Di dalam Alkitab, kita tidak pernah menemukan pernyataan bahwa seseorang akan dihakimi menurut imannya, tetapi Alkitab selalu menyatakan bahwa seseorang dihakimi menurut perbuatan (Mat. 16:27; Rm. 2:6,12; 14:12; 2Kor. 5:10; 1Ptr. 1:17; Why. 2:23, 20:12-13, 22:12; dan lain-lain). Ini berarti dalam penghakiman nanti yang dinilai atau diperkarakan adalah perbuatan setiap individu. Dalam hal ini kita bisa mengerti mengapa dalam 1 Petrus 1:17 Firman Tuhan mengatakan: “Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.” Juga Paulus mengatakan: “Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat” (2Kor. 5:9-10).
Baik 1 Petrus 1:17 maupun 2 Korintus 5:9-10 menunjukkan dengan sangat jelas bahwa perbuatan manusia yang diperhadapkan kepada pengadilan Tuhan. Oleh sebab itu orang Kristen hendaknya tidak berpikir bahwa kepercayaan atau keyakinan kepada Tuhan Yesus di dalam pikiran dan pengakuan dengan bibir bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat merupakan hal yang diperkarakan dalam pengadilan Tuhan. Yang diperkarakan dalam pengadilan atau penghakiman Tuhan nanti adalah perbuatan yang merupakan ekspresi dari sikap hati atau keadaan batiniahnya. Hal ini perlu dikemukakan, sebab tidak sedikit orang Kristen yang berpikir bahwa karena dengan pikiran sudah percaya kepada Yesus, maka tidak lagi diperhadapkan kepada pengadilan Tuhan. Dalam hal ini, percaya kepada Yesus dalam pikiran yang dipahami sebagai iman mengatasi pengadilan Tuhan atau bahkan meniadakannya. Paling tidak, mereka merasa sudah tenang karena merasa sudah memiliki iman, mereka yakin di pengadilan atau penghakiman Tuhan mereka dapat lolos masuk surga.
Pikiran sesat orang Kristen di atas membuat mereka tidak sungguh-sungguh menggeliat untuk berusaha menerjemahkan iman dalam pikiran mereka dalam perbuatan konkret atau nyata. Mereka merasa yakin dengan aktivitas pikiran yang percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, makamereka tidak perlu takut menghadapi pengadilan Tuhan. Jadi, mereka memasuki kematian dan dibalik kematian terdapat pengadilan dengan bermodalkan pengaminan akali atau persetujuan pikiran. Padahal Firman Tuhan jelas sekali menyatakan bahwa orang yang tidak melakukan kehendak Bapa -artinya tidak bermodalkan perbuatan yang memenuhi “melakukan kehendak” Bapa- akan ditolak oleh Tuhan (Mat. 7:21-23). Karena memiliki pemikiran seperti ini, maka banyak orang Kristen yang tidak berjaga-jaga dalam hidupnya.
Banyak orang Kristen memiliki pengertian yang salah mengenai prinsip solagratia (hanya oleh anugerah) atau bahwa keselamatan terjadi atau dimiliki seseorangbukan karena perbuatan baik, tetapi karena iman.Banyak orang Kristen merasa tidak perlu berjuang untuk memiliki perbuatan yang standar anak-anak Allah guna menghadapi pengadilan Tuhan, sebab menurut mereka keselamatan bukan karena perbuatan baik, tetapi karena iman. Dan menurut mereka, iman adalah keyakinan di dalam pikiran atau nalar. Dengan demikian mereka merasa sudah selamat sehingga pengadilan Tuhan hanya sebuah formalitas yang tidak menggetarkan sama sekali. Hal ini persis seperti seorang yang mau diadili menyuap hakim sehingga pengadilan hanya sandiwara belaka. Dalam hal ini menurut pemikiran mereka, urusan denganTuhan Yesus selaku Hakim sudah mereka selesaikan dengan mengakui bahwa Dia adalah Tuhan dan Juruselamat. Kemudian mereka merasa bahwa di pengadilan Tuhan nanti mereka dibela oleh Tuhan walau keadaan mereka tidak benar.
Kalau Alkitab menunjukkan bahwa Allah tanpa memandang mukamenghakimi semua orang menurut perbuatannya, ini berarti orang percaya harus memerhatikan perbuatannya. Dalam hal ini, iman bukanlah sekadar aktivitas pikiran atau nalar, tapi iman adalah tindakan. Tindakan orang percaya haruslah sebuah perilaku yang tidak sama dengan manusia pada umumnya, yang mewarisi cara hidup nenek moyang. Orang percaya telah ditebus dari cara hidup yang sia-sia yang diwarisi nenek moyang, oleh penebusan darah Yesus dimaksudkan agar orang percaya hidup sebagai anak-anak Allah yang berkodrat Ilahi atau mengambil bagian dalam kekudusan Allah atau berkeadaan kudus seperti yang dikehendaki Allah (1Ptr. 1:17-18). Oleh sebab itu orang percaya harus memerhatikan bagaimana seharusnya hidup, bukan seperti orang bebal, tetapi seperti orang bijaksana yang mengerti kehendak Allah dan melakukan kehendak-Nya (Ef. 5:15-17). Dalam penghakiman nanti, orang percaya dituntut memiliki keberadaan batin dan gaya hidup tidak seperti orang-orang yang tidak percaya, tetapi orang percaya harus memiliki pikiran dan perasaan Kristus serta gaya hidup-Nya.
https://overcast.fm/+IqOAzUpaw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar