Pengajaran yang mengatakan bahwa kasih karunia tidak bisa ditolak atas orang-orang yang sudah ditentukan untuk menerima kasih karunia, mengarahkan pemikiran bahwa pemberian kasih karunia dari Tuhan dipaksakan di luar kemampuan manusia menolak atau menerimanya. Dengan pemahaman seperti ini, maka konsep kehendak bebas menjadi gugur, luruh, sirna sama sekali, dan mestinya kalau fair tidak perlu dipersoalkan lagi. Tetapi ironinya mereka masih menempatkan manusia sebagai manusia yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Kebebasan yang aneh kalau manusia yang ditentukan keselamatannya masih harus bertanggung jawab. Pandangan ini adalah pikiran yang tidak sehat dan tidak konsisten, sebab kalau kehendak bebas tidak ada, berarti juga tidak ada tanggung jawab. Manusia tidak perlu memberi pertanggungjawaban atas dirinya, sebab semua harus menjadi tanggung jawab Tuhan.
Kalau keselamatan hanya dipahami sekadar sebagai terhindar dari neraka dan diperkenan masuk surga, maka memang kehendak bebas tidak perlu tampil secara proporsional. Bagi orang yang berpandangan bahwa Tuhan menentukan ada orang yang dapat menerima kasih karunia dan yang lain tidak, berpikir bahwa kalau mereka ditentukan untuk selamat, maka pada akhirnya bagaimana pun mereka akan masuk surga. Tetapi kalau keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia ke rancangan semula, maka terdapat proses yang panjang dan sangat sulit. Sulit bagi manusia yang telah hidup dalam kodrat dosa, tidak mudah mengubah diri dari manusia berdosa menjadi manusia Allah. Itulah sebabnya dalam proses ini manusia harus mengerjakan atau menyelesaikan keselamatannya dengan takut dan gentar (κατεργάζεσθε, to finish, accomplish). Jika orang percaya sungguh-sungguh mengerjakannya, maka Allah memberikan energi atau kekuatan (ἐνεργέω, put forth power) untuk menyelesaikan proses mengerjakan keselamatan tersebut (Flp. 2:12-13).
Kasih karunia Allah harus dipahami secara benar. Kasih karunia tidak terletak pada penentuan Tuhan atas orang-orang yang diperkenan menerima kasih karunia, tetapi kesempatan manusia memiliki kehendak dan kehendak manusia itu bebas, dimana manusia dapat memilih untuk menerima kasih karunia atau menolaknya. Ini adalah tatanan Allah. Anugerah menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat berpikir, menganalisa sesuatu, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan. Itulah fungsi rasio yang Tuhan berikan kepada manusia. Kalau kasih karunia diberikan tanpa melibatkan respon dari pertimbangan manusia, maka berarti sia-sia Tuhan memberi rasio pada manusia. Rasio inilah yang memberi kemampuan manusia untuk mempertimbangkan sesuatu. Dengan pertimbangan tersebut manusia dapat menerima atau menolak kasih karunia. Tuhan menyediakan pilihan yang baik untuk dimiliki dan dinikmati dalam kekekalan, tetapi dalam penerimaannya manusia bertanggung jawab meresponinya. Kalau responnya salah, manusia membawa dirinya kepada kebinasaan. Itulah sebabnya Firman Tuhan mengatakan: Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah (Yoh. 3:18).
Kalau Tuhan tidak menyediakan apa yang baik atau menutup kemungkinan orang memilih yang baik dari Tuhan, maka berarti Tuhan tidak benar. Hal ini juga sama dengan kalau Tuhan membuka kemungkinan untuk orang-orang tertentu menerima kasih karunia sedangkan yang lain tidak dibuat untuk bisa menerimanya. Jadi ada orang yang dibuat Tuhan tidak dapat menolak kasih karunia-Nya, di lain pihak ada orang-orang yang dibuat tidak bisa menerima kasih karunia-Nya. Dengan hal ini, maka kebaikan Tuhan untuk sekelompok orang merusak keagungan-Nya karena Ia membiarkan yang lain binasa. Tentu Tuhan tidaklah demikian. Hanya orang-orang yang berpikir tidak sehat yang memandang Tuhan demikian.
Disebut sebagai kasih karunia kalau Tuhan menyediakan apa yang baik yang dibutuhkan manusia bukan karena manusia layak menerimanya atau telah terlebih dahulu memiliki jasa tanpa sikap diskriminatif. Tuhan menyediakan kasih karunia bagi manusia untuk diresponi sebagai penghargaan terhadap kasih karunia itu. Hal ini jelas, bukan berarti manusia tidak bisa menolaknya. Kasih karunia tidak menempatkan manusia sebagai obyek yang hanya bisa menerima kebaikan. Jika demikian, tidak bisa tidak ada kelompok manusia lain yang dikorbankan, tidak menerima “jatah” kebaikan Tuhan. Pandangan salah ini bisa menjadi atau merupakan penghinaan atau pelecehan terhadap Pribadi Allah yang agung, yang tidak menghendaki seorang pun binasa (2Ptr. 3:9). Dengan mengakui bahwa kehendak bebas manusia dilibatkan dalam menerima kasih karunia, bukan berarti merendahkan Tuhan yang memiliki kedaulatan, justru menghormati dan mengagungkan Allah yang memiliki kedaulatan. Kedaulatan Allah menentukan manusia harus menggunakan rasio untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna mengambil keputusan dan membuat pilihan. Dengan hal ini manusia dapat menjadi makhluk yang bertanggung jawab. Juga dalam menerima kasih karunia.
https://overcast.fm/+IqOAPjyGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar