Kumpulan dari Khotbah, Seminar dan hal lain yang berhubungan dengan Gereja Rehobot Ministry
Senin, 24 Juni 2019
Quote Juni #4
Today's Quote:
Jangan tunda untuk berubah.
Dr. Erastus Sabdono,
19 Juni 2019
Today's Quote:
Kehidupan orang percaya adalah lembar pengakuan iman yang diterjemahkan dalam kelakuan konkret.
Dr. Erastus Sabdono,
20 Juni 2019
Today's Quote:
Tidak salah dengan segala kesibukan yang kita gelar, tapi menjadi salah kalau itu tidak berdaya guna mengubah hidupnya.
Dr. Erastus Sabdono,
21 Juni 2019
Today's Quote:
Yang bisa mengubah keadaan adalah ketetapan hati kita.
Dr. Erastus Sabdono,
22 Juni 2019
Today's Quote:
Saat ini kita memang belum sempurna, tapi kita bisa memiliki tekad mengasihi Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
23 Juni 2019
Today's Quote:
Setiap kita bangun pagi, kita bersyukur karena kita masih diberi kesempatan untuk mengumpulkan harta di surga; yaitu bagaimana manusia batiniah kita dibaharui dan mengenakan manusia baru.
Dr. Erastus Sabdono,
24 Juni 2019
Jangan tunda untuk berubah.
Dr. Erastus Sabdono,
19 Juni 2019
Today's Quote:
Kehidupan orang percaya adalah lembar pengakuan iman yang diterjemahkan dalam kelakuan konkret.
Dr. Erastus Sabdono,
20 Juni 2019
Today's Quote:
Tidak salah dengan segala kesibukan yang kita gelar, tapi menjadi salah kalau itu tidak berdaya guna mengubah hidupnya.
Dr. Erastus Sabdono,
21 Juni 2019
Today's Quote:
Yang bisa mengubah keadaan adalah ketetapan hati kita.
Dr. Erastus Sabdono,
22 Juni 2019
Today's Quote:
Saat ini kita memang belum sempurna, tapi kita bisa memiliki tekad mengasihi Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
23 Juni 2019
Today's Quote:
Setiap kita bangun pagi, kita bersyukur karena kita masih diberi kesempatan untuk mengumpulkan harta di surga; yaitu bagaimana manusia batiniah kita dibaharui dan mengenakan manusia baru.
Dr. Erastus Sabdono,
24 Juni 2019
Renungan Harian 24 Juni 2019 TUNTUTAN YANG TINGGI
Dalam penghakiman bagi orang percaya yang sungguh-sungguh sedang berusaha untuk menjadi semakin seperti Yesus, maka penghakiman bagi mereka adalah perhitungan seberapa banyak orang percaya tersebut telah mengumpulkan harta di surga (Mat. 6:19-20). Mengumpulkan harta di surga adalah perjuangan untuk semakin serupa dengan Yesus. Ini berbicara mengenai kesucian hidup. Kesucian di sini bukan hanya berarti tidak berbuat dosa, tetapi “tidak bisa” berbuat dosa lagi. Mereka adalah yang dilayakkan menjadi mempelai Tuhan. Hanya orang Kristen yang menjadi mempelai atau kekasih Tuhan yang dikategorikan telah menemukan Tuhan. Tuhan sudah dimiliki sebagai harta. Dengan demikian mengumpulkan harta di surga berarti mengembangkan diri untuk menjadi manusia sesuai dengan rancangan Allah semula. Orang-orang seperti ini pasti memberi waktu untuk mengambil bagian dalam pelayanan gerejani dan mendukung pekerjaan Tuhan dengan hartanya tanpa batas. Inilah sesungguhnya perjalanan musafir Kristen.
Untuk panggilan mewarisi langit baru dan bumi yang baru, orang percaya harus belajar melepaskan diri dari segala ikatan. Pertama, ikatan dosa. Hal ini menyangkut karakter orang percaya yang belum seperti yang Tuhan kehendaki. Dalam hal ini orang percaya harus sempurna seperti Bapa, dan yang kedua adalah belenggu keindahan dunia. Belenggu keindahan dunia sama dengan percintaan dunia. Inilah yang disebut oleh Yohanes sebagai keinginan daging, keinginan mata, serta keangkuhan hidup (1Yoh. 2:15-17).Semua ini bukan berasal dari Bapa, tetapi berasal dari kuasa jahat. Menanggalkan semua beban ini membuat seseorang berjiwa musafir atau sebaliknya, semakin seseorang menyadari bahwa dirinya musafir maka akan lebih mudah melepaskan ikatan keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Hal ini bukan sesuatu yang mudah. Itulah sebabnya orang percaya harus mengalami pembaharuan pikiran setiap hari (Rm. 12:2). Usaha ini adalah usaha sebagai “mendahulukan Kerajaan Allah” (Mat. 6:33). Kata “dahulu” dalam teks aslinya adalah proton (πρωτον).
Kata proton menunjuk kepada keutamaan. Anak-anak Allah yang berhasil melewati tahap-tahap pertumbuhan yang normal akan dapat melepaskan dirinya dari belenggu tersebut. Setelah terlepas dari belenggu tersebut, seseorang akan menjadi peka terhadap kehendak Allah. Lebih dari segala kegiatan, inilah yang harus diutamakan. Sebab hal ini merupakan sesuatu yang bersifat wajib atau sebuah kemutlakan. Segala sesuatu bisa relatif, tetapi hal menjadi orang percaya yang beriman dengan benar -yaitu mengerti kehendak Tuhan dan melakukannya- adalah wajib atau mutlak. Akhirnya kehidupan seperti ini akan memenuhi rencana Allah seperti yang Tuhan Yesus lakukan. Sebelum memenuhi rencana Allah dalam kehidupan ini, berarti kita belum lulus sebagai musafir. Dengan hal ini, maka nampaklah betapa tinggi tuntutan yang dikenakan kepada semua orang percaya. Jadi, kita mengerti betapa sulitnya menjadi orang Kristen yang sejati, sebab mereka harus sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 5:48).
Untuk menjadikan rencana Tuhan digenapi dalam hidup ini sebagai keutamaan, menuntut kesungguhan dalam pengiringan kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah komitmen yang kuat, permanen, dan murni. Ini berarti setiap hari dalam kehidupan ini, kita harus berkerinduan dengan hasrat yang kuat untuk bertumbuh dengan memindahkan hati kita di Kerajaan Bapa di surga, sebab di mana ada hartamu, di situ hatimu berada (Mat. 6:21). Ini bukan berarti kita harus menjadi orang yang tidak berharta di bumi ini atau menjadi orang miskin. Yang penting adalah “hati yang harus dipindahkan”. Jadi, hati dapat dipindahkan kalau seseorang sungguh-sungguh telah mendahulukan Kerajaan Surga. Sehingga hidupnya tidak dapat dibahagiakan lagi oleh materi dunia dan hiburannya. Inilah tujuan pelayanan dan seluruh kegiatan dalam gereja.
Banyak orang hidup hanya untuk memiliki sebuah kehidupan seperti yang dikehendaki atau yang diinginkannya. Sedangkan ukuran hidup yang diinginkan adalah gaya hidup manusia di sekitarnya. Sebuah gaya hidup yang jauh dari standar yang Tuhan inginkan. Pola pikir yang salah tersebut makin tertanam di hati dan pikiran banyak orang Kristen hari ini. Mereka hidup dalam keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Keinginan daging artinya kepuasan diri dalam dagingnya, keinginan mata artinya hasrat memiliki pemenuhan kebutuhan jasmani seperti yang orang lain miliki, dan keangkuhan hidup adalah kehormatan yang diharapkan diberikan orang kepada dirinya. Kehormatan ini bisa dibeli dengan kekuasaan, pangkat, gelar, uang, penampilan, perhiasan, dan lain sebagainya. Banyak orang Kristen yang tidak memiliki sasaran yang jelas dalam hidup Kekristenannya. Ini berarti dalam kehidupan ini ia tidak memiliki arah yang jelas. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang sangat rentan terhadap pencobaan, sangat rawan terhadap serangan musuh.
https://overcast.fm/+IqOAd4ihk
Untuk panggilan mewarisi langit baru dan bumi yang baru, orang percaya harus belajar melepaskan diri dari segala ikatan. Pertama, ikatan dosa. Hal ini menyangkut karakter orang percaya yang belum seperti yang Tuhan kehendaki. Dalam hal ini orang percaya harus sempurna seperti Bapa, dan yang kedua adalah belenggu keindahan dunia. Belenggu keindahan dunia sama dengan percintaan dunia. Inilah yang disebut oleh Yohanes sebagai keinginan daging, keinginan mata, serta keangkuhan hidup (1Yoh. 2:15-17).Semua ini bukan berasal dari Bapa, tetapi berasal dari kuasa jahat. Menanggalkan semua beban ini membuat seseorang berjiwa musafir atau sebaliknya, semakin seseorang menyadari bahwa dirinya musafir maka akan lebih mudah melepaskan ikatan keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Hal ini bukan sesuatu yang mudah. Itulah sebabnya orang percaya harus mengalami pembaharuan pikiran setiap hari (Rm. 12:2). Usaha ini adalah usaha sebagai “mendahulukan Kerajaan Allah” (Mat. 6:33). Kata “dahulu” dalam teks aslinya adalah proton (πρωτον).
Kata proton menunjuk kepada keutamaan. Anak-anak Allah yang berhasil melewati tahap-tahap pertumbuhan yang normal akan dapat melepaskan dirinya dari belenggu tersebut. Setelah terlepas dari belenggu tersebut, seseorang akan menjadi peka terhadap kehendak Allah. Lebih dari segala kegiatan, inilah yang harus diutamakan. Sebab hal ini merupakan sesuatu yang bersifat wajib atau sebuah kemutlakan. Segala sesuatu bisa relatif, tetapi hal menjadi orang percaya yang beriman dengan benar -yaitu mengerti kehendak Tuhan dan melakukannya- adalah wajib atau mutlak. Akhirnya kehidupan seperti ini akan memenuhi rencana Allah seperti yang Tuhan Yesus lakukan. Sebelum memenuhi rencana Allah dalam kehidupan ini, berarti kita belum lulus sebagai musafir. Dengan hal ini, maka nampaklah betapa tinggi tuntutan yang dikenakan kepada semua orang percaya. Jadi, kita mengerti betapa sulitnya menjadi orang Kristen yang sejati, sebab mereka harus sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 5:48).
Untuk menjadikan rencana Tuhan digenapi dalam hidup ini sebagai keutamaan, menuntut kesungguhan dalam pengiringan kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah komitmen yang kuat, permanen, dan murni. Ini berarti setiap hari dalam kehidupan ini, kita harus berkerinduan dengan hasrat yang kuat untuk bertumbuh dengan memindahkan hati kita di Kerajaan Bapa di surga, sebab di mana ada hartamu, di situ hatimu berada (Mat. 6:21). Ini bukan berarti kita harus menjadi orang yang tidak berharta di bumi ini atau menjadi orang miskin. Yang penting adalah “hati yang harus dipindahkan”. Jadi, hati dapat dipindahkan kalau seseorang sungguh-sungguh telah mendahulukan Kerajaan Surga. Sehingga hidupnya tidak dapat dibahagiakan lagi oleh materi dunia dan hiburannya. Inilah tujuan pelayanan dan seluruh kegiatan dalam gereja.
Banyak orang hidup hanya untuk memiliki sebuah kehidupan seperti yang dikehendaki atau yang diinginkannya. Sedangkan ukuran hidup yang diinginkan adalah gaya hidup manusia di sekitarnya. Sebuah gaya hidup yang jauh dari standar yang Tuhan inginkan. Pola pikir yang salah tersebut makin tertanam di hati dan pikiran banyak orang Kristen hari ini. Mereka hidup dalam keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Keinginan daging artinya kepuasan diri dalam dagingnya, keinginan mata artinya hasrat memiliki pemenuhan kebutuhan jasmani seperti yang orang lain miliki, dan keangkuhan hidup adalah kehormatan yang diharapkan diberikan orang kepada dirinya. Kehormatan ini bisa dibeli dengan kekuasaan, pangkat, gelar, uang, penampilan, perhiasan, dan lain sebagainya. Banyak orang Kristen yang tidak memiliki sasaran yang jelas dalam hidup Kekristenannya. Ini berarti dalam kehidupan ini ia tidak memiliki arah yang jelas. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang sangat rentan terhadap pencobaan, sangat rawan terhadap serangan musuh.
https://overcast.fm/+IqOAd4ihk
Renungan Harian 23 Juni 2019 KONSEP TAKDIR DALAM PENGHAKIMAN
Berbicara mengenai penghakiman, tidak dapat dipisahkan dari masalah takdir. Kata “takdir” dalam pemahaman umum biasanya mendapat isi atau dimengerti sebagai penentuan Ilahi. Kata “takdir” biasanya disejajarkan maknanya dengan kata “nasib”, dalam Bahasa Inggris diterjemahkan fate atau destiny. Di balik kata “takdir” diisyaratkan jelas adanya penentuan Ilahi dalam setiap kejadian atau peristiwa, sebuah divine decree. Jadi “takdir” dimengerti sebagai penentuan suatu peristiwa atau kejadian yang berlangsung dalam hidup manusia berdasarkan kedaulatan, kebebasan kehendak, dan kebijaksanaan Tuhan yang mutlak atau absolut. Sebelum suatu peristiwa terjadi, segala sesuatunya sudah ditentukan oleh Tuhan untuk berlangsung. Ini tidak tepat. Sebenarnya konsep ini sangat kuat dianut oleh agama non-Kristen yang ada di sekitar kita.
Jika dipandang bahwa segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya, maka dengan demikian nampak gambar dalam bingkai bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah skenario dari Sutradara Agung, yaitu Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan selain Pencipta sekaligus juga berperan sebagai penulis cerita dan Sang Dalang yang mengatur setiap peran kehidupan dalam pentas panggung sandiwara. Lebih tegas lagi, bila kita obyektif memandang hidup dengan kacamata ini, maka itu berarti Tuhan berlaku sebagai pengatur remote control dan manusia menjadi robot yang hanya bisa dikendalikan oleh remote tersebut tanpa kebebasan kesempatan memilih suatu pilihan. Dalam hal ini Tuhan dipandang sebagai penyusun takdir atas segala sesuatu, baik yang hidup apa lagi bagi benda mati. Tidak ada yang luput dari penentuan-Nya.
Dalam memahami pengertian takdir, pada umumnya orang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki kedaulatan sama sekali dalam menentukan keadaan hidupnya, sebab Tuhan telah mempersiapkan segala kejadian yang akan dialami atau dilaluinya dalam hidup. Manusia hanya menerima saja yang disediakan baginya. Demikianlah kita dapat temukan bila seseorang mengalami musibah -misalnya suatu kecelakaan, kematian orang yang dikasihinya, jatuh miskin, sakit yang tak tersembuhkan sampai kematian, dan lain-lain- maka mereka menerimanya sebagai takdir. Di dalamnya, Tuhan dianggap sebagai kausalitas prima (penyebab utama), kasarnya: biang masalah. Menjadi berkembang lagi dalam kasus lain, ketika disimpulkan bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, sehat/sakit, kaya/miskin, gemuk atau kurus, surga atau neraka, hanya Tuhan yang menentukan.
Pemahaman di atas ini pada akhirnya bisa membangun pandangan bahwa pertimbangan rasio manusia untuk mengambil keputusan menjadi sia-sia atau tidak diperlukan. Semua sudah diatur dalam fragmen yang tidak keluar atau terlepas dari alur cerita yang ditentukan atau telah ditetapkan. Akhirnya, anjuran untuk menemukan peran dan tempat di hadapan Tuhan menjadi panggilan untuk percaya dan menerima saja setiap peran yang ditemukan secara otomatis. Semua sudah diatur oleh Allahyang mengerjakan-Nya sendiri tanpa bantuan dan peran manusia sama sekali. Kalau jujur, maka dapat dikatakan peran pikiran dan perasaan manusia menjadi sia-sia atau tidak maksimal. Dengan demikian manusia juga tidak perlu memiliki integritas dan personality-nya sendiri. Ini pandangan yang sangat keliru, sebab sesungguhnya manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, artinya manusia harus menuai apa yang ditaburnya (Rm. 14:12; Gal. 6:7; 2Kor. 5:9-10).
Gagasan “takdir” meyakinkan adanya campur tangan langsung dari Allah yang mengendalikan nasib manusia di luar kesadaran manusia, sebab segala sesuatu ditentukan sejak semula. Ini adalah konsep agama non-Kristen yang tidak banyak membicarakan tentang kebebasan, sebab mereka hanya mengakui perbuatan-perbuatan yang dirancang oleh Allah di dalamnya. Konsep takdir ini mengingkari adanya kebebasan yang sungguh-sungguh, selanjutnya peranan etika disia-siakan. Hal ini menempatkan manusia tidak memiliki independensi. Independensi berarti seseorang tidak terikat oleh siapa pun dalam mengambil keputusan, karena tidak ada pihak lain yang mengendalikannya. Sehingga seseorang dapat menentukan takdir atau keadaan dirinya sendiri. Dalam independensi ini, baik Allah maupun manusia, dapat membangun atau menciptakan keinginan dari diri sendiri.
Konsep takdir sebenarnya secara langsung menghilangkan pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan. Hal ini jelas tidak memberi ruangan atau tempat bagi penghakiman dilangsungkan dalam kehidupan manusia. Konsep takdir menghindarkan manusia dari tanggung jawab. Oleh sebab itu kalau seseorang meyakini adanya takdir, maka sejatinya ia juga tidak meyakini adanya tanggung jawab individu. Dengan demikian tidak ada penghakiman dan tidak ada upah di dalam Kerajaan Surga atau kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu kita harus menolak konsep takdir yang salah ini.
https://overcast.fm/+IqODXaNN4
Jika dipandang bahwa segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya, maka dengan demikian nampak gambar dalam bingkai bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah skenario dari Sutradara Agung, yaitu Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan selain Pencipta sekaligus juga berperan sebagai penulis cerita dan Sang Dalang yang mengatur setiap peran kehidupan dalam pentas panggung sandiwara. Lebih tegas lagi, bila kita obyektif memandang hidup dengan kacamata ini, maka itu berarti Tuhan berlaku sebagai pengatur remote control dan manusia menjadi robot yang hanya bisa dikendalikan oleh remote tersebut tanpa kebebasan kesempatan memilih suatu pilihan. Dalam hal ini Tuhan dipandang sebagai penyusun takdir atas segala sesuatu, baik yang hidup apa lagi bagi benda mati. Tidak ada yang luput dari penentuan-Nya.
Dalam memahami pengertian takdir, pada umumnya orang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki kedaulatan sama sekali dalam menentukan keadaan hidupnya, sebab Tuhan telah mempersiapkan segala kejadian yang akan dialami atau dilaluinya dalam hidup. Manusia hanya menerima saja yang disediakan baginya. Demikianlah kita dapat temukan bila seseorang mengalami musibah -misalnya suatu kecelakaan, kematian orang yang dikasihinya, jatuh miskin, sakit yang tak tersembuhkan sampai kematian, dan lain-lain- maka mereka menerimanya sebagai takdir. Di dalamnya, Tuhan dianggap sebagai kausalitas prima (penyebab utama), kasarnya: biang masalah. Menjadi berkembang lagi dalam kasus lain, ketika disimpulkan bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, sehat/sakit, kaya/miskin, gemuk atau kurus, surga atau neraka, hanya Tuhan yang menentukan.
Pemahaman di atas ini pada akhirnya bisa membangun pandangan bahwa pertimbangan rasio manusia untuk mengambil keputusan menjadi sia-sia atau tidak diperlukan. Semua sudah diatur dalam fragmen yang tidak keluar atau terlepas dari alur cerita yang ditentukan atau telah ditetapkan. Akhirnya, anjuran untuk menemukan peran dan tempat di hadapan Tuhan menjadi panggilan untuk percaya dan menerima saja setiap peran yang ditemukan secara otomatis. Semua sudah diatur oleh Allahyang mengerjakan-Nya sendiri tanpa bantuan dan peran manusia sama sekali. Kalau jujur, maka dapat dikatakan peran pikiran dan perasaan manusia menjadi sia-sia atau tidak maksimal. Dengan demikian manusia juga tidak perlu memiliki integritas dan personality-nya sendiri. Ini pandangan yang sangat keliru, sebab sesungguhnya manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, artinya manusia harus menuai apa yang ditaburnya (Rm. 14:12; Gal. 6:7; 2Kor. 5:9-10).
Gagasan “takdir” meyakinkan adanya campur tangan langsung dari Allah yang mengendalikan nasib manusia di luar kesadaran manusia, sebab segala sesuatu ditentukan sejak semula. Ini adalah konsep agama non-Kristen yang tidak banyak membicarakan tentang kebebasan, sebab mereka hanya mengakui perbuatan-perbuatan yang dirancang oleh Allah di dalamnya. Konsep takdir ini mengingkari adanya kebebasan yang sungguh-sungguh, selanjutnya peranan etika disia-siakan. Hal ini menempatkan manusia tidak memiliki independensi. Independensi berarti seseorang tidak terikat oleh siapa pun dalam mengambil keputusan, karena tidak ada pihak lain yang mengendalikannya. Sehingga seseorang dapat menentukan takdir atau keadaan dirinya sendiri. Dalam independensi ini, baik Allah maupun manusia, dapat membangun atau menciptakan keinginan dari diri sendiri.
Konsep takdir sebenarnya secara langsung menghilangkan pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan. Hal ini jelas tidak memberi ruangan atau tempat bagi penghakiman dilangsungkan dalam kehidupan manusia. Konsep takdir menghindarkan manusia dari tanggung jawab. Oleh sebab itu kalau seseorang meyakini adanya takdir, maka sejatinya ia juga tidak meyakini adanya tanggung jawab individu. Dengan demikian tidak ada penghakiman dan tidak ada upah di dalam Kerajaan Surga atau kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu kita harus menolak konsep takdir yang salah ini.
https://overcast.fm/+IqODXaNN4
Renungan Harian 22 Juni 2019 RESPON TERHADAP PENGGARAPAN ALLAH
Penghakiman dapat berlangsung atas individu jika Tuhan tidak intervensi di dalam kehidupan, sehingga manusia masih memiliki kedaulatannya sendiri bertindak mengambil keputusan dalam kehendak bebasnya. Kalaupun Tuhan berintervensi, intervensi Tuhan tidak menghilangkan kehendak bebas manusia. Untuk mengubah karakter seseorang, Tuhan mengizinkan banyak kejadian yang berlangsung dalam hidupnya. Tuhan tidak berintervensi mengubah kehendak seseorang secara ajaib oleh kuasa-Nya, tetapi mengarahkan orang tersebut melalui setiap kejadian hidup yang dialaminya. Jika Tuhan berintervensi sampai pada kehendak seseorang, maka Tuhan tidak perlu menggunakan sarana peristiwa-peristiwa dalam kehidupan untuk mengubahnya. Dalam hal ini masing-masing individu bisa menerima pembentukan Tuhan atau menolaknya. Oleh sebab itu keadaan akhir seseorang tergantung dari responnya terhadap penggarapan Allah.
Adalah sangat keliru kalau orang berpikir bahwa respon seseorang terhadap penggarapan Tuhan melalui segala peristiwa yang terjadi dalam hidupnya digerakkan oleh Tuhan sendiri. Jadi, seseorang memberi respon terhadap penggarapan Tuhan atau tidak, tergantung manusia itu sendiri. Dalam hal ini, berarti ada orang yang digerakkan Tuhan merespon dengan baik terhadap penggarapan Tuhan, tetapi yang lain tidak dibuat merespon dengan baik. Jika Tuhan berbuat demikian maka semua menjadi seperti sandiwara. Dengan mekanisme demikian berarti mutlak tidak perlu ada penghakiman. Tuhan harus menghakimi diri-Nya sendiri, sebab Ia menjadikan diri-Nya sebagai kausalitas prima segala sesuatu yang terjadi atas kehidupan setiap individu.
Terkait dengan hal di atas ini, hendaknya kita tidak memandang bahwa oleh karena Allah adalah Allah yang berdaulat secara mutlak, maka Allah bertindak dalam kebijaksanaan yang tidak dimengerti oleh manusia. Manusia harus hanya menerima saja semua keputusan dan tindakan-Nya. Allah tidak mungkin bertindak atas seseorang tanpa orang itu mengetahui mengapa ia diperlakukan demikian. Penghakiman tidak bisa dilangsungkan kalau manusia tidak berdaya menolak apa yang dikerjakan Allah di dalam dirinya, baik perbuatan yang baik atau perbuatan yang tidak baik. Jika demikian, maka juga tidak perlu ada porsi yang berbeda yang diberikan kepada masing-masing individu. Padahal Alkitab menyatakan bahwa setiap orang dituntut sesuai dengan porsi yang diterimanya.
Tentu yang diberi banyak akan dituntut banyak, sedangkan mereka yang diberi sedikit akan dituntut sedikit. Firman Tuhan mengatakan: “Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.”(Luk. 12:48). Di sini kita menemukan keadilan Tuhan yang sempurna. Tuhan tidak akan menuntut seseorang melakukan sesuatu di luar kemampuannya. Allah yang benar adalah Allah seperti itu, bukan allah yang sembarangan menuntut orang sesukanya sendiri. Allah tidak mungkin dalam kedaulatan-Nya berintervensi dalam diri seseorang, memberi porsi yang berbeda, kemudian menuntut seseorang melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang itu dan kemudian menghukum orang itu karena kesalahannya atau ketidaksanggupannya melakukan yang dikehendaki oleh Allah.
Masing-masing individu bertanggung jawab atas dirinya sendiri di hadapan Tuhan yang memberi kendaraan, yaitu hidup ini. Masing-masing orang memiliki jenis kendaraan yang berbeda. Tuhan menciptakan manusia dan melengkapinya dengan pikiran, perasaan, dan kehendak. Semua itu merupakan sarana atau perlengkapan untuk dapat mengemudikan kehidupan masing-masing individu. Kalau seseorang bermaksud menyerahkan kemudi hidupnya kepada Tuhan, berarti sama dengan meminta Tuhan menyangkali sifat dan hakikat-Nya yang telah memberikan kedaulatan kepada manusia untuk menentukan takdirnya sendiri. Ini adalah sikap yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini yang ditentukan adalah porsinya, bukan keselamatan individu.
Untuk dapat mengendarai hidup ini dengan benar dan mengarahkannya ke arah yang Tuhan kehendaki, bukan sesuatu yang sederhana dan mudah. Kita harus bergumul dengan segenap hidup. Inilah perjuangan yang tiada berakhir sampai kita menutup mata.Dalam hal ini orang percaya diajar untuk mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar. Mengerjakan keselamatan itu adalah menaruh pikiran dan perasaan Kristus di dalam diri kita.Kalau kita bersedia mengerjakan keselamatan (Yun. katergazeste; κατεργάζεσθε), maka Allah akan memberikan kuasa atau kemampuan (Yun. energon; ἐνεργῶν).Selanjutnya yang dibutuhkan adalah ketekunan, yaitu bagaimana fokus kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya dan tidak bergeser. Dari perjuangan ini, setiap orang dapat diperhadapkan kepada penghakiman atau pengadilan Tuhan secara fair.
https://overcast.fm/+IqOAvsSY4
Adalah sangat keliru kalau orang berpikir bahwa respon seseorang terhadap penggarapan Tuhan melalui segala peristiwa yang terjadi dalam hidupnya digerakkan oleh Tuhan sendiri. Jadi, seseorang memberi respon terhadap penggarapan Tuhan atau tidak, tergantung manusia itu sendiri. Dalam hal ini, berarti ada orang yang digerakkan Tuhan merespon dengan baik terhadap penggarapan Tuhan, tetapi yang lain tidak dibuat merespon dengan baik. Jika Tuhan berbuat demikian maka semua menjadi seperti sandiwara. Dengan mekanisme demikian berarti mutlak tidak perlu ada penghakiman. Tuhan harus menghakimi diri-Nya sendiri, sebab Ia menjadikan diri-Nya sebagai kausalitas prima segala sesuatu yang terjadi atas kehidupan setiap individu.
Terkait dengan hal di atas ini, hendaknya kita tidak memandang bahwa oleh karena Allah adalah Allah yang berdaulat secara mutlak, maka Allah bertindak dalam kebijaksanaan yang tidak dimengerti oleh manusia. Manusia harus hanya menerima saja semua keputusan dan tindakan-Nya. Allah tidak mungkin bertindak atas seseorang tanpa orang itu mengetahui mengapa ia diperlakukan demikian. Penghakiman tidak bisa dilangsungkan kalau manusia tidak berdaya menolak apa yang dikerjakan Allah di dalam dirinya, baik perbuatan yang baik atau perbuatan yang tidak baik. Jika demikian, maka juga tidak perlu ada porsi yang berbeda yang diberikan kepada masing-masing individu. Padahal Alkitab menyatakan bahwa setiap orang dituntut sesuai dengan porsi yang diterimanya.
Tentu yang diberi banyak akan dituntut banyak, sedangkan mereka yang diberi sedikit akan dituntut sedikit. Firman Tuhan mengatakan: “Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.”(Luk. 12:48). Di sini kita menemukan keadilan Tuhan yang sempurna. Tuhan tidak akan menuntut seseorang melakukan sesuatu di luar kemampuannya. Allah yang benar adalah Allah seperti itu, bukan allah yang sembarangan menuntut orang sesukanya sendiri. Allah tidak mungkin dalam kedaulatan-Nya berintervensi dalam diri seseorang, memberi porsi yang berbeda, kemudian menuntut seseorang melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang itu dan kemudian menghukum orang itu karena kesalahannya atau ketidaksanggupannya melakukan yang dikehendaki oleh Allah.
Masing-masing individu bertanggung jawab atas dirinya sendiri di hadapan Tuhan yang memberi kendaraan, yaitu hidup ini. Masing-masing orang memiliki jenis kendaraan yang berbeda. Tuhan menciptakan manusia dan melengkapinya dengan pikiran, perasaan, dan kehendak. Semua itu merupakan sarana atau perlengkapan untuk dapat mengemudikan kehidupan masing-masing individu. Kalau seseorang bermaksud menyerahkan kemudi hidupnya kepada Tuhan, berarti sama dengan meminta Tuhan menyangkali sifat dan hakikat-Nya yang telah memberikan kedaulatan kepada manusia untuk menentukan takdirnya sendiri. Ini adalah sikap yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini yang ditentukan adalah porsinya, bukan keselamatan individu.
Untuk dapat mengendarai hidup ini dengan benar dan mengarahkannya ke arah yang Tuhan kehendaki, bukan sesuatu yang sederhana dan mudah. Kita harus bergumul dengan segenap hidup. Inilah perjuangan yang tiada berakhir sampai kita menutup mata.Dalam hal ini orang percaya diajar untuk mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar. Mengerjakan keselamatan itu adalah menaruh pikiran dan perasaan Kristus di dalam diri kita.Kalau kita bersedia mengerjakan keselamatan (Yun. katergazeste; κατεργάζεσθε), maka Allah akan memberikan kuasa atau kemampuan (Yun. energon; ἐνεργῶν).Selanjutnya yang dibutuhkan adalah ketekunan, yaitu bagaimana fokus kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya dan tidak bergeser. Dari perjuangan ini, setiap orang dapat diperhadapkan kepada penghakiman atau pengadilan Tuhan secara fair.
https://overcast.fm/+IqOAvsSY4
Renungan Harian 21 Juni 2019 KEHENDAK BEBAS DALAM PENGHAKIMAN
Membahas mengenai penghakiman tidak dapat dipisahkan dari kehendak bebas, sebab kalau manusia tidak memiliki kehendak bebas, maka tidak perlu ada penghakiman. Manusia diciptakan dengan kehendaknya bersifat bebas. Kehendak bebas artinya manusia dapat memilih taat kepada Allah atau memberontak kepada-Nya. Dengan demikian kehendak bebas berarti manusia menentukan nasib dan keadaan diri sendiri. Sebenarnya, kehendak bebas bisa didefinisikan sebagai konsep yang menyatakan bahwa keadaan perilaku manusia tidak mutlak ditentukan oleh kausalitas di luar dirinya, tetapi merupakan akibat atau hasil dari keputusan dan pilihan yang dibuat melalui sebuah aksi dan reaksi dari diri sendiri. Keputusan dan pilihan tersebut ditentukan oleh komponen dalam diri manusia, yaitu pikiran dan perasaannya.Allah memberi manusia komponen untuk dapat membuat pilihan yang pasti akan menentukan atau paling tidak memengaruhi keadaan dirinya. Komponen itu adalah pikiran dan perasaan. Dari pikiran dan perasaan ini, seseorang memiliki kemampuan mempertimbangkan sesuatu. Dari hasil pertimbangannya tersebut seseorang dapat mengambil keputusan atau memilih. Inilah kehendak bebas.
Bila hendak menemukan pengertian kebebasan yang sejati, kita harus melandaskannya kepada Alkitab secara jujur dan obyektif.Dalam hal ini, kitab Kejadian telah meletakkan landasan pengertian kebebasan kehendak yang benar. Kitab Kejadian mengungkapkan hal ini dengan sederhana, jujur, jelas, dan cerdas. Tuhan menaruh dua pohon di tengah Taman Eden, menunjukkan dengan sangat jelas bahwa manusia diberi kehendak bebas. Dalam kehendak bebasnya, manusia harus memilih antara kehidupan atau kematian dari kerelaan kehendaknya, apakah manusia mau taat atau tidak taat. Dalam pengertian bebas, Allah harus membiarkan manusia menentukan sendiri pilihannya, tanpa intervensi dari pihak manapun. Dalam pengertian bebas yang benar, Allah juga membiarkan ular yang adalah personifikasi Iblis masuk ke dalam taman dan mencobai serta membujuk manusia untuk berbuat sesuatu, yaitu melanggar apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh Adam (Kej. 2:16-17, 3:1-24). Allah tidak berusaha menghindarkan manusia dari pencobaan tersebut, karena Allah memberi kehendak bebas kepada manusia. Inilah konsekuensi menjadi makhluk yang bebas.
Dalam pengertian kebebasan yang proporsional, termuat makna dimana manusia harus mempertimbangkan sendiri segala sesuatu yang hendak dilakukan dan dirinyalah yang menjadi pengambil keputusan akhir. Dalam Kejadian 3:6 tertulis: Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya. Sebelum makan buah yang dilarang tersebut, mereka sudah mempertimbangkannya. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan makan buah tersebut adalah keputusan yang lahir dari pertimbangan mereka sendiri. Allah memberi nasihat, peringatan, dan bila perlu teguran, tetapi keputusan akhir tetap pada manusia. Keputusan tersebut menentukan keadaan manusia di kemudian hari, tanpa bisa dibatalkan.
Pengertian kebebasan manusia adalah kebebasan yang proporsional, natural atau benar, bukan kebebasan yang tidak dikenal dalam kehidupan secara wajar. Kalau kebebasan tidak dipahami secara benar, maka manusia tidak menempatkan dirinya sebagai makhluk yang harus bertanggung jawab. Tuhan tidak pernah menjadi kausalitas atau penyebab kejahatan atau dosa. Allah tidak pernah menetapkan manusia untuk jatuh dalam dosa dan melakukan kejahatan. Dalam hal ini sangat jelas tak terbantahkan, bahwa Allah tidak mengendalikan manusia. Manusia mengendalikan dirinya sendiri. Memang Allah yang menciptakan kemungkinan ciptaan-Nya bisa melakukan kesalahan, tetapi bukan dirancang untuk (harus) melakukan kesalahan. Jadi, apakah manusia melakukan kesalahan atau tidak ditentukan oleh dirinya sendiri. Dengan demikian manusia harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya.
Manusia berinisiatif melakukan tindakan dari diri sendiri. Dengan demikian manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan. Allah tidak ikut mengambil bagian dalam kesalahan yang dilakukan manusia atau kebaikan yang dilakukan manusia. Allah berdiri di luar sebagai Hakim, Allah bukan pelakunya. Kalau Allah ikut terlibat dalam tindakan manusia, maka Allah tidak bisa berdiri sebagai hakim. Hakim harus berada di luar tindakan yang dihakimi. Kalau Allah ikut terlibat dalam kejatuhan manusia, maka Allah tidak seharusnya menghalau atau mengusir manusia dari Eden. Kalau Allah ikut terlibat dalam pengambilan keputusan, maka Allah harus ikut memikul akibatnya bersama dengan manusia. Betapa jahatnya sosok allah yang menetapkan suatu kejadian atau perbuatan seseorang, kemudian menghakimi dan menghukum manusia tersebut. Allah yang benar tidaklah demikian.
https://overcast.fm/+IqODIucqk
Bila hendak menemukan pengertian kebebasan yang sejati, kita harus melandaskannya kepada Alkitab secara jujur dan obyektif.Dalam hal ini, kitab Kejadian telah meletakkan landasan pengertian kebebasan kehendak yang benar. Kitab Kejadian mengungkapkan hal ini dengan sederhana, jujur, jelas, dan cerdas. Tuhan menaruh dua pohon di tengah Taman Eden, menunjukkan dengan sangat jelas bahwa manusia diberi kehendak bebas. Dalam kehendak bebasnya, manusia harus memilih antara kehidupan atau kematian dari kerelaan kehendaknya, apakah manusia mau taat atau tidak taat. Dalam pengertian bebas, Allah harus membiarkan manusia menentukan sendiri pilihannya, tanpa intervensi dari pihak manapun. Dalam pengertian bebas yang benar, Allah juga membiarkan ular yang adalah personifikasi Iblis masuk ke dalam taman dan mencobai serta membujuk manusia untuk berbuat sesuatu, yaitu melanggar apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh Adam (Kej. 2:16-17, 3:1-24). Allah tidak berusaha menghindarkan manusia dari pencobaan tersebut, karena Allah memberi kehendak bebas kepada manusia. Inilah konsekuensi menjadi makhluk yang bebas.
Dalam pengertian kebebasan yang proporsional, termuat makna dimana manusia harus mempertimbangkan sendiri segala sesuatu yang hendak dilakukan dan dirinyalah yang menjadi pengambil keputusan akhir. Dalam Kejadian 3:6 tertulis: Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya. Sebelum makan buah yang dilarang tersebut, mereka sudah mempertimbangkannya. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan makan buah tersebut adalah keputusan yang lahir dari pertimbangan mereka sendiri. Allah memberi nasihat, peringatan, dan bila perlu teguran, tetapi keputusan akhir tetap pada manusia. Keputusan tersebut menentukan keadaan manusia di kemudian hari, tanpa bisa dibatalkan.
Pengertian kebebasan manusia adalah kebebasan yang proporsional, natural atau benar, bukan kebebasan yang tidak dikenal dalam kehidupan secara wajar. Kalau kebebasan tidak dipahami secara benar, maka manusia tidak menempatkan dirinya sebagai makhluk yang harus bertanggung jawab. Tuhan tidak pernah menjadi kausalitas atau penyebab kejahatan atau dosa. Allah tidak pernah menetapkan manusia untuk jatuh dalam dosa dan melakukan kejahatan. Dalam hal ini sangat jelas tak terbantahkan, bahwa Allah tidak mengendalikan manusia. Manusia mengendalikan dirinya sendiri. Memang Allah yang menciptakan kemungkinan ciptaan-Nya bisa melakukan kesalahan, tetapi bukan dirancang untuk (harus) melakukan kesalahan. Jadi, apakah manusia melakukan kesalahan atau tidak ditentukan oleh dirinya sendiri. Dengan demikian manusia harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya.
Manusia berinisiatif melakukan tindakan dari diri sendiri. Dengan demikian manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan. Allah tidak ikut mengambil bagian dalam kesalahan yang dilakukan manusia atau kebaikan yang dilakukan manusia. Allah berdiri di luar sebagai Hakim, Allah bukan pelakunya. Kalau Allah ikut terlibat dalam tindakan manusia, maka Allah tidak bisa berdiri sebagai hakim. Hakim harus berada di luar tindakan yang dihakimi. Kalau Allah ikut terlibat dalam kejatuhan manusia, maka Allah tidak seharusnya menghalau atau mengusir manusia dari Eden. Kalau Allah ikut terlibat dalam pengambilan keputusan, maka Allah harus ikut memikul akibatnya bersama dengan manusia. Betapa jahatnya sosok allah yang menetapkan suatu kejadian atau perbuatan seseorang, kemudian menghakimi dan menghukum manusia tersebut. Allah yang benar tidaklah demikian.
https://overcast.fm/+IqODIucqk
Renungan Harian 20 Juni 2019 PENGHAKIMAN ATAS PENOLAKAN ANUGERAH
Ada orang-orang Kristen yang berpendirian bahwa kalau Allah menyediakan anugerah kepada orang-orang tertentu untuk menerimanya, maka mereka tidak dapat menolak. Ini pandangan yang salah. Sebenarnya Tuhan menghendaki semua bangsa Israel selamat, tetapi hal itu tidak terwujud sebab mereka menolaknya.Dengan demikian, kalau bangsa itu menolak Allah, bukan karena Allah yang menentukan tetapi mereka sendiri yang menghendaki demikian. Kebenaran Alkitab menunjukkan fakta bahwa terdapat potensi dalam diri umat pilihan untuk menolak kasih karunia. Hal ini diteguhkan oleh Firman Tuhan dalam Roma 11:17-24.
Dalam tulisannya, Paulus menunjukkan bahwa kalau cabang asli -yaitu Bangsa Israel (umat pilihan Perjanjian Lama)-bisa dipotong, demikian pula dengan batang cangkokkan, yaitu orang Kristen (umat pilihan Perjanjian Baru) dari berbagai suku bangsa. Di ayat 22 tertulis: Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamu pun akan dipotong juga.Ayat-ayat ini jelas menunjukkan bahwa kehidupan Bangsa Israel paralel (tipologi) dengan kehidupan orang percaya di zaman anugerah atau Bangsa Israel menjadi gambaran kehidupan orang percaya.Sebagaimana Tuhan mengerat Bangsa Israel yang tidak dengar-dengaran, maka Tuhan juga mengerat orang Kristen yang tidak dengar-dengaran. Dalam tulisan Paulus itu ia juga menyatakan: Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu (Roma 11:21).
Dalam hal ini jelaslah bahwa intervensi Allah terbatas, sebab Allah memberi independensi kepada manusia untuk menentukan “takdirnya.” Bangsa Israel harus menggunakan independensinya dengan benar. Tetapi kalau mereka mengarahkan hatinya kepada yang lain, maka mereka tidak dapat selamat. Tuhan Yesus memberitakan Injil kepada umat Israel agar mereka bertobat. Tetapi mereka menolak. Ini menunjukkan bahwa dalam pertimbangan nalar tersebut seseorang memiliki kehendak bebas, sehingga harus memilih atau memutuskan apakah mau menerima Tuhan Yesus sebagai jalan keselamatan atau menolak-Nya.
Memberitakan Injil berarti mengajarkan kebenaran, bukan sekadar memberitahu bahwa Yesus adalah Juruselamat, tetapi mengajarkan kebenaran. Kalau Tuhan yang menentukan keselamatan seseorang dan menolak yang lain, maka pengajaran dalam Injil yang begitu luar biasa tidak berperan sebagaimana mestinya, sebab Injil tidak lagi menjadi penentu orang selamat atau binasa. Padahal sikap terhadap Injil-lah yang menentukan apakah seseorang menerima Tuhan Yesus atau tidak. Di dalam Injil memuat berita mengenai Tuhan Yesus dan apa yang harus dilakukan kalau seseorang mengaku percaya.
Kalau Tuhan menetapkan ada orang-orang yang tidak bisa menolak anugerah, sedangkan sisi lain ada yang tidak bisa menerima anugerah, maka dengan demikian Injil menjadi tidak berkuasa menyelamatkan, sebab yang diyakini dapat menyelamatkan seseorang adalah penentuan Tuhan. Dengan demikian muncul konsep yang absurd bahwa iman bisa diberikan secara mistik atau ajaib di dalam diri seseorang. Padahal mestinya iman datang dari pendengaran oleh Firman. Yang mana tentu melalui proses mendengarkan Injil dan pertimbangan nalar.Ini juga berarti tidak lagi ada pengadilan atau penghakiman.
Dengan hal di atas ini, hendaknya kita tidak sembarangan mengatakan bahwa Paulus memercayai adanya predestinasi, yaitu ada manusia ditentukan untuk selamat dan manusia lain ditentukan untuk binasa. Kalau Paulus yakin bahwa dirinya orang terpilih yang pasti selamat, maka Paulus tidak mengatakan bahwa ia melatih tubuhnya agar dirinya tidak terhilang (1Kor. 9:27). Lagi pula Paulus tidak mengatakan bahwa karena dirinya sudah terpilih maka dirinya memiliki ketekunan. Ketekunan itu harus berangkat dari dirinya sendiri, yaitu ketika sadar bahwa Tuhan memberi kehendak bebas kepada manusia. Paulus berusaha agar dirinya didapati berkenan (2Kor. 5:9-10).
Fakta yang tidak bisa dibantah dalam kehidupan ini, bahwa Tuhan bisa mengerat atau memotong orang-orang atau bangsa yang telah dipilih oleh Tuhan. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa orang yang terpilih sebagai “umat pilihan” belum tentu pasti masuk ke dalam anggota keluarga Kerajaan Surga atau sebagai pemenang. Penolakan Israel terhadap kasih karunia Allah dinyatakan jelas dalam Kisah Rasul 3:14, tertulis: Tetapi kamu telah menolak Yang Kudus dan Benar, serta menghendaki seorang pembunuh sebagai hadiahmu. Kalau Allah menentukan orang yang tidak bisamenolak anugerah, maka penghakiman tidak dapat tampil secara proporsional, sebab ada orang yang dibuat dapat menerima anugerah, dan yang lain tidak bisa menerimanya.
https://overcast.fm/+IqOAFaCes
Dalam tulisannya, Paulus menunjukkan bahwa kalau cabang asli -yaitu Bangsa Israel (umat pilihan Perjanjian Lama)-bisa dipotong, demikian pula dengan batang cangkokkan, yaitu orang Kristen (umat pilihan Perjanjian Baru) dari berbagai suku bangsa. Di ayat 22 tertulis: Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamu pun akan dipotong juga.Ayat-ayat ini jelas menunjukkan bahwa kehidupan Bangsa Israel paralel (tipologi) dengan kehidupan orang percaya di zaman anugerah atau Bangsa Israel menjadi gambaran kehidupan orang percaya.Sebagaimana Tuhan mengerat Bangsa Israel yang tidak dengar-dengaran, maka Tuhan juga mengerat orang Kristen yang tidak dengar-dengaran. Dalam tulisan Paulus itu ia juga menyatakan: Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu (Roma 11:21).
Dalam hal ini jelaslah bahwa intervensi Allah terbatas, sebab Allah memberi independensi kepada manusia untuk menentukan “takdirnya.” Bangsa Israel harus menggunakan independensinya dengan benar. Tetapi kalau mereka mengarahkan hatinya kepada yang lain, maka mereka tidak dapat selamat. Tuhan Yesus memberitakan Injil kepada umat Israel agar mereka bertobat. Tetapi mereka menolak. Ini menunjukkan bahwa dalam pertimbangan nalar tersebut seseorang memiliki kehendak bebas, sehingga harus memilih atau memutuskan apakah mau menerima Tuhan Yesus sebagai jalan keselamatan atau menolak-Nya.
Memberitakan Injil berarti mengajarkan kebenaran, bukan sekadar memberitahu bahwa Yesus adalah Juruselamat, tetapi mengajarkan kebenaran. Kalau Tuhan yang menentukan keselamatan seseorang dan menolak yang lain, maka pengajaran dalam Injil yang begitu luar biasa tidak berperan sebagaimana mestinya, sebab Injil tidak lagi menjadi penentu orang selamat atau binasa. Padahal sikap terhadap Injil-lah yang menentukan apakah seseorang menerima Tuhan Yesus atau tidak. Di dalam Injil memuat berita mengenai Tuhan Yesus dan apa yang harus dilakukan kalau seseorang mengaku percaya.
Kalau Tuhan menetapkan ada orang-orang yang tidak bisa menolak anugerah, sedangkan sisi lain ada yang tidak bisa menerima anugerah, maka dengan demikian Injil menjadi tidak berkuasa menyelamatkan, sebab yang diyakini dapat menyelamatkan seseorang adalah penentuan Tuhan. Dengan demikian muncul konsep yang absurd bahwa iman bisa diberikan secara mistik atau ajaib di dalam diri seseorang. Padahal mestinya iman datang dari pendengaran oleh Firman. Yang mana tentu melalui proses mendengarkan Injil dan pertimbangan nalar.Ini juga berarti tidak lagi ada pengadilan atau penghakiman.
Dengan hal di atas ini, hendaknya kita tidak sembarangan mengatakan bahwa Paulus memercayai adanya predestinasi, yaitu ada manusia ditentukan untuk selamat dan manusia lain ditentukan untuk binasa. Kalau Paulus yakin bahwa dirinya orang terpilih yang pasti selamat, maka Paulus tidak mengatakan bahwa ia melatih tubuhnya agar dirinya tidak terhilang (1Kor. 9:27). Lagi pula Paulus tidak mengatakan bahwa karena dirinya sudah terpilih maka dirinya memiliki ketekunan. Ketekunan itu harus berangkat dari dirinya sendiri, yaitu ketika sadar bahwa Tuhan memberi kehendak bebas kepada manusia. Paulus berusaha agar dirinya didapati berkenan (2Kor. 5:9-10).
Fakta yang tidak bisa dibantah dalam kehidupan ini, bahwa Tuhan bisa mengerat atau memotong orang-orang atau bangsa yang telah dipilih oleh Tuhan. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa orang yang terpilih sebagai “umat pilihan” belum tentu pasti masuk ke dalam anggota keluarga Kerajaan Surga atau sebagai pemenang. Penolakan Israel terhadap kasih karunia Allah dinyatakan jelas dalam Kisah Rasul 3:14, tertulis: Tetapi kamu telah menolak Yang Kudus dan Benar, serta menghendaki seorang pembunuh sebagai hadiahmu. Kalau Allah menentukan orang yang tidak bisamenolak anugerah, maka penghakiman tidak dapat tampil secara proporsional, sebab ada orang yang dibuat dapat menerima anugerah, dan yang lain tidak bisa menerimanya.
https://overcast.fm/+IqOAFaCes
Renungan Harian 19 Juni 2019 KONSEP KEPASTIAN MASUK SURGA DALAM PENGHAKIMAN
Banyak teolog berpendapat bahwa Allah memilih dan menentukanorang yang pasti menerima anugerah untuk diselamatkan. Sejatinya pandangan ini tidak tepat. Untuk menemukan makna orisinil dari ayat-ayat Alkitab yang berbicara mengenai hal tersebut, seorang penafsir tidak boleh terbelenggu atau tersandera oleh suatu premis, sehingga pengertian terhadap ayat-ayat tersebut sudah didasarkan pada premis di dalam pikirannya. Hendaknya kita tidak dengan gegabah menyatakan bahwa Tuhan memilih dan menentukan orang-orang tertentu pasti selamat masuk surga berdasarkan kedaulatan-Nya secara sepihak. Bila demikian, berarti kita sudah mulai menilai Tuhan dengan pikiran manusia yang sangat terbatas. Sebagai akibatnya, timbul dugaan dan tuduhan bahwa ada orang-orang tertentu yang oleh kedaulatan Tuhan juga dipilih dan ditentukan untuk binasa. Ini suatu hal yang tidak mungkin, sebab Allah yang adalah kasih adanya, tidak menghendaki seorang pun binasa (1Ptr. 3:9-11).
Pemilihan dan penentuan tidak boleh diartikan sebagai langkah Allah Bapa tanpa pertimbangan apa pun, menunjuk siapa yang selamat masuk surga dan yang lain berarti masuk neraka.Dalam hal ini Tuhan tidak akan memilih dan menentukan tanpa “sistem” atau tatanan dalam diri Allah yang sempurna. Harus diingat bahwa “yang dipilih” adalah orang-orang yang mendapat kesempatan untuk hidup di zaman Perjanjian Baru, mendengar Injil, dan memiliki kapasitas untuk merespon anugerah. Adapun “yang ditentukan” adalah standarnya, yaituuntuk serupa dengan Yesus, hidup kudus, dan berkeberadaan sebagai anak-anak Allah (Rm.8:28-29; Ef. 1:4-5).
Mereka bersikeras berpendapat bahwa Allah menentukan keselamatan individu atas pilihan dan penentuan-Nya. Argumentasi-argumentasi tersebut menciptakan pemikiran yang tidak logis dan menggambarkan Allah sebagai “Sosok” yang memiliki pemikiran yang tidak logis dan berkepribadian tidak adil, tidak sehat, dan aneh. Seharusnya orang percayamenyadari bahwa dirinya tidak berhak mengemukakan pernyataan tersebut. Dengan hormat, orang percaya harus mengakui bahwa Allah adalah “Allah yang transenden dan transempiris” (melampaui akal dan pengalaman manusia). Manusia tidak boleh masuk atau berintervensi ke wilayah Tuhan, karena wilayah tersebut tidak akan bisa dimasuki oleh pikiran manusia.
Hendaknya kita tidak mempersempit pandangan kita mengenai pemilihan dan penentuan tersebut dengan merumuskan bahwa tindakan Tuhan hanya berdasarkan kedaulatan-Nya. Kalau manusia memiliki kedaulatan bisa berlaku sewenang-wenang (walau terbatas), tetapi Tuhan dalam kedaulatan-Nya tidak mungkin bertindak di luar kesucian, keadilan, dan keagungan pribadi-Nya. Tuhan bisa saja merancang orang-orang untuk diselamatkan, tetapi Tuhan tidak mungkin merancang seseorang untuk binasa, sebab jelas sekali Firman Tuhan menyatakan bahwa Ia tidak menghendaki seorang pun binasa (2Ptr. 3:9). Hakikat Tuhan yang kasih adanya itu tidak mungkin merancang seseorang binasa dalam siksaan lautan api kekal. Adapun apakah seseorang menolak atau menerima rancangan-Nya tergantung kehendak bebas masing-masing individu.
Jika seseorang mengakui kedaulatan Allah atas segala sesuatu, berarti juga harus mengakui bahwa kenyataan manusia binasa juga dalam wilayah kedaulatan-Nya.Kedaulatan seperti ini adalah kedaulatan “sewenang-sewenang” yang menyalahi prinsip kasih dan keadilan. Di sini Tuhan direpresentasikan sebagai Pribadi yang kejam, suka-suka sendiri tanpa kebijaksanaan. Ini pandangan yang salah. Tuhan pasti bertindak berdasarkan kebijaksanaan, kasih, dan kecerdasan yang sempurna. Kebinasaan menunjuk kepada siksaan yang kengeriannya digambarkan Tuhan Yesus sebagai tempat di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api yang tidak pernah padam. Ulat-ulat bangkai menunjuk tempat yang tidak menyenangkan. Semua itu adalah kengerian dahsyat wujud hukuman Allah (Mat. 5:22; Mrk. 9:43,48), ratap dan kertak gigi (Mat. 8:12), dan kegelapan dalam waktu yang tidak terbatas (Mat. 8:12; Why. 14:11). Dan ditegaskan bahwa Tuhan tidak merancang manusia ciptaan-Nya untuk berada di tempat ini.
Tuhan tidak mungkin membiarkan orang binasa atau sengaja membinasakan manusia. Tuhan memberikehendak bebas manusia memilih dan menentukan keadaannya, baik di bumi maupun di kekekalan; selamat atau binasa. Kalau seseorang berpandangan bahwa secara sepihak Allah menentukan keselamatan manusia, maka ia tidak boleh berbicara dan meyakini adanya penghakiman. Kalau Allah menentukan seseorang selamat atau binasa maka tidak perlu adanya penghakiman atau pengadilan. Penentuan atau penetapan Allah membuat pengadilan atau penghakiman tidak dapat tampil secara proporsional.
https://overcast.fm/+IqOAsMbOU
Pemilihan dan penentuan tidak boleh diartikan sebagai langkah Allah Bapa tanpa pertimbangan apa pun, menunjuk siapa yang selamat masuk surga dan yang lain berarti masuk neraka.Dalam hal ini Tuhan tidak akan memilih dan menentukan tanpa “sistem” atau tatanan dalam diri Allah yang sempurna. Harus diingat bahwa “yang dipilih” adalah orang-orang yang mendapat kesempatan untuk hidup di zaman Perjanjian Baru, mendengar Injil, dan memiliki kapasitas untuk merespon anugerah. Adapun “yang ditentukan” adalah standarnya, yaituuntuk serupa dengan Yesus, hidup kudus, dan berkeberadaan sebagai anak-anak Allah (Rm.8:28-29; Ef. 1:4-5).
Mereka bersikeras berpendapat bahwa Allah menentukan keselamatan individu atas pilihan dan penentuan-Nya. Argumentasi-argumentasi tersebut menciptakan pemikiran yang tidak logis dan menggambarkan Allah sebagai “Sosok” yang memiliki pemikiran yang tidak logis dan berkepribadian tidak adil, tidak sehat, dan aneh. Seharusnya orang percayamenyadari bahwa dirinya tidak berhak mengemukakan pernyataan tersebut. Dengan hormat, orang percaya harus mengakui bahwa Allah adalah “Allah yang transenden dan transempiris” (melampaui akal dan pengalaman manusia). Manusia tidak boleh masuk atau berintervensi ke wilayah Tuhan, karena wilayah tersebut tidak akan bisa dimasuki oleh pikiran manusia.
Hendaknya kita tidak mempersempit pandangan kita mengenai pemilihan dan penentuan tersebut dengan merumuskan bahwa tindakan Tuhan hanya berdasarkan kedaulatan-Nya. Kalau manusia memiliki kedaulatan bisa berlaku sewenang-wenang (walau terbatas), tetapi Tuhan dalam kedaulatan-Nya tidak mungkin bertindak di luar kesucian, keadilan, dan keagungan pribadi-Nya. Tuhan bisa saja merancang orang-orang untuk diselamatkan, tetapi Tuhan tidak mungkin merancang seseorang untuk binasa, sebab jelas sekali Firman Tuhan menyatakan bahwa Ia tidak menghendaki seorang pun binasa (2Ptr. 3:9). Hakikat Tuhan yang kasih adanya itu tidak mungkin merancang seseorang binasa dalam siksaan lautan api kekal. Adapun apakah seseorang menolak atau menerima rancangan-Nya tergantung kehendak bebas masing-masing individu.
Jika seseorang mengakui kedaulatan Allah atas segala sesuatu, berarti juga harus mengakui bahwa kenyataan manusia binasa juga dalam wilayah kedaulatan-Nya.Kedaulatan seperti ini adalah kedaulatan “sewenang-sewenang” yang menyalahi prinsip kasih dan keadilan. Di sini Tuhan direpresentasikan sebagai Pribadi yang kejam, suka-suka sendiri tanpa kebijaksanaan. Ini pandangan yang salah. Tuhan pasti bertindak berdasarkan kebijaksanaan, kasih, dan kecerdasan yang sempurna. Kebinasaan menunjuk kepada siksaan yang kengeriannya digambarkan Tuhan Yesus sebagai tempat di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api yang tidak pernah padam. Ulat-ulat bangkai menunjuk tempat yang tidak menyenangkan. Semua itu adalah kengerian dahsyat wujud hukuman Allah (Mat. 5:22; Mrk. 9:43,48), ratap dan kertak gigi (Mat. 8:12), dan kegelapan dalam waktu yang tidak terbatas (Mat. 8:12; Why. 14:11). Dan ditegaskan bahwa Tuhan tidak merancang manusia ciptaan-Nya untuk berada di tempat ini.
Tuhan tidak mungkin membiarkan orang binasa atau sengaja membinasakan manusia. Tuhan memberikehendak bebas manusia memilih dan menentukan keadaannya, baik di bumi maupun di kekekalan; selamat atau binasa. Kalau seseorang berpandangan bahwa secara sepihak Allah menentukan keselamatan manusia, maka ia tidak boleh berbicara dan meyakini adanya penghakiman. Kalau Allah menentukan seseorang selamat atau binasa maka tidak perlu adanya penghakiman atau pengadilan. Penentuan atau penetapan Allah membuat pengadilan atau penghakiman tidak dapat tampil secara proporsional.
https://overcast.fm/+IqOAsMbOU
Selasa, 18 Juni 2019
Quote Juni #3
Today's Quote:
Kita adalah saksi kebenaran-Nya, yang membuat orang mengenal keselamatan dan mengarahkan fokus hidup mereka ke langit baru dan bumi yang baru.
Dr. Erastus Sabdono,
12 Juni 2019
Today's Quote:
Menjadi tanggung jawab kita untuk membawa orang kepada Tuhan; bukan dengan perkataan, tapi dengan perbuatan.
Dr. Erastus Sabdono,
13 Juni 2019
Today's Quote:
Cara kita membela Tuhan adalah dengan menjadi saksi-Nya, yaitu jika kita melakukan kehendak-Nya dan karakter kita diubah.
Dr. Erastus Sabdono,
14 Juni 2019
Today's Quote:
Jangan kita menjadi kurang percaya karena mukjizat-Nya tidak kita alami.
Dr. Erastus Sabdono,
15 Juni 2019
Today's Quote:
Tuhan Yesus mati di kayu salib bukan hanya membebaskan kita dari Iblis, tapi Tuhan juga mendidik kita supaya kita dapat bebas dari diri kita sendiri.
Dr. Erastus Sabdono,
16 Juni 2019
Today's Quote:
Setiap kita bangun pagi, kita bersyukur karena kita masih diberi kesempatan untuk mengumpulkan harta di surga; yaitu bagaimana manusia batiniah kita dibaharui dan mengenakan manusia baru.
Dr. Erastus Sabdono,
17 Juni 2019
Today's Quote:
Jangan hanya berjanji untuk hidup suci, tapi berjuang dan bertekadlah sampai hal itu menjadi permanen.
Dr. Erastus Sabdono,
18 Juni 2019
Kita adalah saksi kebenaran-Nya, yang membuat orang mengenal keselamatan dan mengarahkan fokus hidup mereka ke langit baru dan bumi yang baru.
Dr. Erastus Sabdono,
12 Juni 2019
Today's Quote:
Menjadi tanggung jawab kita untuk membawa orang kepada Tuhan; bukan dengan perkataan, tapi dengan perbuatan.
Dr. Erastus Sabdono,
13 Juni 2019
Today's Quote:
Cara kita membela Tuhan adalah dengan menjadi saksi-Nya, yaitu jika kita melakukan kehendak-Nya dan karakter kita diubah.
Dr. Erastus Sabdono,
14 Juni 2019
Today's Quote:
Jangan kita menjadi kurang percaya karena mukjizat-Nya tidak kita alami.
Dr. Erastus Sabdono,
15 Juni 2019
Today's Quote:
Tuhan Yesus mati di kayu salib bukan hanya membebaskan kita dari Iblis, tapi Tuhan juga mendidik kita supaya kita dapat bebas dari diri kita sendiri.
Dr. Erastus Sabdono,
16 Juni 2019
Today's Quote:
Setiap kita bangun pagi, kita bersyukur karena kita masih diberi kesempatan untuk mengumpulkan harta di surga; yaitu bagaimana manusia batiniah kita dibaharui dan mengenakan manusia baru.
Dr. Erastus Sabdono,
17 Juni 2019
Today's Quote:
Jangan hanya berjanji untuk hidup suci, tapi berjuang dan bertekadlah sampai hal itu menjadi permanen.
Dr. Erastus Sabdono,
18 Juni 2019
Truth Daily Enlightenment 18 Juni 2019 KELAHIRAN BARU DALAM PENGHAKIMAN
Proses kelahiran baru hanya terjadi atas umat pilihan Allah yang hidup di zaman Perjanjian Baru. Mereka yang menerima Yesus, artinya mengakui bahwa Logos (Tuhan Yesus) adalah Pencipta langit dan bumi bersama Theos (Bapa) adalah Sang Majikan (Kurios). Ia datang untuk menyelamatkan manusia, yaitu mengembalikan manusia ke rancangan Allah semula. Orang yang menerima-Nya diberi kuasasupaya menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:10-13). Kuasa itu adalah fasilitas keselamatan, yaitu penebusan, Roh Kudus, Injil, dan penggarapan Allah melalui segala kejadian hidup. Kelahiran baru bisa terjadi dan berlangsung hanya atas orang-orang yang dipimpin oleh Roh Kudus secara permanen, pada zaman penggenapan atau zaman anugerah dimana fasilitas keselamatan disediakan Allah.
Memandang kelahiran baru, ada beberapa hal penting yang harus dipahami.Pertama, kelahiran baru tidak boleh dipahami sebagai fenomena mistis atau ajaib yang tidak bisa dipahami secara nalar.Kedua,kelahiran baru adalah proses natural yang membutuhkan perjalanan waktu. Ini berarti bukan sesuatu yang mendadak terjadi atau berlangsung (instant). Ketiga, bahwa kelahiran baru hanya bisa dikerjakan oleh Allah atas respon manusia, bukan tindakan Allah sepihak. Dalam proses kelahiran baru, mengisyaratkan jelas bahwa masing-masing individu anak-anak Allah ikut terlibat di dalamnya atau meresponi tindakan Allah melalui Roh Kudus, yang menggarap setiap individu untuk mengalami kelahiran baru.
Kalau Tuhan Yesus menggunakan istilah “kelahiran” untuk proses keselamatan, berarti proses kelahiran baru juga memiliki kesejajaran dengan proses kelahiran manusia. Tidak mungkin Tuhan menggunakan istilah “kelahiran” untuk keselamatan orang percaya, tanpa memiliki keterkaitan dalam kesejajaran (paralel) dengan proses kelahiran secara umum. Proses kelahiran baru memiliki kesejajaran dengan proses kelahiran manusia. Dari penjelasan ini, dapat dimengerti bahwa kelahiran baru terjadi dalam hidup seseorang melalui sebuah proses. Proses ini adalah prinsip penting. Dalam Alkitab, hampir selalu Tuhan bekerja dengan prinsip ini, termasuk ketika Tuhan menciptakan alam semesta. Untuk menciptakan alam semesta, Tuhan dapat menciptakan sekejap dalam hitungan detik, tetapi Tuhan menyusun kerja-Nya secara sistematis dalam proses selama enam hari.
Banyak orang Kristen memiliki pemahaman mengenai kelahiran baru sebagai sebuah peristiwa sekejap secara ajaib, tanpa proses sama sekali. Mereka memandang bahwa kelahiran baru adalah pekerjaan Allah sepihak tanpa respon manusia sama sekali. Dengan demikian ada orang yang dipilih dan ditentukan oleh Allah dapat mengalami kelahiran baru dan yang lain tidak. Dalam hal ini manusia dipandang tidak memiliki hak untuk memilih sama sekali. Allah mengerjakannya secara transenden (di luar pikiran manusia), secara sepihak. Manusia hanya menerima saja apa yang dikerjakan oleh Allah di dalam diri mereka yang dipilih untuk dilahirkan baru. Mereka memandang kelahiran baru terjadi di luar kesadaran manusia, hanya dikerjakan oleh Allah sendiri dengan kekuatan Allah yang supranatural. Jika hal ini benar, maka tidak diperlukan penghakiman atau pengadilan Allah.
Yang benar adalah bahwa kelahiran baru bukan kejadian sekejap atau terjadi dalam sekejap, tetapi kelahiran baru adalah proses yang dikerjakan oleh Roh Kudus secara luar biasa dalam perjalanan waktu. Hal ini terjadi atau berlangsung atas manusia yang memberi respon terhadap anugerah keselamatan dalam Yesus Kristus, serta menanggapi penggarapan Tuhan untuk keselamatannya atau dikembalikan dirinya ke rancangan Allah semula. Dari proses kelahiran baru yang benar ini, maka seseorang akan mengalami perubahan yang signifikan atau sebuah proses tranformasi. Sehingga seseorang semakin berkeadaan sebagai anak Allah, bukan saja memiliki status sebagai anak-anak Allah dimata manusia tetapi berkeadaan sebagai anak-anak Allah, yaitu sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus.
Kalau seseorang beranggapan bahwa menjadi baik dan mulai bergereja berarti sudah mengalami kelahiran baru, kemudian percaya bahwa di penghakiman atau pengadilan Tuhan nanti ia pasti lolos masuk surga, maka orang-orang Kristen seperti ini bermodalkan status anak-anak Allah yang diyakininya sudah dimilikinya secara sah,maka ia juga meyakini bahwa dirinya pasti lolos masuk surga dalam pengadilan Tuhan nanti. Hal ini menyesatkan, tetapi faktanya banyak sekali orang Kristen yang berkeadaan demikian. Mereka mengklaim dirinya sudah lahir baru, sudah menjadi anak-anak Allah, dan memiliki kepastian masuk surga. Padahal kelahiran baru adalah proses perjuangan dimana seseorang menjadi sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus. Orang-orang Kristen yang tidak mengenal kebenaran tersebut suatu kali akan ditolak oleh Tuhan.
https://overcast.fm/+IqOAh7utA
Memandang kelahiran baru, ada beberapa hal penting yang harus dipahami.Pertama, kelahiran baru tidak boleh dipahami sebagai fenomena mistis atau ajaib yang tidak bisa dipahami secara nalar.Kedua,kelahiran baru adalah proses natural yang membutuhkan perjalanan waktu. Ini berarti bukan sesuatu yang mendadak terjadi atau berlangsung (instant). Ketiga, bahwa kelahiran baru hanya bisa dikerjakan oleh Allah atas respon manusia, bukan tindakan Allah sepihak. Dalam proses kelahiran baru, mengisyaratkan jelas bahwa masing-masing individu anak-anak Allah ikut terlibat di dalamnya atau meresponi tindakan Allah melalui Roh Kudus, yang menggarap setiap individu untuk mengalami kelahiran baru.
Kalau Tuhan Yesus menggunakan istilah “kelahiran” untuk proses keselamatan, berarti proses kelahiran baru juga memiliki kesejajaran dengan proses kelahiran manusia. Tidak mungkin Tuhan menggunakan istilah “kelahiran” untuk keselamatan orang percaya, tanpa memiliki keterkaitan dalam kesejajaran (paralel) dengan proses kelahiran secara umum. Proses kelahiran baru memiliki kesejajaran dengan proses kelahiran manusia. Dari penjelasan ini, dapat dimengerti bahwa kelahiran baru terjadi dalam hidup seseorang melalui sebuah proses. Proses ini adalah prinsip penting. Dalam Alkitab, hampir selalu Tuhan bekerja dengan prinsip ini, termasuk ketika Tuhan menciptakan alam semesta. Untuk menciptakan alam semesta, Tuhan dapat menciptakan sekejap dalam hitungan detik, tetapi Tuhan menyusun kerja-Nya secara sistematis dalam proses selama enam hari.
Banyak orang Kristen memiliki pemahaman mengenai kelahiran baru sebagai sebuah peristiwa sekejap secara ajaib, tanpa proses sama sekali. Mereka memandang bahwa kelahiran baru adalah pekerjaan Allah sepihak tanpa respon manusia sama sekali. Dengan demikian ada orang yang dipilih dan ditentukan oleh Allah dapat mengalami kelahiran baru dan yang lain tidak. Dalam hal ini manusia dipandang tidak memiliki hak untuk memilih sama sekali. Allah mengerjakannya secara transenden (di luar pikiran manusia), secara sepihak. Manusia hanya menerima saja apa yang dikerjakan oleh Allah di dalam diri mereka yang dipilih untuk dilahirkan baru. Mereka memandang kelahiran baru terjadi di luar kesadaran manusia, hanya dikerjakan oleh Allah sendiri dengan kekuatan Allah yang supranatural. Jika hal ini benar, maka tidak diperlukan penghakiman atau pengadilan Allah.
Yang benar adalah bahwa kelahiran baru bukan kejadian sekejap atau terjadi dalam sekejap, tetapi kelahiran baru adalah proses yang dikerjakan oleh Roh Kudus secara luar biasa dalam perjalanan waktu. Hal ini terjadi atau berlangsung atas manusia yang memberi respon terhadap anugerah keselamatan dalam Yesus Kristus, serta menanggapi penggarapan Tuhan untuk keselamatannya atau dikembalikan dirinya ke rancangan Allah semula. Dari proses kelahiran baru yang benar ini, maka seseorang akan mengalami perubahan yang signifikan atau sebuah proses tranformasi. Sehingga seseorang semakin berkeadaan sebagai anak Allah, bukan saja memiliki status sebagai anak-anak Allah dimata manusia tetapi berkeadaan sebagai anak-anak Allah, yaitu sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus.
Kalau seseorang beranggapan bahwa menjadi baik dan mulai bergereja berarti sudah mengalami kelahiran baru, kemudian percaya bahwa di penghakiman atau pengadilan Tuhan nanti ia pasti lolos masuk surga, maka orang-orang Kristen seperti ini bermodalkan status anak-anak Allah yang diyakininya sudah dimilikinya secara sah,maka ia juga meyakini bahwa dirinya pasti lolos masuk surga dalam pengadilan Tuhan nanti. Hal ini menyesatkan, tetapi faktanya banyak sekali orang Kristen yang berkeadaan demikian. Mereka mengklaim dirinya sudah lahir baru, sudah menjadi anak-anak Allah, dan memiliki kepastian masuk surga. Padahal kelahiran baru adalah proses perjuangan dimana seseorang menjadi sempurna seperti Bapa atau serupa dengan Yesus. Orang-orang Kristen yang tidak mengenal kebenaran tersebut suatu kali akan ditolak oleh Tuhan.
https://overcast.fm/+IqOAh7utA
Truth Daily Enlightenment 17 Juni 2019 PENGHAKIMAN ATAS ANAK-ANAK ALLAH
Setiap orang Kristen pasti mengaku sebagai anak-anak Allah. Benarkah setiap orang Kristen adalah anak-anak Allah? Dan biasanya mereka berpikir kalau menjadi anak-anak Allah dalam penghakiman atau pengadilan, pasti masuk surga. Bagaimana sebenarnya seseorang pantas disebut sebagai anak-anak Allah? Dalam Roma 8:14 Alkitab mencatat bahwa semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak-anak Allah. Jadi, orang yang tidak dipimpin oleh Roh Allah berarti bukan anak-anak Allah. Kata “dipimpin” dalam teks aslinya adalah agontai (ἄγονται) dari akar kata ago (ἄγω), selain berarti memimpin (to lead) juga berarti “dibawa” (to bring; to carry) atau dimotori (to drive). Istilah “anak Allah” ini (Ibr. ben Elohim) muncul pertama dalam Kejadian 6:1-3. Siapa sebenarnya anak-anak Allah di Kejadian 6:1-3 tersebut dan apa dasarnya mereka disebut anak-anak Allah?
Dalam Ibrani 12:8 terdapat kata “anak gampang”. Apa sebenarnya maksudnya? Dalam teks asli Alkitab, kata “anak gampang” di sini adalah “nothos” (νόθος) yang artinya anak yang tidak resmi (Ing. illegitimate son). Kata ini juga bisa berarti anak haram (Ing. bastard). Dalam Yunani, selain ada kata nothos, juga ada kata huios (υἱός) yang artinya anak dalam arti anak yang resmi atau anak yang sungguh-sungguh memiliki pertalian keluarga atau anak yang sah (Ing. kinship). Kata ini juga digunakan sebagai sebutan bagi Yesus yang adalah Anak Allah. Jadi, ada anak yang berstatus sebagai anak sah yang akan mewarisi kekayaan dan keagungan orang tua, atau seperti pangeran; tetapi ada anak gampang, anak yang tidak sah yang tidak akan mewarisi kekayaan orang tua. Dalam kehidupan orang Kristen juga terdapat orang-orang yang tergolong sebagai nothos dan sebagai huios. Kalau jujur, Saudara termasuk yang mana?
Berbicara mengenai anak-anak Allah, perlu kita meninjau Yohanes 1:12. Bagi mereka yang percaya, diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah. “Kuasa” itu dari teks aslinya exousia (ἐξουσία), yang artinya hak istimewa yang membuat seseorang memiliki fasilitas untuk bisa menjadi anak-anak Allah. Fasilitas itu adalah pemeliharaan Tuhan, Roh Kudus, Firman, dan penggarapan intensif Allah atas orang yang mengasihi Dia.Jadi kuasa itu tidak otomatis membuat seorang Kristen menjadi anak Allah. Tetapi kuasa itu diberikan supaya kita menjadi anak-anak Allah. Jadi kalau seseorang tidak memanfaatkan kuasa itu, maka seseorang tidak pernah menjadi anak Allah. Menjadi anak Allah berarti berkarakter seperti Allah atau sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48). Panggilan sebagai orang percaya hanya ini: Menjadi serupa dengan Bapa.
Pada waktu seseorang dengan mulut mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ia diberi kuasa atau hak supaya menjadi anak-anak Allah. Ini belum tentu membuat dia sudah sah sebagai anak-anak Allah (Yun. huios). Ia masih berstatus nothos, yang artinya anak yang belum atau tidak sah. Jika kemudian ia memanfaatkan kuasa atau hak itu, maka ia akan bertumbuh menjadi anak-anak Allah yang sah. Jika tidak, maka ia tidak akan bertumbuh. Ciri dari nothos adalah tidak mau dihajar dan diajar Bapa.
Pada zaman penggenapan ini, Allah hendak melahirkan orang yang menerima Tuhan Yesus supaya menjadi anak-anak Allah, inilah tujuan penyelamatan. Tujuan keselamatan pada intinya adalah menjadikan anak manusia berubah sehingga berkeadaan sebagai anak-anak Allah. Dengan berkeadaan sebagai anak-anak Allah, maka seseorang barulah mendapat legalitas atau pengesahan status sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian, seseorang dikatakan berstatus sebagai anak-anak Allah kalau berkeadaan sebagai anak-anak Allah. Berkeadaan sebagai anak-anak Allah maksudnya memiliki tanda atau ciri, yaitu seperti Yesus yang melakukan kehendak Bapa.
Fakta yang kita saksikan dalam kehidupan banyak orang Kristen, mereka sudah merasa nyaman karena merasa sudah menjadi anak-anak Allah yang sah. Mereka yakin kalau mati pasti diterima masuk surga. Padahal mereka belum pantas menyandang status sebagai anak-anak Allah, karena keberadaan mereka belum sebagai anak-anak Allah. Kebodohan yang ada dalam kehidupan banyak orang Kristen hari ini sesungguhnya membinasakan mereka tanpa mereka sadari. Betapa celaka kalau gereja tidak memberi peringatan yang tegas. Bisa dimengerti kalau Paulus mengatakan terkutuklah orang yang mengajarkan Injil yang berbeda dengan Injil yang diberitakannya. Banyak orang Kristen merasa sudah menjadi anak-anak Allah, padahal belum sah sebagai anak-anak Allah, jadi masih berstatus tidak sah (nothos), sementara mereka merasa sudah menjadi anak Allah yang sah (huios). Di pengadilan Kristus nanti mereka pasti ditolak oleh Allah sebab mereka belum berkeberadaan sebagai anak-anak Allah, yaitu belum melakukan kehendak Allah yang standarnya adalah Yesus.
https://overcast.fm/+IqOBhwdhs
Dalam Ibrani 12:8 terdapat kata “anak gampang”. Apa sebenarnya maksudnya? Dalam teks asli Alkitab, kata “anak gampang” di sini adalah “nothos” (νόθος) yang artinya anak yang tidak resmi (Ing. illegitimate son). Kata ini juga bisa berarti anak haram (Ing. bastard). Dalam Yunani, selain ada kata nothos, juga ada kata huios (υἱός) yang artinya anak dalam arti anak yang resmi atau anak yang sungguh-sungguh memiliki pertalian keluarga atau anak yang sah (Ing. kinship). Kata ini juga digunakan sebagai sebutan bagi Yesus yang adalah Anak Allah. Jadi, ada anak yang berstatus sebagai anak sah yang akan mewarisi kekayaan dan keagungan orang tua, atau seperti pangeran; tetapi ada anak gampang, anak yang tidak sah yang tidak akan mewarisi kekayaan orang tua. Dalam kehidupan orang Kristen juga terdapat orang-orang yang tergolong sebagai nothos dan sebagai huios. Kalau jujur, Saudara termasuk yang mana?
Berbicara mengenai anak-anak Allah, perlu kita meninjau Yohanes 1:12. Bagi mereka yang percaya, diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah. “Kuasa” itu dari teks aslinya exousia (ἐξουσία), yang artinya hak istimewa yang membuat seseorang memiliki fasilitas untuk bisa menjadi anak-anak Allah. Fasilitas itu adalah pemeliharaan Tuhan, Roh Kudus, Firman, dan penggarapan intensif Allah atas orang yang mengasihi Dia.Jadi kuasa itu tidak otomatis membuat seorang Kristen menjadi anak Allah. Tetapi kuasa itu diberikan supaya kita menjadi anak-anak Allah. Jadi kalau seseorang tidak memanfaatkan kuasa itu, maka seseorang tidak pernah menjadi anak Allah. Menjadi anak Allah berarti berkarakter seperti Allah atau sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48). Panggilan sebagai orang percaya hanya ini: Menjadi serupa dengan Bapa.
Pada waktu seseorang dengan mulut mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ia diberi kuasa atau hak supaya menjadi anak-anak Allah. Ini belum tentu membuat dia sudah sah sebagai anak-anak Allah (Yun. huios). Ia masih berstatus nothos, yang artinya anak yang belum atau tidak sah. Jika kemudian ia memanfaatkan kuasa atau hak itu, maka ia akan bertumbuh menjadi anak-anak Allah yang sah. Jika tidak, maka ia tidak akan bertumbuh. Ciri dari nothos adalah tidak mau dihajar dan diajar Bapa.
Pada zaman penggenapan ini, Allah hendak melahirkan orang yang menerima Tuhan Yesus supaya menjadi anak-anak Allah, inilah tujuan penyelamatan. Tujuan keselamatan pada intinya adalah menjadikan anak manusia berubah sehingga berkeadaan sebagai anak-anak Allah. Dengan berkeadaan sebagai anak-anak Allah, maka seseorang barulah mendapat legalitas atau pengesahan status sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian, seseorang dikatakan berstatus sebagai anak-anak Allah kalau berkeadaan sebagai anak-anak Allah. Berkeadaan sebagai anak-anak Allah maksudnya memiliki tanda atau ciri, yaitu seperti Yesus yang melakukan kehendak Bapa.
Fakta yang kita saksikan dalam kehidupan banyak orang Kristen, mereka sudah merasa nyaman karena merasa sudah menjadi anak-anak Allah yang sah. Mereka yakin kalau mati pasti diterima masuk surga. Padahal mereka belum pantas menyandang status sebagai anak-anak Allah, karena keberadaan mereka belum sebagai anak-anak Allah. Kebodohan yang ada dalam kehidupan banyak orang Kristen hari ini sesungguhnya membinasakan mereka tanpa mereka sadari. Betapa celaka kalau gereja tidak memberi peringatan yang tegas. Bisa dimengerti kalau Paulus mengatakan terkutuklah orang yang mengajarkan Injil yang berbeda dengan Injil yang diberitakannya. Banyak orang Kristen merasa sudah menjadi anak-anak Allah, padahal belum sah sebagai anak-anak Allah, jadi masih berstatus tidak sah (nothos), sementara mereka merasa sudah menjadi anak Allah yang sah (huios). Di pengadilan Kristus nanti mereka pasti ditolak oleh Allah sebab mereka belum berkeberadaan sebagai anak-anak Allah, yaitu belum melakukan kehendak Allah yang standarnya adalah Yesus.
https://overcast.fm/+IqOBhwdhs
Truth Daily Enlightenment 16 Juni 2019 UKURAN PENGHAKIMAN YANG BERBEDA
Terkait dengan penghakiman atau pengadilan Tuhan, kita harus memahami tatanan Tuhan bahwa yang diberi banyak dituntut banyak, tetapi yang diberi sedikit tentu juga dituntut sedikit. Hal ini terkait dengan penjelasan diatas mengenai pengertian dosa bagi masing-masing komunitas. Dengan demikian, penghakiman atau pengadilan Tuhan atas manusia dan komunitasnya berbeda-beda. Perbedaan ini menyangkut obyek manusia atau komunitasnya yang berkeadaan khusus (tidak semua komunitas memiliki keadaan yang sama) dan subyek hukum atau tatanan moral yang dipahami oleh masing-masing individu dan komunitas. Dalam hal ini, nampak jelas keadilan dan kebijaksanaan Tuhan atas masing-masing individu dan kelompoknya. Jadi setiap orang dihakimi menurut ukuran masing-masing yang tidak sama.
Kebenaran di atas ini, diteguhkan oleh Firman Tuhan yang tertulis dalam Wahyu 20:12 yang berbunyi: “Dan aku melihat orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu. Lalu dibuka semua kitab. Dan dibuka juga sebuah kitab lain, yaitu kitab kehidupan. Dan orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu”. Kita harus teliti memerhatikan kalimat di dalam ayat ini, yaitu adanya kitab-kitab (lebih dari satu), dimana setiap orang dan komunitasnya dihakimi berdasarkan apa yang tertulis di dalam kitab-kitab itu. Hal ini menunjukkan adanya ukuran norma atau hukum yang berbeda-beda, yang menjadi dasar penghakiman atau pengadilan atas setiap individu. Kitab-kitab yang dimaksud di ayat tersebut menunjuk berbagai ukuran norma atau hukum yang banyak terdapat di dunia, sesuai dengan budaya dan moral masing-masing suku bangsa dan keyakinan. Tidak mungkin seseorang dihakimi dengan ukuran norma dan hukum yang tidak dipahami.
Penjelasan mengenai penghakiman atau pengadilan yang didasarkan atas berbagai ukuran norma atau hukum, juga dijelaskan oleh Paulus dalam Roma 2:12-16, “Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum Taurat. Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan. Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela. Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus”. Dari ayat ini sangatlah jelas ada penghakiman atas orang yang tidak memiliki Taurat berdasarkan Taurat (hukum) yang tertulis di dalam nurani mereka. Sedangkan Bangsa Israel dihakimi menurut Taurat yang tertulis secara harafiah.
Orang Kristen dituntut banyak karena mereka mengenal Tuhan Yesus yang adalah Juruselamat dan mengenal Injil; Injil itu kuasa Allah yang menyelamatkan. Menyelamatkan itu artinya mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya yang semula, dimana manusia bisa menjadi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah. Untuk memperoleh keselamatan, seseorang harus memiliki iman. Jadi keselamatan adalah standar dangoal satu-satunya yang harus dicapai orang percaya. Hal ini membuat penghakiman atas orang percaya memiliki ukuran yang berbeda.
Iman atau percaya berarti menyerahkan diri kepada obyek yg dipercayai, jadi kalau kita percaya kepada Tuhan Yesus kita menyerahkan diri kepada segala sesuatu yang diajarkan-Nya untuk dikenakan dalam kehidupan ini. Untuk ini orang percaya harus mengenal dengan benar pribadi-Nya, memiliki hubungan yang riil dengan Dia, mengerti kehendak-Nya dalam segala hal, dan melakukan kehendak-Nya tersebut. Inilah yang menentukan kualitas iman kita. Kualitas iman tersebut menentukan kualitas hidup kita yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Tuhan nanti. Menjadi kemutlakan agar orang percaya sempurna seperti Bapa dan serupa dengan Yesus. Orang percaya dihakimi dengan ukuran yang berbeda dengan mereka yang tidak percaya. Orang percaya harus sampai tingkat kehidupan sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48), berkenan kepada Allah (2Kor. 5:9-10), serupa dengan Yesus (Flp. 2:5-7), hidup tidak bercacat dan tidak bercela (Flp. 1:10), berkeadaan kudus seperti Bapa kudus (1Ptr. 1:16), mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:9-10), mengenakan kodrat Ilahi (2Ptr. 1:3-4).
https://overcast.fm/+IqODutZZE
Kebenaran di atas ini, diteguhkan oleh Firman Tuhan yang tertulis dalam Wahyu 20:12 yang berbunyi: “Dan aku melihat orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu. Lalu dibuka semua kitab. Dan dibuka juga sebuah kitab lain, yaitu kitab kehidupan. Dan orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu”. Kita harus teliti memerhatikan kalimat di dalam ayat ini, yaitu adanya kitab-kitab (lebih dari satu), dimana setiap orang dan komunitasnya dihakimi berdasarkan apa yang tertulis di dalam kitab-kitab itu. Hal ini menunjukkan adanya ukuran norma atau hukum yang berbeda-beda, yang menjadi dasar penghakiman atau pengadilan atas setiap individu. Kitab-kitab yang dimaksud di ayat tersebut menunjuk berbagai ukuran norma atau hukum yang banyak terdapat di dunia, sesuai dengan budaya dan moral masing-masing suku bangsa dan keyakinan. Tidak mungkin seseorang dihakimi dengan ukuran norma dan hukum yang tidak dipahami.
Penjelasan mengenai penghakiman atau pengadilan yang didasarkan atas berbagai ukuran norma atau hukum, juga dijelaskan oleh Paulus dalam Roma 2:12-16, “Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum Taurat. Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan. Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela. Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus”. Dari ayat ini sangatlah jelas ada penghakiman atas orang yang tidak memiliki Taurat berdasarkan Taurat (hukum) yang tertulis di dalam nurani mereka. Sedangkan Bangsa Israel dihakimi menurut Taurat yang tertulis secara harafiah.
Orang Kristen dituntut banyak karena mereka mengenal Tuhan Yesus yang adalah Juruselamat dan mengenal Injil; Injil itu kuasa Allah yang menyelamatkan. Menyelamatkan itu artinya mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya yang semula, dimana manusia bisa menjadi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah. Untuk memperoleh keselamatan, seseorang harus memiliki iman. Jadi keselamatan adalah standar dangoal satu-satunya yang harus dicapai orang percaya. Hal ini membuat penghakiman atas orang percaya memiliki ukuran yang berbeda.
Iman atau percaya berarti menyerahkan diri kepada obyek yg dipercayai, jadi kalau kita percaya kepada Tuhan Yesus kita menyerahkan diri kepada segala sesuatu yang diajarkan-Nya untuk dikenakan dalam kehidupan ini. Untuk ini orang percaya harus mengenal dengan benar pribadi-Nya, memiliki hubungan yang riil dengan Dia, mengerti kehendak-Nya dalam segala hal, dan melakukan kehendak-Nya tersebut. Inilah yang menentukan kualitas iman kita. Kualitas iman tersebut menentukan kualitas hidup kita yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Tuhan nanti. Menjadi kemutlakan agar orang percaya sempurna seperti Bapa dan serupa dengan Yesus. Orang percaya dihakimi dengan ukuran yang berbeda dengan mereka yang tidak percaya. Orang percaya harus sampai tingkat kehidupan sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48), berkenan kepada Allah (2Kor. 5:9-10), serupa dengan Yesus (Flp. 2:5-7), hidup tidak bercacat dan tidak bercela (Flp. 1:10), berkeadaan kudus seperti Bapa kudus (1Ptr. 1:16), mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:9-10), mengenakan kodrat Ilahi (2Ptr. 1:3-4).
https://overcast.fm/+IqODutZZE
( Sunday Bible Teaching ) SBT, 9 Juni 2019 Pdt.Dr. Erastus Sabdono
Semakin kita mengenal kebenaran Injil, kita semakin menemukan betapa mahal harga pengiringan kita kepada Tuhan Yesus Kristus.
Mengikut Yesus jalan yang sukar.
Ini mustahil bagi manusia.
Standar yang diberikan kepada umat pilihan, orang - orang yang diberi kesempatan mendengar Injil dan dibekali berbagai potensi untuk mengalami perubahan, standarnya serupa seperi Yesus
Ini standar yang tidak bisa dikurangi atau direduksi.
Standar orang beragama melakukan hukum.
Dimungkinkan manusia tanpa Roh Kudus mencapainya.
Jangan berpikir hanya orang beragama yang bisa bermoral baik.
Orang yang tidak beragamapun bisa bermoral baik sesuai standar etika yang mereka miliki.
Sesuai dengan Alkitab memang Tuhan menulis TauratNya di hati manusia, hukumnya di hati manusia.
Ini merupakan proses estafet pewarisan
dari Adam ke anak cucunya.
Tidak heran di dunia ada hukum yang sama, orang tua harus dihormati, tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh, tidak boleh berzinah dstnya.
Mengikut Yesus artinya mengikut jejakNya, hidup seperti Yesus hidup.
Matius 19
Jika demikian siapa yang diselamatkan.
Ini bicara keselamatan.
Keselamatan itu kehidupan yang berkualitas tinggi.
Bagi manusia mustahil, tetapi bagi Allah tidak mustahil karena Allah melengkapi manusia dengan kuasa, supaya menjadi Anak - anak Allah.
Yohanes 1 : 11 - 13
Dan ini anugerah yang luar biasa.
Potensi yang tidak diberikan kepada semua orang.
Potensi yang hanya disediakan bagi umat pilihan.
Jadi kalau mau masuk wilayah ini harus melepaskan segala sesuatu.
Meninggalkan segala sesuatu.
Lukas 14 : 33
Supaya yang mustahil menjadi tidak mustahil.
Lukas 16 : 11 - 12
Kalau tidak setia dengan mamon yang tidak jujur, matrealisme, Kalau terikat dunia kamu tidak bisa mengenal kebenaran.
Kamu tidak dapat dipercayai harta sesungguhnya alithenon, kebenaran.
Padahal kebenaran yang memerdekakan.
Potensi itu dapat bekerja, power full bagi orang - orang yang mengosongkan bejana hatinya.
Kita harus mengerti bahwa hidup berkualitas tinggi sebagai Anak - anak Allah, Allah Bapa, Sang Theos yang memiliki jagat raya ini.
Yang berkenan memberikan kerajaanNya kepada Putra tunggalNya dan bersama - sama dengan kita.
Allah memberikan potensi Roh Kudus yang menuntun ke segala kebenaran.
Dan Roh Kudus itu power full, sangat berkuasa.
Ikut Yesus, standarnya Yesus, kita tidak bisa menawar, atau mengurangi.
Kita belum seperti Allah Bapa kehendaki.
Inilah kekristenan, seperti Kristus, dan kita tidak bisa menghindari.
2 korintus 5 : 14 - 15
Ketika Tuhan Yesus menebus kita, kita tidak berhak atas hidup kita.
Karena hidup kita sudah ditebus.
Orang yang memberi diri ditebus orang yang berani mengatakan everything I have belong to God.
Semua yang aku miliki milik Tuhan.
Seperti seorang budak yang dibeli harkat dan martabat seluruh pemilikannya.
Ketika Tuhan Yesus menebus kita, kita tidak berhak apapun.
1 Korintus 6 : 19 - 20
Kita bukan milik sendiri
Kita sudah kehilangan seluruh hak kita.
Kita tidak punya hak lagi, majikan yang telah membeli kita telah mengambil seluruh hak kita.
Kalau kita mau ditebus maka, Kita tidak punya mengatur diri dari hal kecil sampai hal besar, mau ngomong apa ngomong, mau beli apa beli, mau ke mana, pergi melangkah.
Sebab Dia yang ambil alih hidup kita.
Tubuh kita bait Roh Kudus, ini menggetarkan.
Seluruh tubuh kita bisa jadi alat peraga Tuhan.
Galatia 2 : 19 - 20
Paulus memenuhi hukum Taurat.
Hidup untuk Allah setiap langkah setiap hal tidak ada yang meleset.
Kita harus fokus.
Kita menaruh harapan kita di langit baru bumi baru
Kita harus mengalami perubahan permanen.
Puncak kemenangan Kristus waktu Dia disalib.
Semua prestasi kita akan dibuka di hadapan Tuhan.
Iman adalah penurutan akan kehendak Allah.
Orang percaya tidak boleh tidak melakukan kehendak Bapa.
Dia yang telah membuat aku jadi milikNya.
2 kor 6 : 14 - 15
Kolose 3 : 3 - 4
Roma 1 : 16 - 17
Hidup bagi Dia artinya memperagakan kehidupan Yesus dalam diri kita.
Kita bukan dari dunia ini.
JBU 🌷
Mengikut Yesus jalan yang sukar.
Ini mustahil bagi manusia.
Standar yang diberikan kepada umat pilihan, orang - orang yang diberi kesempatan mendengar Injil dan dibekali berbagai potensi untuk mengalami perubahan, standarnya serupa seperi Yesus
Ini standar yang tidak bisa dikurangi atau direduksi.
Standar orang beragama melakukan hukum.
Dimungkinkan manusia tanpa Roh Kudus mencapainya.
Jangan berpikir hanya orang beragama yang bisa bermoral baik.
Orang yang tidak beragamapun bisa bermoral baik sesuai standar etika yang mereka miliki.
Sesuai dengan Alkitab memang Tuhan menulis TauratNya di hati manusia, hukumnya di hati manusia.
Ini merupakan proses estafet pewarisan
dari Adam ke anak cucunya.
Tidak heran di dunia ada hukum yang sama, orang tua harus dihormati, tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh, tidak boleh berzinah dstnya.
Mengikut Yesus artinya mengikut jejakNya, hidup seperti Yesus hidup.
Matius 19
Jika demikian siapa yang diselamatkan.
Ini bicara keselamatan.
Keselamatan itu kehidupan yang berkualitas tinggi.
Bagi manusia mustahil, tetapi bagi Allah tidak mustahil karena Allah melengkapi manusia dengan kuasa, supaya menjadi Anak - anak Allah.
Yohanes 1 : 11 - 13
Dan ini anugerah yang luar biasa.
Potensi yang tidak diberikan kepada semua orang.
Potensi yang hanya disediakan bagi umat pilihan.
Jadi kalau mau masuk wilayah ini harus melepaskan segala sesuatu.
Meninggalkan segala sesuatu.
Lukas 14 : 33
Supaya yang mustahil menjadi tidak mustahil.
Lukas 16 : 11 - 12
Kalau tidak setia dengan mamon yang tidak jujur, matrealisme, Kalau terikat dunia kamu tidak bisa mengenal kebenaran.
Kamu tidak dapat dipercayai harta sesungguhnya alithenon, kebenaran.
Padahal kebenaran yang memerdekakan.
Potensi itu dapat bekerja, power full bagi orang - orang yang mengosongkan bejana hatinya.
Kita harus mengerti bahwa hidup berkualitas tinggi sebagai Anak - anak Allah, Allah Bapa, Sang Theos yang memiliki jagat raya ini.
Yang berkenan memberikan kerajaanNya kepada Putra tunggalNya dan bersama - sama dengan kita.
Allah memberikan potensi Roh Kudus yang menuntun ke segala kebenaran.
Dan Roh Kudus itu power full, sangat berkuasa.
Ikut Yesus, standarnya Yesus, kita tidak bisa menawar, atau mengurangi.
Kita belum seperti Allah Bapa kehendaki.
Inilah kekristenan, seperti Kristus, dan kita tidak bisa menghindari.
2 korintus 5 : 14 - 15
Ketika Tuhan Yesus menebus kita, kita tidak berhak atas hidup kita.
Karena hidup kita sudah ditebus.
Orang yang memberi diri ditebus orang yang berani mengatakan everything I have belong to God.
Semua yang aku miliki milik Tuhan.
Seperti seorang budak yang dibeli harkat dan martabat seluruh pemilikannya.
Ketika Tuhan Yesus menebus kita, kita tidak berhak apapun.
1 Korintus 6 : 19 - 20
Kita bukan milik sendiri
Kita sudah kehilangan seluruh hak kita.
Kita tidak punya hak lagi, majikan yang telah membeli kita telah mengambil seluruh hak kita.
Kalau kita mau ditebus maka, Kita tidak punya mengatur diri dari hal kecil sampai hal besar, mau ngomong apa ngomong, mau beli apa beli, mau ke mana, pergi melangkah.
Sebab Dia yang ambil alih hidup kita.
Tubuh kita bait Roh Kudus, ini menggetarkan.
Seluruh tubuh kita bisa jadi alat peraga Tuhan.
Galatia 2 : 19 - 20
Paulus memenuhi hukum Taurat.
Hidup untuk Allah setiap langkah setiap hal tidak ada yang meleset.
Kita harus fokus.
Kita menaruh harapan kita di langit baru bumi baru
Kita harus mengalami perubahan permanen.
Puncak kemenangan Kristus waktu Dia disalib.
Semua prestasi kita akan dibuka di hadapan Tuhan.
Iman adalah penurutan akan kehendak Allah.
Orang percaya tidak boleh tidak melakukan kehendak Bapa.
Dia yang telah membuat aku jadi milikNya.
2 kor 6 : 14 - 15
Kolose 3 : 3 - 4
Roma 1 : 16 - 17
Hidup bagi Dia artinya memperagakan kehidupan Yesus dalam diri kita.
Kita bukan dari dunia ini.
JBU 🌷
Truth Daily Enlightenment 15 Juni 2019 PENGERTIAN KESELAMATAN
Prinsip yang sangat penting dalam kehidupan orang percaya adalah bahwa keselamatan bukan karena berbuat baik, tetapi karena iman. Prinsip penting ini harus dipahami dengan benar supaya dalam memahami pengertian penghakiman untuk ini perlu juga memahami pengertian keselamatan. Sejatinya,keselamatan bukan sekadar terhindar dari neraka dan diperkenan masuk surga. Karena pengertian yang dangkal ini banyak orang Kristen merasa cukup berbekal “percaya saja bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat,” maka mereka berani menghadapi penghakiman atau pengadilan. Ditambah lagi dengan memahami secara keliru pengertian sola gratia (hanya oleh anugerah) dan sola fide (hanya oleh iman), maka mereka terjebak dalam pasivitas rohani yang tidak membawa mereka kepada pengalaman keselamatan yang sejati. Mereka tidak memahami bahwa keselamatan adalah perjuangan yang menyita seluruh kehidupan.
Prinsip solagratia atau hanya oleh anugerah, bahwa perbuatan baik tidak menyelamatkan, sering dipahami secara tidak tepat. Memang keselamatan hanya di dalam Yesus dan oleh anugerah-Nya. Tetapi isi anugerah-Nya adalah manusia dikembalikan ke rancangan Allah semula agar menjadi kudus seperti Alah kudus, mengenakan kodrat Ilahi, atau mengambil bagian dalam kekudusan Allah. Untuk ini, harus ada usaha individu untuk mencapai hal tersebut. Anugerah salib Kristus memperdamaikan kita dengan Allah (Ho Theos atau Bapa). Dengan pendamaian tersebut kita dapat diterima oleh Bapa tanpa mempersoalkan keadaan “keberdosaan” kita. Bapa memberikan Roh Kudus untuk menuntun kita kepada seluruh kebenaran dengan sarana Injil (Rm. 1:16-17), dan semua melalui peristiwa yang terjadi dalam hidup ini (Rm. 8:28-29). Untuk ini, kita harus memahami keselamatan dari tiga dimensi.
Dimensi pertama dari keselamatan adalah keselamatan ditinjau dari sudut masa lalu (past). Keselamatan yang ditinjau dari masa lalu adalah memandang karya atau pekerjaan keselamatan yang telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus dua ribu tahun yang lalu sebagai telah selesai atau sudah genap (Ibr. 2:1-3). Tuhan Yesus mati untuk semua manusia, dari manusia pertama, Adam, sampai manusia terakhir nanti (Yoh. 1:29). Tuhan Yesus telah menyelesaikan tugas penyelamatan itu sehingga tidak perlu lagi usaha-usaha untuk melengkapi karya Tuhan Yesus yang sudah sempurna tersebut.Ini adalah harga mati, bahwa tidak ada keselamatan di luar Yesus (Kis. 4:12). Banyak orang Kristen hanya berhenti sampai di dimensi ini, mereka merasa sudah ditentukan selamat oleh korban Yesus tersebut.
Dimensi kedua dari keselamatan adalah keselamatan ditinjau dari masa sekarang atau kekinian (present). Keselamatan yang ditinjau dari masa sekarang adalah pergumulan orang percaya dalam meresponi keselamatan. Inilah pergumulan untuk menjalankan hidup baru yang Tuhan berikan. Orang percaya harus mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Flp. 2:12). Mengerjakan keselamatan adalah belajar bertumbuh mengenakan pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 2:5-7). Jelas sekali bahwa keselamatan adalah usaha Allah mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya dan manusia harus meresponinya dengan respon yang benar. Tanpa respon yang benar berarti tidak beriman dengan benar. Iman tanpa perbuatan seperti tubuh tanpa roh (Yak. 2:20-26).
Keselamatan harus dikerjakan supaya keselamatan menjadi milik yang pasti (Ibr. 6:9-11; 2Ptr. 1:10-11). Menjadi milik yang pasti atau memiliki hak penuh masuk Kerajaan Surga artinya kalau seseorang menyambut keselamatan dengan sikap yang benar, maka ia sampai tidak mungkin binasa. Di sini barulah berlaku pernyataan “sekali selamat tetap selamat”. Status “sekali selamat tetap selamat” tidak bisa dikenakan kepada semua orang Kristen, tetapi untuk mereka yang bertumbuh dalam kesempurnaan seperti Bapa atau serupa dengan Yesus; melakukan kehendak Bapa. Hanya orang-orang yang melakukan kehendak Bapa inilah yang benar-benar mengalami keselamatan, yaitu diperkenan masuk surga sebagai anak-anak Allah. Inilah dimensi ketiga dari keselamatan,yaitu keselamatan ditinjau dari masa yang akan datang (Rm. 8:24).
Keselamatan ditinjau dari masa yang akan datang adalah keseluruhan keselamatan yang diterima orang percaya. Ketika orang percaya memasuki negeri yang tak berzaman, yaitu Kerajaan Tuhan Yesus Kristus, maka barulah genap atau selesai sempurna seluruh proyek penyelamatan Allah. Dalam memandang keselamatan dari dimensi kedua, terdapat fakta adanya pergumulan untuk menerima anugerah keselamatan, yaitu dikembalikan ke rancangan Allah semula atau serupa dengan Yesus. Dengan kehendak bebasnya, manusia memilih untuk hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah atau tidak. Orang yang tidak berjuang untuk menjadi semakin seperti Yesus tidak berhak meyakini dirinya akan diterima di Rumah Bapa.Orang yang benar-benar memiliki keselamatan tidak gentar sama sekali menghadapi penghakiman atau pengadilan Tuhan. Itulah sebabnya ciri dari orang yang telah memiliki keselamatan tidak takut sama sekali menghadapi kematian.
https://overcast.fm/+IqOCnwjwc
Prinsip solagratia atau hanya oleh anugerah, bahwa perbuatan baik tidak menyelamatkan, sering dipahami secara tidak tepat. Memang keselamatan hanya di dalam Yesus dan oleh anugerah-Nya. Tetapi isi anugerah-Nya adalah manusia dikembalikan ke rancangan Allah semula agar menjadi kudus seperti Alah kudus, mengenakan kodrat Ilahi, atau mengambil bagian dalam kekudusan Allah. Untuk ini, harus ada usaha individu untuk mencapai hal tersebut. Anugerah salib Kristus memperdamaikan kita dengan Allah (Ho Theos atau Bapa). Dengan pendamaian tersebut kita dapat diterima oleh Bapa tanpa mempersoalkan keadaan “keberdosaan” kita. Bapa memberikan Roh Kudus untuk menuntun kita kepada seluruh kebenaran dengan sarana Injil (Rm. 1:16-17), dan semua melalui peristiwa yang terjadi dalam hidup ini (Rm. 8:28-29). Untuk ini, kita harus memahami keselamatan dari tiga dimensi.
Dimensi pertama dari keselamatan adalah keselamatan ditinjau dari sudut masa lalu (past). Keselamatan yang ditinjau dari masa lalu adalah memandang karya atau pekerjaan keselamatan yang telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus dua ribu tahun yang lalu sebagai telah selesai atau sudah genap (Ibr. 2:1-3). Tuhan Yesus mati untuk semua manusia, dari manusia pertama, Adam, sampai manusia terakhir nanti (Yoh. 1:29). Tuhan Yesus telah menyelesaikan tugas penyelamatan itu sehingga tidak perlu lagi usaha-usaha untuk melengkapi karya Tuhan Yesus yang sudah sempurna tersebut.Ini adalah harga mati, bahwa tidak ada keselamatan di luar Yesus (Kis. 4:12). Banyak orang Kristen hanya berhenti sampai di dimensi ini, mereka merasa sudah ditentukan selamat oleh korban Yesus tersebut.
Dimensi kedua dari keselamatan adalah keselamatan ditinjau dari masa sekarang atau kekinian (present). Keselamatan yang ditinjau dari masa sekarang adalah pergumulan orang percaya dalam meresponi keselamatan. Inilah pergumulan untuk menjalankan hidup baru yang Tuhan berikan. Orang percaya harus mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Flp. 2:12). Mengerjakan keselamatan adalah belajar bertumbuh mengenakan pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 2:5-7). Jelas sekali bahwa keselamatan adalah usaha Allah mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya dan manusia harus meresponinya dengan respon yang benar. Tanpa respon yang benar berarti tidak beriman dengan benar. Iman tanpa perbuatan seperti tubuh tanpa roh (Yak. 2:20-26).
Keselamatan harus dikerjakan supaya keselamatan menjadi milik yang pasti (Ibr. 6:9-11; 2Ptr. 1:10-11). Menjadi milik yang pasti atau memiliki hak penuh masuk Kerajaan Surga artinya kalau seseorang menyambut keselamatan dengan sikap yang benar, maka ia sampai tidak mungkin binasa. Di sini barulah berlaku pernyataan “sekali selamat tetap selamat”. Status “sekali selamat tetap selamat” tidak bisa dikenakan kepada semua orang Kristen, tetapi untuk mereka yang bertumbuh dalam kesempurnaan seperti Bapa atau serupa dengan Yesus; melakukan kehendak Bapa. Hanya orang-orang yang melakukan kehendak Bapa inilah yang benar-benar mengalami keselamatan, yaitu diperkenan masuk surga sebagai anak-anak Allah. Inilah dimensi ketiga dari keselamatan,yaitu keselamatan ditinjau dari masa yang akan datang (Rm. 8:24).
Keselamatan ditinjau dari masa yang akan datang adalah keseluruhan keselamatan yang diterima orang percaya. Ketika orang percaya memasuki negeri yang tak berzaman, yaitu Kerajaan Tuhan Yesus Kristus, maka barulah genap atau selesai sempurna seluruh proyek penyelamatan Allah. Dalam memandang keselamatan dari dimensi kedua, terdapat fakta adanya pergumulan untuk menerima anugerah keselamatan, yaitu dikembalikan ke rancangan Allah semula atau serupa dengan Yesus. Dengan kehendak bebasnya, manusia memilih untuk hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah atau tidak. Orang yang tidak berjuang untuk menjadi semakin seperti Yesus tidak berhak meyakini dirinya akan diterima di Rumah Bapa.Orang yang benar-benar memiliki keselamatan tidak gentar sama sekali menghadapi penghakiman atau pengadilan Tuhan. Itulah sebabnya ciri dari orang yang telah memiliki keselamatan tidak takut sama sekali menghadapi kematian.
https://overcast.fm/+IqOCnwjwc
Truth Daily Enlightenment 14 Juni 2019 PENGHAKIMAN UNTUK POSISI
Melihat sedemikian banyak kata yang menunjuk kepada istilah “dosa”, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, maka tidak mudah kita memformulasikan pengertian “dosa” secara singkat yang sudah mencakup seluruh pengertian yang terkandung didalam istilah “dosa” ini. Namun demikian, seperti yang disinggung diatas bahwa pengertian etimologi kata “dosa” membantu kita menemukan nafas pengertian dosa atau menolong kita memahami pengertian “dosa” itu sendiri, sehingga pemahaman kita mengenai “dosa” menjadi tepat. Kalau pemahaman seseorang mengenai dosa tidak benar dari berbagai perspektif, maka pengertian mengenai penghakiman juga pasti salah.
Bagi umat Perjanjian Baru, kata “dosa” yang paling sering atau paling banyak digunakan adalah “hamartia” (296 kali). Kata ini berarti suatu “keluncasan” atau “meleset”. Dalam teks aslinya digunakan kata hamartia. Kata hamartia ini sebenarnya dari pengertian katanya sendiri berarti luncas, tidak kena sasaran, atau meleset. Sebenarnya kata itu sendiri secara etimologi tidak mengandung makna “kejahatan”. Ibarat suatu target memanah atau menembak, bila tembakan tidak tepat mengenai pusat pusaran target, berarti meleset. Inilah hamartia itu. Ketidaktepatan berarti semua tindakan yang tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah, walaupun mungkin tidak bertentangan dengan moral umum.
Seperti yang disinggung diatas, terdapat banyak kata untuk “dosa” dalam Perjanjian Baru. Istilah yang perlu diamati berkenaan dengan tema kita adalah “parabasis” yang berarti melangkah ke samping. Ini sama artinya dengan menyimpang dari jalan yang benar, biasanya istilah ini diterjemahkan dengan kata “pelanggaran” (Rm. 2:23, 4:15; Gal. 3:19). Kata yang agak berhubungan dengan gagasan ini adalah kata anomia. Kata ini berarti tidak berhukum. Berkenaan dengan hal ini, harus diingatkan bahwa ada moral yang diperuntukkan bagi warga Kerajaan Surga. Moral itu bertolak dari patokan yang tidak dapat dikurangi yaitu “seperti Bapa” (Mat. 5:48). Kurang dari standar ini berarti anomia, sebab Tuhan adalah hukumnya.Kalau orang Yahudi menyatakan bahwa Taurat adalah hukumnya, tetapi orang percaya hukumnya adalah Tuhan (The Lord is my law). Dalam hal ini bisa dipahami kalau Firman Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki pikiran dan perasaan Kristus.
Setiap orang Kristen dituntut memiliki standar kesucian seperti Bapa atau sempurna. Jadi bila kehidupan kita belum seperti Yesus atau belum seperti yang Bapa kehendaki, itu berarti belum sesuai dengan kehendak-Nya. Selama masih belum seperti Bapa, maka itu berati masih “luncas” (Yun. hamartia). Dalam hal ini, pengertian luncas atau hamartia bukanlah sebuah dosa yang “fatalistik”. Kemudian yang menjadi persoalan adalah bagaimana orang yang masih berdosa atau “luncas” bisa selamat? Persoalan ini dapat dijawab dengan menghubungkan status kita di hadapan Allah, bahwa kita adalah orang-orang yang dibenarkan (Lat. justificatio) dan disucikan (Lat. sanctificatio), sekalipun kita adalah orang berdosa dan masih luncas. Itulah sebabnya ada istilah dalam Bahasa Latin yang berbunyi simul peccator et justus (orang berdosa sekaligus dibenarkan). Di hadapan Allah, kita sebagai manusia yang berdosa adalah anak-anak-Nya yang terus dimuridkan untuk menjadi seperti Yesus.
Penjelasan mengenai dosa di atas ini hendaknya tidak membuat seseorang meremehkan dosa dan menjadi sembrono. Harus diperhatikan bahwa setiap pelanggaran bermuatan “disiplin”, tetapi setiap “kebajikan” memuat upah abadi. Itulah sebabnya kelak di hadapan takhta Allah setiap orang akan memeroleh apa yang patut diterimanya (2Kor. 5:9-10). Untuk ini Paulus berkata: Aku berusaha untuk berkenan kepada Allah (2Kor. 5:9). Sekilas penjelasan ini membuat kesan seolah-olah meremehkan pengertian dosa, sebenarnya tidak. Dosa dunia memang telah ditanggulangi oleh Tuhan Yesus Kristus. Semua orang yang “menerima-Nya” dimerdekakan dari kutuk dosa, artinya kemerdekaan dari akibat dosa Adam. Bagi mereka yang menerima penebusan oleh darah Tuhan Yesus, yang dibebaskan dari kutuk dosa justru mendapat tuntutan yang sangat berat. Orang percaya dituntut untuk hidup tidak bercacat cela (1Tes. 4:7);kudus seperti Bapa (1Ptr. 1:13-17).
Pengertian “dosa” menurut umat Perjanjian Baru ini penting sekali bagi etika Kristen, sebab inilah yang menjadi dasar pandangan etis kita terhadap setiap kasus dan motivasi kehidupan: bahwa Allah memanggil orang percaya bukan saja sekadar menjadi orang baik, tetapi untuk menjadi sempurna. Ukuran kesucian kita adalah Allah sendiri. Dalam Yesus Kristus, bagi yang benar-benar telah lahir baru dan mengerjakan keselamatannya, pasti selamat. Bukan hanya diperkenan masuk dunia yang akan datang, tetapi juga memerintah bersama-sama dengan Yesus. Ini berarti mereka tidak lagi dihakimi untuk menentukan selamat atau tidak selamat. Penghakiman yang ada adalah penghakiman untuk memperoleh posisi dalam Kerajaan Bapa.
https://overcast.fm/+IqOBLoAU4
Bagi umat Perjanjian Baru, kata “dosa” yang paling sering atau paling banyak digunakan adalah “hamartia” (296 kali). Kata ini berarti suatu “keluncasan” atau “meleset”. Dalam teks aslinya digunakan kata hamartia. Kata hamartia ini sebenarnya dari pengertian katanya sendiri berarti luncas, tidak kena sasaran, atau meleset. Sebenarnya kata itu sendiri secara etimologi tidak mengandung makna “kejahatan”. Ibarat suatu target memanah atau menembak, bila tembakan tidak tepat mengenai pusat pusaran target, berarti meleset. Inilah hamartia itu. Ketidaktepatan berarti semua tindakan yang tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah, walaupun mungkin tidak bertentangan dengan moral umum.
Seperti yang disinggung diatas, terdapat banyak kata untuk “dosa” dalam Perjanjian Baru. Istilah yang perlu diamati berkenaan dengan tema kita adalah “parabasis” yang berarti melangkah ke samping. Ini sama artinya dengan menyimpang dari jalan yang benar, biasanya istilah ini diterjemahkan dengan kata “pelanggaran” (Rm. 2:23, 4:15; Gal. 3:19). Kata yang agak berhubungan dengan gagasan ini adalah kata anomia. Kata ini berarti tidak berhukum. Berkenaan dengan hal ini, harus diingatkan bahwa ada moral yang diperuntukkan bagi warga Kerajaan Surga. Moral itu bertolak dari patokan yang tidak dapat dikurangi yaitu “seperti Bapa” (Mat. 5:48). Kurang dari standar ini berarti anomia, sebab Tuhan adalah hukumnya.Kalau orang Yahudi menyatakan bahwa Taurat adalah hukumnya, tetapi orang percaya hukumnya adalah Tuhan (The Lord is my law). Dalam hal ini bisa dipahami kalau Firman Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki pikiran dan perasaan Kristus.
Setiap orang Kristen dituntut memiliki standar kesucian seperti Bapa atau sempurna. Jadi bila kehidupan kita belum seperti Yesus atau belum seperti yang Bapa kehendaki, itu berarti belum sesuai dengan kehendak-Nya. Selama masih belum seperti Bapa, maka itu berati masih “luncas” (Yun. hamartia). Dalam hal ini, pengertian luncas atau hamartia bukanlah sebuah dosa yang “fatalistik”. Kemudian yang menjadi persoalan adalah bagaimana orang yang masih berdosa atau “luncas” bisa selamat? Persoalan ini dapat dijawab dengan menghubungkan status kita di hadapan Allah, bahwa kita adalah orang-orang yang dibenarkan (Lat. justificatio) dan disucikan (Lat. sanctificatio), sekalipun kita adalah orang berdosa dan masih luncas. Itulah sebabnya ada istilah dalam Bahasa Latin yang berbunyi simul peccator et justus (orang berdosa sekaligus dibenarkan). Di hadapan Allah, kita sebagai manusia yang berdosa adalah anak-anak-Nya yang terus dimuridkan untuk menjadi seperti Yesus.
Penjelasan mengenai dosa di atas ini hendaknya tidak membuat seseorang meremehkan dosa dan menjadi sembrono. Harus diperhatikan bahwa setiap pelanggaran bermuatan “disiplin”, tetapi setiap “kebajikan” memuat upah abadi. Itulah sebabnya kelak di hadapan takhta Allah setiap orang akan memeroleh apa yang patut diterimanya (2Kor. 5:9-10). Untuk ini Paulus berkata: Aku berusaha untuk berkenan kepada Allah (2Kor. 5:9). Sekilas penjelasan ini membuat kesan seolah-olah meremehkan pengertian dosa, sebenarnya tidak. Dosa dunia memang telah ditanggulangi oleh Tuhan Yesus Kristus. Semua orang yang “menerima-Nya” dimerdekakan dari kutuk dosa, artinya kemerdekaan dari akibat dosa Adam. Bagi mereka yang menerima penebusan oleh darah Tuhan Yesus, yang dibebaskan dari kutuk dosa justru mendapat tuntutan yang sangat berat. Orang percaya dituntut untuk hidup tidak bercacat cela (1Tes. 4:7);kudus seperti Bapa (1Ptr. 1:13-17).
Pengertian “dosa” menurut umat Perjanjian Baru ini penting sekali bagi etika Kristen, sebab inilah yang menjadi dasar pandangan etis kita terhadap setiap kasus dan motivasi kehidupan: bahwa Allah memanggil orang percaya bukan saja sekadar menjadi orang baik, tetapi untuk menjadi sempurna. Ukuran kesucian kita adalah Allah sendiri. Dalam Yesus Kristus, bagi yang benar-benar telah lahir baru dan mengerjakan keselamatannya, pasti selamat. Bukan hanya diperkenan masuk dunia yang akan datang, tetapi juga memerintah bersama-sama dengan Yesus. Ini berarti mereka tidak lagi dihakimi untuk menentukan selamat atau tidak selamat. Penghakiman yang ada adalah penghakiman untuk memperoleh posisi dalam Kerajaan Bapa.
https://overcast.fm/+IqOBLoAU4
Kamis, 13 Juni 2019
Truth Daily Enlightenment 13 Juni 2019 DOSA MANUSIA PADA ZAMAN ANUGERAH
Pada zaman anugerah, bagi umat Yahudi maupun non-Yahudi (Ing. gentile) dosa berarti penolakan terhadap Injil. Kalau seseorang mengenal atau mendengar Injil tetapi menolaknya, maka itu berarti dosa bagi mereka. Sebaik apa pun seseorang, jika mendengar Injil tetapi menolak -dalam pengertian bersikap antipati- maka ia tidak akan memiliki atau memeroleh pengampunan dosa sama sekali. Kematian Tuhan Yesus Kristus tidak berarti sama sekali bagi mereka. Orang-orang ini termasuk kelompok manusia yang menolak Tuhan Yesus.
Pengertian “menolak” disini adalah memusuhi Yesus Kristus dalam bentuk membenci dan mendatangkan kesulitan bagi orang Kristen. Walaupun mereka sudah mendengar Injil atau mendengar mengenai berita Anak Allah, tetapi mereka bersikap “melawan” sampai tingkat penghinaan kepada Anak Allah. Mereka adalah kelompok orang yang membenci Kristus dan menghambat sampai merusak pekerjaan Tuhan. Dalam hal ini keselamatan manusia sangat tergantung dari responnya terhadap Injil semata-mata.
Diungkapkan dalam Injil bahwa bangsa-bangsa yang tidak mendengar Injil adalah bangsa-bangsa yang hidup dalam kegelapan (Mat. 4:15-16). Kegelapan ini dimengerti sebagai “tidak ada terang”. Ini berarti bahwa banyak orang yang hidup dalam standar yang Tuhan kehendaki. Pengertian “terang” disini adalah terang menurut ukuran Injil (Yoh. 1:1-5). Terang yang dimaksud oleh Yohanes menunjuk kehidupan yang berkualitas sangat tinggi, yaitu kehidupan manusia yang dikembalikan kepada rancangan Allah semula. Oleh karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia telah kehilangan terang yang ideal, oleh sebab itu Tuhan Yesus datang sebagai terang (Yoh. 1:4,5,9, 8:12; 1Yoh. 2:8; dan lain-lain). Terang inilah yang ditawarkan kepada manusia, supaya manusia menerima-Nya. Ini disebut zaman anugerah atau zaman penggenapan. Belum pernah ada masa yang luar biasa seperti masa Injil diberitakan, dimana manusia dapat menemukan “terang yang sesungguhnya” (Yoh 1:9).
Jadi, dosa dizaman Perjanjian Baru pada intinya adalah penolakan terhadap terang itu atau penolakan terhadap Yesus yang mengajarkan dan memberi hidup kekal (hidup yang berkualitas). Dengan penolakan tersebut maka seseorang memilih kegelapan atau bersekutu dengan kuasa kegelapan. Kedatangan Tuhan Yesus Kristus ke dunia merupakan tanda dan momentum yang memaksa manusia untuk memilih kepada siapa mereka hendak berpihak (Luk. 11:15-23). Dalam teks ini Tuhan Yesus tegas berkata:Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan (Luk. 11:23).
Bagi mereka yang menolak Tuhan Yesus, berarti mereka berpihak kepada kuasa kegelapan. Mereka menyaksikan dan mengalami bagaimana kuasa Allah dinyatakan, yaitu dengan pengusiran setan dan berbagai mukjizat. Tetapi mereka yang menolak Tuhan Yesus maka berarti mereka di pihak kuasa kegelapan (Luk. 11:20). Kalau mereka tidak melihatatau tidak pernah mendengar Injil secara memadai,mereka tidak berdosa; tetapi kalau mereka melihat (mendengar Injil secara memadai), tetapi tidak percaya, maka kekallah dosa mereka (Yoh. 9:41).Penolakan mereka dalam ekspresi nyata, yaitu memusuhi Tuhan Yesus dan menuduh Tuhan Yesus menggunakan kuasa penghulu setan (Beelzebul). Mereka menganggap Tuhan Yesus sesat dan pantas dimusuhi, ajaran dan pengikut-Nya pantas diberantas.
Berbicara mengenai keadaan seseorang yang “tidak percaya,” ternyata tindakan ini bukan hanya dilakukan oleh orang non-Kristen, tetapi juga tidak sedikit orang Kristen yang belum percaya dengan benar. Mereka pun belum melakukan tindakan dengan benar yang dimaksud dengan “menerima Tuhan Yesus.” Tidak heran kalau kelakuan mereka tidak lebih baik dari orang-orang non-Kristen.Memang lebih baik tidak mendengar Injil daripada mendengar Injil tetapi menolak-Nya. Menolak ini bisa dilakukan oleh mereka orang-orang non-Kristen tetapi juga oleh orang Kristen sendiri yang tidak atau belum menerima Yesus secara benar. Mereka termasuk kelompok orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus secara benar.
Dalam Yohanes 15:22 dan 15:24 memuat pernyataan yang sangat jelas bahwa kedatangan dan karya Yesus merupakan dasar pertimbangan terhadap dosa. Jelaslah di sini bahwa dosa yang dipermasalahkan adalah sikap mereka terhadap Yesus, terhadap karya-Nya di kayu salib. Oleh sebab itu sebaik apa pun kelakuan seseorang apabila menolak Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka binasalah dia (Yoh. 3:16-18).Di pihak lain, walaupun mereka Kristen, tetapi kalau hidup tidak sesuai dengan kehendak Allah berarti menjadikan dirinya sebagai musuh salib (Flp. 3:17-19). Dan mereka yang mengasihi dunia (walaupun Kristen) menjadikan dirinya musuh Allah (Yak. 4:4). Itulah sebabnya dalam Perjanjian Baru kata dosa yang hampir selalu digunakan adalah hamartia yang artinya meleset. Kata hamartia tidak memiliki unsur kejahatan, tetapi pada intinya tidak tepat seperti yang Allah kehendaki adalah meleset atau dosa (hamartia).
https://overcast.fm/+IqOBWwzEc
Pengertian “menolak” disini adalah memusuhi Yesus Kristus dalam bentuk membenci dan mendatangkan kesulitan bagi orang Kristen. Walaupun mereka sudah mendengar Injil atau mendengar mengenai berita Anak Allah, tetapi mereka bersikap “melawan” sampai tingkat penghinaan kepada Anak Allah. Mereka adalah kelompok orang yang membenci Kristus dan menghambat sampai merusak pekerjaan Tuhan. Dalam hal ini keselamatan manusia sangat tergantung dari responnya terhadap Injil semata-mata.
Diungkapkan dalam Injil bahwa bangsa-bangsa yang tidak mendengar Injil adalah bangsa-bangsa yang hidup dalam kegelapan (Mat. 4:15-16). Kegelapan ini dimengerti sebagai “tidak ada terang”. Ini berarti bahwa banyak orang yang hidup dalam standar yang Tuhan kehendaki. Pengertian “terang” disini adalah terang menurut ukuran Injil (Yoh. 1:1-5). Terang yang dimaksud oleh Yohanes menunjuk kehidupan yang berkualitas sangat tinggi, yaitu kehidupan manusia yang dikembalikan kepada rancangan Allah semula. Oleh karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia telah kehilangan terang yang ideal, oleh sebab itu Tuhan Yesus datang sebagai terang (Yoh. 1:4,5,9, 8:12; 1Yoh. 2:8; dan lain-lain). Terang inilah yang ditawarkan kepada manusia, supaya manusia menerima-Nya. Ini disebut zaman anugerah atau zaman penggenapan. Belum pernah ada masa yang luar biasa seperti masa Injil diberitakan, dimana manusia dapat menemukan “terang yang sesungguhnya” (Yoh 1:9).
Jadi, dosa dizaman Perjanjian Baru pada intinya adalah penolakan terhadap terang itu atau penolakan terhadap Yesus yang mengajarkan dan memberi hidup kekal (hidup yang berkualitas). Dengan penolakan tersebut maka seseorang memilih kegelapan atau bersekutu dengan kuasa kegelapan. Kedatangan Tuhan Yesus Kristus ke dunia merupakan tanda dan momentum yang memaksa manusia untuk memilih kepada siapa mereka hendak berpihak (Luk. 11:15-23). Dalam teks ini Tuhan Yesus tegas berkata:Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan (Luk. 11:23).
Bagi mereka yang menolak Tuhan Yesus, berarti mereka berpihak kepada kuasa kegelapan. Mereka menyaksikan dan mengalami bagaimana kuasa Allah dinyatakan, yaitu dengan pengusiran setan dan berbagai mukjizat. Tetapi mereka yang menolak Tuhan Yesus maka berarti mereka di pihak kuasa kegelapan (Luk. 11:20). Kalau mereka tidak melihatatau tidak pernah mendengar Injil secara memadai,mereka tidak berdosa; tetapi kalau mereka melihat (mendengar Injil secara memadai), tetapi tidak percaya, maka kekallah dosa mereka (Yoh. 9:41).Penolakan mereka dalam ekspresi nyata, yaitu memusuhi Tuhan Yesus dan menuduh Tuhan Yesus menggunakan kuasa penghulu setan (Beelzebul). Mereka menganggap Tuhan Yesus sesat dan pantas dimusuhi, ajaran dan pengikut-Nya pantas diberantas.
Berbicara mengenai keadaan seseorang yang “tidak percaya,” ternyata tindakan ini bukan hanya dilakukan oleh orang non-Kristen, tetapi juga tidak sedikit orang Kristen yang belum percaya dengan benar. Mereka pun belum melakukan tindakan dengan benar yang dimaksud dengan “menerima Tuhan Yesus.” Tidak heran kalau kelakuan mereka tidak lebih baik dari orang-orang non-Kristen.Memang lebih baik tidak mendengar Injil daripada mendengar Injil tetapi menolak-Nya. Menolak ini bisa dilakukan oleh mereka orang-orang non-Kristen tetapi juga oleh orang Kristen sendiri yang tidak atau belum menerima Yesus secara benar. Mereka termasuk kelompok orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus secara benar.
Dalam Yohanes 15:22 dan 15:24 memuat pernyataan yang sangat jelas bahwa kedatangan dan karya Yesus merupakan dasar pertimbangan terhadap dosa. Jelaslah di sini bahwa dosa yang dipermasalahkan adalah sikap mereka terhadap Yesus, terhadap karya-Nya di kayu salib. Oleh sebab itu sebaik apa pun kelakuan seseorang apabila menolak Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka binasalah dia (Yoh. 3:16-18).Di pihak lain, walaupun mereka Kristen, tetapi kalau hidup tidak sesuai dengan kehendak Allah berarti menjadikan dirinya sebagai musuh salib (Flp. 3:17-19). Dan mereka yang mengasihi dunia (walaupun Kristen) menjadikan dirinya musuh Allah (Yak. 4:4). Itulah sebabnya dalam Perjanjian Baru kata dosa yang hampir selalu digunakan adalah hamartia yang artinya meleset. Kata hamartia tidak memiliki unsur kejahatan, tetapi pada intinya tidak tepat seperti yang Allah kehendaki adalah meleset atau dosa (hamartia).
https://overcast.fm/+IqOBWwzEc
Truth Daily Enlightenment 12 Juni 2019 DOSA NON-YAHUDI YANG TIDAK MENDENGAR INJIL
Kalau bagi umat Israel, dosa berarti pelanggaran terhadap hukum Taurat, lalu bagaimana dengan orang non-Yahudi yang tidak memiliki hukum Taurat? Non-Yahudi disini adalah mereka yang bukan orang Israel yang hidup sebelum zaman anugerah, atau hidup di zaman anugerah tetapi yang tidak mendengar Injil atau tidak mendengar Injil dengan benar.Untuk menjawab persoalan ini Paulus mengemukakan kebenaran dalam Roma 2:12-16. Bagi orang non-Yahudi, dosa berarti pelanggaran terhadap hati nurani. Dalam teks tersebut disinggung oleh Paulus bahwa orang yang tidak memiliki hukum Taurat yang tertulis harafiah, mereka memiliki hukum di dalam hati mereka. Tuhan yang menuliskannya.
Walaupun manusia jatuh dalam dosa, tetapi Tuhan masih menulis hukum-Nya di dalam hati manusia. Sangat besar kemungkinan inilah “unsur” Ilahi dalam nismat khayiym atau roh manusia tidak lenyap sama sekali. Itulah sebabnya walau manusia sudah jatuh dalam dosa, manusia masih diberi kemungkinan untuk memilih apa yang tidak bertentangan dengan kehendak Allah dalam taraf tertentu (Kej. 4:1-7).
Hukum Taurat yang ditulis dalam hati mereka inilah yang disebut sebagai hati nurani. Berbicara mengenai hati nurani ukurannya sangat relatif, sebab hati nurani seseorang terbentuk melalui pengalaman hidup dari lingkungannya. Dalam hal ini, Tuhan yang akan menghakimi seseorang berdasarkan pengertian tentang apa yang baik dan apa yang buruk yang dimiliki masing-masing individu. Pengertian mengenai kebaikan dan kejahatan ini disimpulkan sebagai banyak kitab yang menjadi ukuran penghakiman nanti (Why. 20:12). Di dalam kitab-kitab itu tertulis hukum-hukum. Hukum-hukum tersebut adalah pengertian mengenai apa yang baik dan buruk menurut pengertian masing-masing individu dan komunitas.
Penghakiman Tuhan sangat rahasia dan misteri. Sebab penghakiman ini berdasarkan suara hati nurani mereka (Rm. 2:16). Jadi, sifatnya sangat batiniah. Tentu suara hati mereka terekspresi dalam tindakan konkret. Namun harus dicatat bahwa tindakan atau perilaku yang kelihatan bukanlah ukuran untuk umum, tetapi tergantung pengertian seseorang terhadap kebenaran moral. Suatu tindakan yang dinilai baik atas seseorang belum tentu bisa menjadi ukuran kebaikan untuk yang lain. Sedangkan suatu tindakan yang dinilai buruk atau salah belum tentu bisa mejadi ukuran keburukan bagi yang lain.
Jadi, jika seseorang memahami suatu kebaikan tetapi tidak melakukan kebaikan itu, maka baginya itulah dosa. Bila nuraninya memahami suatu ukuran kebaikan moral, tetapi ia tidak mendengar suara nuraninya bahkan melanggarnya, maka itulah dosa. Dengan demikian betapa pribadi dan rahasianya penghakiman Tuhan itu. Sebab yang dihakimi bukan perbuatan lahiriahnya semata, tetapi batiniahnya. Tindakan lahiriahnya bukanlah ukuran kebaikan yang sesungguhnya.
Perbuatan lahiriahnya harus dipadankan dengan suara hati dan pengertiannya akan kebenaran moral. Disini juga berlaku siapa yang diberi banyak dituntut banyak, dan yang sedikit diberi akan sedikit dituntut. Dengan demikian kita tidak mudah menjatuhkan vonis bahwa orang yang hidup di luar bangsa pilihan Allah-yaitu orang Israel dan Kristen-pasti tidak diperkenan untuk masuk ke dalam kehidupan yang akan datang. Jika kita perhatikan apa yang ditulis Paulus dalam Roma 2:12-15, menunjukkan bahwa Tuhan tidak diskriminatif. Yang diakui sebagai orang yang berhak memiliki hukum Taurat bukanlah Yahudi oleh karena darah yang mengalir di dagingnya, tetapi perbuatan dalam melakukan Taurat.
Walaupun bangsa non-Yahudi tidak memiliki Taurat yang tertulis, tetapi melakukan Taurat yang tertulis di hati mereka, maka perbuatannya tersebut yang membenarkan dia. Dalam hal ini nampaklah bahwa nilai bangsa Israel bukan hanya terletak pada kenyataan bahwa mereka adalah keturunan Abraham, tetapi apakah mereka melakukan hukum Taurat atau tidak. Sebab sekalipun seseorang bukan keturunan Abraham, tetapi kalau ia melakukan hukum Taurat, maka ia pun berharga di mata Tuhan. Salah satu contohnya adalah Ayub. Ia bukan orang Yahudi, tetapi ia seorang yang saleh menjauhi kejahatan dan bisa dikatakan berkenan di hadapan Tuhan dibanding manusia pada zamannya (Ay. 1:1-5)
Dalam Alkitab kita menemukan pernyataan bahwa manusia akan dihakimi menurut perbuatannya. Dalam hal ini jelas bahwa perbuatan baik seseorang itu penting (Rm. 2:6; 1Ptr. 1:17; Why. 20:12). Penghakiman berdasarkan perbuatan ini juga berlaku bagi orang yang hidup pada zaman anugerah, tetapi tidak atau belum mendengar Injil atau tidak mendengar Injil dengan benar.Jadi pada zaman anugerah ini, kalau seseorang meninggal tetapi tidak atau belum mendengar Injil, ia belum tentu tidak diperkenan hidup di kehidupan yang akan datang; Tuhan akan menghakimi mereka berdasarkan perbuatan mereka. Penghakiman itu bisa berlangsung karena darah Yesus yang dicurahkan. Darah Yesus adalah solusi bagi dosa semua manusia yang pernah hidup di muka bumi ini (Yoh. 1:29,36). Diantara mereka akan ada yang diperkenan masuk di dunia yang akan datang.
https://overcast.fm/+IqODC9iZE
Walaupun manusia jatuh dalam dosa, tetapi Tuhan masih menulis hukum-Nya di dalam hati manusia. Sangat besar kemungkinan inilah “unsur” Ilahi dalam nismat khayiym atau roh manusia tidak lenyap sama sekali. Itulah sebabnya walau manusia sudah jatuh dalam dosa, manusia masih diberi kemungkinan untuk memilih apa yang tidak bertentangan dengan kehendak Allah dalam taraf tertentu (Kej. 4:1-7).
Hukum Taurat yang ditulis dalam hati mereka inilah yang disebut sebagai hati nurani. Berbicara mengenai hati nurani ukurannya sangat relatif, sebab hati nurani seseorang terbentuk melalui pengalaman hidup dari lingkungannya. Dalam hal ini, Tuhan yang akan menghakimi seseorang berdasarkan pengertian tentang apa yang baik dan apa yang buruk yang dimiliki masing-masing individu. Pengertian mengenai kebaikan dan kejahatan ini disimpulkan sebagai banyak kitab yang menjadi ukuran penghakiman nanti (Why. 20:12). Di dalam kitab-kitab itu tertulis hukum-hukum. Hukum-hukum tersebut adalah pengertian mengenai apa yang baik dan buruk menurut pengertian masing-masing individu dan komunitas.
Penghakiman Tuhan sangat rahasia dan misteri. Sebab penghakiman ini berdasarkan suara hati nurani mereka (Rm. 2:16). Jadi, sifatnya sangat batiniah. Tentu suara hati mereka terekspresi dalam tindakan konkret. Namun harus dicatat bahwa tindakan atau perilaku yang kelihatan bukanlah ukuran untuk umum, tetapi tergantung pengertian seseorang terhadap kebenaran moral. Suatu tindakan yang dinilai baik atas seseorang belum tentu bisa menjadi ukuran kebaikan untuk yang lain. Sedangkan suatu tindakan yang dinilai buruk atau salah belum tentu bisa mejadi ukuran keburukan bagi yang lain.
Jadi, jika seseorang memahami suatu kebaikan tetapi tidak melakukan kebaikan itu, maka baginya itulah dosa. Bila nuraninya memahami suatu ukuran kebaikan moral, tetapi ia tidak mendengar suara nuraninya bahkan melanggarnya, maka itulah dosa. Dengan demikian betapa pribadi dan rahasianya penghakiman Tuhan itu. Sebab yang dihakimi bukan perbuatan lahiriahnya semata, tetapi batiniahnya. Tindakan lahiriahnya bukanlah ukuran kebaikan yang sesungguhnya.
Perbuatan lahiriahnya harus dipadankan dengan suara hati dan pengertiannya akan kebenaran moral. Disini juga berlaku siapa yang diberi banyak dituntut banyak, dan yang sedikit diberi akan sedikit dituntut. Dengan demikian kita tidak mudah menjatuhkan vonis bahwa orang yang hidup di luar bangsa pilihan Allah-yaitu orang Israel dan Kristen-pasti tidak diperkenan untuk masuk ke dalam kehidupan yang akan datang. Jika kita perhatikan apa yang ditulis Paulus dalam Roma 2:12-15, menunjukkan bahwa Tuhan tidak diskriminatif. Yang diakui sebagai orang yang berhak memiliki hukum Taurat bukanlah Yahudi oleh karena darah yang mengalir di dagingnya, tetapi perbuatan dalam melakukan Taurat.
Walaupun bangsa non-Yahudi tidak memiliki Taurat yang tertulis, tetapi melakukan Taurat yang tertulis di hati mereka, maka perbuatannya tersebut yang membenarkan dia. Dalam hal ini nampaklah bahwa nilai bangsa Israel bukan hanya terletak pada kenyataan bahwa mereka adalah keturunan Abraham, tetapi apakah mereka melakukan hukum Taurat atau tidak. Sebab sekalipun seseorang bukan keturunan Abraham, tetapi kalau ia melakukan hukum Taurat, maka ia pun berharga di mata Tuhan. Salah satu contohnya adalah Ayub. Ia bukan orang Yahudi, tetapi ia seorang yang saleh menjauhi kejahatan dan bisa dikatakan berkenan di hadapan Tuhan dibanding manusia pada zamannya (Ay. 1:1-5)
Dalam Alkitab kita menemukan pernyataan bahwa manusia akan dihakimi menurut perbuatannya. Dalam hal ini jelas bahwa perbuatan baik seseorang itu penting (Rm. 2:6; 1Ptr. 1:17; Why. 20:12). Penghakiman berdasarkan perbuatan ini juga berlaku bagi orang yang hidup pada zaman anugerah, tetapi tidak atau belum mendengar Injil atau tidak mendengar Injil dengan benar.Jadi pada zaman anugerah ini, kalau seseorang meninggal tetapi tidak atau belum mendengar Injil, ia belum tentu tidak diperkenan hidup di kehidupan yang akan datang; Tuhan akan menghakimi mereka berdasarkan perbuatan mereka. Penghakiman itu bisa berlangsung karena darah Yesus yang dicurahkan. Darah Yesus adalah solusi bagi dosa semua manusia yang pernah hidup di muka bumi ini (Yoh. 1:29,36). Diantara mereka akan ada yang diperkenan masuk di dunia yang akan datang.
https://overcast.fm/+IqODC9iZE
Selasa, 11 Juni 2019
Quotes Juni #2
Today's Quote:
Agama tidak membuat seseorang otomatis menjadi anak-anak Allah, itu hanya membuat orang beragama; sebab agama masih membuka pintu kepada dunia.
Dr. Erastus Sabdono,
03 Juni 2019
Today's Quote:
Bapa tidak bisa menyalakan api kekudusan Yesus dalam hidup kita, karena air dunia dalam diri kita memadamkannya; maka semakin kita meninggalkan dunia, semakin api itu berkobar.
Dr. Erastus Sabdono,
04 Juni 2019
Today's Quote:
Ketika kita mengalami proses pertumbuhan menuju ke kesempurnaan, hal itu menyenangkan hati Bapa; walaupun kita masih bisa jatuh dan salah, tapi bagaimana respon kita terhadap kesalahan tersebut adalah hal yang penting.
Dr. Erastus Sabdono,
05 Juni 2019
Today's Quote:
Banyak manusia hidup dalam pesta pora kewajaran anak dunia; pesta pora di sini artinya kehidupan yang diisi oleh kesibukan untuk kesenangan diri.
Dr. Erastus Sabdono,
06 Juni 2019
Today's Quote:
Mengumpulkan harta di surga artinya bagaimana kita dari hari ke hari semakin berkenan di hadapan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
07 Juni 2019
Today's Quote:
Dalam segala hal, kita harus membawa keteduhan bagi sesama; sehingga Tuhan Yesus bisa tampil di gelanggang dunia ini melalui kehidupan kita.
Dr. Erastus Sabdono,
08 Juni 2019
Today's Quote:
Jangan menunggu menjadi benar baru mencari Tuhan, karena selamanya kita tidak akan benar tanpa mencari Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
09 Juni 2019
Today's Quote:
Kita memang dibenarkan oleh salib, tapi selanjutnya kita harus benar-benar benar dan mengisi keselamatan kita dengan takut dan gentar.
Dr. Erastus Sabdono,
10 Juni 2019
Today's Quote:
Allah yang benar, tidak perlu mendemonstrasikan kuasa-Nya; tapi Ia mendemonstrasikan kebenaran-Nya melalui kehidupan orang percaya.
Dr. Erastus Sabdono,
11 Juni 2019
Agama tidak membuat seseorang otomatis menjadi anak-anak Allah, itu hanya membuat orang beragama; sebab agama masih membuka pintu kepada dunia.
Dr. Erastus Sabdono,
03 Juni 2019
Today's Quote:
Bapa tidak bisa menyalakan api kekudusan Yesus dalam hidup kita, karena air dunia dalam diri kita memadamkannya; maka semakin kita meninggalkan dunia, semakin api itu berkobar.
Dr. Erastus Sabdono,
04 Juni 2019
Today's Quote:
Ketika kita mengalami proses pertumbuhan menuju ke kesempurnaan, hal itu menyenangkan hati Bapa; walaupun kita masih bisa jatuh dan salah, tapi bagaimana respon kita terhadap kesalahan tersebut adalah hal yang penting.
Dr. Erastus Sabdono,
05 Juni 2019
Today's Quote:
Banyak manusia hidup dalam pesta pora kewajaran anak dunia; pesta pora di sini artinya kehidupan yang diisi oleh kesibukan untuk kesenangan diri.
Dr. Erastus Sabdono,
06 Juni 2019
Today's Quote:
Mengumpulkan harta di surga artinya bagaimana kita dari hari ke hari semakin berkenan di hadapan Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
07 Juni 2019
Today's Quote:
Dalam segala hal, kita harus membawa keteduhan bagi sesama; sehingga Tuhan Yesus bisa tampil di gelanggang dunia ini melalui kehidupan kita.
Dr. Erastus Sabdono,
08 Juni 2019
Today's Quote:
Jangan menunggu menjadi benar baru mencari Tuhan, karena selamanya kita tidak akan benar tanpa mencari Tuhan.
Dr. Erastus Sabdono,
09 Juni 2019
Today's Quote:
Kita memang dibenarkan oleh salib, tapi selanjutnya kita harus benar-benar benar dan mengisi keselamatan kita dengan takut dan gentar.
Dr. Erastus Sabdono,
10 Juni 2019
Today's Quote:
Allah yang benar, tidak perlu mendemonstrasikan kuasa-Nya; tapi Ia mendemonstrasikan kebenaran-Nya melalui kehidupan orang percaya.
Dr. Erastus Sabdono,
11 Juni 2019
Truth Daily Enlightenment 11 Juni 2019 PENGERTIAN DOSA UNTUK BANGSA ISRAEL
Bagi Bangsa Israel, pada prinsipnya dosa berarti ketidaktaatan kepada hukum Taurat yang tertulis. Dalam hal ini dosa diukur dengan menggunakan ukuran hukum Taurat yang tertulis. Tidak melakukan hukum Taurat berarti “kesesatan”, yaitu bahwa mereka telah memilih jalannya sendiri (Yes. 53:6). Dalam teks Bahasa Ibrani, kata “kesesatan” ini adalah taah. Kesesatan adalah tindakan Bangsa Israel yang mengikuti pola hidup bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka. Mengikuti gaya hidup bangsa kafir di sekitar mereka berarti pola hidup yang bertentangan dengan hukum Taurat. Dalam hal ini bisa dimengerti kalau Elohim Yahweh menghendaki untuk menumpas habis semua penduduk Kanaan, karena Yahweh tidak menginginkan pola hidup Bangsa Kanaan memengaruhi kehidupan umat pilihan.
Hal tersebut sering terjadi, khususnya ketika bangsa itu tertarik terhadap berbagai berhala atau allah lain (Asytoret, Baal, Dagon, Molokh, Milkom, dan lain sebagainya), sehingga mereka terjebak dalam praktik penyembahan berhala. Ketika mereka berkiblat kepada allah asing, maka secara otomatis dan serentak mereka akan melanggar hukum-hukum yang lain yang bertalian dengan ibadah kepada Yahweh. Pelanggaran terhadap hukum Taurat ini seperti seorang warga negara melanggar hukum yang diberlakukan di sebuah negara atau kerajaan. Ini berarti dosa adalah tindakan pemberontakan kepada hukum. Kehendak Tuhan sebagai Sang Penguasa diwakilkan dalam wujud hukum Taurat tersebut. Jadi, pelanggaran terhadap hukum Taurat sama artinya dengan sikap atau tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Dalam Roma 2:23 dijelaskan bahwa orang Yahudi telah melanggar hukum Taurat. Kata “melanggar” dalam teks asli Bahasa Yunaninya digunakan kata parabasis. Hukum Taurat telah ditetapkan untuk dipatuhi demi mengatur kehidupan Bangsa Yahudi, tetapi orang-orang Yahudi tidak mematuhinya. Demikianlah dosa bagi orang Yahudi adalah pelanggaran terhadap Taurat yang tertulis. Taurat di sini sebagai tolok ukur pengaturan Tuhan atas umat pilihan-Nya.
Bila Bangsa Israel tidak hidup sesuai dengan hukum Taurat, maka sebagai akibatnya rencana Allah atas bangsa itubisa gagal. Rencana Allah atas Bangsa Israel adalah mewariskan pengenalan akan Allah dan melahirkan Mesias di tengah-tengah bangsa itu. Dalam hal ini kita temukan dalam kehidupanBangsa Israel terdapat rencana dan pengaturan Allah. Rencana dan pengaturan tersebut dikenakan mutlak atau diberlakukan bagi “umat pilihan Allah”. Berkenaan dengan ini Paulus memakai kata parabasis, bahwa dosa adalah gerakan membelok dari jalan yang lurus. Dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan transgression.
Dalam penghakiman nanti, bangsa ini dihakimi menurut Taurat yang tertulis. Tentu sebagai manusia yang berkodrat dosa (sinful nature), tidak seorang pun dapat melakukan hukum Taurat dengan sempurna. Kalau mereka gagal melakukan hukum Taurat, Tuhan sudah menyediakan solusi, yaitu darah domba. Tetapi darah domba tidak bisa menyucikan dosa manusia. Sejatinya, darah domba hanya “voucher” semata. Darah yang dapat menyucikan dosa manusia adalah darah Yesus Kristus. Dengan demikian darah Tuhan Yesus juga solusi bagi masalah dosa manusia yang hidup pada zaman sebelum Dia datang.
Bagi orang Israel yang semasa hidupnya berusaha melakukan Taurat, didalamnya termasuk menggunakan darah domba sebagai solusi dosa mereka, maka mereka akan mendapat kesempatan masuk dunia yang akan datang. Darah domba yang mereka korbankan sesungguhnya adalah menunjuk darah yang sesungguhnya dapat menguduskan, yaitu darah Yesus. Mereka akan dihakimi menurut perbuatan dengan menggunakan ukuran hukum Taurat yang tertulis. Jadi, akan ada banyak orang Israel yang berkesempatan masuk di langit danbumi yang baru. Mereka akan menjadi umat Allah selama-lamanya. Kalau Tuhan sudah pernah mengasihi mereka ketika mereka ada di bumi ini, Tuhan juga mengasihi mereka di kekekalan.
Dalam hal ini hukum Taurat diberikan kepada Bangsa Israel untuk menunjuk standar kebenaran moral yang manusia sebelum zaman penggenapan harus miliki. Hal ini akan menjadi acuan bagi ukuran penghakiman manusia di akhir zaman nanti. Bagi bangsa Israel, hukum Taurat menjadi pengawal kehidupan mereka agar mereka menjadi pilot project, yaitu manusia baik yang dikehendaki Allahsebelum zaman anugerah (di zaman anugerah atau zaman penggenapan, kebaikan manusia berstandar Allah sendiri atau sempurna). Dengan hukum Taurat, bangsa Israel dapat dilestarikan, sebab dari bangsa itu akan lahir Mesias. Sekaligus bangsa itu akan menjadi saksi sampai dunia berakhir yang membuktikan atau menunjukkan siapakah Allah yang benar itu.Dalam penghakiman mereka nanti, hukum Tauratdigunakan sebagai ukuran dari standar moral mereka.
Truth Daily Enlightenment 10 Juni 2019 PENGERTIAN DOSA
Membahas mengenai penghakiman atau pengadilan tidak dapat dipisahkan dari hal mengenai dosa, sebab penghakiman dan pengadilan berorientasi pada masalah kesalahan atau dosa manusia.Kita harus memahami masalah dosa dalam perspektif yang benar. Walaupun tidak mudah untuk menyusun secara redaksional kalimat yang menunjuk pengertian istilah “dosa” dalam perspektif ini, tetapi dari hasil eksplorasi terhadap Alkitab dapat ditemukan pengertian dosa; bahwa dosa adalah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Tetapi deskripsi ini belum jelas benar pula, sebab pengertian “bertentangan dengankehendak Allah” masih bisa dipahami bermacam-macam. Bertentangan dengan kehendak Allah dalam hal apa? Hukum-hukum-Nya? Rencana-Nya? Atau bertentangan dengan kehendak pikiran dan perasaan-Nya yang tidak bisa diwakili dengan huruf-huruf yang tertulis?
Sulitnya memahami apa yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, juga dikarenakan tuntutan kehendak Tuhan atas seseorang atau atas suatu komunitas berbeda dengan tuntutan Tuhan atas yang lain, sebab siapa yang banyak diberi dituntut banyak pula, tetapi yang sedikit diberi sedikit dituntut pula (Luk. 12:48). Tuntutan Tuhan atas setiap orang berbeda-beda sesuai dengan porsi yang ada pada orang atau komunitas tersebut. Kalimat di atas, bahwa dosa adalah “tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah” mempunyai pengertian yang luas yang harus dijelaskan secara terperinci dan cukup rumit. Untuk ini kita akan membahas dosa dalam berbagai area.
Dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat ditemukan banyak kata yang menunjuk kepada istilah dosa dan yang dalam Bahasa Indonesia lebih sering diterjemahkan “dosa”. Dengan meninjau teks asli kata “dosa” dari Alkitab, dapatlah kita temukan nafas pengertian dosa itu sendiri atau membantu kita memahami apa yang dimaksud Alkitab dengan dosa. Ada 8 kata dalam teks Ibrani di Perjanjian Lama yang menunjuk istilah dosa,antara lain:khata, ra, pasha, awon, shagag, asham, rashadantaah. Adapun dalam Perjanjian Baru kita dapat temukan 12 kata yang menunjuk istilah “dosa”antara lain:kakos,poneros, asebes, enokhos, hamartia, adikia, anomos, nomosparabasis, agnoein, planao, paraptoma danhipokrisis.
Memahami pengertian dosa menjadi sulit ketika ditemukan banyak kata yang menunjuk pengertian dosa tersebut. Tetapi pada intinya, dosa adalah sikap dan perilaku yang bertentangan dengan kehendak Allah. Sikap menunjuk kepada keadaan hati atau batiniah seseorang, sedangkan perilaku menunjuk kepada perbuatan yang nampak atau telah terekspresi secara konkret yang memiliki dampak terhadap orang lain. Kalau masih dalam sikap hati atau batin, masih belum berdampak secara langsung kepada orang lain, tetapi kalau sudah menjadi perilaku pasti berdampak. Perilaku di sini bisa positif tetapi juga bisa negatif.
Dalam pengadilan Tuhan nanti, sikap batiniah inilah yang akan dihakimi oleh Tuhan. Itulah sebabnya Firman Tuhan mengatakan bahwa Tuhan menguji batin (Mzm. 7:9,51:6; Ams. 17:3; Yer. 6:27, 11:20, 17:10, 20:12; Why. 2:23). Hal ini juga disinggung oleh Paulus dalam Roma 2:16 yang berbunyi: Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus. Tentu sikap batin ini terekspresi dalam perilaku atau perbuatan. Itulah sebabnya banyak ayat dalam Alkitab yang menyatakan bahwa setiap orang akan dihakimi menurut perbuatannya. Perbuatan di sini tentu perbuatan yang dilahirkan dari sikap hati atau sikap batinnya.
Perbuatan yang dihakimi bukan hanya hal-hal yang kelihatannya besar, tetapi dari hal-hal yang sering dipandang kecil atau dipandang tidak berarti. Dalam Matius 12:36 Tuhan Yesus berkata:Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Pernyataan Tuhan Yesus ini menunjukkan bahwa segala hal yang dilakukan seseorang akan diperhadapkan kepada penghakiman atau pengadilan Tuhan. Hal ini seharusnya membuat setiap orang percaya memerhatikan segala hal yang dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan, sebab Tuhan bukan hanya memperkarakan hal-hal yang kelihatan besar, tetapi hal-hal yang kelihatannya sederhana atau kecil.
Mengapa Tuhan mempersoalkan hal-hal yang kelihatannya sederhana atau kecil? Sebab yang dibidik oleh Tuhan adalah sikap batin atau hatinya. Hal sekecil apapun kalau lahir dari sikap batin atau hati yang salah harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu orang percaya harus selalu memperbaharui sikap batinnya, dan Tuhan menguji setiap batin orang percaya sejak masih hidup di bumi ini (Why.2:23). Tuhan menguji batin orang percaya untuk mengoreksi, guna pertobatan yang harus terjadi terus menerus agar menjadi seperti Dia.
https://overcast.fm/+IqOCulQbA
Sulitnya memahami apa yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, juga dikarenakan tuntutan kehendak Tuhan atas seseorang atau atas suatu komunitas berbeda dengan tuntutan Tuhan atas yang lain, sebab siapa yang banyak diberi dituntut banyak pula, tetapi yang sedikit diberi sedikit dituntut pula (Luk. 12:48). Tuntutan Tuhan atas setiap orang berbeda-beda sesuai dengan porsi yang ada pada orang atau komunitas tersebut. Kalimat di atas, bahwa dosa adalah “tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah” mempunyai pengertian yang luas yang harus dijelaskan secara terperinci dan cukup rumit. Untuk ini kita akan membahas dosa dalam berbagai area.
Dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat ditemukan banyak kata yang menunjuk kepada istilah dosa dan yang dalam Bahasa Indonesia lebih sering diterjemahkan “dosa”. Dengan meninjau teks asli kata “dosa” dari Alkitab, dapatlah kita temukan nafas pengertian dosa itu sendiri atau membantu kita memahami apa yang dimaksud Alkitab dengan dosa. Ada 8 kata dalam teks Ibrani di Perjanjian Lama yang menunjuk istilah dosa,antara lain:khata, ra, pasha, awon, shagag, asham, rashadantaah. Adapun dalam Perjanjian Baru kita dapat temukan 12 kata yang menunjuk istilah “dosa”antara lain:kakos,poneros, asebes, enokhos, hamartia, adikia, anomos, nomosparabasis, agnoein, planao, paraptoma danhipokrisis.
Memahami pengertian dosa menjadi sulit ketika ditemukan banyak kata yang menunjuk pengertian dosa tersebut. Tetapi pada intinya, dosa adalah sikap dan perilaku yang bertentangan dengan kehendak Allah. Sikap menunjuk kepada keadaan hati atau batiniah seseorang, sedangkan perilaku menunjuk kepada perbuatan yang nampak atau telah terekspresi secara konkret yang memiliki dampak terhadap orang lain. Kalau masih dalam sikap hati atau batin, masih belum berdampak secara langsung kepada orang lain, tetapi kalau sudah menjadi perilaku pasti berdampak. Perilaku di sini bisa positif tetapi juga bisa negatif.
Dalam pengadilan Tuhan nanti, sikap batiniah inilah yang akan dihakimi oleh Tuhan. Itulah sebabnya Firman Tuhan mengatakan bahwa Tuhan menguji batin (Mzm. 7:9,51:6; Ams. 17:3; Yer. 6:27, 11:20, 17:10, 20:12; Why. 2:23). Hal ini juga disinggung oleh Paulus dalam Roma 2:16 yang berbunyi: Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus. Tentu sikap batin ini terekspresi dalam perilaku atau perbuatan. Itulah sebabnya banyak ayat dalam Alkitab yang menyatakan bahwa setiap orang akan dihakimi menurut perbuatannya. Perbuatan di sini tentu perbuatan yang dilahirkan dari sikap hati atau sikap batinnya.
Perbuatan yang dihakimi bukan hanya hal-hal yang kelihatannya besar, tetapi dari hal-hal yang sering dipandang kecil atau dipandang tidak berarti. Dalam Matius 12:36 Tuhan Yesus berkata:Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman. Pernyataan Tuhan Yesus ini menunjukkan bahwa segala hal yang dilakukan seseorang akan diperhadapkan kepada penghakiman atau pengadilan Tuhan. Hal ini seharusnya membuat setiap orang percaya memerhatikan segala hal yang dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan, sebab Tuhan bukan hanya memperkarakan hal-hal yang kelihatan besar, tetapi hal-hal yang kelihatannya sederhana atau kecil.
Mengapa Tuhan mempersoalkan hal-hal yang kelihatannya sederhana atau kecil? Sebab yang dibidik oleh Tuhan adalah sikap batin atau hatinya. Hal sekecil apapun kalau lahir dari sikap batin atau hati yang salah harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu orang percaya harus selalu memperbaharui sikap batinnya, dan Tuhan menguji setiap batin orang percaya sejak masih hidup di bumi ini (Why.2:23). Tuhan menguji batin orang percaya untuk mengoreksi, guna pertobatan yang harus terjadi terus menerus agar menjadi seperti Dia.
https://overcast.fm/+IqOCulQbA
Langganan:
Komentar (Atom)