Sabtu, 16 November 2019

Renungan Harian 12 November 2019 BUKAN HANYA STATUS, MELAINKAN RELASI

     Oleh kurban Yesus di kayu salib, orang percaya dibawa kepada Bapa seakan-akan bukan sebagai orang berdosa, bukan sebagai orang bersalah. Di hadapan Allah, orang percaya dibenarkan (Lt. justificatio; Ing. justification). Namun, orang percaya yang dibenarkan tersebut belum benar-benar berkeadaan benar. Kemudian. Roh Allah ditaruh dalam diri orang percaya sebagai meterai. Roh Allah diberikan agar menuntun orang percaya kepada seluruh kebenaran. Maksudnya adalah untuk mengubah manusia, dari manusia yang berkodrat dosa menjadi manusia yang berkodrat ilahi. Perubahan tersebut secara mutlak harus terjadi atau berlangsung sebab kalau manusia tidak mengalami perubahan menjadi berkodrat ilahi, ia tidak akan pernah dapat memiliki hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal dengan Allah. Hal ini harus menjadi pengalaman riil, bukan sekadar sebagai fantasi atau “sesuatu yang dipercayai dalam nalar.”

     Kalau ada seorang anak gelandangan diadopsi menjadi anak seorang bangsawan, anak tersebut harus mengalami perubahan atau diubah. Perubahan itu bukan hanya statusnya, melainkan karakternya juga harus berubah: dari karakter gelandangan menjadi seorang yang berkarakter bangsawan. Namun, perubahan karakter tersebut harus terjadi karena sekarang sang bangsawan mengingini suatu hubungan eksklusif dengan anak adopsinya: hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal. Kalau karakter dan kebiasan hidup anak tersebut tidak berubah, ia tidak akan “nyambung” dengan ayahanda angkatnya. Demikian pula orang percaya dalam relasinya dengan Allah sebagai Bapa yang mengangkat atau mengadopsinya. Bapa menghendaki suatu hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.

     Itulah sebabnya orang percaya dikehendaki bukan hanya segambar dengan Allah— artinya memiliki komponen-komponen yang Allah juga miliki—melainkan juga berkeberadaan serupa dengan Allah. Serupa dengan Allah maksudnya adalah bahwa kualitas komponen-komponen yang dimiliki manusia—yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak—harus berkualitas tinggi. Kualitas tinggi tersebut menyangkut moral dan kecerdasan rohaninya sehingga bisa mengimbangi keagungan pribadi Allah sebagai Bapa. Manusia menjadi serupa dengan Allah berarti bahwa manusia bukan hanya memiliki komponen-komponen yang ada pada Allah—yaitu memiliki pikiran, dan perasaan—melainkan juga memiliki kehendak yang selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.

     Dengan demikian, orang percaya bukan hanya segambar dengan Allah, melainkan juga serupa dengan Allah. “Serupa” berarti kualitas hidup orang percaya bisa mengimbangi Bapa. Tuhan Yesus-lah manusia yang sesuai rancangan Allah semula sehingga dapat menjadi model manusia yang Allah kehendaki, yang dapat bersekutu secara ideal dengan Bapa (Yoh. 17:20-21). Itulah sebabnya semua orang yang diselamatkan harus menjadi seperti Yesus sebab kalau tidak seperti Dia, manusia tidak akan memiliki relasi dengan Bapa secara ideal dan proporsional. Dengan demikian syarat satu-satunya untuk dapat memiliki hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal adalah menjadi seperti Yesus. Jadi, kalau orang tidak semakin seperti Yesus, berarti ia belum memiliki persekutuan yang ideal dengan Bapa.

     Kalau orang percaya tidak ngotot untuk hidup tidak bercacat, tidak sungguh-sungguh untuk hidup tidak bercela, tidak ngotot hidup suci, tidak ngotot hidup serupa dengan Yesus, orang percaya itu tidak akan bersentuhan dengan Allah. Allah itu tidak kelihatan. Dia mengutus Putra Tunggal-Nya turun ke dunia selama 33,5 tahun untuk memberikan suatu role model bagaimana menjadi manusia yang bisa bersekutu dengan Allah. Itulah sebabnya di Yohanes 17, ketika Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa di surga, Ia berkata, “Mereka (orang percaya) bukan dari dunia ini, sama seperti Aku bukan dari dunia ini.” Begitu seseorang menjadi anak-anak Allah, ia terklasifikasi bukan berasal dari dunia ini. Doa Yesus untuk mereka adalah, “Kuduskan mereka dalam kebenaran, firman-Mu adalah kebenaran. Lindungi mereka dari yang jahat,” artinya “jadikan mereka kudus seperti Kita.”

     Tentu Roh Allah atau Roh Kudus menuntun orang percaya supaya memenuhi doa Yesus yang tertulis dalam Yohanes 17:20-212 yang berbunyi, “Seperti Aku (Yesus) dalam Engkau (Bapa), Engkau dalam Aku, mereka (orang percaya) dalam Kita (Bapa dan Anak).” Jika hal ini dapat dicapai, maksud keselamatan yang disediakan oleh Yesus dapat tercapai pula. Persekutuan ini menjadi awal dari persekutuan dengan Allah Bapa di kekekalan. Orang yang tidak memiliki pengalaman konkret hidup dalam persekutuan dengan Allah Bapa, dan Tuhan Yesus, tidak akan memiliki persekutuan dengan Bapa dan Tuhan Yesus selamanya. Ini berarti ia tidak akan masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan.

https://overcast.fm/+IqOBeSla4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar