Banyak orang memiliki kecerdasan dalam mempersiapkan diri menghadapi segala sesuatu yang bisa terjadi di hari depannya di bumi ini. Sesuatu yang bisa terjadi tersebut mungkin adalah bencana alam, kecelakaan saat berkendara, kebakaran rumah, sakit tubuh, kehilangan barang karena dicuri atau dirampok, kebutuhan uang anak-anak sekolah, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya mereka mengasuransikan jiwa, kesehatan, dan segala sesuatu kepada agen-agen asuransi yang bisa menjamin, memberi bantuan, dan topangan bila hal-hal tersebut terjadi. Dengan mengasuransikan jiwa, kesehatan, dan segala sesuatu tersebut, seseorang merasa aman, hatinya lebih tenang. Asuransi dipandang seperti tangan kuat yang bisa menopang hidup mereka.
Tentu tidak salah mengasuransikan diri, harta, dan lain sebagainya kepada perusahaan asuransi. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab atas keadaan hidup yang serba tidak menentu. Segala sesuatu bisa berubah setiap saat di luar dugaan, prediksi, perhitungan, dan kekuatan manusia. Inilah dunia yang sudah jatuh, dunia yang tidak akan pernah dapat memberi ketenangan hidup. Dunia seperti ini bukanlah tempat hunian ideal. Dunia semacam ini bukanlah dunia yang dirancang Tuhan sejak semula. Semua kejadian yang bisa terjadi dalam hidup seseorang, yang oleh karenanya seseorang berurusan dengan perusahaan asuransi, adalah hal-hal yang masih bersifat spekulatif. Bersifat spekulatif artinya bisa terjadi tetapi juga bisa tidak pernah terjadi; seperti kecelakaan, kebakaran, dan lain sebagainya. Semua itu tidaklah pasti.
Kalau untuk hal-hal yang tidak pasti seseorang bersedia mengasuransikan jiwa, kesehatan, dan segala sesuatu,—artinya bersikap berjaga-jaga sebagai antisipasinya— mengapa untuk satu hal yang pasti terjadi, yaitu “kematian” dan di balik kematian ada penghakiman, seseorang tidak mempersoalkannya dengan serius: dengan mempersiapkan diri lebih serius? Penghakiman terakhir nanti menentukan apakah seseorang diperkenan masuk kemuliaan kekal, yaitu Kerajaan Surga, atau terbuang masuk kehinaan kekal, yaitu terbuang dari hadirat Allah selamanya ke dalam api kekal. Kematian dan penghakiman yang menentukan seseorang masuk surga atau neraka adalah hal yang pasti harus dihadapi oleh setiap insan. Ini merupakan realitas yang tidak seorang pun dapat menghindarinya. Allah sendiri tidak dapat menghindarkan manusia dari realitas tersebut karena itu merupakan tatanan Allah yang ada di dalam diri-Nya, yang Allah sendiri tidak akan pernah menyangkalinya.
Kalau untuk menghadapi segala sesuatu yang bisa terjadi dalam kehidupan ini— bertalian dengan hal-hal fana, yaitu pemenuhan kebutuhan jasmani—seseorang mengasuransikan diri—karena memang ada yang menanggungnya—namun untuk kehidupan setelah kematian, tidak ada asuransi yang bisa menanggung. Masing-masing individu harus menanggungnya, yaitu dengan cara mempersiapkan diri agar saat ia menghadap takhta pengadilan Kristus, ia dapat mempertanggungjawabkan dirinya dengan baik. Dalam Lukas 21:36 Yesus menyatakan, “Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.” Kata “berdiri” dalam teks aslinya adalah stathenai (σταθῆναι), dari akar kata histemi (ἵστημι), yang berarti stand firm (berdiri teguh).
Maksud “berdiri teguh” di hadapan Anak Manusia sebagai hakim adalah bisa mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang dilakukan selama hidup di bumi ini, yaitu mengisi kehidupan sesuai dengan maksud Allah memberikan kehidupan. Hal mana ini sama artinya dengan memenuhi panggilan sebagai orang percaya atau anak tebusan Tuhan Yesus. Panggilan tersebut adalah menjadi anak-anak Allah. Menjadi anak-anak Allah berarti menjadi manusia yang berkodrat ilahi sama seperti Bapa. Inilah tujuan keselamatan yang disediakan oleh Tuhan Yesus. Hanya jika seseorang mencapai kehidupan seperti ini, barulah ia dapat menyenangkan hati Bapa. Inilah yang dimaksud oleh Tuhan Yesus dengan melakukan kehendak Bapa atau berkenan di hadapan Allah, yang untuk hal tersebut, Paulus berjuang (2Kor. 5:9-19).
Setiap orang percaya harus memiliki perasaan krisis terkait dengan kenyataan adanya kemungkinan bahwa dirinya belum pasti berkeadaan berkenan di hadapan Allah. Itulah sebabnya orang percaya harus mempersiapkan diri menghadap takhta pengadilan Tuhan; menyelesaikan secara sempurna proses pembentukan diri untuk memiliki kekudusan seperti Allah dan keserupaan dengan Yesus serta menyelesaikan pekerjaan yang Allah berikan sebagai tanggung jawab masing-masing individu.
https://overcast.fm/+IqOBtccbI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar