Senin, 25 Maret 2019

Truth Daily Enlightenment 25 Maret 2019 MEMAHAMI PERASAAN ALLAH BAPA

     Ketika kita meminta pengampunan atas suatu dosa atau kesalahan kepada Allah, seharusnya fokusnya bukan lagi pada kesalahan itu sendiri, tetapi juga pada perasaan Allah Bapa dan Tuhan Yesus yang kita lukai. Dalam hal ini ketika kita mempersoalkan dan menangani masalah dosa, hal itu bukan hanya masalah yang ada di pihak kita, yaitu dosa yang kita lakukan, tetapi juga pihak Allah (Bapa dan Anak), yaitu perasaan-Nya yang terlukai. Mengapa demikian? Sebab kita telah diangkat sebagai anak bagi Bapa di surga. Setiap perbuatan kita membangkitkan reaksi dari Bapa. Itulah sebabnya Petrus mengatakan “Kalau kita memanggil Allah sebagai Bapa, hendaknya kita hidup dalam ketakutan selama menumpang di dunia.”

     Lebih mudah bagi seseorang untuk menyadari suatu kesalahan yang sudah diperbuatnya, kalau kesalahan tersebut menggunakan ukuran hukum yang tertulis seperti hukum Taurat atau seperti banyak hukum dan syariat yang ada pada banyak agama. Tetapi sangatlah sulit disadari kalau dosa tersebut menyangkut sikap hati, sikap batin, dan cara berpikir seseorang. Tidak mudah memeriksa setiap gerak pikiran dan perasaan. Sangat jarang orang yang benar-benar serius memeriksa setiap gerak pikiran dan perasaannya, padahal Tuhan selalu menguji batin (Why. 2:23). Dosa itu juga menyangkut setiap kata yang kita ucapkan. Banyak perkataan yang kita ucapkan yang secara hukum bukan merupakan pelanggaran, tetapi ditinjau dari perasaan dan pikiran Bapa dapat melukai-Nya. Dalam hal ini orang percaya harus belajar untuk memiliki kecerdasan roh. Dengan kecerdasan tersebut seseorang dapat peka terhadap perasaan Bapa.

     Tanpa sadar, sering orang berpikir bahwa yang dibenci Tuhan hanya dosa dalam arti perbuatan, sehingga setiap kali berbuat dosa, maka seseorang datang kepada Tuhan untuk menyelesaikan dosanya dengan mohon pengampunan. Dengan permohonan ampun, maka dirinya dapat menerima pengampunan dan penghapusan dosa dengan darah-Nya. Setelah melakukan hal tersebut kemudian percaya bahwa Tuhan sudah mengampuni, maka hal itu sudah dianggap selesai dan hati Bapa pun disukakan. Padahal berbicara mengenai penyelesaian masalah dosa, sesungguhnya semua dosa sudah diselesaikan di kayu salib, yang belum selesai adalah potensi dosa di dalam diri seseorang yang harus digarap secara terus menerus. Potensi dosa itulah juga yang disebut sebagai kodrat dosa di dalam diri seseorang. Penggarapan tersebut dimaksudkan untuk mengubah kodrat dosa dalam diri seseorang menjadi kodrat Ilahi.

     Jadi, kalau kita meminta ampun atas kesalahan kita, maka kita bukan hanya minta ampun atas kesalahan yang telah kita lakukan tapi kita juga mempersoalkan keadaan diri kita ini yang belum seperti yang Bapa inginkan. Hal ini akan memacu diri kita untuk memperkarakan kodrat dosa yang masih berkuasa atas diri kita dan berusaha untuk mencapai level yang Bapa tetapkan menjadi target kita. Jadi ketika kita berdoa, “Bapa, ampuni salahku” itu juga mestinya berarti sama dengan doa: “Bapa, ampuni keberadaanku yang belum seperti yang Engkau ingini.” Mempersoalkan keberadaan diri berarti juga kesediaan untuk diubah secara total. Dalam hal ini yang diselesaikan bukan saja akibat perbuatan suatu kesalahan, tetapi juga keberadaan potensi dosa yang ada di dalam diri kita. Keberadaan potensi dosa adalah keberadaan di mana seseorang meleset dari melakukan apa yang tepat seperti yang dikehendaki oleh Bapa.

     Jadi, kalau seseorang berbuat dosa, sesungguhnya yang menjadi persoalan bukan saja perbuatan dosa itu sendiri, tetapi adanya potensi dosa di dalam dirinya. Potensi dosa itulah yang mendukakan hati Bapa. Sama seperti seorang anak yang tidak naik kelas, masalahnya bukan saja pada keadaan tidak naik kelas tersebut, tetapi mengapa potensi anak tersebut rendah sehingga tidak naik kelas. Bagaimana dengan kehidupan anak itu di hari esok? Demikian pula dengan perbuatan dosa yang dilakukan seseorang, masalahnya bukan saja perbuatan itu sendiri tetapi keberadaan kodrat dosa yang berkuasa atas diri seseorang. Kalau hal itu tidak diselesaikan, maka seseorang tidak akan layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga.

     Suatu hari nanti, orang-orang yang masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga adalah mereka yang memiliki natur Ilahi, sehingga tanpa ada hukum atau peraturan pun tidak akan pernah terjadi pelanggaran. Dalam hal ini dapat dipastikan bahwa di surga nanti tidak akan pernah terjadi pemberontakan seperti yang pernah terjadi pada zaman ada Lusifer di surga. Dengan demikian, sangatlah benar bahwa hidup di bumi hari ini hanya persiapan untuk masuk dalam dunia yang akan datang. Tanpa dipersiapkan dan diubah, seseorang tidak akan mendapat bagian dalam dunia yang akan datang. Untuk ini seseorang harus memilih, apakah mau menjadi manusia hari ini atau mau menjadi manusia hari esok atau manusia masa depan.


https://overcast.fm/+IqODdBMSg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar