Oleh karena kasih-Nya, Allah mengunci manusia dengan keadaan di mana ia tidak akan pernah dapat dipuaskan tanpa Allah sebagai Bapanya dalam atau melalui relasi yang ideal. Hal ini dimaksudkan agar manusia hidup hanya untuk mencari dan bergantung kepada Allah sebagai Bapanya. Mencari dan bergantung kepada Allah bukan karena pemenuhan kebutuhan jasmani atau karena hal apa pun, melainkan karena kebutuhan untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah guna memuaskan dahaga jiwa. Dengan demikian, manusia tidak akan pernah dapat hidup terpisah dari Allah sebagai Bapa. Allah mengunci manusia dengan cara menaruh keadaan unik dan istimewa dalam dirinya tersebut. Keadaan unik yang ada pada manusia ini tidak ada dalam makhluk lain. Keadaan unik itu ialah seperti adanya rongga kosong dalam jiwa manusia yang tidak bisa diisi oleh siapa pun dan apa pun selain oleh Allah sendiri.
Allah sebagai Bapa yang menciptakan langit dan bumi juga menciptakan manusia dengan keadaan memiliki rongga kosong di dalam diri manusia yang hanya bisa diisi oleh Allah sebagai Bapa. Dalam hal ini, Allah mengunci manusia dengan kehausan yang tidak dapat dipuaskan oleh siapa pun dan apa pun selain oleh Allah sendiri. Tuhan Yesus menyatakan bahwa jika manusia minum air dari dunia ini, ia akan menjadi haus lagi; tetapi kalau ia minum air yang diberikan oleh Tuhan Yesus, ia akan menjadi puas (Yoh. 4:13-14). Air yang dimaksud adalah persekutuan dengan Allah sebagi Bapa. Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa diri-Nya adalah Air Kehidupan. Tentu maksudnya adalah dengan menemukan Yesus, manusia dipertemukan dengan Allah sebagai Bapanya sebab Yesus adalah satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup untuk dapat sampai kepada Bapa.
Sebenarnya, kehausan jiwa terhadap Allah sudah disadari oleh umat Perjanjian Lama, sehingga mereka bisa mengatakan, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (Mzm. 42:2-3). Di bagian lain, terdapat pengakuan ini, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm. 73:25-26). Hal ini bisa dialami oleh mereka yang memiliki persekutuan dengan Allah. Mereka menyadari kehausan jiwa seperti itu. Namun faktanya, memang sangat sedikit umat Perjanjian Lama yang menyadari akan kehausan ini.
Dengan demikian, rongga kosong yang membuat manusia bisa merasakan kehausan tersebut menjadi ikatan yang kudus bagi manusia dengan Allah Bapa. Ini bukan ikatan yang membinasakan, melainkan ikatan yang menghidupkan. Manusia justru seharusnya bersyukur dengan adanya ikatan tersebut sebab tanpa ikatan ini manusia menjadi liar dan terhilang. Inilah belenggu yang memerdekakan. Sebaliknya, kalau manusia terpisah atau merdeka dari Allah, manusia justru memosisikan dirinya dalam belenggu kebinasaan.
Oleh kasih-Nya, Bapa menempatkan kehausan akan diri-Nya dalam kehidupan manusia yang adalah anak-anak-Nya, agar manusia tidak dapat terpisah dari diri- Nya sebagai Bapanya. Sesungguhnya, inilah yang membatasi manusia. Manusia bisa tidak dibatasi dalam daya nalar dan intelektual atau rasionya. Bahkan kemungkinan besar, manusia bisa menciptakan segala sesuatu yang tidak terbatas, meskipun tentu tidak akan pernah bisa menyamai Allah. Namun bagaimana pun, manusia tidak pernah akan dapat dibebaskan dari kehausan yang kudus, yaitu kehausan untuk memiliki persekutuan dengan Allah, Bapanya. Kalau orang tidak memiliki kehausan yang kudus, yaitu kehausan akan Allah, Bapanya, ia akan terjebak dengan kehausan terhadap perkara-perkara dunia fana ini.
Dalam keadaan manusia yang sudah rusak, manusia bisa tidak merasa terikat dengan Allah, malahan semakin memberontak. Manusia akan semakin menjauh dari Allah dengan mengingini banyak hal dalam dunia ini. Banyak orang Kristen yang belum menyadari keadaan mereka yang masih terbelenggu dengan percintaan dunia, sehingga jika hal itu tidak diakhiri orang Kristen itu akan binasa. Pada dasarnya, setiap orang harus memilih, apakah terikat dengan Alah sebagai Bapanya atau terikat dengan dunia di mana Iblis yang menjadi bapanya. Sejak hidup di dunia ini seseorang harus benar-benar memutuskan siapakah yang akan menjadi Bapanya. Kalau orang percaya menjadikan Allah sebagai Bapanya, ketika menutup mata, Bapa akan mengutus malaikat-Nya untuk menjemputnya pulang ke rumah Bapa.
https://overcast.fm/+IqODPTHIU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar