Banyak orang Kristen merasa sudah dibenarkan karena merasa sudah percaya kepada Yesus, bahwa Dia adalah Tuhan dan Juruselamat, serta menjadi orang Kristen. Padahal percaya sebenarnya adalah tindakan, bukan sekadar aktivitas pikiran. Abraham disebut sebagai bapa orang percaya, sebab hidupnya menjadi pola dan inspirasi kehidupan iman orang percaya. Iman adalah tindakan penurutan terhadap kehendak Allah. Kalau Alkitab menyatakan bahwa kita dibenarkan bukan karena perbuatan tetapi karena iman (Rm. 4), bukan berarti dengan mudah seseorang dapat dibenarkan hanya dengan meyakini di pikiran atau nalarnya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Percaya atau keyakinan seperti itu sebenarnya hanya berarti memercayai atau setuju terhadap identitas-Nya, belum tentu memercayai diri-Nya. Untuk mengerti makna yang benar, orisinal, dan tepat mengenai dibenarkan oleh iman, kita harus melihat latar belakang jemaat Roma dan gereja mula-mula.
Iman yang dimiliki jemaat Roma dan gereja mula-mula abad satu ketika surat pastoral ditulis tidak sama dengan iman yang dimiliki oleh sebagian besar orang Kristen sekarang ini. Untuk memiliki iman, jemaat gereja mula-mula harus mempertaruhkan segenap hidup mereka tanpa batas, seperti kerelaan kehilangan kewargaan negara, kehilangan keluarga, tidak memiliki kenyamanan hidup karena aniaya dan siksaan, bahkan kehilangan nyawa demi iman (yang benar) kepada Tuhan Yesus. Mereka adalah orang-orang yang telah meninggalkan segala sesuatu, sama seperti Abraham yang telah meninggalkan segala sesuatu, dan hidup dalam penurutan terhadap Allah dalam segala hal. Bila tertumbuk kata “dibenarkan oleh iman” dalam Alkitab harus dilihat dalam konteks hidup orang percaya yang sungguh-sungguh memang telah memenuhi kehidupan imannya secara benar. Sehingga mereka memiliki pembenaran secara penuh. Hanya iman yang benar yang menghasilkan pembenaran secara penuh.
Jemaat Roma hidup dalam tekanan yang hebat dari pemerintahan Romawi, kalau dikatakan bahwa orang percaya pada waktu itu khususnya jemaat Roma tidak dibenarkan oleh perbuatan mereka, karena mereka memang tidak memiliki hukum seperti orang Yahudi. Harus diperhatikan bahwa perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan menurut Taurat (Rm. 3:20, 28; dan lain sebagainya). Bahkan orang-orang Kristen pada waktu itu dipandang tidak memiliki agama karena Kekristenan belum melembaga menjadi agama. Mereka tidak memiliki kitab, karena kitab Perjanjian Baru barulah terhimpun lengkap di akhir abad 2. Mereka juga tidak memiliki rumah ibadah dan upacara agama atau liturgi. Mereka berkumpul bersama di kuburan-kuburan (katakombe). Mereka dipandang tidak memiliki perbuatan yang didasarkan pada nilai-nilai hukum tertentu, sama seperti Abraham yang hidup pada zaman sebelum Taurat. Tetapi mereka memiliki penurutan terhadap kehendak Allah dengan segala harga yang harus dibayar dan resiko yang harus dipikul.
Iman Abraham yang menjadi model iman orang percaya bukan hanya pada nalarnya, tetapi pada tindakannya. Abraham harus keluar Ur-Kasdim, ia harus mengganti nama walau belum memiliki anak sama sekali dari Abram menjadi Abraham, yang artinya bapak banyak bangsa. Ketika ia memiliki satu-satunya anak, Tuhan menghendaki harus dijadikan korban bakaran. Semua itu dilakukan tanpa ragu-ragu. Itulah iman. Perbuatan Abraham menjadi acuan jemaat Kristen mula-mula yaitu “menuruti kehendak Allah” saja, sehingga mereka berkelakuan seperti Yesus Tuhan dan guru mereka. Hal ini sangatlah berbeda dengan orang-orang Kristen sekarang yang hanya dengan pengaminan akali atau persetujuan pikiran mengaku Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat tanpa pertaruhan dan perjuangan.
Selama ini orang menganggap pembenaran oleh iman mempermudah seseorang masuk surga atau jalan mudah untuk diselamatkan. Justru sebenarnya sebaliknya. Dibenarkan oleh iman justru jauh lebih berat dibanding dengan dibenarkan oleh perbuatan. Kalau seseorang belum kehilangan segala sesuatu demi meneladani kehidupan Tuhan Yesus, ia belumlah dapat dibenarkan. Jadi, untuk bisa dibenarkan seseorang harus berjuang dengan maksimal mempertaruhan segenap hidup; yaitu waktu, tenaga, pikiran, segala sesuatunya tanpa batas. Melalui proses panjang ketika seseorang memiliki penurutan terhadap kehendak Allah seperti Abraham, maka barulah ia dibenarkan.
Dengan demikian seseorang sudah mengalami pembenaran secara penuh atau belum, sebenarnya sulit diketahui, tetapi bagaimanapun dari buah akan nampak apakah seseorang sudah memiliki pembenaran secara penuh atau belum. Oleh sebab itu hendaknya seseorang tidak dengan mudah menyatakan bahwa dirinya sudah dibenarkan hanya berdasarkan rumusan sistimatika teologi saja. Kepastian keselamatan bukanlah dibangun dari penalaran hasil kognitif atau pengertian terhadap doktrin atau pengajaran, pembenaran, dan keyakinan; keselamatan harus dibangun dari pengalaman riil berjalan dengan Tuhan. Semua penjelasan di atas ini untuk membuktikan bahwa pembenaran oleh iman bukan sesuatu yang mudah muncul secara mistis oleh penentuan Tuhan secara sepihak, karena Tuhan menetapkan orang-orang tertentu pasti selamat masuk surga. Harus ada respon dari individu dalam menerima anugerah-Nya.
https://overcast.fm/+IqOCxR7Kc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar