Sabtu, 17 Februari 2018

RH Truth Daily Enlightenment “PENGHAKIMAN BERDASARKAN KESUCIAN-NYA”  18 Februari 2018

Dalam Roma 5:5-6 tertulis: Tetapi jika ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah, apakah yang akan kita katakan? Tidak adilkah Allah — aku berkata sebagai manusia — jika Ia menampakkan murka-Nya? Sekali-kali tidak! Andaikata demikian, bagaimanakah Allah dapat menghakimi dunia? Dari kalimat “jika Ia menampakkan murka-Nya” menunjukkan bahwa Ia belum menampakkan murka-Nya.

Dari hal ini kita memperoleh kebenaran, bahwa dalam kesabaran-Nya dan kasih-Nya yang luar biasa, Allah menahan murka-Nya atas manusia yang mengingkari perjanjian dengan Diri-Nya, kemudian Ia memberi kesempatan kepada manusia untuk dikembalikan ke rancangan-Nya semula.

Hal ini dimaksudkan agar Ia menemukan orang-orang yang memiliki kesucian seperti Diri-Nya.
Merekalah orang yang berkenan kepada Allah.
Selanjutnya Paulus menulis dalam Roma 3:7, Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa? Sekilas ayat ini mengesankan bahwa dusta atau ketidaksetiaan (pseustes) Paulus membuat semakin nyata kebenaran Allah yang mendatangkan kemuliaan bagi Allah atau menunjukkan keagungan-Nya.

Apakah hal ini dapat membuat Paulus tidak perlu dihakimi? Tentu perlu. Semua manusia harus dihakimi. Maksud Paulus dengan pernyataannya tersebut adalah bahwa kalau membandingkan kebenaran Allah, nyatalah sudah bahwa manusia (termasuk diri Paulus) salah dan jauh dari kesucian Allah.

Tanpa penghakiman pun sudah jelas bahwa keadaan Paulus terbukti sebagai orang berdosa.
Kata berdosa dalam teks ini adalah hamartolos (ἁμαρτωλός), yang artinya tidak tepat seperti yang dikehendaki oleh Allah.
Dalam terjemahan lain diterjemahkan sebagai orang yang berkodrat dosa (sinful nature).

Kalau sudah demikian apakah berarti manusia, termasuk Paulus, tidak perlu dihakimi lagi karena sudah nyata berkeadaan berdosa (meleset, hamartolos)? Tentu tidak, tetap harus ada penghakiman.

Pernyataan Paulus di atas dimaksudkan agar orang percaya tidak melakukan kesalahan lagi atau agar orang percaya tidak berdosa dalam arti tidak meleset (Yun. hamartolos).
Dalam hal tersebut orang percaya dipanggil untuk berjuang guna memiliki kesucian seperti kesucian-Nya.

Kesucian dalam hidup orang percaya yang dikehendaki oleh Tuhan bukan hanya bermoral baik, tetapi memiliki keadaan yang tidak bercacat dan tidak bercela di hadapan-Nya, seperti Dia. Penghakiman atas orang percaya adalah penghakiman berdasarkan kesucian Allah.
Jadi perlu kembali ditegaskan bahwa pengertian “dusta” dalam Roma 3:7 bukan menipu secara umum. Sebab dalam kesaksian hidup Paulus dalam Filipi 3:6, ia menyatakan bahwa ia tidak bercela dalam melakukan hukum.

 Dusta di sini bukan menyatakan bahwa Paulus adala penipu dalam pengertian umum, tetapi Paulus termasuk kelompok manusia yang berkeadaan mengingkari perjanjian (Perjanjian dengan Allah) atau tidak setia, sehingga tidak mencapai standar kesucian Allah.

Pernyataan Paulus di ayat 7 tersebut tidak bermaksud kalau Paulus mengajak orang untuk berbuat jahat, agar dengan kejahatan yang dilakukan maka kebenaran Allah atau “yang baik” dari Allah akan muncul. Paulus menulis: Bukankah tidak benar fitnahan orang yang mengatakan, bahwa kita berkata: “Marilah kita berbuat yang jahat, supaya yang baik timbul dari padanya.”

Orang semacam itu sudah selayaknya mendapat hukuman (Rm. 3:8). Dalam ayat 7-8, ditunjukkan kepada Paulus bahwa ada orang yang menuduh Paulus menganjurkan hidup dalam dosa, sebab dengan hidup dalam dosa maka yang baik dari Allah akan muncul.

Mereka salah memahami tulisan Paulus. Terhadap mereka Paulus berkata tegas: Orang semacam itu sudah selayaknya dihukum.
Paulus tidak menganjurkan orang hidup dalam dosa, tetapi sebaliknya, Paulus menganjurkan orang percaya untuk mencari perkenanan Tuhan dengan memiliki kehidupan yang berstandar kesucian-Nya.

Kesalahan memahami tulisan Paulus juga terjadi di zaman kita sekarang. Ada orang-orang yang mengajarkan bahwa oleh iman seseorang diselamatkan, tanpa menunjukkan iman yang benar yang dimaksud Paulus tersebut.
Sebenarnya iman yang dimaksud Paulus dalam kitab Roma adalah iman seperti Abraham, artinya penurutan terhadap kehendak Allah.

Untuk memiliki iman yang benar, dibutuhkan perjuangan dengan serius. Tetapi mereka yang salah memahami ajaran Paulus mengesankan seakan-akan Paulus mengajar bahwa Allah menentukan orang tertentu selamat dan yang lain dibinasakan.
Iman pun dipahami secara mistis, ajaib, dan spektakuler ditaruh Tuhan di dalam diri orang yang terpilih untuk selamat. Ajaran ini memadamkan iman yang benar dan murni yang harus diperjuangkan.

Tidak heran orang-orang yang salah memahami tulisan Paulus ini tidak berusaha untuk hidup dalam standar kesucian Allah. Mereka juga memandang bahwa kebenaran Tuhan dalam kesucian-Nya hanya untuk menunjukkan kebobrokan manusia.
 Padahal kebenaran Tuhan dalam kesucian-Nya menjadi target yang harus dicapai orang percaya. Itulah sebabnya dengan ukuran kesucian ini orang percaya akan dihakimi.

JBU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar