rohnya aneh, nubuatnya kekanak-kanakan, dan lain sebagainya.
Pemalsuan yang berasal dari diri sendiri bisa lebih berlangsung lama, apalagi dilakukan oleh seorang yang cerdas. Faktor penyebabnya adalah karena ketidakdewasaan. Banyak pengajaran di gereja-gereja tertentu yang menekankan karunia roh secara tidak proporsional. Seakan-akan karunia roh adalah tiket masuk surga. Kalau tidak memiliki karunia roh yang nyata (berbahasa roh, penglihatan, nubuat, dan lain-lain), berarti tidak berkualitas. Inilah yang mendorong orang-orang Kristen berusaha memiliki dan menekankan suatu karunia tanpa memiliki pengertian yang cukup terhadap kebenaran Injil. Mereka menekankan secara berat sebelah pokok tertentu dalam ajaran Alkitab, sehingga terjadi ketidakseimbangan.
Hal lain mengapa terjadi pemalsuan karunia adalah karena usaha untuk meningkatkan nilai diri di tengah jemaat. Ini adalah bentuk kesombongan rohani atas mereka yang tidak dewasa. Bisa terjadi, di gereja-gereja tertentu terdapat semacam kompetisi, siapa yang memiliki karunia lebih besar. Biasanya mereka yang berkarunia dianggap lebih berkualitas sehingga lebih dihargai. Memang Firman Tuhan mengatakan orang yang bernubuat lebih berharga dari orang yang berbahasa roh, tetapi ini bukan berarti Paulus mengajak jemaat untuk berkompetisi. Karena sebagian besar melakukan kesalahan tersebut di dalam suatu pertemuan jemaat, maka kesalahan tersebut menjadi budaya atau kebiasaan yang tidak bisa diubah lagi. Orang percaya arus memiliki usaha terus menerus untuk memperbaharui pikiran dengan Firman Tuhan. Selalu jujur dengan diri sendiri dan bertumbuh dalam kedewasan rohani untuk memberikan kehormatan dan kemuliaan bagi Tuhan saja.
https://overcast.fm/+IqOD7ABx8
Di masyarakat yang menghargai tokoh agama –seperti di Indonesia- tidak mudah menilai tindakan seorang rohaniwan. Sering terdapat rohaniwan yang mengajarkan bahwa menghakimi hamba Tuhan atau melawan pendeta akan dikutuk. Kemudian mereka menyamakan membedakan roh dengan menghakimi dan melawan hamba Tuhan. Padahal membedakan roh bukanlah menghakimi. Kalau menghakimi pasti disertai eksekusi hukuman (sebagaimana tugas hakim), tetapi membedakan roh hanya membedakan dan tidak bersikap apa-apa selama Tuhan tidak memberi komando untuk berbuat sesuatu.
Membedakan roh juga bukan melawan, membedakan roh hanya berusaha untuk mengetahui apakah karunia yang ditampilkan berasal dari Allah atau bukan, sebab Iblis juga bisa memakai siapa saja untuk menyesatkan umat Tuhan. Ingat Iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat terang (2Kor. 11:14). Setiap orang berhak mengetahui dengan tepat apakah hal tersebut adalah pemalsuan atau bukan. Jika sudah diintimidasi dituduh sebagai menghakimi dan melawan hamba Tuhan, maka jemaat tidak mengaktifkan nalar dan karunia dalam dirinya untuk membedakan roh. Inilah cara Iblis menyesatkan anak-anak Tuhan, yaitu membuat mereka ada dalam pasivitas. Pasivitas menggiring jemaat kepada pembantaian, sehingga mereka tanpa sadar dibodohi dan diintimdasi sampai tidak memiliki integritas diri.
Justru yang sering melakukan intimidasi adalah orang-orang yang mengaku hamba Tuhan. Tanpa mereka sadari, mereka dipakai oleh Iblis untuk merusak maksud dan tujuan Allah membangun jemaat-Nya. Maksud Tuhan membangun jemaat-Nya adalah untuk mempersiapkan jemaat menjadi manusia yang sempurna seperti Bapa sehingga bisa tampil sebagai corpus delicti. Orang percaya dipanggil bukan hanya untuk sibuk tenggelam dalam karunia roh yang tidak signifikan, tapi yang membawa mereka kepada kesempurnaan. Bukan kesempurnaan untuk membangun karunia roh, tetapi karunia roh turut berguna membangun jemaat menuju kesempurnaan.
Orang percaya yang memiliki kepribadian yang baik dan kapasitas diri yang memadai -sehingga dapat dipercayai dengan karunia membedakan roh- dapat dengan mudah dan cepat membedakan apakah karunia yang sedang didemontrasikan adalah karunia Roh Kudus atau palsu. Palsu di sini bisa berarti berasal dari Iblis, tetapi juga bisa berasal dari diri sendiri manusia itu sendiri, khususnya karunia berbahasa roh dan bernubuat dan berbagai kesaksian alam roh lainnya. Pemalsuan yang berasal dari roh-roh jahat bisa lebih cepat dideteksi (walau tidak mutlak), sebab biasanya akan disertai dengan manisfestasi ekstrem (berteriak, mata mendelik, tubuh dibanting-banting, dan lain sebagainya). Selain ekstrem, juga sering kebodohan Iblis akan cepat terbaca oleh logika yang sehat; bahasa rohnya aneh, nubuatnya kekanak-kanakan, dan lain sebagainya.
Pemalsuan yang berasal dari diri sendiri bisa lebih berlangsung lama, apalagi dilakukan oleh seorang yang cerdas. Faktor penyebabnya adalah karena ketidakdewasaan. Banyak pengajaran di gereja-gereja tertentu yang menekankan karunia roh secara tidak proporsional. Seakan-akan karunia roh adalah tiket masuk surga. Kalau tidak memiliki karunia roh yang nyata (berbahasa roh, penglihatan, nubuat, dan lain-lain), berarti tidak berkualitas. Inilah yang mendorong orang-orang Kristen berusaha memiliki dan menekankan suatu karunia tanpa memiliki pengertian yang cukup terhadap kebenaran Injil. Mereka menekankan secara berat sebelah pokok tertentu dalam ajaran Alkitab, sehingga terjadi ketidakseimbangan.
Hal lain mengapa terjadi pemalsuan karunia adalah karena usaha untuk meningkatkan nilai diri di tengah jemaat. Ini adalah bentuk kesombongan rohani atas mereka yang tidak dewasa. Bisa terjadi, di gereja-gereja tertentu terdapat semacam kompetisi, siapa yang memiliki karunia lebih besar. Biasanya mereka yang berkarunia dianggap lebih berkualitas sehingga lebih dihargai. Memang Firman Tuhan mengatakan orang yang bernubuat lebih berharga dari orang yang berbahasa roh, tetapi ini bukan berarti Paulus mengajak jemaat untuk berkompetisi. Karena sebagian besar melakukan kesalahan tersebut di dalam suatu pertemuan jemaat, maka kesalahan tersebut menjadi budaya atau kebiasaan yang tidak bisa diubah lagi. Orang percaya arus memiliki usaha terus menerus untuk memperbaharui pikiran dengan Firman Tuhan. Selalu jujur dengan diri sendiri dan bertumbuh dalam kedewasan rohani untuk memberikan kehormatan dan kemuliaan bagi Tuhan saja.
https://overcast.fm/+IqOD7ABx8
Rabu, 24 Juli 2019
Quote Juli #4
Today's Quote:
Jangan tunda untuk berubah.
Dr. Erastus Sabdono,
19 Juni 2019
Today's Quote:
Kesucian bukan berangkat dari melakukan perintah, peraturan atau syariat Tuhan, tetapi melakukan kehendak-Nya, memuaskan dan menyenangkan hati-Nya.
Dr. Erastus Sabdono,
20 Juli 2019
Today's Quote:
Surga kita akan nampak dari kematian keinginan-keinginan
yang ada di dalam hidup kita.
Dr. Erastus Sabdono,
21 Juli 2019
Today's Quote:
Selama kita terganggu karena nama kita takut dirusak, berarti kita masih mencari harga diri di mata manusia.
Dr. Erastus Sabdono,
22 Juli 2019
Today's Quote:
Selama kita terganggu karena nama kita takut dirusak dan kita membela diri, berarti kita tidak mengandalkan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
23 Juli 2019
Today's Quote:
Ketika kita dizolimi dan membawanya kepada Tuhan, justru hal itu memicu kesucian hidup kita.
Dr. Erastus Sabdono,
24 Juli 2019
Jangan tunda untuk berubah.
Dr. Erastus Sabdono,
19 Juni 2019
Today's Quote:
Kesucian bukan berangkat dari melakukan perintah, peraturan atau syariat Tuhan, tetapi melakukan kehendak-Nya, memuaskan dan menyenangkan hati-Nya.
Dr. Erastus Sabdono,
20 Juli 2019
Today's Quote:
Surga kita akan nampak dari kematian keinginan-keinginan
yang ada di dalam hidup kita.
Dr. Erastus Sabdono,
21 Juli 2019
Today's Quote:
Selama kita terganggu karena nama kita takut dirusak, berarti kita masih mencari harga diri di mata manusia.
Dr. Erastus Sabdono,
22 Juli 2019
Today's Quote:
Selama kita terganggu karena nama kita takut dirusak dan kita membela diri, berarti kita tidak mengandalkan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
23 Juli 2019
Today's Quote:
Ketika kita dizolimi dan membawanya kepada Tuhan, justru hal itu memicu kesucian hidup kita.
Dr. Erastus Sabdono,
24 Juli 2019
Renungan Harian 24 Juli 2019 MEMBEDAKAN ROH
Sering kita mendengar kalimat “membedakan roh.” Apa sebenarnya yang dimaksud dengan membedakan roh? Jawabnya adalah ada dua pengertian mengenai membedakan roh. Pertama, membedakan apakah suatu karunia yang sedang disampaikan seseorang pada waktu pertemuan jemaat atau bukan. Kedua, membedakan apakah suatu spirit atau gairah datang dari Tuhan atau bukan. Pengertian pertama dibutuhkan pada waktu dalam suatu kebaktian seseorang mendemonstrasikan karunia roh seperti berbahasa roh, bernubuat, penglihatan, dan lain sebagainya (1Kor. 12:10). Seseorang yang bernurani bersih, rendah hati, biasa jujur terhadap Tuhan dan diri sendiri, serta menggunakan logika secara benar, akan memiliki kemampuan ini. Inilah kriteria orang yang dimampukan Tuhan memiliki karunia membedakan roh.
Masalahnya adalah sering orang Kristen tidak memiliki nurani yang bersih, hatinya penuh dengan kecurigaan, kebencian, dan perasaan negatif terhadap orang lain. Orang-orang seperti ini juga memiliki niat-niat negatif terhadap orang lain. Tidak sedikit juga orang Kristen yang tidak jujur terhadap Tuhan dan terhadap diri sendiri. Ketidakjujurannya diciptakan oleh hidup keberagamaan yang formalitas, kaku, dan seremonial sifatnya. Mereka tidak memiliki keintiman yang benar setiap hari. Sehingga doa-doa yang diucapkan bersifat formalitas, seremonial, dan protokuler semata-mata. Juga tidak sedikit orang Kristen yang tidak menggunakan logika dengan baik.
Orang-orang Kristen seperti itu berpendirian bahwa percaya kepada Tuhan berarti tidak menggunakan logika. Padahal percaya berangkat dari logika yang digunakan secara proporsional. Orang-orang Kristen seperti di atas ini sulit menerima karunia membedakan roh, sebab landasan pribadi atau kapasitas orang tersebut tidak cukup memadai untuk memiliki karunia dalam membedakan roh tersebut. Mereka tidak akan dapat membedakan apakah suatu fenomena karunia roh berasal dari Allah atau dari kuasa kegelapan. Bahkan tidak jarang mereka sendirilah yang melakukan pemalsuan itu.
Untuk membedakan roh dalam pengertian ini lebih dominan menggunakan insting atau naluri. Naluri untuk membedakan roh akan semakin kuat seiring dengan bertumbuhnya pengertian akan kebenaran dan kepribadian yang baik atau kedewasaan rohani seperti Kristus. Dalam kecepatan tinggi, seorang yang berkepribadian baik dan memiliki karunia membedakan roh, bisa membedakan apakah suatu manifestasi berasal dari Roh Kudus atau tidak. Oleh karena kepribadiannya matang, maka ia bersikap bijaksana terhadap pemalsuan yang dilakukan oleh saudara-saudara seimannya yang belum dewasa yang melakukan pemalsuan tersebut. Sering dia menyimpan di dalam hati tanpa reaksi. Dia akan menunggu waktu yang baik untuk dapat menegurnya (kalau mendapat komando dari Roh Kudus).
Untuk bisa membedakan roh dalam pengertian spirit atau gairah, seseorang harus memiliki ketajaman berpikir yang diasah setiap hari. Pengasahan tersebut hanya di dapat melalui kebenaran Firman Tuhan yang murni yaitu apa yang diajarkan dalam Perjanjian Baru. Pengasahan pikiran sama dengan pembaharuan pikiran, sehingga seseorang bisa mengerti kehendak Allah dengan sempurna (Rm. 12:2). Tentu saja orang-orang seperti ini memiliki cara berpikir dan gaya hidup yang berbeda dengan anak-anak dunia. Orang percaya seperti ini memiliki spirit atau gairah Ilahi atau rohani. Jika dia berhadapan dengan seseorang atau mendengar khotbah seorang pembicara, maka ia akan cepat bisa membaca roh apa yang ada pada pembicara tersebut.
Kalau membedakan roh dalam arti membedakan karunia-karunia roh, “insting” yang lebih menonjol bersifat adikodrati, tetapi untuk membedakan roh dalam arti spirit atau gairah ini yang dominan adalah pikiran atau logika. Berkenaan dengan hal ini harus dicatat bahwa setiap orang memiliki roh atau gairah yang khusus. Orang-orang muda yang belum menikah harus memiliki kepekaan untuk membedakan roh bagi temannya supaya ia tidak salah bergaul, apalagi salah memilih teman hidup. Demikian pula dengan jemaat sekarang ini, berhubung banyak pengajar palsu maka jemaat harus memiliki ketajaman untuk bisa membedakan roh; apakah Injil yang diberitakan adalah Injil yang benar atau palsu (2Kor. 11:4; Gal. 1:9).
Dewasa ini banyak jemaat yang telah disesatkan oleh pengajar-pengajar yang tidak mengajarkan Firman Tuhan dengan benar. Mereka bukan menjadi orang jahat, tetapi meleset dari kesempurnaan yang Tuhan kehendaki. Mereka memang masih aktif di gereja melakukan berbagai kegiatan pelayanan, tetapi mereka adalah orang-orang Kristen duniawi yang mencintai dunia. Mereka tidak sadar telah menjadi musuh Allah. Kesesatan tersebut sampai pada taraf di mana mereka tidak bisa lagi mendengar kebenaran. Mereka hanya membuka telinga terhadap pengajar-pengajar yang satu roh dengan mereka. Pengajar-pengajar Teologi Kemakmuran dan juga pengajaran yang berbau mistis, yang menekankan pengalaman-pengalaman roh yang palsu. Mereka tidak pernah berbicara dengan kuat mengenai kesempurnaan seperti Kristus dan mengenai langit baru dan bumi yang baru.
https://overcast.fm/+IqOD_YshM
Masalahnya adalah sering orang Kristen tidak memiliki nurani yang bersih, hatinya penuh dengan kecurigaan, kebencian, dan perasaan negatif terhadap orang lain. Orang-orang seperti ini juga memiliki niat-niat negatif terhadap orang lain. Tidak sedikit juga orang Kristen yang tidak jujur terhadap Tuhan dan terhadap diri sendiri. Ketidakjujurannya diciptakan oleh hidup keberagamaan yang formalitas, kaku, dan seremonial sifatnya. Mereka tidak memiliki keintiman yang benar setiap hari. Sehingga doa-doa yang diucapkan bersifat formalitas, seremonial, dan protokuler semata-mata. Juga tidak sedikit orang Kristen yang tidak menggunakan logika dengan baik.
Orang-orang Kristen seperti itu berpendirian bahwa percaya kepada Tuhan berarti tidak menggunakan logika. Padahal percaya berangkat dari logika yang digunakan secara proporsional. Orang-orang Kristen seperti di atas ini sulit menerima karunia membedakan roh, sebab landasan pribadi atau kapasitas orang tersebut tidak cukup memadai untuk memiliki karunia dalam membedakan roh tersebut. Mereka tidak akan dapat membedakan apakah suatu fenomena karunia roh berasal dari Allah atau dari kuasa kegelapan. Bahkan tidak jarang mereka sendirilah yang melakukan pemalsuan itu.
Untuk membedakan roh dalam pengertian ini lebih dominan menggunakan insting atau naluri. Naluri untuk membedakan roh akan semakin kuat seiring dengan bertumbuhnya pengertian akan kebenaran dan kepribadian yang baik atau kedewasaan rohani seperti Kristus. Dalam kecepatan tinggi, seorang yang berkepribadian baik dan memiliki karunia membedakan roh, bisa membedakan apakah suatu manifestasi berasal dari Roh Kudus atau tidak. Oleh karena kepribadiannya matang, maka ia bersikap bijaksana terhadap pemalsuan yang dilakukan oleh saudara-saudara seimannya yang belum dewasa yang melakukan pemalsuan tersebut. Sering dia menyimpan di dalam hati tanpa reaksi. Dia akan menunggu waktu yang baik untuk dapat menegurnya (kalau mendapat komando dari Roh Kudus).
Untuk bisa membedakan roh dalam pengertian spirit atau gairah, seseorang harus memiliki ketajaman berpikir yang diasah setiap hari. Pengasahan tersebut hanya di dapat melalui kebenaran Firman Tuhan yang murni yaitu apa yang diajarkan dalam Perjanjian Baru. Pengasahan pikiran sama dengan pembaharuan pikiran, sehingga seseorang bisa mengerti kehendak Allah dengan sempurna (Rm. 12:2). Tentu saja orang-orang seperti ini memiliki cara berpikir dan gaya hidup yang berbeda dengan anak-anak dunia. Orang percaya seperti ini memiliki spirit atau gairah Ilahi atau rohani. Jika dia berhadapan dengan seseorang atau mendengar khotbah seorang pembicara, maka ia akan cepat bisa membaca roh apa yang ada pada pembicara tersebut.
Kalau membedakan roh dalam arti membedakan karunia-karunia roh, “insting” yang lebih menonjol bersifat adikodrati, tetapi untuk membedakan roh dalam arti spirit atau gairah ini yang dominan adalah pikiran atau logika. Berkenaan dengan hal ini harus dicatat bahwa setiap orang memiliki roh atau gairah yang khusus. Orang-orang muda yang belum menikah harus memiliki kepekaan untuk membedakan roh bagi temannya supaya ia tidak salah bergaul, apalagi salah memilih teman hidup. Demikian pula dengan jemaat sekarang ini, berhubung banyak pengajar palsu maka jemaat harus memiliki ketajaman untuk bisa membedakan roh; apakah Injil yang diberitakan adalah Injil yang benar atau palsu (2Kor. 11:4; Gal. 1:9).
Dewasa ini banyak jemaat yang telah disesatkan oleh pengajar-pengajar yang tidak mengajarkan Firman Tuhan dengan benar. Mereka bukan menjadi orang jahat, tetapi meleset dari kesempurnaan yang Tuhan kehendaki. Mereka memang masih aktif di gereja melakukan berbagai kegiatan pelayanan, tetapi mereka adalah orang-orang Kristen duniawi yang mencintai dunia. Mereka tidak sadar telah menjadi musuh Allah. Kesesatan tersebut sampai pada taraf di mana mereka tidak bisa lagi mendengar kebenaran. Mereka hanya membuka telinga terhadap pengajar-pengajar yang satu roh dengan mereka. Pengajar-pengajar Teologi Kemakmuran dan juga pengajaran yang berbau mistis, yang menekankan pengalaman-pengalaman roh yang palsu. Mereka tidak pernah berbicara dengan kuat mengenai kesempurnaan seperti Kristus dan mengenai langit baru dan bumi yang baru.
https://overcast.fm/+IqOD_YshM
Renungan Harian 23 Juli 2019 MENGASIHI TANPA DIPAKSA
Dalam hakikat-Nya yang kudus dan agung, Allah tidak memaksa seseorang untuk mengasihi Dia. Memaksa adalah bertentangan dengan hakikat-Nya. Ketika Tuhan Yesus mengajarkan dengan perkataan: “Kasihilah Tuhan Allahmu…” (Mat. 22:37-40), di sini Tuhan menghendaki agar seseorang menggerakkan hatinya sendiri untuk mengasihi Tuhan. Menggerakkan hati untuk mengasihi Tuhan harus dibangun dari kesadaran bahwa memang manusia diciptakan untuk mengasihi Dia. Inilah panggilan atau tanggung jawab yang harus dipenuhi tanpa syarat. Manusia diberi kehendak bebas untuk mengasihi Tuhan atau tidak mengasihi Dia. Jadi, kalau seseorang tidak mengasihi Tuhan dan menciptakan suatu warna hidup yang tidak membahagiakan hati Tuhan, itu adalah kesalahannya sendiri.
Firman Tuhan mengatakan bahwa orang yang tidak mengasihi Tuhan adalah orang yang terkutuk (1Kor. 16:22). Dalam hal ini tidak ada orang yang bisa berdalih ketika terkutuk karena tidak mengasihi Tuhan, bahwa Tuhan tidak menggerakkan hatinya untuk mengasihi Dia. Kita tidak dapat menggerakkan hati Tuhan dan mengontrol serta mengendalikan-Nya untuk mengasihi kita. Tetapi sungguh besar anugerah-Nya, Tuhan mengasihi kita. Sekarang dari pihak manusia apakah mengasihi Tuhan atau tidak, itu ada dalam kebebasan dan kontrol serta kendali masing-masing individu. Bukan Tuhan. Ini salah satu misteri dan rahasia kehidupan. Sekaligus di sini kita mendapatkan betapa hebat makhluk manusia dengan perasaan dan kehendak yang diberikan oleh Tuhan yang harus digunakan dengan bijaksana, yaitu ditujukan bagi Tuhan.
Dalam kisah Adam di Eden, tentu Adam tahu bahwa melanggar kehendak Allah akan mendukakan-Nya. Sebab kematian bukanlah kehendak dan rancangan Allah. Kalau Adam berniat untuk mengasihi Tuhan dengan benar, ia tidak akan melanggar perintah-Nya. Tetapi ternyata Adam memilih tidak mengasihi Tuhan. Akhirnya ia terhukum atau sama dengan terkutuk. Ini terjadi karena kesalahan Adam sendiri, berdasarkan keputusan dan kehendaknya untuk tidak mengasihi Tuhan dengan benar. Tuhan Yesus pun mengalami pergumulan yang sama, apakah mau mengasihi Allah Bapa atau tidak. Tetapi Tuhan Yesus memilih untuk mengasihi Allah Bapa. Karena kasih-Nya kepada Bapa maka Ia tidak ingin melukai hati-Nya. Itulah sebabnya Ia berusaha untuk taat kepada Allah Bapa, bahkan sampai mati di kayu salib. Kalau Tuhan Yesus tidak mengasihi Bapa, Ia tidak akan melakukan kehendak Bapa dengan sempurna. Hal ini memberi pelajaran yang sangat mahal bagi kita agar dengan sadar dan sengaja untuk mengasihi Tuhan.
Sebenarnya tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dengan kasih yang pantas. Kalau untuk pasangan hidup, anak-anak, orang tua, dan obyek lain dalam hidup, seseorang bisa mengasihi secara limpah, mestinya untuk Tuhan bisa diberikan secara lebih berlimpah juga. Tetapi faktanya, sering Tuhan hanya diberi remah-remahnya, bukan kasih yang tulus dalam porsi yang pantas untuk pribadi yang telah memberikan diri-Nya untuk menyelamatkan kita. Banyak orang Kristen telah terbiasa dengan irama mengasihi apa yang kelihatan, yang bisa dirasakan secara jiwani dan fisik. Irama ini kalau sudah menyatu kuat di dalam diri seseorang, maka ia tidak akan pernah bisa lepas sampai menutup mata. Ini berarti ia tidak akan pernah bisa mengasihi Tuhan secara pantas. Kalaupun seorang Kristen bisa menyatakan mengasihi Tuhan dengan mulutnya, sebenarnya ia belum mengerti apa yang dimaksud dengan mengasihi Tuhan itu. Kasihnya kepada Tuhan hanyalah manipulasi perasaan yang dibuat-buat sesaat.
Sebenarnya pengalaman “berkasih-kasihan dengan Tuhan” adalah pengalaman terindah dalam hidup ini. Seharusnya berkenaan dengan hal ini setiap kita mencapai level yang ideal dalam berkasih-kasihan dengan Tuhan. Untuk ini kita harus menetapkan hati untuk mengasihi Dia dan berusaha mewujudkannya dengan perjuangan yang serius. Harus disadari bahwa kekuatan musuh juga berusaha menarik hati orang untuk memberikan cintanya bagi yang lain. Obyek lain ini bisa siapa pun dan apa pun. Kalau ada sesuatu atau seseorang yang menarik perhatian, memikat, dan berharga lebih dari Tuhan berarti itu adalah berhala, sebuah ketidaksetiaan. Biasanya orang seperti ini mencari Tuhan karena mau memanfaatkan-Nya.
Mengasihi Tuhan adalah bagian dari tujuan iman seperti yang dikatakan oleh Petrus dalam suratnya: “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr. 1:8-9). Dengan demikian orang yang benar-benar beriman menurut Alkitab adalah orang-orang yang rela mempertaruhkan apa pun dalam hidup ini demi kepentingan Tuhan dan kemuliaan nama-Nya. Mereka pasti mengambil bagian dalam pekerjaan Tuhan, apa pun bentuknya yang memberkati orang lain.
https://overcast.fm/+IqODT8mII
Firman Tuhan mengatakan bahwa orang yang tidak mengasihi Tuhan adalah orang yang terkutuk (1Kor. 16:22). Dalam hal ini tidak ada orang yang bisa berdalih ketika terkutuk karena tidak mengasihi Tuhan, bahwa Tuhan tidak menggerakkan hatinya untuk mengasihi Dia. Kita tidak dapat menggerakkan hati Tuhan dan mengontrol serta mengendalikan-Nya untuk mengasihi kita. Tetapi sungguh besar anugerah-Nya, Tuhan mengasihi kita. Sekarang dari pihak manusia apakah mengasihi Tuhan atau tidak, itu ada dalam kebebasan dan kontrol serta kendali masing-masing individu. Bukan Tuhan. Ini salah satu misteri dan rahasia kehidupan. Sekaligus di sini kita mendapatkan betapa hebat makhluk manusia dengan perasaan dan kehendak yang diberikan oleh Tuhan yang harus digunakan dengan bijaksana, yaitu ditujukan bagi Tuhan.
Dalam kisah Adam di Eden, tentu Adam tahu bahwa melanggar kehendak Allah akan mendukakan-Nya. Sebab kematian bukanlah kehendak dan rancangan Allah. Kalau Adam berniat untuk mengasihi Tuhan dengan benar, ia tidak akan melanggar perintah-Nya. Tetapi ternyata Adam memilih tidak mengasihi Tuhan. Akhirnya ia terhukum atau sama dengan terkutuk. Ini terjadi karena kesalahan Adam sendiri, berdasarkan keputusan dan kehendaknya untuk tidak mengasihi Tuhan dengan benar. Tuhan Yesus pun mengalami pergumulan yang sama, apakah mau mengasihi Allah Bapa atau tidak. Tetapi Tuhan Yesus memilih untuk mengasihi Allah Bapa. Karena kasih-Nya kepada Bapa maka Ia tidak ingin melukai hati-Nya. Itulah sebabnya Ia berusaha untuk taat kepada Allah Bapa, bahkan sampai mati di kayu salib. Kalau Tuhan Yesus tidak mengasihi Bapa, Ia tidak akan melakukan kehendak Bapa dengan sempurna. Hal ini memberi pelajaran yang sangat mahal bagi kita agar dengan sadar dan sengaja untuk mengasihi Tuhan.
Sebenarnya tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dengan kasih yang pantas. Kalau untuk pasangan hidup, anak-anak, orang tua, dan obyek lain dalam hidup, seseorang bisa mengasihi secara limpah, mestinya untuk Tuhan bisa diberikan secara lebih berlimpah juga. Tetapi faktanya, sering Tuhan hanya diberi remah-remahnya, bukan kasih yang tulus dalam porsi yang pantas untuk pribadi yang telah memberikan diri-Nya untuk menyelamatkan kita. Banyak orang Kristen telah terbiasa dengan irama mengasihi apa yang kelihatan, yang bisa dirasakan secara jiwani dan fisik. Irama ini kalau sudah menyatu kuat di dalam diri seseorang, maka ia tidak akan pernah bisa lepas sampai menutup mata. Ini berarti ia tidak akan pernah bisa mengasihi Tuhan secara pantas. Kalaupun seorang Kristen bisa menyatakan mengasihi Tuhan dengan mulutnya, sebenarnya ia belum mengerti apa yang dimaksud dengan mengasihi Tuhan itu. Kasihnya kepada Tuhan hanyalah manipulasi perasaan yang dibuat-buat sesaat.
Sebenarnya pengalaman “berkasih-kasihan dengan Tuhan” adalah pengalaman terindah dalam hidup ini. Seharusnya berkenaan dengan hal ini setiap kita mencapai level yang ideal dalam berkasih-kasihan dengan Tuhan. Untuk ini kita harus menetapkan hati untuk mengasihi Dia dan berusaha mewujudkannya dengan perjuangan yang serius. Harus disadari bahwa kekuatan musuh juga berusaha menarik hati orang untuk memberikan cintanya bagi yang lain. Obyek lain ini bisa siapa pun dan apa pun. Kalau ada sesuatu atau seseorang yang menarik perhatian, memikat, dan berharga lebih dari Tuhan berarti itu adalah berhala, sebuah ketidaksetiaan. Biasanya orang seperti ini mencari Tuhan karena mau memanfaatkan-Nya.
Mengasihi Tuhan adalah bagian dari tujuan iman seperti yang dikatakan oleh Petrus dalam suratnya: “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr. 1:8-9). Dengan demikian orang yang benar-benar beriman menurut Alkitab adalah orang-orang yang rela mempertaruhkan apa pun dalam hidup ini demi kepentingan Tuhan dan kemuliaan nama-Nya. Mereka pasti mengambil bagian dalam pekerjaan Tuhan, apa pun bentuknya yang memberkati orang lain.
https://overcast.fm/+IqODT8mII
Renungan Harian 22 Juli 2019 TUHAN SATU-SATUNYA KEBAHAGIAAN
Kekristenan adalah jalan hidup yang hanya bisa dikenakan oleh segelintir orang yang tidak berharap kebahagiaan hidup di dunia. Dan memang kebahagiaan dunia sangat terbatas. Untuk hal yang bersifat temporal atau bernilai sementara tetapi harus mengorbankan yang abadi adalah suatu kebodohan. Tidak berharap kebahagiaan hidup di dunia bukan berarti tidak bahagia, justru Tuhan akan menggirangkan kita dengan segala hal yang ada pada kita. Memang pada dasarnya kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang. Ketika seorang penduduk desa bisa memiliki sebuah sepeda yang dapat membawa kayu bakar dari rumah ke pasar untuk bisa dijualnya, hal tersebut sudah sangat membahagiakan. Sebaliknya, ketika seorang pengusaha di kota besar bisa membeli mobil mewah -tetapi ia tidak merasa puas- maka mobil mewahnya tidak membahagiakan hatinya.
Seseorang merasakan kebahagiaan atau tidak itu tergantung dari cara orang tersebut memandang hidup. Kalau cara pandang hidupnya sudah salah, menganggap yang dapat membahagiakan hatinya adalah sesuatu yang menjadi target, maka ia akan diperbudak oleh sesuatu itu. Penduduk desa tersebut sebenarnya juga diperbudak oleh sepeda, karena sepeda itulah yang dapat membahagiakan hatinya. Untung hanya sepeda yang kekuatan sosial ekonominya rendah. Kalaupun ada korban, kecil korbannya. Bagaimana kalau targetnya adalah pesawat pribadi, kapal pesiar, rumah mewah seharga di atas 100 milyar, dan lain sebagainya yang memiliki kekuatan sosial ekonomi besar? Maka akan makan korban dalam jumlah yang lebih besar juga. Manusia yang sudah terbelenggu oleh filosofi hidup yang salah akan terus terbelit oleh filosofinya tersebut sampai membunuh dirinya dan membunuh banyak orang. Orang seperti ini tidak dapat mengikut Tuhan Yesus.
Selama orang masih berharap bahwa dunia bisa memberikan hidup yang lengkap, utuh, bahagia, aman, dan nyaman, maka ia tidak akan pernah dapat mengenakan Kekristenan yang sejati. Kekristenan yang dikenakan pasti palsu. Tetapi inilah kodrat manusia pada umumnya. Hal ini diwariskan oleh orang tua kepada kita dan yang dapat diserap dari lingkungan dunia di sekitar. Korban Tuhan Yesus di kayu salib hendak menebus kita dari cara hidup yang salah ini (1Ptr. 1:18). Cara hidup yang benar adalah menyiapkan akal budi, tetap waspada (tidak mengikut jalan dunia) dan meletakkan pengharapan seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepada orang percaya pada waktu penyataan Yesus Kristus (1Ptr. 1:13). Itu berarti, lebih dari menggumuli pencapaian dari segala hal yang diharapkan dapat membahagiakan diri, seorang anak Bapa harus hidup dalam ketaatan kepada Allah Bapa dan menjadi kudus dalam seluruh kehidupannya (1Ptr. 1:14-16).
Hampir tidak ada orang yang berani hidup tanpa memperoleh kebahagiaan dari dunia ini. Bagaimanapun dan dengan cara apa pun, pada umumnya orang akan berusaha memeroleh sesuatu yang bisa dinikmati dalam hidup ini dari dunia dan manusia sekitarnya. Itulah sebabnya semua orang pasti pernah terjerat percintaan dunia; keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup (1Yoh. 2:15-17). Hal ini sudah menjadi kodrat yang tidak bisa disangkal dan tidak bisa dihindari, yang sudah melekat dalam kehidupan setiap insan. Fakta ini terjadi didorong oleh suatu pemikiran (sadar atau tidak) bahwa hidup hanya satu kali di dunia ini. Seakan-akan tidak ada lagi kehidupan yang sama seperti di dunia ini setelah kematian. Itulah sebabnya semua orang tidak mau kehilangan kesempatan untuk “hidup” di bumi dengan cara dan keadaan yang sama yang dimiliki orang lain.
Setelah kita mendengar Injil, seharusnya kita memiliki pemahaman yang berbeda dengan mereka. Kita tahu bahwa dunia ini bukan satu-satunya dunia yang manusia arungi. Masih ada dunia atau bumi lain yang Tuhan sediakan bagi kita (Yoh. 14:1-3). Dunia atau bumi kita sekarang ini bukanlah bumi ideal yang dikehendaki oleh Allah. Ini adalah bumi yang sudah rusak, produk gagal oleh karena manusia itu sendiri yang tidak bertanggung jawab atas anugerah yang diberikan kepadanya. Dengan pengertian ini maka kita tidak mengharapkan lagi kebahagiaan dari dunia ini. Kita hidup untuk dipersiapkan masuk dunia lain -yaitu langit baru dan bumi yang baru- di mana tidak ada dosa dan air mata dukacita. Bagi umat pilihan yang terpanggil untuk sempurna seperti Bapa, ia harus berani tidak mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini. Sebab kalau masih mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini, maka proses bertumbuh dewasa tidak terealisir dengan baik. Inilah sebenarnya yang menjadi penghalang seseorang bertumbuh menjadi sempurna seperti Tuhan Yesus. Jadi, kalau seseorang mau sukses dalam kehidupan ini di hadapan Tuhan, orang itu harus berani menanggalkan cara hidup yang salah, berani tidak mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini. Dengan demikian, hanya menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan.
https://overcast.fm/+IqOB4wCrI
Seseorang merasakan kebahagiaan atau tidak itu tergantung dari cara orang tersebut memandang hidup. Kalau cara pandang hidupnya sudah salah, menganggap yang dapat membahagiakan hatinya adalah sesuatu yang menjadi target, maka ia akan diperbudak oleh sesuatu itu. Penduduk desa tersebut sebenarnya juga diperbudak oleh sepeda, karena sepeda itulah yang dapat membahagiakan hatinya. Untung hanya sepeda yang kekuatan sosial ekonominya rendah. Kalaupun ada korban, kecil korbannya. Bagaimana kalau targetnya adalah pesawat pribadi, kapal pesiar, rumah mewah seharga di atas 100 milyar, dan lain sebagainya yang memiliki kekuatan sosial ekonomi besar? Maka akan makan korban dalam jumlah yang lebih besar juga. Manusia yang sudah terbelenggu oleh filosofi hidup yang salah akan terus terbelit oleh filosofinya tersebut sampai membunuh dirinya dan membunuh banyak orang. Orang seperti ini tidak dapat mengikut Tuhan Yesus.
Selama orang masih berharap bahwa dunia bisa memberikan hidup yang lengkap, utuh, bahagia, aman, dan nyaman, maka ia tidak akan pernah dapat mengenakan Kekristenan yang sejati. Kekristenan yang dikenakan pasti palsu. Tetapi inilah kodrat manusia pada umumnya. Hal ini diwariskan oleh orang tua kepada kita dan yang dapat diserap dari lingkungan dunia di sekitar. Korban Tuhan Yesus di kayu salib hendak menebus kita dari cara hidup yang salah ini (1Ptr. 1:18). Cara hidup yang benar adalah menyiapkan akal budi, tetap waspada (tidak mengikut jalan dunia) dan meletakkan pengharapan seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepada orang percaya pada waktu penyataan Yesus Kristus (1Ptr. 1:13). Itu berarti, lebih dari menggumuli pencapaian dari segala hal yang diharapkan dapat membahagiakan diri, seorang anak Bapa harus hidup dalam ketaatan kepada Allah Bapa dan menjadi kudus dalam seluruh kehidupannya (1Ptr. 1:14-16).
Hampir tidak ada orang yang berani hidup tanpa memperoleh kebahagiaan dari dunia ini. Bagaimanapun dan dengan cara apa pun, pada umumnya orang akan berusaha memeroleh sesuatu yang bisa dinikmati dalam hidup ini dari dunia dan manusia sekitarnya. Itulah sebabnya semua orang pasti pernah terjerat percintaan dunia; keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup (1Yoh. 2:15-17). Hal ini sudah menjadi kodrat yang tidak bisa disangkal dan tidak bisa dihindari, yang sudah melekat dalam kehidupan setiap insan. Fakta ini terjadi didorong oleh suatu pemikiran (sadar atau tidak) bahwa hidup hanya satu kali di dunia ini. Seakan-akan tidak ada lagi kehidupan yang sama seperti di dunia ini setelah kematian. Itulah sebabnya semua orang tidak mau kehilangan kesempatan untuk “hidup” di bumi dengan cara dan keadaan yang sama yang dimiliki orang lain.
Setelah kita mendengar Injil, seharusnya kita memiliki pemahaman yang berbeda dengan mereka. Kita tahu bahwa dunia ini bukan satu-satunya dunia yang manusia arungi. Masih ada dunia atau bumi lain yang Tuhan sediakan bagi kita (Yoh. 14:1-3). Dunia atau bumi kita sekarang ini bukanlah bumi ideal yang dikehendaki oleh Allah. Ini adalah bumi yang sudah rusak, produk gagal oleh karena manusia itu sendiri yang tidak bertanggung jawab atas anugerah yang diberikan kepadanya. Dengan pengertian ini maka kita tidak mengharapkan lagi kebahagiaan dari dunia ini. Kita hidup untuk dipersiapkan masuk dunia lain -yaitu langit baru dan bumi yang baru- di mana tidak ada dosa dan air mata dukacita. Bagi umat pilihan yang terpanggil untuk sempurna seperti Bapa, ia harus berani tidak mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini. Sebab kalau masih mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini, maka proses bertumbuh dewasa tidak terealisir dengan baik. Inilah sebenarnya yang menjadi penghalang seseorang bertumbuh menjadi sempurna seperti Tuhan Yesus. Jadi, kalau seseorang mau sukses dalam kehidupan ini di hadapan Tuhan, orang itu harus berani menanggalkan cara hidup yang salah, berani tidak mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini. Dengan demikian, hanya menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan.
https://overcast.fm/+IqOB4wCrI
Renungan Harian 21 Juli 2019 HIDUP LEBIH PENTING DARI MAKANAN
Dalam Matius 6:25 Tuhan Yesus berkata: “Janganlah khawatir akan hidupmu, …Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” Apa maksud Tuhan Yesus mengatakan bahwa “hidup lebih penting dari makanan dan tubuh lebih penting dari pakaian?” Kata “hidup” dalam teks ini adalah psuke (ψυχῇ), yang artinya jiwa. Dalam jiwa ada pikiran, perasaan, dan kehendak. Tuhan hendak menunjukkan bahwa pemeliharan pikiran, perasaan, dan kehendak -yaitu manusia batiniah- lebih penting dari makanan jasmani untuk pertumbuhan fisik (nourishment; Yun. trophes τροφῆς). Dengan pernyataan ini Tuhan Yesus hendak menunjukkan bahwa manusia hidup bukan hanya dari roti saja. Maksud Tuhan Yesus dengan pernyataan-Nya tersebut adalah jangan karena makanan jasmani (roti), seseorang mengabaikan pemeliharaan manusia batiniah yang lebih penting, sebab membawa dampak abadi.
Pada umumnya manusia mengusahakan segala sesuatu demi kepuasan jasmaninya. Hal ini seperti orang-orang Roma yang gelojoh (serakah atau rakus). Mereka makan sekenyang-kenyangnya, kemudian dimuntahkan dan makan lagi. Tuhan hendak menunjukkan bahwa orang percaya tidak boleh khawatir, karena tidak berkelebihan atau karena kurang puas dengan makanan yang tersedia. Bapa pasti memelihara lebih dari burung di udara. Kekhawatiran di sini adalah kekhawatiran yang sama seperti orang kaya dalam Lukas 12:16-21. Apa yang dikemukakan oleh Tuhan Yesus sinkron dengan yang dikemukakan Paulus, asal ada makanan dan pakaian cukup. Hidup bukan untuk makan, tetapi makan untuk hidup.
Tuhan Yesus mengatakan bahwa tubuh lebih penting dari pakaian. Kata “tubuh” di sini adalah soma (σῶμα) dan “pakaian” dalam teks aslinya adalah endumatos (ἐνδύματος) yang artinya jubah luar (outer robe). Dalam hal ini Tuhan mengingatkan kepada manusia yang tidak menggunakan tubuhnya dengan benar. Yang lebih mendandani dirinya dengan jubah luar yang megah dalam pemandangan mata manusia, tetapi tidak menggunakan tubuhnya untuk kemuliaan Allah. Inilah yang dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu; demi penampilan, mereka mengusahakan segala sesuatu bukan bertujuan untuk mengabdi kepada Allah, tetapi demi dirinya sendiri. Jadi “kekhawatiran” di sini adalah kekhawatiran “kurang terhormat,” khawatir kurang berpenampilan menarik. Padahal Tuhan pasti memelihara tubuh yang adalah milik-Nya demi kemuliaan nama-Nya dan kepentingan Kerajaan Allah. Tuhan Yesus menunjukkan bahwa bunga di padang didandani lebih dari Salomo, maka orang percaya pasti dipelihara lebih dari semua itu. Kalau kekhawatiran orang percaya karena tidak bisa bermegah dengan penampilan, maka berarti ia tidak mengumpulkan harta di surga.
Selanjutnya dalam Matius 6:30 tertulis: “Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?” Apa maksud pernyataan Tuhan ini? Kalau rumput fana yang tidak bernilai tinggi dipelihara oleh Allah (seperti juga burung), maka orang percaya akan dipelihara lebih dari semua itu. Tentu pemeliharaan Allah bukan hanya menyangkut kehidupan jasmani yang sementara, sebab manusia adalah makhluk kekal. Pemeliharaan Allah memiliki jangkauan yang lebih luas atau lebih mulia. Sayang sekali, banyak orang Kristen yang berpikir dangkal, mereka memandang Matius 6:30 sekadar janji bahwa Tuhan akan memelihara kehidupan mereka di bumi dengan sempurna (makan dan minum serta pemenuhan kebutuhan jasmani), tetapi mereka tidak melihat rencana Allah di balik pemeliharaan jasmani tersebut.
Pemeliharaan Allah atas kehidupan jasmani anak-Anak Bapa dimaksudkan agar mereka bisa menyelenggarakan maksud dan tujuan hidup sebagai orang percaya, yaitu mengumpulkan harta di surga dan mendahulukan Kerajaan Allah tanpa gangguan atau tanpa hambatan (Mat. 6:19-21,33). Dengan demikian pemenuhan kebutuhan jasmani bukanlah tujuan atau goalnya. Dalam hal ini orang percaya harus bisa diajak sepikiran atau sevisi dengan Allah, yaitu untuk tidak fokus pada hal-hal duniawi. Itulah sebabnya Tuhan Yesus tegas berkata agar orang percaya tidak mengumpulkan harta di bumi, tetapi agar orang percaya harus mengumpulkan harta di surga.
Allah tidak menghendaki manusia dibuang ke dalam lautan api (Why. 20:15). Itulah sebabnya Tuhan Yesus dalam pernyataan-Nya menganalogikan manusia dengan rumput. Rumput didandani dengan bunga indah yang mekar pada pagi hari, tetapi sorenya dibuang ke dalam api. Manusia dikehendaki oleh Allah setelah 70–80 tahun umur hidupnya bisa mendiami Kerajaan-Nya. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata agar orang percaya mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Kalau pengertian seseorang tumpul atau pengertiannya gelap (Mat. 6:22), maka mereka tidak akan bisa menangkap maksud Tuhan di balik kalimat dalam Matius 6:30 tersebut. Mereka hanya menganggap Tuhan berurusan dengan makan dan minum serta pakaian jasmani. Padahal perspektif Tuhan memandang hidup adalah kekekalan.
https://overcast.fm/+IqOAGKuPc
Pada umumnya manusia mengusahakan segala sesuatu demi kepuasan jasmaninya. Hal ini seperti orang-orang Roma yang gelojoh (serakah atau rakus). Mereka makan sekenyang-kenyangnya, kemudian dimuntahkan dan makan lagi. Tuhan hendak menunjukkan bahwa orang percaya tidak boleh khawatir, karena tidak berkelebihan atau karena kurang puas dengan makanan yang tersedia. Bapa pasti memelihara lebih dari burung di udara. Kekhawatiran di sini adalah kekhawatiran yang sama seperti orang kaya dalam Lukas 12:16-21. Apa yang dikemukakan oleh Tuhan Yesus sinkron dengan yang dikemukakan Paulus, asal ada makanan dan pakaian cukup. Hidup bukan untuk makan, tetapi makan untuk hidup.
Tuhan Yesus mengatakan bahwa tubuh lebih penting dari pakaian. Kata “tubuh” di sini adalah soma (σῶμα) dan “pakaian” dalam teks aslinya adalah endumatos (ἐνδύματος) yang artinya jubah luar (outer robe). Dalam hal ini Tuhan mengingatkan kepada manusia yang tidak menggunakan tubuhnya dengan benar. Yang lebih mendandani dirinya dengan jubah luar yang megah dalam pemandangan mata manusia, tetapi tidak menggunakan tubuhnya untuk kemuliaan Allah. Inilah yang dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu; demi penampilan, mereka mengusahakan segala sesuatu bukan bertujuan untuk mengabdi kepada Allah, tetapi demi dirinya sendiri. Jadi “kekhawatiran” di sini adalah kekhawatiran “kurang terhormat,” khawatir kurang berpenampilan menarik. Padahal Tuhan pasti memelihara tubuh yang adalah milik-Nya demi kemuliaan nama-Nya dan kepentingan Kerajaan Allah. Tuhan Yesus menunjukkan bahwa bunga di padang didandani lebih dari Salomo, maka orang percaya pasti dipelihara lebih dari semua itu. Kalau kekhawatiran orang percaya karena tidak bisa bermegah dengan penampilan, maka berarti ia tidak mengumpulkan harta di surga.
Selanjutnya dalam Matius 6:30 tertulis: “Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?” Apa maksud pernyataan Tuhan ini? Kalau rumput fana yang tidak bernilai tinggi dipelihara oleh Allah (seperti juga burung), maka orang percaya akan dipelihara lebih dari semua itu. Tentu pemeliharaan Allah bukan hanya menyangkut kehidupan jasmani yang sementara, sebab manusia adalah makhluk kekal. Pemeliharaan Allah memiliki jangkauan yang lebih luas atau lebih mulia. Sayang sekali, banyak orang Kristen yang berpikir dangkal, mereka memandang Matius 6:30 sekadar janji bahwa Tuhan akan memelihara kehidupan mereka di bumi dengan sempurna (makan dan minum serta pemenuhan kebutuhan jasmani), tetapi mereka tidak melihat rencana Allah di balik pemeliharaan jasmani tersebut.
Pemeliharaan Allah atas kehidupan jasmani anak-Anak Bapa dimaksudkan agar mereka bisa menyelenggarakan maksud dan tujuan hidup sebagai orang percaya, yaitu mengumpulkan harta di surga dan mendahulukan Kerajaan Allah tanpa gangguan atau tanpa hambatan (Mat. 6:19-21,33). Dengan demikian pemenuhan kebutuhan jasmani bukanlah tujuan atau goalnya. Dalam hal ini orang percaya harus bisa diajak sepikiran atau sevisi dengan Allah, yaitu untuk tidak fokus pada hal-hal duniawi. Itulah sebabnya Tuhan Yesus tegas berkata agar orang percaya tidak mengumpulkan harta di bumi, tetapi agar orang percaya harus mengumpulkan harta di surga.
Allah tidak menghendaki manusia dibuang ke dalam lautan api (Why. 20:15). Itulah sebabnya Tuhan Yesus dalam pernyataan-Nya menganalogikan manusia dengan rumput. Rumput didandani dengan bunga indah yang mekar pada pagi hari, tetapi sorenya dibuang ke dalam api. Manusia dikehendaki oleh Allah setelah 70–80 tahun umur hidupnya bisa mendiami Kerajaan-Nya. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata agar orang percaya mendahulukan Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Kalau pengertian seseorang tumpul atau pengertiannya gelap (Mat. 6:22), maka mereka tidak akan bisa menangkap maksud Tuhan di balik kalimat dalam Matius 6:30 tersebut. Mereka hanya menganggap Tuhan berurusan dengan makan dan minum serta pakaian jasmani. Padahal perspektif Tuhan memandang hidup adalah kekekalan.
https://overcast.fm/+IqOAGKuPc
Renungan Harian 20 Juli 2019 KEKHAWATIRAN YANG POSITIF
Dalam khotbah di bukit, Tuhan Yesus menyinggung mengenai hal kekhawatiran (Mat. 6:25-34). Dari teks-teks tersebut disimpulkan agar kita tidak khawatir. Kekhawatiran menjadi kata yang selalu berkonotasi negatif. Mengapa demikian? Sebab hal ini terjadi karena banyak orang tidak memperhatikan konteks ketika Tuhan Yesus berbicara mengenai kekhawatiran tersebut. Konteks percakapan pada waktu itu adalah agar orang percaya tidak mengumpulkan harta di bumi, dan memindahkan hati mereka di Kerajaan Surga. Nasihat bahwa kekayaan bisa menggelapkan pengertian dan puncaknya adalah agar setiap orang mengabdi hanya kepada Tuhan; kepada Tuhan saja atau tidak sama sekali. Bila direlasikan dengan konteks tersebut, maka segala kepentingan kita harus ditiadakan, selain untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan yang sesungguhnya nanti di surga, dengan mempertajam pengertian untuk mengenal kebenaran dan kepentingan untuk mengabdi kepada Tuhan. Tentu saja Tuhan sendiri akan mendukung penuh kehendak-Nya ini terwujud dalam kehidupan orang percaya.
Apa sebenarnya kekhawatiran itu? Kekhawatiran adalah perasaan terancam oleh suatu hal atau oleh sesuatu yang bisa atau akan terjadi menimpa dirinya sehingga menimbulkan ketidaktenangan dalam hati. Bisa terjadi artinya bisa benar-benar terjadi atau tidak. Jika demikian berarti kekhawatiran bisa membuat seseorang bereaksi menghindarkan diri dari ancaman tersebut. Jadi, kalau tidak ada kekhawatiran sama sekali, maka hal tersebut akan membuat seseorang menjadi tidak waspada terhadap suatu keadaan yang bisa terjadi menimpa dirinya. Tuhan Yesus berkata: “Janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Mat. 6:25). Ini bukan berarti kekhawatiran selalu negatif, harus diingat bahwa kekhawatiran membangkitkan kewaspadaan dan sikap berjaga-jaga.
Kalau dilihat dari konteksnya, maksud ayat tersebut adalah agar orang percaya mencari nafkah, makanan, dan pakaian bukan demi makanan dan pakaian itu sendiri. Tetapi demi agar maksud Tuhan menempatkan manusia sebagai orang percaya, diwujudkan. Sehingga dalam hal ini seseorang tidak boleh memiliki target duniawi atau jasmani. Targetnya adalah mengumpulkan harta di surga, membangun pengertian untuk mengenal kebenaran, dan mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan (Mat. 6:19-24). Kekhawatiran yang salah adalah perasaan terancam terhadap sesuatu lebih dari kekhawatirannya tidak memiliki harta surgawi dan terbuang dari hadirat Allah. Orang-orang yang memiliki kekhawatiran yang salah tidak akan menghargai nilai-nilai kekekalan atau nilai-nilai rohani.
Adalah suatu kesalahan kalau dikesankan secara terselubung atau terang-terangan kepada jemaat bahwa Tuhan pasti memelihara hidup orang percaya, tetapi di lain pihak mengabaikan tanggung jawab untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan. Seakan-akan dengan pernyataan Tuhan Yesus agar tidak khawatir merupakan janji bahwa Dia akan memenuhi segala kebutuhan secara otomatis. Dalam hal ini pengertian agar orang percaya tidak khawatir harus dipahami dengan benar. Dalam Matius 6:25-34 Tuhan Yesus sama sekali tidak mengajarkan bahwa orang percaya boleh “percaya saja” (aktivitas pikiran), maka Bapa akan memelihara tanpa syarat. Hal ini akan merusak kinerja dan mental orang percaya.
Tuhan Yesus menunjuk burung di langit dan bunga bakung di ladang sebagai contoh. Burung di langit adalah burung yang pergi mencari nafkah dan bunga bakung di ladang adalah bunga hidup yang terus menyerap makanan, tak berhenti bekerja. Tuhan hendak mengajarkan bahwa ada wilayah yang harus dipenuhi oleh manusia, seperti burung terbang di langit mencari makanan dan seperti bunga bakung yang menyerap makanan. Tetapi ada wilayah Tuhan yang tidak bisa dikontrol dan dikendalikan oleh manusia. Berkenaan dengan hal ini Tuhan Yesus berkata: “Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya” (Mat. 6:27).
Orang percaya harus memenuhi bagiannya dengan tekun, adapun hal yang tidak bisa ditanggulangi oleh manusia -sebab di luar kemampuannya- itu menjadi bagian Tuhan. Hendaknya kita menghindarkan jemaat dari salah pengertian, bahwa seakan-akan nasihat “jangan khawatir” melegalkan orang percaya untuk tidak perlu giat bekerja. Hal ini mengesankan bahwa Tuhan akan menopang segala sesuatu, walaupun anak Bapa tersebut tidak giat dan tekun bekerja. Tidak semua kekhawatiran adalah sebuah pelecehan terhadap Tuhan, seakan-akan karena dengan khawatir seseorang mengatakan bahwa Allah tidak sanggup mengurus hidupnya. Allah sanggup mengurus hidup umat-Nya, tetapi kalau umat-Nya tidak mengurus hidupnya dengan benar maka pasti akan hidup dalam kekurangan. Perlu ada kekhawatiran yang positif, yaitu kekhawatiran yang menggerakkan seseorang berjaga-jaga, bekerja keras dan bertanggung jawab. Kekhawatiran yang paling prinsip adalah kekhawatiran terbuang dari hadirat Allah.
https://overcast.fm/+IqOCF_kaE
Apa sebenarnya kekhawatiran itu? Kekhawatiran adalah perasaan terancam oleh suatu hal atau oleh sesuatu yang bisa atau akan terjadi menimpa dirinya sehingga menimbulkan ketidaktenangan dalam hati. Bisa terjadi artinya bisa benar-benar terjadi atau tidak. Jika demikian berarti kekhawatiran bisa membuat seseorang bereaksi menghindarkan diri dari ancaman tersebut. Jadi, kalau tidak ada kekhawatiran sama sekali, maka hal tersebut akan membuat seseorang menjadi tidak waspada terhadap suatu keadaan yang bisa terjadi menimpa dirinya. Tuhan Yesus berkata: “Janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Mat. 6:25). Ini bukan berarti kekhawatiran selalu negatif, harus diingat bahwa kekhawatiran membangkitkan kewaspadaan dan sikap berjaga-jaga.
Kalau dilihat dari konteksnya, maksud ayat tersebut adalah agar orang percaya mencari nafkah, makanan, dan pakaian bukan demi makanan dan pakaian itu sendiri. Tetapi demi agar maksud Tuhan menempatkan manusia sebagai orang percaya, diwujudkan. Sehingga dalam hal ini seseorang tidak boleh memiliki target duniawi atau jasmani. Targetnya adalah mengumpulkan harta di surga, membangun pengertian untuk mengenal kebenaran, dan mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan (Mat. 6:19-24). Kekhawatiran yang salah adalah perasaan terancam terhadap sesuatu lebih dari kekhawatirannya tidak memiliki harta surgawi dan terbuang dari hadirat Allah. Orang-orang yang memiliki kekhawatiran yang salah tidak akan menghargai nilai-nilai kekekalan atau nilai-nilai rohani.
Adalah suatu kesalahan kalau dikesankan secara terselubung atau terang-terangan kepada jemaat bahwa Tuhan pasti memelihara hidup orang percaya, tetapi di lain pihak mengabaikan tanggung jawab untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan. Seakan-akan dengan pernyataan Tuhan Yesus agar tidak khawatir merupakan janji bahwa Dia akan memenuhi segala kebutuhan secara otomatis. Dalam hal ini pengertian agar orang percaya tidak khawatir harus dipahami dengan benar. Dalam Matius 6:25-34 Tuhan Yesus sama sekali tidak mengajarkan bahwa orang percaya boleh “percaya saja” (aktivitas pikiran), maka Bapa akan memelihara tanpa syarat. Hal ini akan merusak kinerja dan mental orang percaya.
Tuhan Yesus menunjuk burung di langit dan bunga bakung di ladang sebagai contoh. Burung di langit adalah burung yang pergi mencari nafkah dan bunga bakung di ladang adalah bunga hidup yang terus menyerap makanan, tak berhenti bekerja. Tuhan hendak mengajarkan bahwa ada wilayah yang harus dipenuhi oleh manusia, seperti burung terbang di langit mencari makanan dan seperti bunga bakung yang menyerap makanan. Tetapi ada wilayah Tuhan yang tidak bisa dikontrol dan dikendalikan oleh manusia. Berkenaan dengan hal ini Tuhan Yesus berkata: “Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya” (Mat. 6:27).
Orang percaya harus memenuhi bagiannya dengan tekun, adapun hal yang tidak bisa ditanggulangi oleh manusia -sebab di luar kemampuannya- itu menjadi bagian Tuhan. Hendaknya kita menghindarkan jemaat dari salah pengertian, bahwa seakan-akan nasihat “jangan khawatir” melegalkan orang percaya untuk tidak perlu giat bekerja. Hal ini mengesankan bahwa Tuhan akan menopang segala sesuatu, walaupun anak Bapa tersebut tidak giat dan tekun bekerja. Tidak semua kekhawatiran adalah sebuah pelecehan terhadap Tuhan, seakan-akan karena dengan khawatir seseorang mengatakan bahwa Allah tidak sanggup mengurus hidupnya. Allah sanggup mengurus hidup umat-Nya, tetapi kalau umat-Nya tidak mengurus hidupnya dengan benar maka pasti akan hidup dalam kekurangan. Perlu ada kekhawatiran yang positif, yaitu kekhawatiran yang menggerakkan seseorang berjaga-jaga, bekerja keras dan bertanggung jawab. Kekhawatiran yang paling prinsip adalah kekhawatiran terbuang dari hadirat Allah.
https://overcast.fm/+IqOCF_kaE
Renungan Harian 19 Juli 2019 BUKAN KELEMAHAN
Murid-murid Yesus dan orang-orang yang selama ini mengikut Tuhan Yesus dan berharap dapat mengubah nasib mereka, melihat bahwa Tuhan Yesus tunduk kepada kekuatan Roma, maka semangat mereka menjadi patah. Selama ini mereka mengikut Tuhan Yesus dengan mempertaruhkan segenap hidup mereka, meninggalkan segala sesuatu adalah karena mereka hendak mengubah nasib atau keadaan hidup mereka. Mereka mau menjadi orang terhormat di mata manusia. Dengan ditangkapnya Tuhan Yesus, disiksa, dan dihukum mati, maka mereka menjadi tawar hati dan meninggalkan Tuhan Yesus. Murid-murid yang terutama -yang selama itu ada di samping Tuhan Yesus- begitu kecewa sampai mereka bermaksud kembali ke profesi semula, di antaranya sebagai penjala ikan. Bisa dibayangkan bagaimana dengan profesi Matius sebagai pemungut cukai, tidak mudah ia dapat menduduki kembali jabatan yang pernah didudukinya. Langit hidup mereka menjadi runtuh. Kebersamaan dengan Tuhan Yesus selama tiga setengah tahun yang penuh harapan, sirna sekejap. Mereka memandangnya seperti sebuah mimpi sangat buruk. Sulit bagi mereka menerima kenyataan itu.
Hal itu terjadi sebab mereka tidak tahu rencana Allah dan kebenaran-Nya. Mereka memaksakan rencana mereka sendiri dan membangun kebenaran mereka sendiri pula. Pada dasarnya mereka tidak mengikut Tuhan Yesus, tetapi mereka bermaksud agar Tuhan Yesus mengikut mereka. Kejayaan yang mereka maksudkan dan harapkan adalah kejayaan dan kemuliaan yang berbeda dengan konsep Tuhan. Hal ini memberi pelajaran yang mahal bagi kita orang percaya sekarang ini. Inti Kekristenan adalah mengenakan cara berpikir Tuhan. Ketidakberdayaan-Nya menghadapi kekuatan agama Yahudi dan Roma bukanlah sebuah kekalahan atau kelemahan, justru itulah kekuatan.
Tuhan Yesus bukan tidak sanggup membela diri dengan menurunkan malaikat dari surga, tetapi Ia memilih menderita sampai mati di salib. Dengan cara itulah Ia memuliakan Allah Bapa. Itulah kekuatan. Sesuatu disebut sebagai kekuatan kalau melakukan apa yang Allah Bapa kehendaki, walau di mata manusia dianggap sebagai kelemahan dan ketidakberdayaan. Dalam kehidupan orang percaya yang benar, kita diajar untuk memberi diri mengikuti jejak Tuhan Yesus dengan menaati kehendak-Nya. Walaupun untuk itu kita dianggap lemah, tidak berdaya, dan bodoh. Dengan mengikuti kehendak Bapa, kita bisa dianggap tidak beruntung dibanding mereka yang berani berlaku curang. Demi kebenaran kita harus berani tidak memiliki kelimpahan materi seperti mereka yang ada di jalan orang fasik. Bahkan kita harus berani tidak memiliki apa-apa demi kehidupan yang akan datang. Untuk ini, cara berpikir kita harus sesuai dengan cara berpikir Tuhan.
Dengan berpikir menggunakan cara berpikir Tuhan, maka prinsip-prinsip hidup kita akan bertolak belakang dengan cara berpikir dunia. Bagi mereka yang dianggap kemegahan adalah kekayaan dunia dan segala kehormatannya. Tetapi bagi orang percaya yang bernilai tinggi adalah ketaatan kepada kehendak Allah, apa pun keadaannya. Dalam hal ini kemegahan hidup bukanlah diukur dari penampilan lahiriah dan duniawi. Betapa kontrasnya prinsip Kekristenan yang berbeda dengan prinsip manusia pada umumnya. Padahal setiap hari –begitu seseorang membuka mata- yang dikejar orang dunia adalah kemegahan fisik atau materi. Mereka tidak mengerti bagaimana melakukan kehendak Tuhan. Mereka tidak akan mengerti kalau ada orang-orang yang tekun belajar kebenaran Firman Tuhan, menyediakan diri bertemu dengan Tuhan setiap hari dan berusaha menjaga kesucian hidupnya.
Tidak sedikit orang-orang yang tidak mengerti kebenaran memandang orang-orang Kristen yang berbuat demikian adalah orang-orang fanatik yang picik atau dianggap sebagai korban indoktrinasi hamba-hamba Tuhan tertentu. Mereka adalah juga orang Kristen, tetapi tidak fanatik seperti itu. Mereka memandang bahwa diri mereka sudah menjadi Kristen yang proporsional. Bila berbeda dengan pandangan Kekristenan mereka, akan dianggap sebagai “fanatik dan keterlaluan.” Itulah yang di mata mereka sebagai kebodohan, yang sama nadanya dengan “kelemahan.”
Memang menjadi orang percaya harus fanatik yang sehat. Fanatik yang sehat artinya memang bersikap berlebihan, tetapi tidak membabi buta sebab membela Tuhan dan meyakini-Nya dengan pengertian. Hal ini telah dilakukan oleh Tuhan Yesus, dalam keyakinan-Nya kepada Allah Bapa dan pembelaan serta ketaatan-Nya kepada Allah Bapa sangat luar biasa; Tuhan Yesus taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Satu sisi, di mata orang Kristen kebanyakan fanatisme seperti itu adalah kebodohan yang senada dengan kelemahan, tetapi di mata Allah adalah proporsional. Dan itulah kekuatan. Tentu saja fanatisme orang percaya yang benar tidak melukai siapa pun. Fanatisme yang sehat akan melahirkan kesucian hidup, kehidupan yang bertanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, dan gereja Tuhan. Untuk memiliki fanatisme yang sehat seperti Tuhan Yesus kepada Allah Bapa, kita harus berani menyangkal diri dan memikul salib. Inilah yang harus menjadi pergumulan utama hidup ini, menjadi seperti Tuhan Yesus.
Hal itu terjadi sebab mereka tidak tahu rencana Allah dan kebenaran-Nya. Mereka memaksakan rencana mereka sendiri dan membangun kebenaran mereka sendiri pula. Pada dasarnya mereka tidak mengikut Tuhan Yesus, tetapi mereka bermaksud agar Tuhan Yesus mengikut mereka. Kejayaan yang mereka maksudkan dan harapkan adalah kejayaan dan kemuliaan yang berbeda dengan konsep Tuhan. Hal ini memberi pelajaran yang mahal bagi kita orang percaya sekarang ini. Inti Kekristenan adalah mengenakan cara berpikir Tuhan. Ketidakberdayaan-Nya menghadapi kekuatan agama Yahudi dan Roma bukanlah sebuah kekalahan atau kelemahan, justru itulah kekuatan.
Tuhan Yesus bukan tidak sanggup membela diri dengan menurunkan malaikat dari surga, tetapi Ia memilih menderita sampai mati di salib. Dengan cara itulah Ia memuliakan Allah Bapa. Itulah kekuatan. Sesuatu disebut sebagai kekuatan kalau melakukan apa yang Allah Bapa kehendaki, walau di mata manusia dianggap sebagai kelemahan dan ketidakberdayaan. Dalam kehidupan orang percaya yang benar, kita diajar untuk memberi diri mengikuti jejak Tuhan Yesus dengan menaati kehendak-Nya. Walaupun untuk itu kita dianggap lemah, tidak berdaya, dan bodoh. Dengan mengikuti kehendak Bapa, kita bisa dianggap tidak beruntung dibanding mereka yang berani berlaku curang. Demi kebenaran kita harus berani tidak memiliki kelimpahan materi seperti mereka yang ada di jalan orang fasik. Bahkan kita harus berani tidak memiliki apa-apa demi kehidupan yang akan datang. Untuk ini, cara berpikir kita harus sesuai dengan cara berpikir Tuhan.
Dengan berpikir menggunakan cara berpikir Tuhan, maka prinsip-prinsip hidup kita akan bertolak belakang dengan cara berpikir dunia. Bagi mereka yang dianggap kemegahan adalah kekayaan dunia dan segala kehormatannya. Tetapi bagi orang percaya yang bernilai tinggi adalah ketaatan kepada kehendak Allah, apa pun keadaannya. Dalam hal ini kemegahan hidup bukanlah diukur dari penampilan lahiriah dan duniawi. Betapa kontrasnya prinsip Kekristenan yang berbeda dengan prinsip manusia pada umumnya. Padahal setiap hari –begitu seseorang membuka mata- yang dikejar orang dunia adalah kemegahan fisik atau materi. Mereka tidak mengerti bagaimana melakukan kehendak Tuhan. Mereka tidak akan mengerti kalau ada orang-orang yang tekun belajar kebenaran Firman Tuhan, menyediakan diri bertemu dengan Tuhan setiap hari dan berusaha menjaga kesucian hidupnya.
Tidak sedikit orang-orang yang tidak mengerti kebenaran memandang orang-orang Kristen yang berbuat demikian adalah orang-orang fanatik yang picik atau dianggap sebagai korban indoktrinasi hamba-hamba Tuhan tertentu. Mereka adalah juga orang Kristen, tetapi tidak fanatik seperti itu. Mereka memandang bahwa diri mereka sudah menjadi Kristen yang proporsional. Bila berbeda dengan pandangan Kekristenan mereka, akan dianggap sebagai “fanatik dan keterlaluan.” Itulah yang di mata mereka sebagai kebodohan, yang sama nadanya dengan “kelemahan.”
Memang menjadi orang percaya harus fanatik yang sehat. Fanatik yang sehat artinya memang bersikap berlebihan, tetapi tidak membabi buta sebab membela Tuhan dan meyakini-Nya dengan pengertian. Hal ini telah dilakukan oleh Tuhan Yesus, dalam keyakinan-Nya kepada Allah Bapa dan pembelaan serta ketaatan-Nya kepada Allah Bapa sangat luar biasa; Tuhan Yesus taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Satu sisi, di mata orang Kristen kebanyakan fanatisme seperti itu adalah kebodohan yang senada dengan kelemahan, tetapi di mata Allah adalah proporsional. Dan itulah kekuatan. Tentu saja fanatisme orang percaya yang benar tidak melukai siapa pun. Fanatisme yang sehat akan melahirkan kesucian hidup, kehidupan yang bertanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, dan gereja Tuhan. Untuk memiliki fanatisme yang sehat seperti Tuhan Yesus kepada Allah Bapa, kita harus berani menyangkal diri dan memikul salib. Inilah yang harus menjadi pergumulan utama hidup ini, menjadi seperti Tuhan Yesus.
Kamis, 18 Juli 2019
Quote Juli #3
Today's Quote:
Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk ciptaan mendorong seseorang membangun terus menerus hubungan yang proporsional atau yang benar dengan Tuhan sebagai Sang Khalik.
Dr. Erastus Sabdono,
12 Juli 2019
Today's Quote:
Dengan pengakuan bahwa orang percaya adalah makhluk ciptaan berarti ia harus rela kehilangan hak. Penolakan terhadap realitas ini berarti pemberontakan.
Dr. Erastus Sabdono,
13 Juli 2019
Today's Quote :
Ketika kita tidak bisa lagi menundukkan diri kepada Tuhan, di situlah keangkuhan hidup dan itu lebih dari kesombongan. Karena itu sudah sampai pada wilayah melawan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
14 Juli 2019
Today's Quote:
Tidak hidup bagi Tuhan berarti meneladani Lusifer.
Dr. Erastus Sabdono,
15 Juli 2019
Today's Quote:
Ketika seseorang membuat sesamanya menemukan hidup, yaitu kehidupan di bumi ini dengan baik dan mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus, itu berarti seseorang memuliakan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
16 Juli 2019
Today's Quote:
Manusia selamanya adalah mandataris Allah, ia hanya melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah dan demi kepentingan-Nya.
Dr. Erastus Sabdono,
17 Juli 2019
Today's Quote:
Orang percaya dipanggil untuk memiliki kualitas hidup seperti yang Tuhan Yesus peragakan, bukan berdasarkan tokoh saleh dalam Perjanjian Lama.
Dr. Erastus Sabdono,
18 Juli 2019
Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk ciptaan mendorong seseorang membangun terus menerus hubungan yang proporsional atau yang benar dengan Tuhan sebagai Sang Khalik.
Dr. Erastus Sabdono,
12 Juli 2019
Today's Quote:
Dengan pengakuan bahwa orang percaya adalah makhluk ciptaan berarti ia harus rela kehilangan hak. Penolakan terhadap realitas ini berarti pemberontakan.
Dr. Erastus Sabdono,
13 Juli 2019
Today's Quote :
Ketika kita tidak bisa lagi menundukkan diri kepada Tuhan, di situlah keangkuhan hidup dan itu lebih dari kesombongan. Karena itu sudah sampai pada wilayah melawan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
14 Juli 2019
Today's Quote:
Tidak hidup bagi Tuhan berarti meneladani Lusifer.
Dr. Erastus Sabdono,
15 Juli 2019
Today's Quote:
Ketika seseorang membuat sesamanya menemukan hidup, yaitu kehidupan di bumi ini dengan baik dan mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus, itu berarti seseorang memuliakan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
16 Juli 2019
Today's Quote:
Manusia selamanya adalah mandataris Allah, ia hanya melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah dan demi kepentingan-Nya.
Dr. Erastus Sabdono,
17 Juli 2019
Today's Quote:
Orang percaya dipanggil untuk memiliki kualitas hidup seperti yang Tuhan Yesus peragakan, bukan berdasarkan tokoh saleh dalam Perjanjian Lama.
Dr. Erastus Sabdono,
18 Juli 2019
Renungan Harian 18 Juli 2019 SESUAI DENGAN PORSINYA
Kualitas hidup Kekristenan yang baik, ditandai dengan kesibukan hidup bersama dengan Tuhan. Tuhan begitu nyata dalam hidup mereka, dan pengaruh dari pergaulannya dengan Tuhan begitu kelihatan dan dirasakan oleh orang di sekitarnya. Tuhan tidak akan berurusan dengan orang yang tidak mau berurusan secara benar dengan Tuhan. Banyak orang Kristen yang tidak berurusan secara benar dengan Tuhan, mereka adalah orang-orang yang memandang hidup ini secara keliru. Hal ini disebabkan oleh karena miskinnya pemahaman mengenai kebenaran. Mereka tidak mengerti arti menjadi anak tebusan yang harus dimiliki Tuhan dan hidup sepenuhnya bagi rencana keselamatan. Mereka sibuk bagaimana memiliki dunia ini dan menikmatinya. Bagi mereka cara hidup seperti itu wajar, padahal itu bukan cara hidup anak-anak Allah. Mereka pasti tidak menghormati Tuhan secara pantas. Kalaupun mereka berurusan dengan Tuhan, itu karena mereka hendak menggunakan Tuhan untuk kepentingan pribadinya.
Orang-orang Kristen seperti itu diajar bahwa Tuhan Yesus datang untuk memutuskan berbagai kutuk untuk menyingkirkan segala rintangan hidup agar orang Kristen hidup makmur. Pembicara-pembicara seperti itu membangun sosok Tuhan yang tidak diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil-Nya. Hal ini sudah terjadi pada abad mula-mula Kekristenan muncul (2Kor. 11:2-4; Gal. 1:9-10). Inilah nabi-nabi palsu yang sekarang sangat “sukses” dalam pelayanan gereja. Kalau pemberitaan Firmannya salah, maka dibangunnyalah pengalaman-pengalaman “fiktif” yang sangat subyektif dan cirinya adalah tidak logis dan mistis. Tentu ajaran mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan secara Alkitabiah. Karena jemaat tidak mengerti kebenaran, mereka tidak tahu kalau ternyata telah dibohongi dan diperdaya. Tidak heran kalau gereja-gereja seperti ini penuh dengan kesaksian-kesaksian mengenai pengalaman dengan Tuhan yang “mengagumkan.”
Orang-orang Kristen seperti di atas begitu mudah mengatakan Tuhan memberikan visi-visi, Tuhan berbicara, Tuhan menyatakan diri sehingga bisa bertemu langsung dengan Tuhan, dan lain sebagainya. Ironisnya mereka tidak memfokuskan diri kepada langit baru dan bumi yang baru. Mereka pasti berusaha mengesankan diri mereka sangat dekat dengan Tuhan dan istimewa di hadapan-Nya dengan bukti secara materi diberkati atau memiliki banyak, atau dengan demonstrasi mukjizat kuasa Allah. Akhirnya kental nuansa munculnya sosok yang dikultuskan dan usaha untuk menunjukkan bahwa gerejanya adalah gereja paling hebat, lebih suci dan benar dibanding dengan gereja lain. Sampai pada taraf seakan-akan hanya dirinya dan gerejanya yang paling benar.
Kalau kita berjalan dengan Tuhan, maka akan sangat mudah mengenali kalau ada orang yang mengaku memiliki pengalaman dengan Tuhan secara fiktif. Semakin spektakuler pengalaman dengan Tuhan yang disaksikan, maka semakin harus dicurigai, sebab Tuhan lebih banyak berurusan dengan anak-anak-Nya secara wajar dan natural dalam kehidupan setiap hari dalam pengalaman konkret. Semakin seseorang dewasa rohani dan mengenal kebenaran yang murni dari Alkitab, akan semakin mengalami Tuhan secara riil setiap hari melalui pengalaman biasa setiap hari. Kalau orang-orang percaya berkumpul bersama dalam pertemuan-pertemuan di gereja, maka yang terpenting harus diadakan adalah pemberitaan Firman yang benar, sebab dari hal ini mereka belajar bagaimana memandang hidup dengan benar. Sebab inilah panduannya. Panduan yang benar akan membawa seseorang pada pengalaman yang benar dengan Tuhan. Pengalaman yang benar ini seperti “menghidupkan Tuhan” dalam kehidupannya. Ini bukan berarti Tuhan mati.
Tuhan adalah Allah yang hidup, tetapi seberapa banyak pengalaman dengan Dia tergantung masing-masing individu. Ini bukan karunia, tetapi tergantung pilihan dan keputusan masing-masing individu. Tuhan tidak diskriminatif. Banyak orang berpikir bahwa nyata tidaknya Tuhan dalam kehidupan seseorang tergantung karunia dan kerelaan hati Tuhan. Kesalahan ini juga dipicu oleh para pembicara yang mengesankan bahwa untuk menjadi istimewa harus memiliki karunia khusus. Memang setiap orang memiliki porsi yang berbeda, tetapi hal itu tidaklah berarti kalau tidak disertai dengan respon yang bertanggung jawab dari masing-masing individu. Mereka yang diberi banyak akan dituntut banyak.
Kita tidak boleh menuntut Tuhan untuk kita memiliki pengalaman yang sama dengan orang lain, tetapi kita harus menemukan sendiri bagian kita secara maksimal, sebab setiap kita memiliki porsi sendiri. Porsi ideal itu adalah pertama, pembentukan Tuhan sesuai dengan keadaan masing-masing. Ini sama dengan hajaran Tuhan (Ibr. 12:4-10). Porsi ideal yang kedua, adalah tugas pelayanan yang dipercayakan kepada masing-masing individu. Porsi pelayanan sama dengan salib yang diberikan kepada setiap orang yang telah memiliki sikap official, karena inilah rancangan Tuhan menjadikan orang percaya sebagai kawan sekerja Allah. Masing-masing memiliki salib yang berbeda (Mat. 10:38). Tuhan memberikan salib sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan kapasitas tersebut berdasarkan kedewasaannya, hasil dari pembentukan atau hajaran Tuhan.
https://overcast.fm/+IqOBl76ds
Orang-orang Kristen seperti itu diajar bahwa Tuhan Yesus datang untuk memutuskan berbagai kutuk untuk menyingkirkan segala rintangan hidup agar orang Kristen hidup makmur. Pembicara-pembicara seperti itu membangun sosok Tuhan yang tidak diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil-Nya. Hal ini sudah terjadi pada abad mula-mula Kekristenan muncul (2Kor. 11:2-4; Gal. 1:9-10). Inilah nabi-nabi palsu yang sekarang sangat “sukses” dalam pelayanan gereja. Kalau pemberitaan Firmannya salah, maka dibangunnyalah pengalaman-pengalaman “fiktif” yang sangat subyektif dan cirinya adalah tidak logis dan mistis. Tentu ajaran mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan secara Alkitabiah. Karena jemaat tidak mengerti kebenaran, mereka tidak tahu kalau ternyata telah dibohongi dan diperdaya. Tidak heran kalau gereja-gereja seperti ini penuh dengan kesaksian-kesaksian mengenai pengalaman dengan Tuhan yang “mengagumkan.”
Orang-orang Kristen seperti di atas begitu mudah mengatakan Tuhan memberikan visi-visi, Tuhan berbicara, Tuhan menyatakan diri sehingga bisa bertemu langsung dengan Tuhan, dan lain sebagainya. Ironisnya mereka tidak memfokuskan diri kepada langit baru dan bumi yang baru. Mereka pasti berusaha mengesankan diri mereka sangat dekat dengan Tuhan dan istimewa di hadapan-Nya dengan bukti secara materi diberkati atau memiliki banyak, atau dengan demonstrasi mukjizat kuasa Allah. Akhirnya kental nuansa munculnya sosok yang dikultuskan dan usaha untuk menunjukkan bahwa gerejanya adalah gereja paling hebat, lebih suci dan benar dibanding dengan gereja lain. Sampai pada taraf seakan-akan hanya dirinya dan gerejanya yang paling benar.
Kalau kita berjalan dengan Tuhan, maka akan sangat mudah mengenali kalau ada orang yang mengaku memiliki pengalaman dengan Tuhan secara fiktif. Semakin spektakuler pengalaman dengan Tuhan yang disaksikan, maka semakin harus dicurigai, sebab Tuhan lebih banyak berurusan dengan anak-anak-Nya secara wajar dan natural dalam kehidupan setiap hari dalam pengalaman konkret. Semakin seseorang dewasa rohani dan mengenal kebenaran yang murni dari Alkitab, akan semakin mengalami Tuhan secara riil setiap hari melalui pengalaman biasa setiap hari. Kalau orang-orang percaya berkumpul bersama dalam pertemuan-pertemuan di gereja, maka yang terpenting harus diadakan adalah pemberitaan Firman yang benar, sebab dari hal ini mereka belajar bagaimana memandang hidup dengan benar. Sebab inilah panduannya. Panduan yang benar akan membawa seseorang pada pengalaman yang benar dengan Tuhan. Pengalaman yang benar ini seperti “menghidupkan Tuhan” dalam kehidupannya. Ini bukan berarti Tuhan mati.
Tuhan adalah Allah yang hidup, tetapi seberapa banyak pengalaman dengan Dia tergantung masing-masing individu. Ini bukan karunia, tetapi tergantung pilihan dan keputusan masing-masing individu. Tuhan tidak diskriminatif. Banyak orang berpikir bahwa nyata tidaknya Tuhan dalam kehidupan seseorang tergantung karunia dan kerelaan hati Tuhan. Kesalahan ini juga dipicu oleh para pembicara yang mengesankan bahwa untuk menjadi istimewa harus memiliki karunia khusus. Memang setiap orang memiliki porsi yang berbeda, tetapi hal itu tidaklah berarti kalau tidak disertai dengan respon yang bertanggung jawab dari masing-masing individu. Mereka yang diberi banyak akan dituntut banyak.
Kita tidak boleh menuntut Tuhan untuk kita memiliki pengalaman yang sama dengan orang lain, tetapi kita harus menemukan sendiri bagian kita secara maksimal, sebab setiap kita memiliki porsi sendiri. Porsi ideal itu adalah pertama, pembentukan Tuhan sesuai dengan keadaan masing-masing. Ini sama dengan hajaran Tuhan (Ibr. 12:4-10). Porsi ideal yang kedua, adalah tugas pelayanan yang dipercayakan kepada masing-masing individu. Porsi pelayanan sama dengan salib yang diberikan kepada setiap orang yang telah memiliki sikap official, karena inilah rancangan Tuhan menjadikan orang percaya sebagai kawan sekerja Allah. Masing-masing memiliki salib yang berbeda (Mat. 10:38). Tuhan memberikan salib sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan kapasitas tersebut berdasarkan kedewasaannya, hasil dari pembentukan atau hajaran Tuhan.
https://overcast.fm/+IqOBl76ds
Renungan Harian 17 Juli 2019 MENCARI KETENANGAN
Semua manusia pasti mencari apa yang disebut sebagai ketenangan, artinya sebuah keadaan tanpa masalah yang menyakitkan. Ternyata pencarian itu tidak pernah berakhir, sebab ketenangan itu tidak pernah diperoleh. Sebab mereka melakukan kesalahan seperti orang kaya yang tertulis dalam Lukas 12:16-20. Kesalahan itu disebabkan dua prinsip hidup, pertama adanya filosofi “aku ingin” atau “aku mau.” Kedua, “bersenang-senanglah, hai jiwaku.” Pencarian ketenangan semakin jauh bahkan tidak akan memeroleh, kalau hasrat “aku ingin atau aku mau” semakin kuat dan harapan untuk memperoleh ketenangan jiwa berlandaskan fasilitas tersebut tidak pudar. Dengan cara inilah manusia tertipu oleh dunia dan kuasa kegelapan. Untuk mendapatkan perhentian, prinsip hidupnya harus diubah, dari “aku ingin” diganti dengan “apa yang Tuhan kehendaki.” “Bersenang-senanglah, hai jiwaku” menjadi “senangkan hati-Mu ya, Tuhan.” Di singkatnya hidup ini, yang harus diutamakan adalah apa yang Tuhan kehendaki, ini sama dengan “jika Tuhan menghendaki.” Semua yang dilakukan harus sesuai dengan keinginan Tuhan (Yak. 4:13-17). Dalam hidup ini tidak ada yang baik selain “membuat hati Tuhan senang.” Sebab memang manusia diciptakan untuk kesenangan-Nya.
Zaman anugerah adalah zaman di mana Tuhan membuka tangan-Nya untuk menyambut manusia untuk masuk menjadi anggota keluarga-Nya. Hendaknya tidak salah dimengerti, seakan-akan zaman anugerah adalah zaman di mana surga mudah dicapai tanpa usaha untuk berkenan di hadapan Tuhan. Hendaknya orang percaya tidak berpikir dangkal seakan-akan dengan percaya dalam pikiran, otomatis dapat dibenarkan. Pembenaran hanyalah oleh iman (Rm. 3:24,28, 5:1,9; dan lain-lain). Sebenarnya, iman artinya penyerahan diri kepada obyek yang dipercayai. Obyek itu adalah Tuhan Yesus. Pembenaran bukan karena melakukan hukum Taurat, tetapi karena mengikut Tuhan Yesus. Bagi jemaat Roma yang mengalami aniaya hebat, mereka tidak memiliki Taurat dan korban penghapus dosa dengan darah domba, tetapi mereka memiliki Tuhan Yesus yang menebus dosa dan mengikut jejak-Nya, yaitu melakukan kehendak Bapa. Mereka rela menderita seperti yang Tuhan Yesus alami dan mengenakan gaya hidup menyukakan hati Bapa seperti Tuhan Yesus. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa orang yang dibenarkan memiliki ciri: prinsip dan gaya hidup hidup seperti yang dimiliki oleh Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus mengatakan bahwa barangsiapa mengikut Dia harus melepaskan diri dari segala miliknya. Segala milik ini dapat diwakili oleh satu kata: “keinginan.” Sekilas hal ini mustahil, tetapi kalau Tuhan memberikan perintah, maka Tuhan akan memampukan untuk melakukannya. Untuk ini, tidak ada yang dapat melatih dan menolong orang percaya untuk dapat melakukannya selain Tuhan Yesus, oleh karenanya Tuhan berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:28-29). Kelegaan di sini adalah perhentian (Yun. anapauso; ἀναπαύσω), yang artinya tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, kecuali hidup seperti yang Tuhan Yesus peragakan. Untuk itu Tuhan Yesus berkata: “Belajarlah pada-Ku.” Belajar apa? Kalau hanya menjadi orang baik tidak perlu belajar dari Tuhan Yesus, Taurat bisa membantu dan memandu. Tuhan Yesus mengajarkan gaya hidup-Nya. Ketika seseorang mengikuti gaya hidup Tuhan Yesus, maka ia menjadikan Tuhan Yesus sebagai perhentiannya. Jadi, perhentian orang percaya bukan hari atau sesuatu yang lain, tetapi Tuhan Yesus sendiri.
Banyak pendeta menawarkan kelegaan yang keliru. Mereka mengajarkan bahwa kelegaan tersebut sekadar terlepas dari masalah-masalah pemenuhan kebutuhan jasmani. Merasa lega sudah sembuh dari sakit, lega sudah memiliki rumah pribadi, lega sudah mendapat penghasilan yang baik, lega sudah mendapat jodoh, lega karena masalah berat sudah selesai, dan lain sebagainya. Kelegaan seperti ini bukanlah kelegaan yang dimaksud oleh Tuhan Yesus. Kelegaan semacam itu adalah kelegaan yang dicari oleh anak-anak dunia. Orang percaya diajar merasakan kelegaan di tengah-tengah suasana sulit bagaimanapun juga. Justru di sini orang percaya bisa membuktikan bahwa damai sejahtera Tuhan adalah damai sejahtera yang melampaui segala akal.
Jika seseorang sudah merasakan damai sejahtera Allah yang sejati yang melampaui segala akal tersebut, maka ia tidak akan mengingini yang lain. Tujuan hidupnya adalah Tuhan dan Kerajaan-Nya. Tentu saja untuk mencapai level ini seseorang harus terus menerus mengalami pembaharuan pikiran dan pergaulan pribadi dengan Tuhan. Orang percaya yang menjadikan Tuhan dan Kerajaan-Nya sebagai tujuan, akan berusaha untuk mengikuti gaya hidup Tuhan Yesus guna menyukakan hati Bapa. Tidak mungkin seseorang yang menikmati damai sejatera Tuhan tidak memiliki kerinduan untuk serupa dengan Tuhan Yesus. Damai sejahtera itu tidak dapat dinikmati tanpa karakter seperti Tuhan Yesus.
https://overcast.fm/+IqODOrvJo
Zaman anugerah adalah zaman di mana Tuhan membuka tangan-Nya untuk menyambut manusia untuk masuk menjadi anggota keluarga-Nya. Hendaknya tidak salah dimengerti, seakan-akan zaman anugerah adalah zaman di mana surga mudah dicapai tanpa usaha untuk berkenan di hadapan Tuhan. Hendaknya orang percaya tidak berpikir dangkal seakan-akan dengan percaya dalam pikiran, otomatis dapat dibenarkan. Pembenaran hanyalah oleh iman (Rm. 3:24,28, 5:1,9; dan lain-lain). Sebenarnya, iman artinya penyerahan diri kepada obyek yang dipercayai. Obyek itu adalah Tuhan Yesus. Pembenaran bukan karena melakukan hukum Taurat, tetapi karena mengikut Tuhan Yesus. Bagi jemaat Roma yang mengalami aniaya hebat, mereka tidak memiliki Taurat dan korban penghapus dosa dengan darah domba, tetapi mereka memiliki Tuhan Yesus yang menebus dosa dan mengikut jejak-Nya, yaitu melakukan kehendak Bapa. Mereka rela menderita seperti yang Tuhan Yesus alami dan mengenakan gaya hidup menyukakan hati Bapa seperti Tuhan Yesus. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa orang yang dibenarkan memiliki ciri: prinsip dan gaya hidup hidup seperti yang dimiliki oleh Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus mengatakan bahwa barangsiapa mengikut Dia harus melepaskan diri dari segala miliknya. Segala milik ini dapat diwakili oleh satu kata: “keinginan.” Sekilas hal ini mustahil, tetapi kalau Tuhan memberikan perintah, maka Tuhan akan memampukan untuk melakukannya. Untuk ini, tidak ada yang dapat melatih dan menolong orang percaya untuk dapat melakukannya selain Tuhan Yesus, oleh karenanya Tuhan berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:28-29). Kelegaan di sini adalah perhentian (Yun. anapauso; ἀναπαύσω), yang artinya tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, kecuali hidup seperti yang Tuhan Yesus peragakan. Untuk itu Tuhan Yesus berkata: “Belajarlah pada-Ku.” Belajar apa? Kalau hanya menjadi orang baik tidak perlu belajar dari Tuhan Yesus, Taurat bisa membantu dan memandu. Tuhan Yesus mengajarkan gaya hidup-Nya. Ketika seseorang mengikuti gaya hidup Tuhan Yesus, maka ia menjadikan Tuhan Yesus sebagai perhentiannya. Jadi, perhentian orang percaya bukan hari atau sesuatu yang lain, tetapi Tuhan Yesus sendiri.
Banyak pendeta menawarkan kelegaan yang keliru. Mereka mengajarkan bahwa kelegaan tersebut sekadar terlepas dari masalah-masalah pemenuhan kebutuhan jasmani. Merasa lega sudah sembuh dari sakit, lega sudah memiliki rumah pribadi, lega sudah mendapat penghasilan yang baik, lega sudah mendapat jodoh, lega karena masalah berat sudah selesai, dan lain sebagainya. Kelegaan seperti ini bukanlah kelegaan yang dimaksud oleh Tuhan Yesus. Kelegaan semacam itu adalah kelegaan yang dicari oleh anak-anak dunia. Orang percaya diajar merasakan kelegaan di tengah-tengah suasana sulit bagaimanapun juga. Justru di sini orang percaya bisa membuktikan bahwa damai sejahtera Tuhan adalah damai sejahtera yang melampaui segala akal.
Jika seseorang sudah merasakan damai sejahtera Allah yang sejati yang melampaui segala akal tersebut, maka ia tidak akan mengingini yang lain. Tujuan hidupnya adalah Tuhan dan Kerajaan-Nya. Tentu saja untuk mencapai level ini seseorang harus terus menerus mengalami pembaharuan pikiran dan pergaulan pribadi dengan Tuhan. Orang percaya yang menjadikan Tuhan dan Kerajaan-Nya sebagai tujuan, akan berusaha untuk mengikuti gaya hidup Tuhan Yesus guna menyukakan hati Bapa. Tidak mungkin seseorang yang menikmati damai sejatera Tuhan tidak memiliki kerinduan untuk serupa dengan Tuhan Yesus. Damai sejahtera itu tidak dapat dinikmati tanpa karakter seperti Tuhan Yesus.
https://overcast.fm/+IqODOrvJo
Langganan:
Postingan (Atom)