Tuhan memilih Saul sebagai raja, tetapi ternyata Saul tidak menjadi raja yang baik. Ia tidak taat kepada Allah. Ia harus diturunkan dari takhtanya dan Daud menggantikan takhtanya. Apakah dalam hal ini Allah salah atau gagal memilih? Kalau kita ikuti perjalanan kisah pemilihan Saul sebagai raja, Saul dipilih Tuhan sebagai raja dengan tanda yang jelas (1Sam. 9-10). Saul juga bukan orang yang jahat, ia berprestasi dalam pemerintahannya (1Sam. 11). Tetapi ketidaktaatannya yang “kecil” menjatuhkan dan membuat ia terbuang (1Sam. 13). Tentu Tuhan tidak merancang penolakan-Nya terhadap Saul. Saul sendiri yang menentukan nasib takhtanya dengan perilakunya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Hal yang sama terjadi pada pelayanan Tuhan Yesus, saat Tuhan Yesus memilih dua belas orang murid-Nya. Tetapi seperti yang kita ketahui, Yudas, salah satu orang pilihan-Nya tersebut berkhianat (Yoh. 6:70). Yudas gagal menjadi salah satu rasul. Apakah Tuhan Yesus salah memilih? Atau apakah ini berarti bahwa Tuhan gagal membina? Apakah Tuhan yang mendesain demikian? Karena pada kenyataannya bahwa ternyata Yudas bisa menolak anugerah keselamatan yang Tuhan Yesus tawarkan, demikian juga banyak orang Yahudi pada waktu itu. Kalau kita mengikuti perjalanan hidup Yudas, maka kita mendapati bahwa Yudas adalah orang yang terpilih dari 12 murid Tuhan Yesus (Mrk. 3:9). Dia termasuk murid yang penting, sebab ia menjadi pemegang kas atau bendahara (Yoh. 13:29). Yudas memang sudah terbiasa mencuri uang kas yang dipercayakan kepadanya (Yoh. 12:6). Kalau ia bermaksud menjual Tuhan Yesus atau berkhianat kepada-Nya, hal ini terjadi karena Yudas memang sudah terbiasa berlaku jahat.
Ketika di perjamuan terakhir, Tuhan mengatakan bahwa ada satu di antara murid-murid yang akan menyerahkan diri-Nya. Pernyataan itu bisa jadi sebagai peringatan kepada Yudas, tetapi Yudas mengeraskan hati. Iblis membisikkan rencananya kepada Yudas (Yoh. 13:2). Yudas seharusnya menolak, tetapi ia tetap menerima rencana tersebut. Akhirnya Tuhan memberikan roti dan ia kerasukan Iblis (Yoh. 13:27). Dan Yudas tidak hanya kerasukan Iblis pada saat itu saja, bahkan sebelumnya dia sudah pernah kerasukan Iblis (Luk. 22:3). Tentu Iblis yang masuk dalam diri Yudas bukan karena dikehendaki oleh Allah. Yudas sendiri yang membuka dirinya untuk bersekutu dengan kuasa jahat tersebut, sehingga ia melakukan tindakan yang salah. Kesalahan Yudas yang membuat ia tertolak dari Allah, bukan karena Tuhan yang menentukan atau menetapkan, tetapi karena keputusan dan pilihan Yudas sendiri.
Ketika ia tidak bisa diperingatkan oleh Tuhan, ia mengeraskan hati dan tidak bertobat, maka ia memilih berada di pihak Iblis dan Iblis menyambutnya. Ia tidak bisa berbalik untuk bertobat dengan benar, walau ia sadar perbuatannya salah (Mat. 27:3). Akhir cerita kehidupan Yudas sungguh tragis, Yudas mati bunuh diri. Alkitab mencatat bahwa itu upah dari kejahatannya (Kis. 1:18). Semua itu dilakukan dengan kesadaran, bukan karena Yudas lupa diri. Yudas telah membangun sikap hati yang salah. Ia mencintai uang, sampai Tuhannya sendiri dikhianati hanya untuk 30 keping perak. Tentu di sini kita bisa melihat bahwa Yudas tidak membangun sikap hati dalam sehari, tetapi melalui waktu yang panjang. Waktu yang panjang tersebut menunjukkan apa yang dia pilih.
Tentu Tuhan tahu bahwa Yudas tidak jujur, masih suka mencuri. Mengapa Tuhan memberi peluang Yudas mencuri dengan menjadikan dia sebagai pemegang kas (bendahara)? Tentu Tuhan tidak bermaksud menjebak, apalagi menyesatkan. Kalau Tuhan Yesus menjadikan Yudas sebagai pemegang kas, karena Tuhan hendak memberi kesempatan Yudas untuk bisa menyembuhkan “penyakit” moralnya, yaitu ketidakjujuran. Tetapi Yudas memilih untuk tidak sembuh dan mati, daripada sembuh dan hidup. Dengan demikian, nasib atau keadaan Yudas ditentukan oleh Yudas sendiri. Bukan ditentukan oleh Tuhan seperti pandangan beberapa orang Kristen.
Dari kisah Yudas tersebut, ada teolog-teolog yang mencoba memformulasikan suatu premis bahwa Allah menentukan dan menetapkan orang untuk selamat, di lain pihak juga menentukan atau menetapkan orang untuk binasa. Dalam hal ini Yudas menjadi contohnya. Dalam bagian lain juga mengutip kisah dalam Keluaran mengenai Firaun dan menafsirkan bahwa Allah sengaja mengeraskan hati Firaun agar Allah bisa membebaskan bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir. Padahal Tuhan mengeraskan hati Firaun sebab memang dia sudah berkeadaan jahat dan tidak bisa diperbaiki lagi. Memang pada dasarnya Firaun tidak akan membebaskan bangsa Israel dari Mesir.
https://overcast.fm/+IqOAiDxJY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar