Rabu, 20 Juni 2018

RH Truth Daily Enlightenment “BERPOTENSI MENJADI UMAT ALLAH” Pdt. Dr. Erastus Sabdono  21 Juni 2018

Dengan penjelasan Paulus dalam Roma 9, dapat ditarik kesimpulan pula bahwa Allah πŸ’— memilih bangsa Israel sebagai umat pilihan bukan karena perbuatan baik mereka, tetapi mereka adalah bangsa yang lahir dari keturunan Yakub.

Yakub sendiri dipilih bukan karena Yakub memiliki perbuatan baik, tetapi karena pemilihan Tuhan dari kedaulatan-Nya, bahwa keturunan dari Abraham melalui Yakub akan menjadi umat pilihan secara darah daging.
Kalau bangsa Israel merasa akan tetap sebagai umat pilihan karena keturunan Yakub, maka sangatlah keliru.

Mereka harus memberi respon terhadap anugerah Allah πŸ’— secara memadai, sebab kalau mereka bersikap seperti Esau yang tidak menghormati Allah, maka mereka akan dihukum atau ditolak, seperti yang dikemukakan oleh Maleakhi.
Paulus menulis surat Roma pada zaman penggenapan di abad pertama, agar orang-orang Yahudi atau jemaat Kristen dari bangsa Yahudi mengerti kebenaran ini.

Hal tersebut dimaksudkan agar mereka dapat menjadi umat pilihan Perjanjian Baru.
Pelajaran yang dapat dipetik dan memiliki implikasi dalam hidup orang percaya πŸ‘₯ adalah hendaknya kita tidak merasa sebagai umat pilihan secara rohani (sebagai orang Kristen dan mengakui sudah menjadi anak-anak Allah), maka pasti masuk surga.

Banyak orang Kristen berpikir bahwa menjadi umat pilihan berarti pasti masuk surga.
Harus dipahami, bahwa menjadi umat pilihan adalah menjadi orang yang yang berpotensi menjadi umat Allah yang kekal atau abadi atau permanen, tetapi tidak otomatis masuk surga.

Adapun apakah seseorang dapat menjadi umat Allah yang kekal atau abadi, tergantung respon masing-masing individu terhadap anugerah Allah πŸ’—
Anugerah atau kasih karunia diberikan oleh Allah melalui karya salib Tuhan Yesus.

Jika respon seseorang terhadap karya salib salah, maka seperti bangsa Israel yang tewas di padang gurun, banyak orang Kristen juga tewas dalam perjalanan hidupnya, sehingga tidak sampai ke Rumah Bapa.
Karena ajaran yang salah, banyak orang Kristen tidak tahu bahwa menjadi Kristen harus berjuang untuk menempatkan diri sebagai anak yang menghormati Bapa.

Itulah sebabnya harus dipahami, bahwa untuk diselamatkan harus berjuang untuk masuk jalan sempit (Luk. 13:23-24).
Jadi, bukan tanpa alasan kalau suatu hari Allah berkata: “Aku mengasihi David Wijaya, tetapi membenci “Anu”.

Tentu ada dasar atau alasan yang tidak merusak prinsip dan hakikat keadilan Allah πŸ’— dalam menetapkan hal tersebut. Juga pasti ada alasan kalau Tuhan berkata tegas: Enyahlah dari hadapan-Ku. Hal ini terjadi bukan karena Tuhanmenghendaki atau bermaksud “membinasakan” seseorang, sehingga membencinya, sementara Tuhan mengasihi yang lain dan membawanya ke surga.

Tetapi Tuhan πŸ’— memberi kehendak bebas kepada masing-masing individu. Kehendak bebas masing-masing individu inilah yang melahirkan respon terhadap karya keselamatan dari Tuhan. Respon inilah yang membangun atau menentukan sikap Tuhan kepada masing-masing individu.

Kebenaran ini membangun logika yang sehat, waras, adil, jujur, cerdas, dan memiliki implikasi yang jelas bagi umat pilihan, bagaimana harus mengisi hari hidupnya.
Jika Allah πŸ’— digambarkan sebagai Pribadi yang secara sepihak menentukan orang untuk dibenci dan dikasihi-Nya, yang sama dengan menentukan masuk surga atau masuk neraka, betapa mengerikan.
Tidak bisa tidak, Allah tergambar sebagai Pribadi yang “sakit”.

Jika demikian, maka orang percaya tidak memiliki pengertian yang jelas mengenai bagaimana mengisi hari hidup ini, sebab ajaran tersebut tidak memiliki implikasi yang kuat bagaimana mengisi hidup ini.
Hidup di semesta dengan “Penguasa” berkarakter demikian, serba tidak tentu, tidak ada kepastian, dan serba misteri, sungguh sangat mengerikan.

 Ilah atau dewa seperti ini banyak dikenal dalam berbagai kepercayaan dan agama primitif.
 Tidak heran kalau mereka memiliki berbagai ritual atau upacara agama, dengan segala korban sebagai usaha untuk memadamkan kemarahan dewa-dewa atau ilah-ilah mereka.

Hal ini sama dengan menyuapnya.
Bagi mereka yang meyakini bahwa Allah πŸ’— memang menentukan orang yang dikasihi dan tidak dikasihi, merasa justru hal tersebut memberi keyakinan keselamatan bagi mereka. Kalau dipertanyakan apa alasan mereka dipilih untuk masuk surga, makabiasanya jawabnya adalah “kasih karunia” atau anugerah semata-mata.

Mereka merasa telah memiliki kasih karunia, sedangkan yang lain tidak diberi kasih karunia; karena menurut mereka, yang lain tersebut sudah ditetapkan tidak bisa menerima kasih karunia.
Orang-orang πŸ‘₯ seperti ini adalah orang-orang yang tidak memikirkan keselamatan orang lain secara proporsional. Mereka juga membiasakan diri merasakan apa yang diyakini, bukan apa yang dialami.

Teologi seperti ini tidak memiliki implikasi yang wajar.
Tidak heran kalau teologi mereka lebih pada aktivitas dalam pikiran, tetapi tidak dalam pengalaman konkret. Untuk itu teologi mereka lebih bersifat falsafi untuk memuaskan pikiran.
Tetapi pada umumnya penganut ajaran ini menerima saja “kedaulatan Allah” tersebut.

 Mereka merasa lebih menghormati Tuhan dengan menerima “kedaulatan Allah”. Padahal sejujurnya, malah sebaliknya, mereka tidak menerima kedaulatan Allah πŸ’— yang memberi kehendak bebas kepada manusia.
Teologi yang belum matang ini menenggelamkan sebagian besar masyarakat Eropa menjadisekuler, seakan-akan mereka tidak pernah mengenal Allah.

JBU

https://overcast.fm/+IqOB0Tn40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar