Dalam Amsal 30:18-19 tertulis sebagai berikut, “Ada tiga hal yang mengherankan aku, bahkan, ada empat hal yang tidak kumengerti: jalan rajawali di udara, jalan ular di atas cadas, jalan kapal di tengah-tengah laut, dan jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis.” Kata “yang mengherankan” berasal dari kata bahasa Ibrani, pawlaw ( ָּפ א ל ), yang bisa berarti sesuatu “yang menakjubkan” atau “memukau” karena luar biasa (to be marvellous, be wonderful). Penulis Amsal menunjukkan kekagumannya terhadap karya Allah yang luar biasa tersebut. Salah satunya adalah “jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis.” Frasa ini dalam bahasa Inggris diterjemahkan “the way of a man with a virgin.” Hal ini menunjuk relasi yang menakjubkan kalau seorang pria dan wanita saling jatuh cinta. Relasi yang terbangun antara kedua insan tersebut adalah keajaiban yang Allah ciptakan.
Kecakapan Allah bukan hanya ditunjukkan dengan menciptakan alam semesta beserta hukum-hukumnya, melainkan juga hubungan antar pribadi yang merupakan bukti atau ekspresi dari keahlian Tuhan semesta alam. Allah juga menciptakan segala tatanan atau hukum alam, seperti: jalannya kapal di atas air yang sesuai dengan Hukum Archimedes, salah satu hukum dari sekian banyak hukum yang mengatur kehidupan. Allah juga menciptakan relasi istimewa antara diri-Nya dengan orang percaya. Dalam Efesus 5:31- 32, Paulus menjelaskan hubungan istimewa antara pria dan wanita yang terikat dalam hubungan suami istri, yang dinilai mengandung misteri, dan ternyata dapat menjadi lambang hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Paulus menulis, “This is a great mystery: but I speak concerning Christ and the church” (Alkitab terjemahan King James Version dari Ef. 5:32). Dalam tulisan yang lain Paulus menunjukkan bahwa hubungan jemaat dengan Tuhan Yesus itu sebagai hubungan mempelai pria dengan mempelai wanita (2Kor. 11:2- 3). Perjalanan hidup orang percaya adalah perjalanan menemukan hubungan yang luar biasa antara orang percaya sebagai mempelai wanita dengan Yesus sebagai mempelai pria, dan juga hubungan antara orang percaya sebagai anak dengan Allah sebagai Bapa.
Agar manusia sebagai anak bisa berinteraksi dengan Allah sebagai Bapanya, manusia harus memiliki komponen-komponen yang ada pada Allah dan juga memiliki kualitas yang baik atas komponen-komponen tersebut. Itulah sebabnya manusia diciptakan menurut gambar Allah dan juga dikehendaki untuk memiliki rupa atau kualitas seperti yang dikehendaki Allah. Komponen-komponen yang ada pada diri manusia yang juga ada pada diri Allah adalah pikiran dan perasaan. Dengan pikiran dan perasaan tersebut, manusia dapat membangun kehendak atau keinginan. Dengan keinginan atau kehendak, manusia bisa memilih untuk hidup dalam pemberontakan atau penurutan terhadap Allah. Ini berarti manusia dapat memilih untuk mengasihi dan menghormati Allah, atau tidak mengasihi dan tidak menghormati Dia. Dengan keberadaan manusia seperti ini, terbuka peluang terjadinya sebuah dinamika yang tulus, jujur, dan natural antara Allah dan manusia.
Kalau manusia didesain untuk harus mengasihi dan menghormati Allah—sehingga manusia secara otomatis melakukannya—tidak ada dinamika yang tulus, jujur, dan natural antara Allah dan manusia. Dalam hal ini, arah dan nasib manusia seakan-akan sudah ditentukan oleh Allah. Jelas, ini tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Kebenaran adanya kehendak bebas supaya manusia bisa ber-“fellowship” dengan Allah sebagai Bapa dengan tulus, jujur ,dan natural ditunjukkan dengan fragmen Allah menempatkan dua buah pohon di Taman. Allah memberi nasihat dan peringatan kepada Adam dan Hawa yang mewakili manusia yang akan dihadirkan di bumi. Kemudian faktanya, Allah tidak mencegah ketika mereka memetik buah yang dilarang untuk dikonsumsi tersebut. Tentu sebagai akibat dan konsekuensinya adalah manusia gagal memiliki kehidupan yang berkualitas untuk dapat membangun relasi dengan Allah sebagai Bapa.
Dinamika relasi yang indah yang seharusnya terbangun antara manusia sebagai anak dan Allah sebagai Bapa telah gagal karena manusia tidak mencapai standar kualitas manusia yang serupa dengan Allah. Manusia memang masih memiliki pikiran dan perasaan, dan manusia masih bisa memiliki kehendak atau keinginan, tetapi kehendak atau keinginan manusia terkunci dalam keadaan tidak akan pernah mampu mencapai standar kesucian Allah. Dalam hal ini, manusia telah kehilangan kemuliaan Allah seperti yang dikemukakan Paulus di dalam Roma 3:23. Dalam teks aslinya kata “kehilangan” adalah yustereo, yang lebih tepat diterjemahkan kekurangan atau tidak mencapai standar. Karena manusia tidak mencapai standar kesucian Allah, manusia tidak bisa membangun hubungan yang sepatutnya dengan Allah sebagai Bapa. Kesempatan hidup di bumi sebagai orang percaya harus dipergunakan hanya untuk menyelesaikan dengan sempurna panggilan agar memiliki relasi dengan Allah tersebut.
https://overcast.fm/+IqOCh9pOc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar