Selanjutnya Paulus menulis di dalam Roma 5:5 Tetapi jika ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah, apakah yang akan kita katakan? Tidak adilkah Allah — aku berkata sebagai manusia — jika Ia menampakkan murka-Nya? Apa maksud tulisannya ini? Kita mulai dengan memahami kalimat atau kata “ketidakbenaran kita”.
Ketidakbenaran kita artinya ketidakmampuan kita (semua manusia) untuk mencapai kesucian Allah. Manusia telah terkunci dalam keadaan tidak mampu mencapai standar yang Allah rencanakan sejak manusia diciptakan oleh-Nya.
Dalam teks aslinya kata “ketidakbenaran” terjemahan dari adikia (ἀδικία). Dalam bahasa Inggris diterjemahkan unrighteousness. Manusia telah kehilangan kemuliaan Allah.
Jika keadaan manusia dibanding dengan kebenaran Allah, maka tidak seorang pun manusia yang benar.
Manusia bisa memiliki moral yang baik atau benar di mata manusia, tetapi tidak atau belum tentu benar di mata Allah.
Adapun kata kebenaran dalam ayat tersebut dalam teks aslinya adalah dikaiosune (δικαιοσύνη). Kata ini digunakan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5:20, Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Kata dikaiosune ini dijadikan atau digunakan Paulus sebagai kebalikan dari kata adikia. Kebenaran di sini artinya sikap atau tindakan yang benar, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, yaitu sikap hati, batin, dan pola berpikir kita.
Kalau dikatakan bahwa “ketidakbenaran kita menunjukkan kebenaran Allah” bisa berarti bahwa keadaaan manusia yang telah mengingkari perjanjian dengan Allah sangat berbeda dengan kesucian Allah.
Kata “menunjukkan” dalam teks aslinya adalah sunistao (συνιστάω) yang memiliki beberapa pengertian di antaranya adalah: menunjukkan, menyetujui, meletakkan pada satu tempat bersama (maksudnya supaya berhadapan).
Kata sunistao bisa berarti seperti membenturkan atau membuat berhadapan dua pihak.
Dalam tulisannya, Paulus mengemukakan kenyataan bahwa manusia dalam keadaan tidak benar (adikia) berhadapan dengan Allah di pihak yang benar (dikaiosune). Keadaan rusak (adikia) manusia membuat keagungan kesucian (dikaiosune) Allah nampak nyata.
Dengan pernyataan tersebut di aspek lain juga hendak menelanjangi keadaan manusia yang berdosa yang telah mengingkari perjanjian dengan Allah.
Allah dalam keberadaan-Nya yang agung dan mulia menunjukkan atau menyingkapkan ketidakbenaran keadaan manusia.
Jadi dengan sendirinya, jika kesucian atau keagungan Pribadi Allah dinyatakan, maka nampak nyata betapa buruknya keadaan manusia ketika dibandingkan dengan kebenaran Allah. Apakah tidak adil atau salah kalau Allah marah dan menghukum manusia? Tentu tidak.
Dalam hal tersebut dinyatakan bahwa Allah memiliki alasan kalau menghukum manusia karena keadaan yang jauh dari standar kesucian Allah tersebut.
Kalau seandainya Allah murka pun, tetap bisa dimengerti dan tidak merusak prinsip keadilan, sebab Ia berhak melakukan hal tersebut.
Apakah kemudian Allah dengan segera murka dan menghukum manusia? Ternyata tidak. Walau Allah memiliki alasan untuk murka dan menghukum manusia.
Allah mengasihi manusia dengan memberikan Putra Tunggal-Nya sebagai solusi untuk melepaskan manusia dari murka-Nya.
Dalam hal ini murka Allah dapat dipadamkan oleh penyelamatan atau karya salib yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.
Selanjutnya dalam Roma 3:6 Paulus menulis: Sekali-kali tidak! Andaikata demikian, bagaimanakah Allah dapat menghakimi dunia? Allah mengerti bahwa manusia yang telah jatuh dalam dosa, berkeadaan jauh dari kesucian yang dikehendaki oleh Allah.
Tetapi Allah tidak menghukum manusia. Allah masih memberi kesempatan kepada manusia untuk diampuni dan dipulihkan; dikembalikan ke rancangan semula agar memiliki kebenaran seperti Diri-Nya.
Di balik tulisannya tersebut, Paulus hendak menegaskan bahwa manusia yang tidak setia atau mengingkari perjanjian (pembohong) dalam keadaan yang telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm 3:23), tetap dikasihi oleh Allah.
Allah dalam anugerah-Nya memberi kesempatan kepada manusia untuk diperbaiki agar dapat dikembalikan ke rancangan semula.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus menuntut agar orang percaya memiliki kebenaran (dikaiosune) lebih dari manusia lain, bahkan tokoh-tokoh agama.
Bagi umat Perjanjian Lama dan mereka yang tidak mendengar Injil (bangsa-bangsa lain), Allah tidak atau belum menghakimi manusia dengan ukuran kesucian-Nya, sebab jika Ia melakukan hal itu, maka tidak ada orang yang bisa didapati berkenan atau dapat dibenarkan.
Mereka dihakimi hanya berdasarkan perbuatan sesuai dengan hukum yang mereka pahami.
Sebelum Allah memberi kesempatan manusia untuk memperbaiki diri sesuai ukuran kesucian-Nya melalui karya Kristus, Ia belum menghakimi berdasarkan kesucian-Nya. Dalam hal ini, penghakiman Allah nanti bukan saja atas perbuatan berdasarkan hukum, tetapi juga berdasarkan kesucian-Nya.
Pada zaman sebelum zaman anugerah, Allah belum mengakhiri sejarah dunia dan belum menghakimi manusia, karena memang jelas-jelas manusia tidak ada yang mampu mencapai kesucian Allah.
Tetapi suatu hari nanti penghakiman digelar ketika terdapat manusia yang sudah bisa berkenan kepada Tuhan (2Kor. 5:9-10).
JBU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar