Kamis, 29 Agustus 2019

Kata Bermakna #3






Quote Agt #3

Quote of the Day:
Perlakuan tidak adil itu harus kita terima sebagai cara Tuhan untuk menghancurkan kesombongan-kesombongan kita.

Dr. Erastus Sabdono,
21 Agustus 2019

Quote of the Day:
Kita bisa masuk dalam wilayah ‘rela diperlakukan tidak adil’ kalau kita duduk diam di kaki Tuhan.

Dr. Erastus Sabdono,
22 Agustus 2019

Quote of the Day:
Status “sekali selamat tetap selamat” tidak bisa dikenakan kepada semua orang Kristen, tetapi untuk mereka yang bertumbuh dalam kesempurnaan seperti Bapa atau serupa dengan Yesus; melakukan kehendak Bapa.

Dr. Erastus Sabdono,
23 Agustus 2019

Quote of the Day:
Iman sangat bertalian dengan kualitas hubungan antara umat yang percaya dan Allah yang dipercayai.

Dr. Erastus Sabdono,
24 Agustus 2019

Quote of the Day:

Orang yang masih mengharapkan kenyamanan -apa pun bentuknya- tidak mungkin dapat melayani sesama dengan baik.

Dr. Erastus Sabdono,
25 Agustus 2019

Quote of the Day:
Seseorang yang mengenal siapa dirinya dengan benar berpotensi menempatkan diri di hadapan Tuhan dengan benar pula.

Dr. Erastus Sabdono,
26 Agustus 2019

Quote of the Day:
Jika Tuhan memandang bahwa manusia “sungguh sangat amat baik”, maka manusia harus menghargai dirinya sendiri secara benar. Menghargai diri sendiri secara benar sama artinya mengasihi diri sendiri secara benar berdasarkan Firman Tuhan.

Dr. Erastus Sabdono,
27 Agustus 2019

Quote of the Day:
Untuk dapat menghargai diri sendiri secara benar, seseorang harus mengerti bagaimana Tuhan mengasihi manusia dan menemukan maksud tujuan dirinya diciptakan.

Dr. Erastus Sabdono,
28 Agustus 2019

Quote of the Day:
Orang yang mengasihi sesamanya dengan benar juga akan mengupayakan bagaimana sesamanya dapat diselamatkan, yaitu dikembalikan ke rancangan Allah semula.

Dr. Erastus Sabdono,
29 Agustus 2019

Renungan Harian 29 Agustus 2019 TANGGUNG JAWAB UNTUK MENGALAMI KELAHIRAN BARU

     Siapakah sebenarnya yang benar-benar sah disebut sebagai anak-anak Alah? Dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa yang disebut sebagai anak-anak Allah adalah mereka yang dilahirkan oleh Allah (Yoh. 1:11-13). Firman Tuhan mengatakan bahwa anak-anak Allah adalah mereka yang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. Umat pilihan Allah adalah orang-orang yang memperoleh kesempatan dilahirkan atau diperanakkan oleh Roh Allah. Kata “dilahirkan” atau “diperanakkan” dalam teks aslinya adalah gennao (γεννάω). Kata ini biasa digunakan untuk menunjukkan kelahiran secara umum. Kalau istilah “kelahiran” digunakan oleh Tuhan, maka pastinya proses kelahiran baru memiliki analogi dengan proses kelahiran manusia pada umumnya. Ini berarti ada proses yang harus berlangsung dalam kehidupan orang percaya untuk mengalami kelahiran baru.

     Dilahirkan oleh Allah berarti keluar dari Allah melalui sebuah proses, seperti proses janin dalam kandungan dan bertumbuh menjadi bayi, kemudian dilahirkan keluar. Dilahirkan oleh Allah pasti menunjuk sebuah proses dari sebuah perjuangan sehingga membuahkan sebuah kelahiran. Sebagaimana seorang ibu yang bergumul hebat sebelum melahirkan seorang anak, demikian pula Roh Kudus sebelum melahirkan kita. Kelahiran ini bisa terjadi kalau orang percaya memiliki respon yang benar terhadap penggarapan Allah. Kesalahan banyak orang Kristen adalah merasa bahwa kelahiran itu berlangsung dengan sendirinya secara mudah, ketika seseorang percaya kepada Tuhan Yesus secara akali atau dalam pikiran.

     Orang yang dilahirkan oleh Allah akan sadar dan mengerti sekali bahwa dirinya sudah dilahirkan oleh Allah. Ini bukan sesuatu yang bersifat spekulasi atau tidak ada kejelasan. Kalau seseorang berjuang untuk berubah bagaimana menjadi manusia Allah yang berkarakter seperti Bapa, maka ia akan mengerti proses perubahan yang dialami dan level yang dicapainya. Kalau seseorang ragu-ragu, apakah dirinya sudah lahir baru atau belum, hal ini menunjukkan bahwa ia tidak mengalami pergumulan yang benar untuk dilahirkan oleh Allah. Seperti sakit bersalin yang dialami Roh Kudus dalam melahirkan kita, juga kita rasakan. Tentu Roh Kudus melewati masa-masa yang sulit ketika seseorang masih hidup dalam daging dan selalu memberontak terhadap kehendak-Nya. Sampai pada suatu level seseorang bisa bertumbuh dewasa dan mengenakan kodrat Ilahi atau mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:9-10). Orang percaya sendiri juga akan mengalami pergulatan yang hebat ketika menyesuaikan kehendaknya terhadap kehendak Allah.

     Mengapa banyak orang yang tidak menyadari apakah dirinya telah dilahirkan oleh Allah atau belum? Sebab mereka tidak mengalami perjuangan untuk dilahirkan oleh Allah. Mengapa tidak mengalami? Sebab tidak tahu bahwa ia harus berjuang untuk mencapai level tertentu, di mana dirinya sungguh-sungguh mengalami kelahiran baru tersebut. Level hidup bagaimana yang harus dicapainya untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah dilahirkan oleh Allah? Level itu adalah keberadaan seperti Bapa. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata bahwa kita harus sempurna seperti Bapa. Pernyataan Tuhan Yesus dalam ayat ini bisa berarti bahwa kita harus berjuang untuk dilahirkan oleh Allah atau mengalami kelahiran baru. Dalam hal ini kelahiran baru bukanlah sebuah proses otomatis oleh anugerah, tetapi buah dari respon yang benar terhadap anugerah Allah. Terkait dengan hal ini betapa berbahayanya ajaran yang mengatakan bahwa dengan percaya di dalam pikiran maka seseorang telah memiliki keselamatan.

     Level orang yang telah dilahirkan oleh Allah dikatakan oleh Yohanes dalam suratnya bahwa: “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih Ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah” (1Yoh. 3:9). Kata “berbuat” dalam teks aslinya adalah poiei (ποιεῖ), yang memiliki keterangan waktu sekarang aktif indikatif orang ketiga tunggal (verb indicative present active 3rd person singular), dari akar kata poieo (ποιέω). Kata ini bila diterjemahkan bebas berarti “terus menerus berbuat dosa”. Jadi sejatinya, orang yang dilahirkan dari Allah tidak terus menerus berbuat dosa, sampai tidak dapat berbuat dosa lagi. Inilah ciri dari seorang yang menjadi anak Allah yang sah, yaitu kehidupan tidak bercacat dan tidak bercela, sempurna seperti Bapa, kudus seperti Allah kudus, dan serupa dengan Yesus. Untuk mencapai ini orang percaya bertanggung jawab mengusahakannya. Tanpa usaha yang sungguh-sungguh, seseorang tidak dapat mencapainya. Inilah tatanan Allah yang tidak dapat ditawar.


https://overcast.fm/+IqOCBnnGU

Renungan Harian 28 Agustus 2019 MENANG SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

     Perlombaan yang diwajibkan bagi orang percaya sesungguhnya adalah pergumulan untuk menjadi anak-anak Allah yang sah (Ibr. 12:1-10). Ini adalah tatanan yang tidak boleh dan memang tidak bisa dihindari oleh orang percaya. Untuk memiliki kemenangan seperti Yesus harus menerima didikan dari Bapa. Itulah sebabnya Bapa mendidik orang percaya agar orang percaya menjadi anak-anak Allah yang mengambil bagian dalam kekudusan-Nya (1Ptr. 1:16). Seperti bapak di dunia ini mendidik anak-anaknya, demikian pula Bapa di surga mendidik orang percaya. Pendidikan terhadap setiap orang percaya adalah hal yang mutlak dialami. Jika seseorang tidak mengalami pendidikan ini, maka ia bukanlah anak yang sah. Orang percaya harus menerima kenyataan panggilan ini, bahwa sepanjang umur hidupnya hanyalah sebuah proses pendidikan. Untuk ini seseorang harus melepaskan diri dari segala ikatan, artinya tidak ada sesuatu yang boleh dianggap berharga. Berkenaan dengan hal ini Tuhan Yesus berkata bahwa tiap-tiap orang yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid Tuhan Yesus (Luk. 14:33).

     Ketika Bapa berkata bahwa Tuhan Yesus adalah Anak yang berkenan, Tuhan Yesus belum menjadi pemenang. Ia memang berkenan atau menyenangkan hati Bapa karena rela meninggalkan kemuliaan, tetapi Ia belum sampai pada kesempurnaan dalam menunaikan tugas Bapa. Demi tugas dari Bapa, Ia menganggap kemuliaan yang dimiliki-Nya tidak berharga dibanding dengan ketaatan-Nya kepada Bapa di surga. Ia meninggalkan kemuliaan yang telah dimiliki-Nya sebelum dunia dijadikan dengan mengosongkan diri dan dalam segala hal disamakan dengan manusia. Setelah usia 30 tahun, Ia bersedia merendahkan diri disamakan dengan orang berdosa, kemudian dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Itulah sebabnya Ia memperoleh pengakuan bahwa diri-Nya adalah Anak yang berkenan.

     Puncak perjuangan-Nya adalah ketika Ia disiksa, dihina, dan dipermalukan di depan umum, tetapi Ia tetap tekun menanggung bantahan atau perlawanan atau pemberontakan dari manusia yang sebenarnya adalah ciptaan dan milik-Nya. Ia adalah Anak Tunggal Allah Bapa yang berkenan, tetapi kalau Ia tidak menjadi pemenang, Ia akan terpisah dari Bapa di surga. Itulah sebabnya dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut. Hanya karena kesalehan-Nya-lah Ia diselamatkan dari maut (Ibr. 5:7-9). Jika Tuhan Yesus tidak taat kepada Bapa dan tidak menghormati Bapa, maka Ia dapat terpisah dari Allah Bapa selama-lamanya.

     Perlombaan untuk menjadi anak-anak Allah yang sah harus dapat kita mengerti dan terima dengan segenap hati, kalau kita mendalami seluruh ayat dalam Ibrani 12. Perjuangan ini harus menjadi satu-satunya perjuangan atau seperti perlombaan yang diwajibkan. Dalam Ibrani 12 ini terdapat kebenaran penting berkenaan dengan hal ini, bahwa kita harus memandang kepada Tuhan Yesus, artinya meneladani ketekunan-Nya untuk menjadi pemenang. Dialah satu-satunya model Anak Allah yang harus kita teladani. Diwajibkan artinya tidak bisa tidak kita harus mengikutinya. Untuk menjadikan ini wajib bagi kita, kita tidak boleh menjadikan sesuatu yang lain sebagai wajib. Dengan demikian hanya satu yang mutlak harus kita capai, yaitu menjadi anak-anak Allah. Semua hal yang kita lakukan haruslah bermuara pada perlombaan tersebut. Hanya dengan cara ini kita memuliakan Tuhan, yaitu ketika kita menganggap dan memperlakukan Tuhan sebagai berharga. Hal inilah yang dilakukan oleh Abraham di seluruh perjalanan hidupnya, ia hanya memenuhi panggilan untuk menemukan negeri yang Allah janjikan. Inilah satu-satunya perlombaan yang diikuti.

     Untuk menjadi pemenang seperti Yesus harus ada perjuangan sampai akhir hayat, seperti yang disaksikan oleh Paulus. Itulah sebabnya Paulus mengatakan: Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! (1Kor. 9:27). Pernyataan Paulus ini hendak menunjukkan betapa sulitnya untuk menjadi pemenang. Dalam tulisannya yang lain Paulus mengatakan bahwa ia berusaha menjadi berkenan kepada Allah. Dari pernyataan Paulus ini menunjukkan bahwa anugerah yang diperolehnya membuat ia bekerja keras untuk berkenan kepada Tuhan. Keberkenanan di hadapan Tuhan harus diperjuangkan sebagai sikap menghargai anugerah dan kasih karunia yang Tuhan Yesus perjuangkan di kayu salib, hal ini tidak secara otomatis dapat dicapainya. Ini adalah tatanan Allah yang harus dipenuhi.


https://overcast.fm/+IqOAgZ8V8

Renungan Harian 27 Agustus 2019 DIPIMPIN OLEH ROH

     Untuk menjadi anak-anak Allah yang sah, seseorang harus memberi diri dipimpin oleh Roh Kudus. Ini adalah tatanan Allah. Firman Tuhan jelas sekali mengatakan bahwa orang-orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak-anak Allah. Kata “dipimpin” dalam teks aslinya adalah ago (ἄγω), yang artinya dipimpin dengan berpegangan tangan atau berjalan bersama menuju suatu arah tujuan tertentu. Membutuhkan atau menuntut kesediaan seseorang untuk mengubah seluruh cara berpikir dan arah hidupnya agar dapat berjalan seiring dengan Roh Kudus. Pimpinan Roh Kudus bukanlah pemaksaan. Kalau seseorang bersedia dipimpin, maka ia akan hidup dalam pimpinan; tetapi kalau seseorang menolak pimpinan-Nya, maka Roh Kudus akan undur. Dalam hal ini harus dipahami bahwa Roh Kudus tidak memaksa seseorang untuk hidup dalam pimpinan-Nya.

     Setiap orang percaya harus hidup dalam pimpinan Roh. Hidup menurut Roh seperti hutang yang harus dibayar. Setiap orang percaya harus membayarnya. Hidup dalam pimpinan Roh bukan sesuatu yang otomatis bisa berlangsung. Orang percaya harus menggunakan kehendak bebasnya untuk dipimpin Roh Kudus. Itulah sebab Firman Tuhan berkata: “Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup” (Rm. 8:12-13). Dari pernyataan ini jelas bahwa hidup menurut Roh adalah panggilan yang harus dipenuhi. Dikatakan bahwa orang percaya adalah “seperti orang berhutang” untuk hidup menurut Roh berarti ini suatu keharusan yang tidak bisa tidak harus dipenuhi. Inilah tatanan Allah yang tidak boleh dan memang tidak dapat dihindari.

     Dalam Roma 8:14 Firman Tuhan menunjukkan bahwa orang yang sah sebagai anak-anak Allah adalah orang-orang yang hidup dalam pimpinan Roh (Roh Allah). Kualifikasi ini tidak bisa digantikan dengan yang lain. Orang yang hidup dalam pimpinan Roh adalah orang-orang yang selalu melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak Allah. Hanya orang yang memiliki cara berpikir Allah yang dapat melakukan hal ini. Itulah sebabnya dalam Roma 12:2, Firman Tuhan mengatakan agar orang percaya tidak serupa dengan dunia ini. Orang percaya harus berusaha mengerti kehendak Allah sampai tingkat sempurna.

     Hal ini merupakan pergumulan inti orang percaya. Dengan menjadi orang percaya, berarti kita berhutang untuk hidup menurut Roh, bukan menurut daging. Menurut daging artinya menuruti diri sendiri atau hidup dalam kewajaran manusia lain hidup. Mereka memikirkan hal-hal dari daging atau dunia ini; mereka tidak berpikir mengenai kehidupan di balik kuburnya. Banyak orang Kristen masih berkondisi seperti ini. Adapun hidup menurut Roh artinya hanya bertindak sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan. Tentu saja orang-orang yang hidup menurut pimpinan Roh tidak lagi hidup menuruti keinginannya sendiri, tetapi mengarahkan diri kepada kehendak dan rencana Tuhan, serta memfokuskan diri pada kehidupan yang akan datang, yaitu Kerajaan Surga. Jika orang percaya bisa melakukan hal ini, betapa hebat kualitas hidup yang dimilikinya. Hal inilah yang mengesahkan dan menunjukkan bahwa dirinya adalah anak-anak Allah.

     Orang percaya yang menolak hidup menurut Roh atau dalam pimpinan Roh -sehingga masih memikirkan hal-hal yang dari daging- berarti masih hidup dalam “roh perbudakan”. Jadi jelaslah, apakah seseorang masih hidup dalam roh perbudakan atau sudah hidup dalam pimpinan Roh tergantung masing-masing individu. Jemaat Roma adalah jemaat yang luar biasa. Mereka berani menentang aniaya yang hebat terhadap mereka dari pihak pemerintah Romawi. Mereka berani kehilangan apa pun juga demi iman mereka. Inilah orang-orang yang telah memikirkan hal-hal dari Roh, bukan dari daging. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu Paulus mengatakan kepada mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih dari orang-orang yang menang. Orang-orang yang menang maksudnya adalah orang-orang Roma yang lebih menang dari hal kekayaan, kedudukan, kehormatan, dan lain sebagainya.

     Orang-orang percaya di Roma adalah anak-anak Allah yang bermartabat lebih dari semua orang-orang yang hebat menurut ukuran dunia. Anak-anak Allah memiliki keagungan lebih dari manusia pada umumnya, dalam moral dan karakter di segala aspeknya atau hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Tidak banyak orang bisa mencapai level ini, sebab memang sangat sulit. Inilah yang dimaksud oleh Tuhan Yesus sebagai jalan sempit; sedikit orang yang bisa masuk. Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang terpilih.

https://overcast.fm/+IqODSVpW4

Renungan Harian 26 Agustus 2019 PERUBAHAN STATUS

     Banyak orang Kristen tidak tahu bahwa tujuan keselamatan pada intinya adalah menjadikan anak manusia berubah sehingga berkeadaan sebagai anak-anak Allah. Dengan berkeadaan sebagai anak-anak Allah, maka seseorang barulah mendapat legalitas atau pengesahan status sebagai anak-anak Allah. Ini adalah tatanan Allah. Dengan demikian seseorang dikatakan berstatus sebagai anak-anak Allah kalau berkeadaan sebagai anak-anak Allah. Berkeadaan sebagai anak-anak Allah maksudnya memiliki ciri-ciri nyata dalam kehidupan ini yang dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain. Dalam hal ini paling tidak ada 5 ciri seorang yang berkeadaan sebagai anak-anak Allah.

Pertama, kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela.

Kedua, tidak memiliki perasaan takut menghadapi segala keadaan.

Ketiga, tidak memandang dunia sebagai keindahan.

Keempat, merindukan rumah Bapa.

Kelima, berjuang tanpa batas melakukan kehendak Bapa dalam pelayanan penyelamatan jiwa-jiwa.

Masing-masing butir ini memuat pengertian yang luas dan mendalam. Tanpa ciri-ciri ini seseorang tidak pantas menyandang statusnya sebagai anak-anak Allah. Jadi, kalau kita belum memiliki ciri-ciri ini, seharusnya kita bertobat dan berjuang sungguh-sungguh untuk mencapainya.

     Setiap orang percaya harus mengalami proses perubahan status dari “anak gampang” (anak yang tidak sah) atau nothos (Yun. νόθος) menjadi anak yang sah atau huios (Yun. υἱός). Nothos adalah anak yang tidak resmi (Ing. Illegitimate child, a child born to unmarried parental). Penjelasan mengenai nothos dan huios ini tertulis di dalam Ibrani 12. Inilah perjuangan yang harus dijalani setiap orang percaya sebagai perlombaan yang diwajibkan (Ibr. 12:1). Betapa malangnya orang-orang yang merasa sudah sah sebagai anak-anak Allah, sehingga tidak bertekun dalam perlombaan yang diwajibkan tersebut. Sebagai gantinya, yang diusahakan adalah pengesahan sebagai “manusia yang wajar” di mata manusia lain dengan segala atributnya. Atributnya antara lain pendidikan, pekerjaan, teman hidup dan berumah tangga, memiliki keturunan, fasilitas seperti rumah, mobil, barang branded, dan berbagai fasilitas lainnya. Semua ini dipandang sebagai memberi martabat. Pada umumnya orang berjuang hanya untuk hal-hal ini sampai ia masuk ke dalam kubur. Mereka akan sangat menyesal, kalau ternyata perjuangan yang mereka lakukan selama hidup di bumi ini sia-sia. Mereka hanya bekerja mencari roti yang dapat binasa, tetapi bukan mencari roti yang tidak dapat binasa (Yoh. 6:27).

     Satu hal yang harus dipahami orang percaya adalah bahwa pengesahan sebagai anak-anak Allah yang sah ditentukan oleh apakah seseorang mengambil bagian dalam kekudusan Allah atau berkodrat Ilahi atau tidak (Ibr. 12:10; 2Ptr. 1:3-4). Mengambil bagian dalam kekudusan Allah atau mengenakan kodrat Ilahi artinya memiliki karakter seperti Bapa sehingga dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan Bapa. Dengan hal ini hendaknya seseorang tidak mudah mengaku sebagai anak Allah yang sah dan merasa layak masuk ke dalam Kerajaan Surga hanya karena menjadi orang Kristen dan merasa sudah percaya kepada Tuhan Yesus. Percaya bukanlah sesuatu yang sederhana. Harus dipahami dengan benar bahwa percaya bukan saja pengaminan akali atau persetujuan pikiran. Percaya adalah tindakan selalu melakukan apa pun yang dikehendaki oleh Bapa. Untuk memiliki percaya yang benar, seseorang harus melakukan perjuangan, karena percaya bukan hanya aktivitas pikiran tetapi tindakan konkret dalam perilaku setiap hari. Dalam hal ini ada usaha dalam perjuangan yang sungguh-sungguh melepaskan cara hidup yang lama dan mengenakan cara hidup yang baru.

     Penyesatan yang sudah mendarah daging dalam kehidupan banyak orang Kristen selama ratusan tahun adalah ajaran yang memudahkan seseorang berstatus sebagai anak-anak Allah. Dikesankan secara tidak langsung maupun secara langsung bahwa semua orang Kristen yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus adalah anak-anak Allah. Kemudian mereka merasa berhak masuk surge, sebab telah berstatus sebagai anak-anak Allah. Seharusnya yang mengesahkan apakah seseorang anak-anak Allah atau bukan adalah Allah sendiri, bukan manusia. Setelah Tuhan Yesus berusia tiga puluh tahun, barulah Ia mendapat pengesahan dari Bapa di surga yang menyatakan bahwa Dia adalah Anak Allah yang dikasihi-Nya. Kesalahan ini juga disebabkan karena pengertian yang salah mengenai konsep anugerah. Dipahami oleh banyak orang Kristen bahwa anugerah secara otomatis membuat seseorang berstatus sebagai anak-anak Allah yang sah. Sehingga mereka tidak pernah mengerti tanggung jawabnya untuk mengerjakan keselamatannya dengan takut dan gentar.

https://overcast.fm/+IqODY1140

Renungan Harian 25 Agustus 2019 BERJUANG MENJADI ANAK-ANAK ALLAH YANG SAH

     Ternyata untuk menjadi anak-anak Allah yang sah juga perlu perjuangan. Ini adalah tatanan Allah. Kalau kita berbicara mengenai anak-anak Allah, perlu kita meninjau Yohanes 1:12 bagi mereka yang percaya, diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah. “Kuasa” itu dari teks aslinya exousia (ἐξουσία), yang artinya hak istimewa yang membuat seseorang memiliki fasilitas untuk bisa menjadi anak-anak Allah. Fasilitas itu adalah pemeliharaan Tuhan, Roh Kudus, Firman, dan penggarapan intensif Allah atas orang yang mengasihi Dia (Rm. 8:28). Jadi kuasa itu tidak otomatis membuat seorang Kristen menjadi anak-anak Allah. Tetapi kuasa itu diberikan supaya kita menjadi anak-anak Allah. Jadi kalau seseorang tidak memanfaatkan kuasa itu, maka seseorang tidak pernah menjadi anak-anak Allah. Menjadi anak-anak Allah berarti berkarakter seperti Allah; Like father like son. Panggilan sebagai orang percaya hanya ini: Menjadi serupa dengan Bapa (Mat. 5:48; 1Ptr. 1:17). Tentu saja orang yang tidak memiliki karakter seperti Bapa tidak pantas menyebut dirinya sebagai anak-anak Allah. Ciri dari orang Kristen yang sah sebagai anak-anak Allah adalah ketika ia memiliki karakter Bapa. Oleh sebab itu hendaknya kita tidak sembarangan menunjuk seseorang sudah menjadi anak-anak Allah.

     Jadi, pada waktu seseorang dengan mulut mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ia diberi kuasa atau hak supaya menjadi anak-anak Allah. Ini belum tentu membuat dia sudah sah sebagai anak-anak Allah (Yun. huios). Ia masih berstatus nothos yang artinya anak yang belum atau tidak sah. Jika kemudian ia memanfaatkan kuasa atau hak itu, maka ia akan bertumbuh menjadi anak-anak Allah yang sah. Jika tidak, maka ia tidak akan bertumbuh. Ciri dari nothos adalah tidak mau dihajar dan diajar Bapa (Ibr. 12:7-9). Dalam hal ini respon seseorang terhadap keselamatan yang Tuhan berikan sangat penting. Artinya, tanpa respon, seseorang tidak akan menjadi anak-anak Allah yang sah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Berjuanglah melalui pintu yang sesak” (Luk. 13:24).

     Paulus juga berkata: “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Flp. 2:2-13). Semua itu tidak boleh diperhitungkan sebagai jasa seolah-olah seseorang bisa menjadi anak-anak Allah sebagai hasil usahanya. Usaha manusia bagaimana pun kerasnya, tidak bisa menyelamatkan dirinya tanpa salib Kristus. Jadi usaha untuk disahkan sebagai anak-anak Allah hanyalah respon terhadap keselamatan yang Tuhan sediakan. Ini adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh setiap orang Kristen. Tentu saja perjuangan ini bukanlah dinilai sebagai jasa, sebab kalau Yesus tidak mati di kayu salib, tidak ada pintu anugerah sama sekali. Jadi, “mengerjakan keselamatan” dengan takut dan gentar adalah respon terhadap anugerah, bukan usaha untuk mencapai atau memiliki keselamatan dengan usaha manusia sendiri.

     Alkitab menulis bahwa semua orang yang menerima-Nya, diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yoh. 1:12). Kata “menerima” di dalam teks ini, bahasa aslinya adalah elabon (ἔλαβον) dari akar kata lambano (λαμβάνω) yang selain berarti menerima (to accept), juga berarti to get hold of (berpegang tetap). Kata ini bisa menimbulkan berbagai penafsiran. Tetapi pada umumnya banyak orang Kristen berpikir bahwa kalau mulutnya sudah mengaku Yesus adalah Tuhan dan hatinya merasa percaya, berarti ia sudah menerima Dia. Kemudian ia merasa bahwa dirinya sudah selamat. Ini tidak benar. Pertanyaan yang patut dilontarkan adalah apakah Tuhan Yesus sudah merasa dan mengakui bahwa orang tersebut telah menerima Dia? Ingat, banyak orang merasa sudah mengenal Tuhan Yesus dan merasa pasti diterima oleh Dia, ternyata ditolak (Mat. 7:21-23).

     Hendaknya kita tidak menyederhanakan kata “menerima” dalam Yohanes 1:12 ini. Sebagai ilustrasi, apakah kalau seorang mempelai wanita berkata kepada mempelai pria: Aku menerima engkau sebagai suamiku, berarti wanita itu telah menerima suaminya? Apakah janji nikah dalam lima detik menjadi ukuran penerimaannya? Tentu tidak, tetapi tahun-tahun panjang dalam hidupnya akan membuktikan apakah wanita itu menerima pria tersebut sebagai suaminya secara benar atau sebaliknya. Demikian pula ketika seseorang dalam suatu kebaktian kebangunan rohani atau dalam pelayanan pribadi menyatakan bahwa ia mau menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Hal ini bukan berarti bahwa ia telah menerima Tuhan Yesus dengan benar. Perjalanan Kekristenannya yang akan menentukan.

https://overcast.fm/+IqOA3iUO4

Sabtu, 24 Agustus 2019

Truth Daily Enlightenment Sabtu, 24 Agustus 2019 PERGUMULAN MENJADI ANAK ALLAH

Allah memang menciptakan manusia serupa dan segambar dengan diri-Nya, tetapi manusia pertama belum berkeadaan sempurna. Manusia pertama itu sendiri yang harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Allah menciptakan bahan dan memberi semua fasilitasnya, tetapi manusia yang harus mengembangkannya sebagai bentuk tanggung jawab. Itulah sebabnya mandat Allah kepada Adam adalah menaklukkan bumi. Yang dimaksud dengan “bumi” tentunya adalah semua yang kelihatan secara fisik maupun yang tidak kelihatan (metafisik). Yang kelihatan adalah materi dengan segala ilmu pengetahuan yang dapat digali tanpa batas, tetapi yang tidak kelihatan adalah kuasa kegelapan yang memberontak kepada Allah atau Lusifer. Kalau hanya mengelola alam semesta secara fisik, hal itu tidaklah bernilai tinggi. Tugas Adam yang kedua ini berat sekali, tetapi sangat agung. Kalau manusia berhasil menjadi manusia yang sempurna (corpus delicti), berarti Iblis dikalahkan. Manusia pertama tidak mencapai menjadi pribadi seperti yang dikehendaki oleh Allah Bapa. Inilah tatanan Allah yang harus dipenuhi manusia

Sebenarnya pergumulan Adam adalah pergumulan untuk mengesahkan diri sebagai anak-anak Allah secara permanen. Secara permanen artinya Adam mencapai suatu level karakter Ilahi yang ideal seperti yang dikehendaki oleh Bapa dan tidak pernah akan berubah lagi atau tidak akan jatuh lagi. Untuk ini Adam berkewajiban untuk mewarnai atau membentuk neshamah-nya dapat menjadi pelita Tuhan; artinya neshamah manusia mampu memahami segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah. Jika sampai pada level itu, maka Adam tidak pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Allah Bapa. Tetapi ternyata Adam gagal mencapai level itu. Itulah yang disebut sebagai jatuh dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Kalau seandainya Adam mencapai level yang dikehendaki oleh Allah Bapa, maka ia mejadi corpus delicti dan menjadi pokok keselamatan (teladan) bagi seluruh keturunannya. Sejatinya, Adam tidak berketurunan sebelum dapat menjadi pokok keselamatan.

Tuhan Yesus adalah manusia pertama yang berhasil mencapai kehidupan sebagai anak Allah yang ideal atau sempurna. Dialah model manusia yang diinginkan oleh Allah. Keberhasilan-Nya sebagai manusia seperti yang dikehendaki oleh Bapa, menempatkan diri-Nya sebagai pokok keselamatan bagi mereka yang taat kepada-Nya. Pokok keselamatan dalam teks aslinya adalah aitios (αἴτιος). Aitios bisa berarti author, the person who originated or gave existence to anything (seorang yang menciptakan sesuatu). Kata aitios juga bisa berarti penggubah (composer). Dengan kemenangan-Nya, maka Tuhan Yesus dapat menggubah manusia berdosa menjadi anak-anak Allah. Tentu lewat proses dan pendidikan melalui Roh Kudus. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata agar orang percaya yang sudah menjadi murid menjadikan semua bangsa murid-Nya.

Ketika Tuhan Yesus berkata “muridkanlah” artinya ajaklah mereka belajar kepada-Ku. Tuhan Yesus sendiri telah belajar dan berhasil (Ibr. 5:7-9). Kata “menderita” dalam teks aslinya adalah pascho (πάσχω) yang juga berarti to suffer, to be acted on. Dalam hal ini, untuk mencapai kesempurnaan, Tuhan Yesus tidak menerimanya secara otomatis oleh anugerah, tetapi hasil dari perjuangan-Nya. Sejak muda Ia mengalami pertumbuhan natural seperti anak manusia lainnya (Ing. wisdom and stature, and in favour with God and man) (Luk. 2:59). Dalam segala hal Ia disamakan dengan manusia (Ibr. 2:17). Itulah sebabnya Ia berkata bahwa sebagaimana Ia menang, Ia juga menghendaki orang percaya menang. Seharusnya Adamlah yang menjadi aitios, tetapi Adam gagal. Yesus menggantikan tugas Adam. Ini adalah tatanan Allah.

Injil adalah Kabar Baik, maksudnya bahwa pada zaman penggenapan ini manusia dimungkinkan untuk menjadi manusia sempurna atau menjadi anak-anak Allah yang sah. Untuk menjadi anak-anak Allah yang sah, seseorang harus diproses berjuang untuk menjadi seperti Yesus, karena Yesuslah model manusia yang dikehendaki oleh Allah. Pada dasarnya, Kekristenan adalah perjuangan untuk menjadi seperti Yesus. Menjadi orang Kristen bukanlah proses beragama tetapi proses menjadi manusia sempurna. Semua perhatian harus ditujukan kepada proyek ini sepenuhnya. Segala sesuatau yang lain hanyalah dukungan demi tercapainya proyek ini. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata, “barangsiapa hendak mengikut Dia harus melepaskan segala sesuatu, sebab kalau tidak, maka ia tidak layak menjadi murid-Ku”.

Dalam kehidupan ini tidak ada hal yang kita anggap berharga selain menjadi anak Allah yang serupa dengan Yesus. Kalau hal ini belum tercapai, sejatinya kita harus merasa gusar melampaui kegusaran kita mengenai hal apa pun. Jika demikian, berarti kita menganggap bahwa rencana Allah untuk menyelamatkan kita lebih berharga dari segala sesuatu. Dengan cara demikian sebenarnya seseorang telah memindahkan hatinya ke dalam Kerajaan Surga. Inilah yang dimaksud oleh Alkitab sebagai mendahulukan Kerajaan Surga.

Solagracia 🙏🏻


https://overcast.fm/+IqOAuP5OY

Renungan Harian 23 Agustus 2019 TANGGUNG JAWAB MENGENAKAN PIKIRAN KRISTUS

     Untuk menerima keselamatan, orang percaya harus berjuang guna memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Itulah standar kesucian Allah. Ini adalah tatanan Allah. Orang-orang Kristen yang tidak mengerti kebenaran ini, sudah merasa puas dengan keberadaan moral yang mereka miliki, dan tidak berusaha keluar dari standar moral umum yang ada. Itulah sebabnya tidak sedikit orang Kristen yang moral umumnya saja tidak lebih baik dari orang non-Kristen. Salah satu penyebab hal tersebut adalah pemahaman yang salah terhadap konsep bahwa keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus diperoleh bukan karena perbuatan baik. Memang benar pernyataan tersebut, sebaik apa pun seseorang, tidak akan selamat tanpa salib Kristus.

     Tetapi bukan berarti perbuatan baik tidak dibutuhkan. Orang percaya bukan saja harus menjadi baik, tetapi juga sempurna. Jika seseorang berpikir bahwa perbuatan baik tidak diperlukan, hal ini merupakan kesalahan penafsiran terhadap Efesus 2:8-9. Banyak orang Kristen yang berpikir, bahwa kalau sudah menjadi orang yang dipilih oleh Allah melalui percaya dalam nalar, bagaimanapun akan selamat, padahal mereka tidak memahami apa maksud atau isi keselamatan itu dan bagaimana percaya itu sesungguhnya. Mereka hanya berpikir bahwa pada intinya keselamatan itu adalah terhindar dari neraka dan diperkenan masuk surga. Mereka juga belum memahami apa surga itu. Mereka hanya berpikir bahwa surga adalah tempat yang nyaman, di mana orang hanya bernyanyi-nyanyi. Tidak mengherankan kalau mereka tidak memiliki ketegangan dalam perjuangan melakukan kehendak Allah, yaitu memiliki pikiran dan perasaan Kristus.

     Orang yang diselamatkan adalah orang yang berproses memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Ternyata kata “pikiran dan perasaan” dalam Filipi 2:5 dalam teks aslinya bukan kata benda, tetapi bentuk perintah (imperative), yaitu phroneistho (φρονείσθω). Dalam Bahasa Yunani, kata ini memiliki kasus imperative present passive third person singular dari akar kata phroneo (φρονέω). Kalau diterjemahkan bebas bisa berbunyi: ‘‘Berpikirlah atau bersikaplah seperti Yesus Kristus”. Dalam salah satu Alkitab terjemahan Bahasa Inggris, diterjemahkan sebagai berikut: Have this attitude in yourselves which was also in Christ Jesus. Kalau Firman Tuhan memerintahkan agar orang percaya berpikir atau bersikap sesuai dengan kehendak-Nya, maka berarti orang percaya yang harus menggerakkan atau mengarahkan pikiran dan menetapkan sikapnya dengan jelas. Hal ini tidak bisa terjadi atau berlangsung oleh pihak lain, bahkan oleh Tuhan sendiri. Orang percaya sendiri yang harus menggerakkan dan mengendalikan pikirannya.

     Dalam hal tersebut, Tuhan tidak akan berintervensi, sebab pikiran seseorang -yang merupakan pusat kemudi kehidupan setiap individu- adalah hak dan wewenang masing-masing individu. Itulah sebabnya kepada Kain, Tuhan hanya bisa memperingatkan Kain bahwa dosa sudah mengintip di depan pintu, sangat menggoda. Tuhan tidak mengambil alih kemudi hidup Kain, Kain yang harus mengendalikan dirinya sendiri (Kej. 4:7). Ketika Kain tetap berkehendak membunuh adiknya, Tuhan tidak mencegahnya lagi.

     Terkait dengan hal tersebut, kepada Petrus, Yesus berkata bahwa Iblis telah menuntut untuk menampi (menggoncangkan atau mencobai) dia, tetapi Tuhan Yesus hanya bisa berdoa supaya imannya tidak gugur (Luk. 22:31-32). Sama dengan Tuhan Yesus pun tidak bisa menyelamatkan Yudas, jika Yudas memang berkehendak untuk memilih uang daripada kesetiaan. Hal ini terjadi, sebab Yudas sudah sejak lama berkebiasaan mencuri dan pikirannya terikat dengan kekayaan. Di hari-hari terakhir pengkhianatan Yudas, Yesus sudah mengingatkan berulang-ulang melalui perkataan dan sikap-Nya. Seperti misalnya Yesus memberi tahu bahwa salah satu dari murid-murid-Nya akan mengkhianati-Nya. Yesus tidak perlu menyatakan hal itu kalau Ia sengaja menjerumuskan Yudas untuk menjadi pengkhianat. Jadi, sangatlah keliru jika ada pemahaman bahwa Yudas ditentukan untuk binasa.

     Dalam hal tersebut, jelas sekali bahwa Tuhan hanya bisa mengarahkan pikiran seseorang, tetapi tidak akan mengambil alih kemudi hidup atau pikirannya. Iblis pun juga tidak bisa mengambil alih kemudi, tetapi ia bisa memengaruhi sehingga seseorang mengarahkan kemudi hidupnya kepada arah tertentu. Tentu saja Iblis mengarahkan seseorang kepada kerajaan kegelapan melalui keindahan dunia. Hendaknya orang percaya tidak menuduh Tuhan sengaja menyerahkan kemudi hidup orang-orang tertentu kepada Iblis agar diarahkan ke neraka, sementara Tuhan mengambil alih kemudi hidup orang-orang tertentu untuk diarahkan ke surga. Tuhan tidak menghendaki seorang pun binasa, tetapi Ia tidak bisa menyelamatkan mereka yang tidak bersedia diselamatkan (2Ptr. 3:9). Hal ini bisa terjadi sebab Tuhan tidak mengambil alih kemudi hidup seseorang, yaitu mereka yang mengarahkan pikiran dan hatinya kepada arah yang berbeda dari arahan Tuhan.


https://overcast.fm/+IqOCw0d8c

( Sunday Bible Teaching ) SBT, 11 Agustus 2019 "Kualitas Mengalami Tuhan" Pdt.Dr. Erastus Sabdono

Bagaimana seseorang dianggap serius dalam hidup ini ?
Masing - masing orang memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai hal ini.

Ada orang yang memandang orang yang serius dalam hidup adalah mereka yang bekerja keras untuk dapat meraih apa yang orang lain dapat raih, karena itu standar umum.
Dan itu pasti ukuran keseriusan hidup.

Tetapi sebagai orang percaya, keseriusan hidup kita diukur dari seberapa kita bisa mengalami Tuhan.
Ini kalau dilihat dari sudut pandang orang - orang yang tidak bertuhan.

Maksud tidak bertuhan bukan tidak beragama.
Bisa beragama, tetapi tidak bertuhan dengan benar.

Jadi dipandang dari sudut orang - orang yang tidak bertuhan keseriusan dari sudut pandang ini dianggap bukan keseriusan.

Kita mau memilih area ini. wilayah ini.
Kita mau serius dengan Tuhan dan keseriusan kita ditandai dengan seberapa kita sungguh - sungguh mencari Tuhan, mengerti kehendakNya, melakukan kehendakNya, mengalami Tuhan.

Kalau meminjam kalimat Alkitab 📚 berjalan dengan Tuhan, seperti Henokh bergaul dengan Tuhan.
Setiap kita memiliki porsi untuk mengalami Tuhan.

Memang yang diberi banyak dituntut banyak, yang diberi sedikit dituntut sedikit.
Tetapi apa yang disediakan Allah itu pasti limpah.
Sayang sekali kalau kita hanya memperolehnya hanya sedikit.

Kita harus mengalami Tuhan secara limpah, padahal Tuhan menyediakan porsiNya secara limpah.

Jadi kalau seseorang serius dengan Tuhan, dia tidak mempersoalkan, walaupun tentu secara psikologi mempengaruhi apakah menikah atau tidak, kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau tidak, tidak terlalu mengganggu hidupnya karena itu bukan tujuan hidupnya.

Tentu saja kita harus berprestasi dalam studi, dalam karier, karena prestasi kita di dalam kesungguhan kita memaksimalkan potensi tanggung jawab hidup itu adalah bagian pertanggung jawaban kita kepada Tuhan yang memberi hidup.

Tetapi kita melakukan semua itu sebagai dukungan, support untuk bisa menemukan Tuhan dan mengalamiNya.

Kita itu bukan binatang yang tidak memiki ruangan, tidak memiliki kesempatan umtuk berinterakasi dengan Allah, untuk memiliki hubungan interpersonal dengan Tuhan.

Tuhan itu seperti tidak ada, bahkan mati untuk orang yang tidak menghargai Dia.
Tuhan itu sepertinya membiarkan orang masuk neraka.
Banyak orang seperti tenggelam dalam pesta, tenggelam dengan segala kesenangan.

Untuk mempersiapkan pernikahan yang hanya dua jam bisa 1 tahun.
Tetapi untuk kekekalan berapa persiapannya ?
70 th umur hidup kita sebenarnya tidak seimbang dengan kekekalan.

Untuk kekekalan hanya 70 th saja kita tidak serius dengan Tuhan.
Ketika kita ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus kita hanya boleh memiliki satu agenda yaitu bertumbuh dalam kesempurnaan, menjadi anak - anak Allah yang berkeadaan seperti Anak - anak Allah.

Jika kita bisa mencapai keberkenanan di hadapan Tuhan.
Kita harus serius dengan Tuhan, dan selalu menyenangkan Bapa.

Orang - orang Yahudi gagal menerima Yesus sebagai juruselamat,
Karena orientasi berpikirnya tidak sama dengan yang Tuhan Yesus ajarkan.
Mereka mengharapkan  juruselamat dunia,  juruselamat politik, Yesus Juruselamat dari dosa.
KerajaanNya bukan dari dunia 🌎 ini.

Jadi kalau Tuhan Yesus tebus kita hari ini agendanya cuma satu bagaimana kita menjadi orang yang berkenan kepada Tuhan ?
Bagaimana kita serius memperkarakan ini ?

Pasti kita semua punya persoalan, tetapi tidak boleh lebih besar dari hal berkenan kepada Tuhan.

Mungkin kita banyak persoalan tetapi
1. Terimalah persoalan itu karena sangat besar kenungkinan kesalahan kita, terimalah tuaian ini karena kita telah menabur.
2. Walaupun tuain itu menyakitkan, tetapi Allah bisa menjadikan sarana untuk mendewasakan kita.
3. Pasti akan selesai pada waktunya ketika kita membawa diri kita kepada Tuhan untuk dibentuk.

Yang menjadi persoalan kita hari ini adalah :
- Mengapa kita belum bisa menyenangkan Bapa ?
- Mengapa belum bisa berkenan Bapa ?

Ketika seseorang serius dengan Tuhan dalam durasi waktu hidup yang singkat ini, maka yang terjadi adalah citra rasa jiwa, interest batinmu berubah.
Jadi tidak mengingini barang dunia bukan karena tidak bisa membeli.

Kita serius dengan dunia tetapi tidak serius dengan  Tuhan.
Mencari Tuhan harus 100 %, dan tidak boleh mengharapkan kebahagiaan dunia.
Kesenangan dunia 🌍 tidak boleh menjadi kenikmatan kita.
Tuhan tidak mau diduakan.

Kita orang - orang istimewa di hadapan Tuhan, maka
berkeadaanlah sebagai anak - anak Allah.

JBU 🌷

Renungan Harian 22 Agustus 2019 TATANAN DALAM MENERIMA KESELAMATAN

     Orang percaya harus memahami bahwa dari pihak manusia, keselamatan dapat berarti perjuangan melawan dosa atau ketidaktepatan (Yun. hamartia; ἁμαρτία) di dalam dirinya. Ketidaktepatan artinya tidak sesuai dengan keinginan, pikiran, dan perasaan Tuhan. Ini adalah tatanan Allah. Dosa dalam konteks umat Perjanjian Baru, bukan hanya sekadar pelanggaran terhadap hukum atau norma umum, tetapi semua tindakan yang tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan Elohim Yahweh, Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus. Perjuangan melawan ketidaktepatan ini berlatar belakang kenyataan bahwa manusia telah gagal mengerti kehendak Allah dan melakukan kehendak-Nya dengan sempurna, manusia tidak mampu berpikir, berucap sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Tuhan Yesuslah yang dapat menggenapi, atau yang dapat melakukannya dengan sempurna. Semua orang percaya dipanggil untuk memiliki kualitas hidup yang sama seperti Tuhan Yesus. Inilah perjuangan berat tersebut. Perjuangan tersebut dimaksudkan agar orang percaya mengambil bagian dalam kekudusan Allah Bapa (Ibr. 12:10) atau yang sama dengan mengambil bagian dalam kodrat Ilahi (2Ptr. 1:3-4). Dengan demikian, keselamatan dari pihak manusia adalah perjuangan untuk menjadi sempurna.

     Keselamatan diterima manusia bukan secara otomatis, tetapi menuntut respon yang aktif dan proporsional. Tuhan Yesus menyatakan, bahwa untuk selamat seseorang harus berjuang masuk melalui jalan sempit (Luk. 13:23-24). Ini adalah perjuangan melawan kodrat dosa (sinful nature) yang melekat dalam diri manusia, yang berpotensi seseorang masih bisa hidup di dalamnya di waktu mendatang. Keberhasilan lolos dari kodrat dosa ini membuahkan seseorang menjadi manusia Allah (man of God) yang berkodrat Ilahi. Perjuangan untuk menjadi manusia Allah adalah perjuangan yang berat yang menyita segenap hidup ini. Tetapi perjuangan ini tidaklah diperhitungkan sebagai jasa, seakan-akan keselamatan manusia hasil dari perbuatan baiknya. Perjuangan adalah respon terhadap anugerah yang Tuhan berikan.

     Dikemukakan oleh Paulus dalam Filipi 2:12 bahwa orang percaya harus mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar. Dengan takut dan gentar menunjukkan pergumulan yang tidak ringan. Bila direlasikan dengan ayat sebelumnya (Flp. 2:5-7), Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Yesus Kristuslah model manusia yang diinginkan oleh Bapa. Jadi, keselamatan adalah usaha untuk menjadi manusia yang memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Itulah sebabnya orang percaya disebut sebagai Kristen, yang artinya seperti Kristus.

     Dalam Ibrani 12:4 tertulis bahwa dalam perjuangan yang diwajibkan bagi orang percaya harus sampai mencucurkan darah. Perjuangan ini dianalogikan dengan perjuangan Tuhan Yesus dalam menyelesaikan tugas ke-Mesiasan-Nya (Ibr. 12:2-3). Dalam kitab Ibrani dikatakan: Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah (Ibr. 12:3-4). Nasihat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sudah bergumul begitu berat demi keselamatan manusia agar bisa dibebaskan dari kuasa dosa. Orang percaya harus mengimbangi perjuangan Tuhan tersebut dengan perjuangan yang keras agar benar-benar bisa dimerdekakan dari dosa, artinya agar dosa tidak lagi berkuasa atas kehidupannya. Perjuangan sampai mencucurkan darah artinya perjuangan yang mengerahkan segenap potensi dalam diri orang percaya tanpa batas.

     Keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan semula. Rancangan semula Allah adalah menciptakan manusia yang memiliki moral atau kesucian Allah sendiri. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan dengan tegas bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa (Mat. 5:48). Oleh karena standar kesucian atau kebenaran moral umat pilihan adalah moral Allah sendiri, maka orang percaya dalam hidup ini harus hanya mengarahkan hidup pada kesempurnaan seperti Allah sendiri. Orang Kristen yang tidak menujukan hidupnya hanya pada tujuan keselamatan ini, berarti ia tidak bersedia diselamatkan atau menyia-nyiakan keselamatan yang Tuhan sediakan (Ibr. 2:1-3).

     Terkait dengan hal tersebut, Iblis berusaha untuk bisa menyibukkan orang Kristen dengan banyak kesenangan dan ambisi pribadi, sehingga tidak sedikit mereka yang terperangkap oleh percintaan dunia atau semangat materialisme. Sebagai akibatnya, mereka tidak memberi perhatian yang semestinya pada proses keselamatan yang harus diperjuangkan setiap saat. Waktu mereka berlalu dengan sia-sia, sehingga mereka tidak mengalami pertumbuhan kesempurnaan yang dikehendaki oleh Allah.


https://overcast.fm/+IqODlXUmE

Renungan Harian 21 Agustus 2019 RESPON TERHADAP KASIH KARUNIA

     Menjadi tatanan dari Allah yang terkait dengan tanggung jawab, bahwa keselamatan harus dikerjakan dengan takut dan gentar (Flp. 2:12). Jika seseorang memiliki bukti keselamatannya dengan perbuatan (semakin seperti Tuhan Yesus), maka barulah ia memahami dengan benar apa artinya keselamatan telah terjadi atau berlangsung dalam kehidupannya sejak sekarang ini, di bumi ini. Keyakinan atas keselamatan tersebut harus dibuktikan dalam bentuk tindakan atau kehidupan batin yang berkenan kepada Bapa. Dari keyakinan bertumbuh menjadi “pengalaman” atau bukti nyata, sehingga ia bisa tahu atau mengerti. Seharusnya setiap orang percaya bisa mengukur apakah dirinya sudah berkenan di hadapan Bapa atau belum. Itulah sebabnya Firman Tuhan mengatakan: Ujilah dirimu (2Kor. 13:5).

     Di satu pihak, Tuhan Yesus menyelesaikan bagian-Nya, yaitu tugas yang diberikan Bapa kepada-Nya yang adalah tugas penyelamatan. Di pihak lain, orang percaya memenuhi bagiannya, yaitu menyambut keselamatan yang Dia sediakan tersebut dengan perjuangan pula. Hal ini tidak merusak prinsip sola gratia yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan only by grace (hanya oleh anugerah Tuhan), sebab perjuangan tersebut hanyalah respon, bukan dikategorikan sebagai jasa. Perjuangan sehebat apa pun dari manusia tidak akan bisa menyelamatkan dirinya kalau tidak ada kasih karunia, yaitu korban Tuhan Yesus di kayu salib. Oleh sebab itu kata kasih karunia atau anugerah tidak boleh disalahartikan, yaitu seakan-akan segala sesuatu dikerjakan oleh Tuhan tanpa peran manusia sama sekali, manusia hanya pasif dan kasih karunia Allah akan mengerjakannya sendiri.

     Harus diperhatikan bahwa manusia yang menjadi obyek keselamatan harus merespon keselamatan tersebut dengan tanggung jawab. Jika tidak demikian, maka berarti kasih karunia dapat menghilangkan tanggung jawab manusia sehingga manusia tidak perlu berdiri di takhta pengadilan Allah. Padahal banyak sekali teks dalam Alkitab yang menyatakan bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan pengadilan Allah (Rm. 14:12; 2Kor. 5:9-10; Why. 20:12; dan lain-lain). Dalam pernyataannya, Paulus mengatakan: “Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik atau pun jahat “(2Kor. 5:9-10).

     Bagi orang percaya, perbuatan baik sampai tingkat berkenan kepada Allah seperti yang diperjuangkan oleh Paulus adalah tanda atau bukti atau ekspresi dari percayanya kepada Tuhan Yesus. Perbuatan baik yang berstandar moral Allah yang diperjuangkan Paulus adalah sikap yang menunjukkan atau membuktikan bahwa dirinya menerima Tuhan Yesus sebagai Pemilik kehidupan (Tuhan) yang kehendak-Nya harus dituruti (Yoh. 1:11-12). Hal ini bukan berarti keselamatan diperoleh melalui perbuatan baik. Dengan demikian keselamatan adalah kasih karunia semata-mata, tetapi cara menerima kasih karunia tidak mudah.

     Selama ini orang berpandangan pendek atau dangkal, seakan-akan dengan menerima kasih karunia, manusia tidak perlu bertanggung jawab atas keselamatannya. Ini tidak benar. Harus dipahami dulu apa keselamatan itu, barulah merumuskan apa yang dimaksud dengan kasih karunia. Keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya. Untuk dapat dikembalikan kepada rancangan Tuhan tersebut harus ada usaha yang serius dari setiap individu. Usaha inilah yang disebut sebagai tanggung jawab atau yang sama dengan respon terhadap anugerah atau kasih karunia Allah. Penjelasan ini bisa membangkitkan penolakan bagi mereka yang pikirannya sudah terlanjur terpasung oleh pengajaran yang sudah ada dalam gereja, bahkan sudah mengakar selama ratusan tahun oleh para teolognya. Mereka berpendirian bahwa anugerah itu diberikan kepada orang-orang yang tidak akan pernah bisa menolak kasih karunia atau anugerah tersebut, yang mereka istilahkan sebagai anugerah yang tidak bisa ditolak (irresistible grace).

     Mereka yang terpasung oleh aliran teologi tersebut berusaha mati-matian membela teologinya sampai tidak lagi berpikir secara sehat. Mereka mengutip ayat-ayat Alkitab tanpa dengan ketat memerhatikan konteksnya. Mereka tidak sanggup menerima bahwa apa yang mereka pahami ternyata sebenarnya tidak tepat. Mereka teguh memercayai ajaran tersebut, sebab teologi tersebut dilahirkan oleh teolog hebat pada zamannya dan sanggup bertahan selama ratusan tahun. Pemujaan terhadap tokoh teolog yang melahirkan ajaran yang mereka puja dan kagumi, membuat mata mereka kabur untuk menemukan kebenaran yang murni untuk zaman ini. Dengan membabi buta mereka membela ajarannya tanpa berpikir sehat. Cara berpikir mereka lebih ke arah indoktrinatif, bukan eksploratif. Seharusnya yang kita junjung tinggi adalah Tuhan Yesus dan Alkitab.


https://overcast.fm/+IqOAbNNYA




Selasa, 20 Agustus 2019

Truth Daily Enlightenment Sabtu, 17 Agustus 2019 Mengendalikan Nafsu Makan

Terkait dengan hukum tabur tuai, harus dipahami bahwa dokter dan obat-obatan adalah salah satu sarana tanggung jawab manusia. Ini bukan berarti mukjizat tidak berlaku. Mukjizat tetap berlaku. Ini pun tergantung dari karunia-Nya. Barangkali ada yang berkata: Tetapi dengan iman kita dapat sembuh kalau kita sakit. Jangan lupa, iman adalah salah satu dari karunia yang tidak dapat kita gunakan semau-mau kita (1Kor. 12:9; 1Kor. 13). Alkitab mengatakan bahwa kita masing-masing memiliki karunia iman yang berbeda. Sikap bertanggung jawab dengan pergi berobat ke dokter bukanlah dosa dan pelecehan terhadap kuasa Allah dan kasih-Nya. Dokter pun bisa menjadi sarana Tuhan untuk menyembuhkan kita. Lukas, salah seorang penulis Injil, adalah seorang tabib atau dokter. Dalam hal ini dokter pun hamba Tuhan yang memiliki tempat dalam rencana Allah. Oleh sebab itu kita tidak dapat berkata bahwa dokter itu alat setan atau kuasa Iblis. Dengan lambang ular pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ada beberapa pendeta menganggap dokter adalah agen Iblis. Apakah kita perlu ke dokter atau berdoa saja, seseorang harus bergumul dengan Tuhan dan menemukan jawabnya.

Pernyataan di atas ini bukan berarti mengurangi keyakinan kita akan pemeliharaan Tuhan atas kita dan kuasa mukjizat Tuhan yang mampu mengangkat sakit penyakit kita, tetapi penjelasan ini hendak mengajak jemaat Tuhan untuk memiliki tanggung jawab terhadap tubuhnya. Tubuh kita adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada masing-masing kita. Tuhan masih menyediakan anugerah kesembuhan-Nya kepada orang percaya yang sakit (Yak. 5:14-15). Tetapi adalah lebih baik mencegah dari pada mengobati. Kalau orang percaya hanya mengharapkan mukjizat, orang percaya menjadi tidak bertanggung jawab. Hal ini menjadi “virus mental” yang buruk, yang juga akan menelurkan buah-buah kehidupan buruk lainnya. Bukan satu hal yang kebetulan kalau Firman Tuhan mengatakan dalam Amsal 23:2-3 Taruhlah sebuah pisau pada lehermu bila besar nafsumu! Jangan ingin akan makanannya yang lezat, itu adalah hidangan yang menipu. Firman ini merupakan nasihat agar orang percaya mengendalikan nafsu makannya.

Setelah menjadi anak Tuhan, kita dipanggil untuk bertanggung jawab atas pemeliharaan tubuh kita yang adalah bait Roh Kudus. Itulah sebabnya Paulus menasihati anak rohaninya untuk menjaga kesehatan (1Tim. 5:23). Jadi dapat disimpulkan bahwa kita sebagai orang percaya dapat menjauhi sakit penyakit dengan menjaga kesehatan tubuh ini dan tidak memberontak kepada Tuhan, hidup dalam ketaatan kepada Tuhan. Dalam hal ini, hendaknya doa tidak dijadikan sarana manipulasi yang membuat kita lari dari tanggung jawab. Doa juga bukan sarana mengatur Tuhan, apalagi memanipulasi kuasa-Nya. Allah dan Tuhan kita bukan seperti sesembahan dalam banyak agama. Hubungan kita dengan Sesembahan adalah hubungan “Bapa dan anak”. Ini bukan berarti kita dapat sesuka sendiri mengajukan permintaan. Justru sebagai “anak” kita diperlakukan dengan keras dan ketat agar bertumbuh dewasa dan layak menjadi anggota keluarga Kerajaan.

Pengajaran yang beredar selama ini dan sangat populer adalah bahwa seolah-olah kalau kita sakit, kita akan mudah menerima kesembuhan. Ini keliru, sebab bila demikian kita diajar untuk tidak bertanggung jawab dalam menjaga tubuh kita yang adalah bait Roh Kudus. Sebagai buktinya, perhatikan betapa mudahnya orang yang baru masuk Kristen atau orang kafir disembuhkan oleh kuasa nama Tuhan Yesus, tetapi banyak orang Kristen yang begitu sulit menerima kesembuhan dari Tuhan. Karena kebodohan inilah tidak sedikit anak Tuhan, bahkan hamba Tuhan, yang meninggal dengan keadaan yang sangat mengenaskan dan memprihatinkan, yaitu di ranjang sakit penyakit. Seharusnya mereka dapat memiliki umur lebih panjang dan dengan umur panjang dapat melayani Tuhan lebih banyak, memenangkan jiwa-jiwa lebih banyak, dan berkarya bagi Kerajaan Allah lebih banyak. Kebodohan ini membuka peluang bagi Iblis untuk membunuh banyak anak-anak Allah.

Oleh sebab itu hendaknya kita memerhatikan hukum tabur tuai dengan sungguh-sungguh bahwa kita dipanggil untuk menjaga kesehatan tubuh kita dengan seksama. Kita juga harus memerhatikan perintah Tuhan kepada bangsa Israel untuk tidak makan makanan tertentu yang menyebabkan sakit penyakit (Im. 11). Makanan yang dilarang Tuhan dimakan oleh umat pilihan-Nya ternyata adalah makanan yang mengandung berbagai kemungkinan yang mengancam kesehatan tubuh serta kelangsungannya. Hendaknya kita tidak memandang Allah sebagai Allah pembuat mukjizat semata-mata, tetapi kita juga harus memandang Allah sebagai Bapa yang mengajarkan ketertiban dan tanggung jawab.

Solagraci 🙏🏻


https://overcast.fm/+IqODWYLmA

Kata Bermakna Agt #2





















Quote Agt #2


Today's Quote:
Kita harus menghargai hidup dengan memaksimalkan semua potensi dan meraih sebanyak-banyaknya yang dapat kita raih untuk kemuliaan Tuhan.

Dr. Erastus Sabdono,
08 Agustus 2019

Today's Quote:
Bahaya besar yang tidak disadari oleh banyak orang adalah menunda bersikap benar terhadap keselamatan yang Tuhan berikan, sesuatu yang seharusnya dilakukan dengan segera dan terus menerus.

Dr. Erastus Sabdono,
09 Agustus 2019

Today's Quote:
Orang yang menyadari bahwa ia berjalan di tepi tebing, tidak akan berlaku ceroboh.

Dr. Erastus Sabdono,
10 Agustus 2019

Today's Quote:
Orang Kristen yang benar tidak pernah berjalan tanpa badai.

Dr. Erastus Sabdono,
11 Agustus 2019

Today's Quote:
Orang yang berusaha mencapai kesucian Tuhan adalah orang yang mempersiapkan diri menyongsong kematiannya dengan benar.

Dr. Erastus Sabdono,
12 Agustus 2019

Today's Quote:
Hidup berdamai dengan Tuhan adalah puncak dan tujuan kehidupan.

Dr. Erastus Sabdono,
13 Agustus 2019

Today's Quote:
Waktu hidup seseorang menjadi sia-sia tanpa persekutuan yang benar dengan Tuhan.

Dr. Erastus Sabdono,
14 Agustus 2019

Today's Quote:
Orang yang tidak memiliki prinsip hidup hanya untuk kesenangan hati Allah (Elohim) sangat berpotensi memiliki banyak kesenangan dan hidupnya menjadi rumit.

Dr. Erastus Sabdono,
15 Agustus 2019

Today's Quote:
Menjadi manusia baik saja bukanlah tujuan keselamatan, manusia harus sempurna seperti Bapa di surga.

Dr. Erastus Sabdono,
16 Agustus 2019

Today's Quote:

Selama seseorang belum menemukan dengan pasti bahwa dirinya sudah melakukan kehendak Bapa, ia harus terus berjuang untuk mencapai perkenanan Bapa.

Dr. Erastus Sabdono,
17 Agustus 2019

Quote of the Day:
Satu-satunya tujuan hidup adalah mengenal dari mana segala sesuatu ini berasal, sehingga kita mengerti bagaimana mengisi hari hidup ini dengan benar.

Dr. Erastus Sabdono,
18 Agustus 2019

Quote of the Day:
Di tengah-tengah kemungkinan untuk berbuat dosa, orang percaya harus belajar untuk hidup di dalam ketaatan kepada Bapa, bukan penurutan kepada keinginannya sendiri.

Dr. Erastus Sabdono,
19 Agustus 2019

Quote of the Day:
Kesucian adalah kehidupan yang sesuai dengan kehendak Bapa di surga, dalam segala hal.

Dr. Erastus Sabdono,
20 Agustus 2019

Renungan Harian 20 Agustus 2019 BUKAN CARA MUDAH

     Tidaklah salah kalau kasih karunia sering digambarkan sebagai hadiah. Hal ini benar dan tepat sekali, tetapi penjabaran atau penjelasannya juga harus benar. Memang hadiah tidak perlu dibeli atau dibayar, melainkan diperoleh dengan cuma-cuma, tetapi penghargaan terhadap hadiah dan menyikapinya atau meresponinya adalah tanggung jawab yang harus serius diperhatikan. Dalam konteks menerima kasih karunia -yaitu keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus- di dalamnya termuat panggilan atau tanggung jawab atau kewajiban yang harus dipenuhi sebagai penghargaan kepada hadiah tersebut.

     Kasih karunia dari Tuhan Yesus Kristus yang berisi keselamatan adalah hadiah, dimana orang percaya tidak perlu harus berbuat baik dulu atau melakukan uatu kebajikan barulah memperolehnya (Ef. 2:8-9). Tetapi bukan berarti hadiah tersebut secara otomatis dapat membuat orang percaya memiliki dan mengalami keselamatan. Harus ditegaskan bahwa keselamatan bukan sekadar terhindar dari neraka dan diperkenan masuk ke dalam surga guna memperoleh hidup yang kekal nanti, tetapi sejak sekarang ini harus sudah mengalami proses perubahan menjadi manusia seperti yang dirancang Allah sejak semula. Keselamatan dimulai sekarang, sejak kita di bumi ini.

     Sesungguhnya, terhindar dari neraka dan diperkenan masuk surga bukanlah keselamatan, tetapi buah keselamatan. Keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan Allah semula. Untuk dapat mengalami keadaan dikembalikan ke rancangan semula dibutuhkan respon dari manusia agar keselamatan tersebut terealisir atau terwujud. Hal ini harus dipahami dengan benar. Kalau keselamatan tidak dipahami secara komprehensif, maka penjelasan yang lain juga menjadi kacau dan tidak proporsional. Akibatnya, pengertian kasih karunia menjadi rusak.

     Tuhan Yesus memikul semua dosa manusia di Golgota dua ribu tahun lalu ketika manusia hidup dalam dosa, yaitu dosa mereka yang pernah hidup sebelum zaman anugerah, yang sedang hidup pada waktu itu dan yang akan dilahirkan sampai pada manusia terakhir nanti. Itu sebuah pemberian cuma-cuma dari Allah. Itulah kasih karunia. Namun pemberian cuma-cuma ini justru membawa atau menempatkan manusia yang mendengar Injil kepada pergumulan berat, sebab setelah menjadi orang percaya karena mendengar dan menerima Injil, orang percaya dipanggil untuk sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 5:48).

     Untuk menjadi sempurna, perlu perjuangan yang sangat berat. Tuhan Yesus menyatakan kesulitannya dengan pernyataan: Lebih mudah seekor unta masuk lubang jarum dari pada orang kaya masuk surga. Tuhan Yesus juga menegaskan bahwa tidak mudah orang (semua orang) masuk surga (Mat. 19:23-24). Itulah sebabnya untuk masuk surga dituntut perjuangan yang tidak mudah, seperti masuk jalan sempit (Luk. 13:23-24). Tuhan Yesus sendiri yang menyatakan bahwa banyak orang berusaha masuk, tetapi sedikit yang dapat masuk. Tuhan Yesus sendiri menyatakan bahwa banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang terpilih (Luk. 22:14).

     Ketika pengajaran kasih karunia dihembus sebagai “cara mudah masuk surga” tanpa tanggung jawab, maka terjadi penyesatan yang bisa mengakibatkan proses keselamatan tidak terealisir dalam kehidupan umat Tuhan. Hal ini sangat membahayakan keselamatan banyak orang. Mereka merasa sudah selamat, padahal belum. Keselamatan adalah proses di mana seseorang hendak dikembalikan ke rancangan semula Allah. Mereka yang merasa sudah memiliki kasih karunia dan yakin sudah selamat, tidak ada usaha untuk bertumbuh sampai pengharapan keselamatan menjadi milik yang pasti (Ibr. 6:11), atau sampai pada level di mana seseorang memiliki hak penuh masuk Kerajaan Surga (2Ptr. 1:11).

     Jika ada yang mengatakan bahwa pandangan di atas ini membuat seseorang jadi tidak merasa memiliki kepastian selamat, tidak seluruhnya salah. Sebab untuk apa merasa memiliki kepastian selamat padahal tidak? Kepastian keselamatan harus memiliki landasan atau dasar dan bukti, bukan hanya keyakinan dalam pikiran atau pengaminan akali. Dari kehidupan yang terus bertumbuh yang ditandai dengan perubahan karakter semakin seperti Kristus, seseorang berhak memiliki keyakinan yang benar bahwa dirinya selamat. Dari fakta kehidupan yang dijalani atau dialami seseorang bukan hanya yakin memiliki keselamatan, tetapi juga tahu (dengan kesaksian dalam batin) bahwa dirinya sudah selamat. Dalam konteks ini, keyakinan belumlah dapat dipercaya, tetapi kesadaran dari fakta kehidupan lebih dari sekadar yakin sebab ada pembuktiannya. Pembuktiannya adalah semakin serupa dengan Tuhan Yesus.


https://overcast.fm/+IqODqtisc

Renungan Harian 19 Agustus 2019 TANGGUNG JAWAB ATAS KESELAMATAN

     Pengajaran yang mengatakan bahwa kasih karunia tidak bisa ditolak atas orang-orang yang sudah ditentukan untuk menerima kasih karunia, mengarahkan pemikiran bahwa pemberian kasih karunia dari Tuhan dipaksakan di luar kemampuan manusia menolak atau menerimanya. Dengan pemahaman seperti ini, maka konsep kehendak bebas menjadi gugur, luruh, sirna sama sekali, dan mestinya kalau fair tidak perlu dipersoalkan lagi. Tetapi ironinya mereka masih menempatkan manusia sebagai manusia yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Kebebasan yang aneh kalau manusia yang ditentukan keselamatannya masih harus bertanggung jawab. Pandangan ini adalah pikiran yang tidak sehat dan tidak konsisten, sebab kalau kehendak bebas tidak ada, berarti juga tidak ada tanggung jawab. Manusia tidak perlu memberi pertanggungjawaban atas dirinya, sebab semua harus menjadi tanggung jawab Tuhan.

     Kalau keselamatan hanya dipahami sekadar sebagai terhindar dari neraka dan diperkenan masuk surga, maka memang kehendak bebas tidak perlu tampil secara proporsional. Bagi orang yang berpandangan bahwa Tuhan menentukan ada orang yang dapat menerima kasih karunia dan yang lain tidak, berpikir bahwa kalau mereka ditentukan untuk selamat, maka pada akhirnya bagaimana pun mereka akan masuk surga. Tetapi kalau keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia ke rancangan semula, maka terdapat proses yang panjang dan sangat sulit. Sulit bagi manusia yang telah hidup dalam kodrat dosa, tidak mudah mengubah diri dari manusia berdosa menjadi manusia Allah. Itulah sebabnya dalam proses ini manusia harus mengerjakan atau menyelesaikan keselamatannya dengan takut dan gentar (κατεργάζεσθε, to finish, accomplish). Jika orang percaya sungguh-sungguh mengerjakannya, maka Allah memberikan energi atau kekuatan (ἐνεργέω, put forth power) untuk menyelesaikan proses mengerjakan keselamatan tersebut (Flp. 2:12-13).

     Kasih karunia Allah harus dipahami secara benar. Kasih karunia tidak terletak pada penentuan Tuhan atas orang-orang yang diperkenan menerima kasih karunia, tetapi kesempatan manusia memiliki kehendak dan kehendak manusia itu bebas, dimana manusia dapat memilih untuk menerima kasih karunia atau menolaknya. Ini adalah tatanan Allah. Anugerah menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat berpikir, menganalisa sesuatu, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan. Itulah fungsi rasio yang Tuhan berikan kepada manusia. Kalau kasih karunia diberikan tanpa melibatkan respon dari pertimbangan manusia, maka berarti sia-sia Tuhan memberi rasio pada manusia. Rasio inilah yang memberi kemampuan manusia untuk mempertimbangkan sesuatu. Dengan pertimbangan tersebut manusia dapat menerima atau menolak kasih karunia. Tuhan menyediakan pilihan yang baik untuk dimiliki dan dinikmati dalam kekekalan, tetapi dalam penerimaannya manusia bertanggung jawab meresponinya. Kalau responnya salah, manusia membawa dirinya kepada kebinasaan. Itulah sebabnya Firman Tuhan mengatakan: Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah (Yoh. 3:18).

     Kalau Tuhan tidak menyediakan apa yang baik atau menutup kemungkinan orang memilih yang baik dari Tuhan, maka berarti Tuhan tidak benar. Hal ini juga sama dengan kalau Tuhan membuka kemungkinan untuk orang-orang tertentu menerima kasih karunia sedangkan yang lain tidak dibuat untuk bisa menerimanya. Jadi ada orang yang dibuat Tuhan tidak dapat menolak kasih karunia-Nya, di lain pihak ada orang-orang yang dibuat tidak bisa menerima kasih karunia-Nya. Dengan hal ini, maka kebaikan Tuhan untuk sekelompok orang merusak keagungan-Nya karena Ia membiarkan yang lain binasa. Tentu Tuhan tidaklah demikian. Hanya orang-orang yang berpikir tidak sehat yang memandang Tuhan demikian.

     Disebut sebagai kasih karunia kalau Tuhan menyediakan apa yang baik yang dibutuhkan manusia bukan karena manusia layak menerimanya atau telah terlebih dahulu memiliki jasa tanpa sikap diskriminatif. Tuhan menyediakan kasih karunia bagi manusia untuk diresponi sebagai penghargaan terhadap kasih karunia itu. Hal ini jelas, bukan berarti manusia tidak bisa menolaknya. Kasih karunia tidak menempatkan manusia sebagai obyek yang hanya bisa menerima kebaikan. Jika demikian, tidak bisa tidak ada kelompok manusia lain yang dikorbankan, tidak menerima “jatah” kebaikan Tuhan. Pandangan salah ini bisa menjadi atau merupakan penghinaan atau pelecehan terhadap Pribadi Allah yang agung, yang tidak menghendaki seorang pun binasa (2Ptr. 3:9). Dengan mengakui bahwa kehendak bebas manusia dilibatkan dalam menerima kasih karunia, bukan berarti merendahkan Tuhan yang memiliki kedaulatan, justru menghormati dan mengagungkan Allah yang memiliki kedaulatan. Kedaulatan Allah menentukan manusia harus menggunakan rasio untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna mengambil keputusan dan membuat pilihan. Dengan hal ini manusia dapat menjadi makhluk yang bertanggung jawab. Juga dalam menerima kasih karunia.

https://overcast.fm/+IqOAPjyGM

Renungan Harian 18 Agustus 2019 MENERIMA KASIH KARUNIA DENGAN TANGGUNG JAWAB

     Terkait dengan hukum tabur tuai yang merupakan tatanan Allah, tidak bisa tidak kita harus juga mempersoalkan tanggung jawab dalam menerima anugerah. Ini adalah tatanan Allah. Tanggung jawab artinya melakukan tugas atau memenuhi suatu kewajiban dan memikul akibat suatu tindakan keputusan dan pilihan. Kalau kita memerhatikan apa yang dikemukakan Alkitab sejak manusia pertama diciptakan, begitu manusia tercipta dan “mulai membuka mata” Tuhan sudah menunjukkan tanggung jawab kepada manusia. Tuhan memerintahkan manusia untuk berkembang biak dan beranak cucu. Ini adalah tugas atau mandat prokreasi. Tuhan bukan tidak sanggup menggandakan manusia dalam sekejap menjadi banyak, tetapi Tuhan menjadikan manusia kawan sekerja-Nya untuk penggandaan atau multiplikasinya. Selanjutnya Tuhan juga memerintahkan manusia untuk menaklukkan bumi dan menguasainya (Kej. 1:28-29). Manusia juga harus mengusahakan dan memelihara taman atau bumi indah yang Tuhan ciptakan (Kej. 2:15). Dalam hal ini bukan berarti Tuhan tidak sanggup mengelola bumi dan mendandaninya, tetapi Tuhan memercayakan tugas ini kepada manusia. Pengelolaan bumi merupakan tugas yang harus dilakukan dan kewajiban yang harus dipenuhi.

     Manusia juga menerima suatu realitas, diperhadapkan antara hidup dan mati. Ketaatan akan membawa manusia kepada kelimpahan Tuhan, hidup dalam persekutuan dengan Tuhan di Taman Eden atau pemberontakan yang akan membawa manusia kepada kematian (Kej. 2:16-17). Ini adalah tanggung jawab. Manusia akan memikul akibat tindakan, keputusan, dan pilihannya. Di sini manusia menjadi makhluk yang beresiko tinggi. Manusia harus menghadapi surga kekal atau neraka kekal. Fakta ini harus membuka mata kita semua terhadap realitas hidup ini. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab. Dengan tanggung jawab ini manusia harus mengerti tugas apa yang dipercayakan kepadanya atau kewajiban yang harus dipenuhi, dan manusia harus memikul akibat tindakan, keputusan, dan pilihannya. Tanpa mengerti apa arti tanggung jawab, manusia tidak menjadi manusia seperti yang Tuhan inginkan. Tanggung jawab inilah yang membuat manusia bernilai.

     Kesadaran terhadap tanggung jawab ini akan membuat seseorang menjadi pribadi yang agung, berprestasi, dan pasti berguna bagi sesamanya. Pribadi seperti inilah pribadi yang dapat menjadi pelayan Tuhan yang efektif. Tidak ada manusia yang tidak bertanggung jawab bisa melayani Tuhan. Tuhan tidak akan memercayakan pelayanan pekerjaan-Nya yang besar dan kudus kepada manusia yang tidak memiliki sikap bertanggung jawab. Oleh sebab itu, hal hidup bertanggung jawab harus diajarkan kepada umat Tuhan sejak mereka masih kanak-kanak. Sejak kanak-kanak harus diajarkan bahwa menyikapi kasih karunia atau anugerah yang Tuhan berikan harus pula dengan tanggung jawab. Menerima kasih karunia pun harus dengan tanggung jawab.

     Kesalahan fatal yang terjadi dalam berteologi dan menjadi sumber kekacauan teologi adalah adanya teolog-teolog yang salah dalam merelasikan antara kasih karunia dengan kehendak bebas. Pada umumnya mereka membenturkan kasih karunia dengan kehendak bebas dari perspektif yang keliru. Kekeliruan tersebut disebabkan pengertian yang salah mengenai kasih karunia itu sendiri dan kedaulatan Allah. Mereka memandang kasih karunia adalah tindakan sepihak Tuhan secara absolut dan mutlak dalam menentukan manusia yang dipilih untuk menerima berkat keselamatan dan segala sesuatu yang baik. Hal ini mereka yakini sebab mereka mengakui kedaulatan Allah yang mutlak dalam menentukan siapa yang selamat atau dimungkinkan menerima kasih karunia.

     Kelompok ini juga meyakini bahwa mereka yang ditentukan untuk diberkati dan dikasihi oleh Tuhan tersebut tidak bisa menghindarkan diri dari pemberian kasih karunia tersebut. Mereka meyakini bahwa ada orang-orang yang ditentukan secara sepihak oleh Tuhan dapat memperoleh kasih karunia, maka di pihak lain secara konsekuensi logisnya ada orang-orang yang tidak bisa menerima kasih karunia. Fair-nya atau kalau jujur -tidak bisa dibantah- kalau Tuhan menentukan ada orang-orang yang tidak bisa menolak kasih karunia, berarti dalam kekuasaan Tuhan yang melingkupi segala sesuatu, Ia juga menentukan orang binasa, artinya ditentukan tidak bisa menerima kasih karunia. Dalam hal ini Tuhan tidak bisa atau tidak boleh menghindar bila dipersalahkan membinasakan sekelompok orang yang dibuat tidak bisa menerima kasih karunia.

https://overcast.fm/+IqOD1VJ3Y

Renungan Harian 16 Agustus 2019 SEBAGAI TANDA, BUKAN TUJUAN

     Dari berkat yang tersedia dalam korban Kristus, kuasa bilur Yesus guna kesembuhan tubuh adalah salah satu hal yang menonjol dipromosikan. Pemberitaan yang salah mengenai kuasa bilur Yesus guna kesembuhan tubuh dapat mengakibatkan penyesatan yang berakibat cukup fatal dalam gereja Tuhan. Memang terdapat ayat-ayat yang berbicara mengenai kesembuhan dalam Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, namun kita harus meneliti dengan seksama kebenaran mengenai sakit penyakit dan kesembuhannya.

     Hal penting yang harus kita pahami mengenai penyakit adalah bahwa penyakit bisa dialami oleh seseorang disebabkan kesalahan atau dosa. Jelas sekali bahwa Tuhan menimpahi umat pilihan-Nya yang memberontak dengan sakit penyakit (Kel. 15:26; Ul. 28:22-27,35; Yer. 14:12; Yeh. 6:11). Banyak sekali ayat yang berbicara mengenai hal ini, bahwa Tuhan menimpakan penyakit atas umat yang tidak takluk kepada-Nya. Adapun yang dialami Ayub adalah penyakit yang diizinkan Tuhan untuk dialaminya guna memurnikan Ayub (Ay. 23:10). Hal ini jelas menunjukkan bahwa sakit yang dialami seseorang bukan datang tanpa sebab atau ada maksud Ilahi di dalamnya.

     Dalam Perjanjian Baru, sakit penyakit dihubungkan dengan pekerjaan kuasa kegelapan (Luk. 6:18). Hal ini bisa kita mengerti bahwa pemberontakan kepada Tuhan pasti bertalian dengan unsur kuasa kegelapan. Dalam Perjanjian Baru kita temukan penyakit dialami oleh orang percaya karena suatu kesalahan (1Kor. 6:12-20; 1Kor. 11:27-30; Why. 2:22). Bagaimana dengan janji kesembuhan bagi umat Perjanjian Baru, apakah dengan percaya kepada Tuhan Yesus kita tidak dapat mengalami sakit penyakit? Kenyataan yang kita saksikan adalah banyak orang Kristen yang sakit dan mati dalam penderitaan oleh karena sakit penyakitnya. Ada beberapa catatan penting yang harus kita pahami di sini.

     Bahwa janji kesembuhan yang ditulis dalam Alkitab hampir selalu berkaitan dengan pemberitaan Injil atau tanda dan bukti kuasa Allah dalam Yesus Kristus (Mat. 10:8; Luk. 10:9). Kuasa kesembuhan atau mukjizat kesembuhan itu dinyatakan Tuhan sebagai tanda yang menyertai orang percaya dalam pemberitaan Injil, bukan tujuan (Mrk. 16:17-18). Ini bukan berarti bahwa setelah kita percaya kepada Yesus kalau sakit dengan mudah kita akan memperoleh kesembuhan. Mukjizat kesembuhan diberikan kepada mereka yang belum mengerti kebenaran, yaitu yang terikat dengan kuasa kegelapan. Kehadiran Injil menyelamatkan jiwa mereka dan menyembuhkan penyakit mereka. Tatkala orang belum mengenal kebenaran Tuhan, mereka hidup dalam kebodohan, maka Tuhan berkenan memberi anugerah kepada mereka yang telah hidup dalam kebodohan tersebut. Tetapi setelah kita mengenal kebenaran, kita dipanggil untuk bertanggung jawab atas kesehatan tubuh kita.

     Dalam 1 Petrus 2:24 tertulis bahwa oleh bilur-bilur Tuhan kita telah disembuhkan. Untuk mengerti ayat ini kita harus melihat ayat 25, bahwa hal ini bertalian dengan “keselamatan awal yang telah kita terima”. Kesembuhan di sini berkenaan dengan dosa, bukan penyakit virus tubuh, tetapi kodrat dosa “sinful nature”; berkenaan dengan keselamatan jiwa. Jadi, kalau jujur, teks ini berkenaan dengan kesembuhan jiwa dan roh. Jika kita memerhatikan dari ayat 21 (1Ptr. 2:21-25), maka nasihat yang diberikan adalah mengenai bagaimana kita memiliki karakter Kristus yang tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ini berbicara mengenai jiwa yang sehat. Tuhan menghendaki kita memiliki jiwa yang sehat seperti ini. Namun demikian Tuhan dalam kebijaksanaan dan pengertian-Nya yang luar biasa mengizinkan kesalahan itu berlangsung demi kepentingan pelebaran Injil. Tuhan juga bisa menggunakan ayat tersebut untuk mengadakan banyak mukjizat guna membuktikan bahwa Tuhan Yesus adalah Allah yang benar. Tetapi jemaat harus dewasa dan makin memahami kebenaran. Sudah saatnya orang percaya memahami makna orisinal ayat tersebut.

     Dalam kebodohan karena tidak mengenal Tuhan Yesus Kristus, dahulu kita telah ditawan oleh Iblis. Sebagai akibatnya kita mengalami banyak penderitaan, khususnya sakit penyakit. Ketika kita bertobat dan menerima Tuhan Yesus Kristus, banyak di antara kita yang mengalami mukjizat kesembuhan. Namun bukan berarti selanjutnya setelah menjadi orang Kristen kita tidak mudah menjadi sakit, dan bila kita sakit dengan mudah kita menerima kesembuhan melalui doa. Kalau kita sudah mengerti kebenaran, tetapi tidak menjaga kesehatan tubuh, tentu juga akan jatuh sakit. Kalau sakit yang kita alami karena tidak bertanggung jawab menjaga pola makan dan pola hidup yang baik, maka jika kita sakit, kita harus menanggulanginya pula secara bertanggung jawab. Tidak selalu dengan mudah Tuhan menyembuhkan kita, yaitu apabila kita sakit karena kelalaian kita sendiri.


https://overcast.fm/+IqODAtkOs

Renungan Harian 15 Agustus 2019 MENGAPA ORANG KRISTEN SAKIT?

     Tuhan adalah Tuhan yang baik (Mzm. 34:9). Allah yang penuh kasih (1Yoh. 4:8). Allah tidak menghendaki anak-anak-Nya menderita (Mzm. 23). Seperti seorang bapak sayang anaknya, demikianlah Allah Bapa sayang kita. Betapa bersyukur dan berbahagianya kita memiliki Allah seperti Dia. Tetapi masalahnya adalah mengapa terdapat penderitaan, khususnya sakit penyakit? Banyak orang Kristen yang menderita berbagai penyakit. Faktanya pada saat ini juga banyak di antara orang-orang Kristen yang sedang menderita sakit penyakit, juga akibat epidemi penyakit dan berbagai kausalitas lainnya, sama seperti yang dialami oleh orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus. Padahal yang sering disuarakan di mimbar gereja adalah bahwa oleh bilur-Nya kita disembuhkan, virus dan bakteri tidak bisa berjangkit kepada orang yang sudah memiliki penebusan darah Yesus, sebab semua penderitaan dan sakit penyakit telah dipikul-Nya di kayu salib. Bagaimana kita dapat memahami hal ini?

     Kita harus terlebih dahulu memahami bahwa sakit penyakit ada dalam kehidupan manusia berawal dari dosa yang masuk ke dalam dunia, sehingga manusia meleset dari rancangan semula (Rm. 3:23). Manusia kehilangan kemuliaan Allah, artinya manusia telah tidak lagi memiliki keadaan seperti ketika manusia diciptakan oleh Tuhan. Keadaan manusia yang telah jatuh dalam dosa adalah keadaan manusia yang terkutuk. Manusia hidup dalam kutuk. Manusia hidup tanpa pengharapan dan berkat Tuhan. Puji Tuhan, Tuhan Yesus telah menanggung segala dosa kita dan memikul segala penderitaan karena perbuatan dosa kita (Yes. 53:4). Inilah jalan satu-satunya manusia bebas dari kutuk. Oleh karena Tuhan Yesus, kita dibebaskan dari segala kutuk. Tuhan menanggung segala penderitaan dan sakit penyakit kita. Oleh sebab itu, di dalam Tuhan kita menerima jaminan kesehatan, selama kita ada dalam kehendak-Nya.

     Kalau Tuhan Yesus sudah memikul dosa dan segala sakit penyakit kita, tetapi mengapa masih terdapat orang Kristen yang sakit? Ada 3 penyebab mengapa masih ada orang Kristen yang sakit. Pertama, sakit penyakit itu dialami karena dosa yang dilakukan oleh orang tua kita. Kesalahan orang tua kadang-kadang ikut ditanggung juga oleh anak-anaknya. Seperti yang ditulis dalam Keluaran 20:5, Tuhan menimpakan kesalahan orang tua kepada anak-anaknya. Dalam Alkitab dikisahkan mengenai Gehazi yang menipu demi kekayaan atau memperoleh uang, maka Tuhan menghukumnya dengan kusta yang dialami bukan saja oleh dia sendiri, tetapi juga keturunannya (2Raj. 5). Dalam kenyataan hidup, banyak orang tua yang mengidap penyakit tertentu yang dapat menularkannya kepada anak-anaknya, ini disebut juga penyakit keturunan.

     Kedua, sakit penyakit juga bisa dialami seseorang disebabkan oleh disiplin Tuhan karena dosa kejahatan atau kesalahan orang itu sendiri. Sebenarnya orang tersebut sudah bertanggung jawab menjaga kesehatan dengan pola makan dan pola hidup yang baik, tetapi ia tidak dengar-dengaran kepada Tuhan. Hidupnya bergelimang dengan dosa dan kejahatan. Kehidupan yang tidak dengar-dengaran mendatangkan disiplin. Displin tidak berarti hukuman, tetapi tindakan Tuhan untuk mendewasakan. Banyak penyakit yang dialami oleh seseorang karena hidupnya tidak sesuai dengan kehendak Allah. Bisa terjadi juga bagi anak-anak yang tidak menghormati orang tua, mereka bisa dihukum dengan menjadi pendek umur (Ef. 6:3). Pendek umur karena sakit penyakit juga.

     Ketiga, sakit yang disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri, yaitu tidak menjaga pola hidup dan pola makan yang baik. Bagaimanapun, walau sebagai anak-anak Allah, kita tetap harus tunduk kepada tatanan Tuhan, bahwa apa yang ditabur seseorang itu juga akan dituainya. Jadi sebuah keniscayaan orang Kristen walaupun rajin ke gereja, walaupun menjadi aktivis jemaat bahkan menjadi pendeta, ia harus menuai apa yang telah ditaburnya. Seperti Iblis berusaha menjatuhkan Tuhan Yesus dan berusaha membunuh-Nya agar ia bisa melenyapkan gerak pelayanan-Nya, demikian pula Iblis bermaksud hendak membunuh umat pilihan agar pertumbuhan mengenakan kodrat Ilahi digugurkan. Dengan cepat membunuh seorang anak Tuhan, berarti Iblis berhasil mempersempit gerak umat pilihan untuk mencapai kesempurnaan guna menjadi corpus delicti seperti Tuhan Yesus. Kematian cepat akan menggagalkan rencana Allah; gagalnya karakter Kristus terbangun dalam hidup seseorang.

     Cara Iblis membunuh kita antara lain dengan menggunakan kesalahan konsep dan pengertian mengenai bagaimana memiliki tubuh yang sehat. Kesalahan ini dapat menggunakan penyesatan berkenaan dengan tanggung jawab atau kehendak bebas yang dapat memperpendek umur hidup kita. Dalam kesalahan itu, paling tidak Iblis akan memperoleh keuntungan kalau kita sakit. Sebab dengan sakitnya tubuh kita, maka kita tidak dapat melayani Tuhan dengan prima. Dan juga, biaya kita ke dokter yang sebenarnya bisa dipakai Tuhan untuk kepentingan pekerjaan-Nya.


https://overcast.fm/+IqOCh-K-s