Menjadi tatanan dari Allah yang terkait dengan tanggung jawab, bahwa keselamatan harus dikerjakan dengan takut dan gentar (Flp. 2:12). Jika seseorang memiliki bukti keselamatannya dengan perbuatan (semakin seperti Tuhan Yesus), maka barulah ia memahami dengan benar apa artinya keselamatan telah terjadi atau berlangsung dalam kehidupannya sejak sekarang ini, di bumi ini. Keyakinan atas keselamatan tersebut harus dibuktikan dalam bentuk tindakan atau kehidupan batin yang berkenan kepada Bapa. Dari keyakinan bertumbuh menjadi “pengalaman” atau bukti nyata, sehingga ia bisa tahu atau mengerti. Seharusnya setiap orang percaya bisa mengukur apakah dirinya sudah berkenan di hadapan Bapa atau belum. Itulah sebabnya Firman Tuhan mengatakan: Ujilah dirimu (2Kor. 13:5).
Di satu pihak, Tuhan Yesus menyelesaikan bagian-Nya, yaitu tugas yang diberikan Bapa kepada-Nya yang adalah tugas penyelamatan. Di pihak lain, orang percaya memenuhi bagiannya, yaitu menyambut keselamatan yang Dia sediakan tersebut dengan perjuangan pula. Hal ini tidak merusak prinsip sola gratia yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan only by grace (hanya oleh anugerah Tuhan), sebab perjuangan tersebut hanyalah respon, bukan dikategorikan sebagai jasa. Perjuangan sehebat apa pun dari manusia tidak akan bisa menyelamatkan dirinya kalau tidak ada kasih karunia, yaitu korban Tuhan Yesus di kayu salib. Oleh sebab itu kata kasih karunia atau anugerah tidak boleh disalahartikan, yaitu seakan-akan segala sesuatu dikerjakan oleh Tuhan tanpa peran manusia sama sekali, manusia hanya pasif dan kasih karunia Allah akan mengerjakannya sendiri.
Harus diperhatikan bahwa manusia yang menjadi obyek keselamatan harus merespon keselamatan tersebut dengan tanggung jawab. Jika tidak demikian, maka berarti kasih karunia dapat menghilangkan tanggung jawab manusia sehingga manusia tidak perlu berdiri di takhta pengadilan Allah. Padahal banyak sekali teks dalam Alkitab yang menyatakan bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan pengadilan Allah (Rm. 14:12; 2Kor. 5:9-10; Why. 20:12; dan lain-lain). Dalam pernyataannya, Paulus mengatakan: “Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik atau pun jahat “(2Kor. 5:9-10).
Bagi orang percaya, perbuatan baik sampai tingkat berkenan kepada Allah seperti yang diperjuangkan oleh Paulus adalah tanda atau bukti atau ekspresi dari percayanya kepada Tuhan Yesus. Perbuatan baik yang berstandar moral Allah yang diperjuangkan Paulus adalah sikap yang menunjukkan atau membuktikan bahwa dirinya menerima Tuhan Yesus sebagai Pemilik kehidupan (Tuhan) yang kehendak-Nya harus dituruti (Yoh. 1:11-12). Hal ini bukan berarti keselamatan diperoleh melalui perbuatan baik. Dengan demikian keselamatan adalah kasih karunia semata-mata, tetapi cara menerima kasih karunia tidak mudah.
Selama ini orang berpandangan pendek atau dangkal, seakan-akan dengan menerima kasih karunia, manusia tidak perlu bertanggung jawab atas keselamatannya. Ini tidak benar. Harus dipahami dulu apa keselamatan itu, barulah merumuskan apa yang dimaksud dengan kasih karunia. Keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya. Untuk dapat dikembalikan kepada rancangan Tuhan tersebut harus ada usaha yang serius dari setiap individu. Usaha inilah yang disebut sebagai tanggung jawab atau yang sama dengan respon terhadap anugerah atau kasih karunia Allah. Penjelasan ini bisa membangkitkan penolakan bagi mereka yang pikirannya sudah terlanjur terpasung oleh pengajaran yang sudah ada dalam gereja, bahkan sudah mengakar selama ratusan tahun oleh para teolognya. Mereka berpendirian bahwa anugerah itu diberikan kepada orang-orang yang tidak akan pernah bisa menolak kasih karunia atau anugerah tersebut, yang mereka istilahkan sebagai anugerah yang tidak bisa ditolak (irresistible grace).
Mereka yang terpasung oleh aliran teologi tersebut berusaha mati-matian membela teologinya sampai tidak lagi berpikir secara sehat. Mereka mengutip ayat-ayat Alkitab tanpa dengan ketat memerhatikan konteksnya. Mereka tidak sanggup menerima bahwa apa yang mereka pahami ternyata sebenarnya tidak tepat. Mereka teguh memercayai ajaran tersebut, sebab teologi tersebut dilahirkan oleh teolog hebat pada zamannya dan sanggup bertahan selama ratusan tahun. Pemujaan terhadap tokoh teolog yang melahirkan ajaran yang mereka puja dan kagumi, membuat mata mereka kabur untuk menemukan kebenaran yang murni untuk zaman ini. Dengan membabi buta mereka membela ajarannya tanpa berpikir sehat. Cara berpikir mereka lebih ke arah indoktrinatif, bukan eksploratif. Seharusnya yang kita junjung tinggi adalah Tuhan Yesus dan Alkitab.
https://overcast.fm/+IqOAbNNYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar