Pada zaman anugerah, Tuhan membuka kesempatan bagi manusia untuk menjadi anak- anak Allah, yaitu hidup dalam pimpinan Roh Allah. Roh Allah berkenan kembali diberikan untuk diam di dalam diri manusia. Inilah yang dijanjikan Tuhan Yesus, bahwa lebih berguna bagi orang percaya, jika Dia pergi. Sebab jikalau Dia tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepada orang percaya; tetapi jikalau Dia pergi, Dia akan mengutus Roh Kudus kepada orang percaya (Yoh. 16:7). Orang percaya adalah orang yang sungguh beruntung, karena menjadi orang yang terpilih untuk bisa hidup dalam pimpinan Roh Kudus. Oleh sebab itu, hendaknya orang percaya tidak mendukakan Roh Kudus yang telah dimateraikan kepada orang percaya. Jangan sampai peristiwa di Kejadian 6 terulang lagi, yaitu karena manusia tidak hidup dalam pimpinan Roh Kudus–selalu hidup dalam kedagingan–maka Roh Allah undur. Inilah yang disebut sebagai menghujat Roh Kudus. Menghujat Roh Kudus berarti menolak karya Roh Kudus yang menuntun untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Bila kesempatan ini tidak dihargai, maka tidak akan ada lagi kesempatan kedua.
Dalam Ibrani 12:8 terdapat kata “anak gampang.” Apa sebenarnya maksudnya? Dalam teks asli Alkitab, kata “anak gampang” di sini adalah “nothos” (νόθος), yang artinya anak yang tidak resmi (Ing. illegitimate son). Kata ini juga bisa berarti anak haram (Ing. bastard). Dalam bahasa Yunani, selain kata nothos, juga ada kata huios (υἱός) yang artinya anak dalam, anak yang resmi atau anak yang sungguh-sungguh memiliki pertalian keluarga atau anak yang sah (Ing. kinship). Kata ini juga digunakan sebagai sebutan bagi Yesus yang adalah Anak Allah. Jadi, ada anak yang berstatus sebagai anak sah yang akan mewarisi kekayaan dan keagungan orangtua, atau seperti Pangeran, tetapi ada anak gampang, anak yang tidak sah yang tidak akan mewarisi kekayaan orangtua. Dalam kehidupan orang Kristen juga terdapat orang-orang yang tergolong sebagai nothos dan sebagai huios.
Berbicara mengenai anak-anak Allah, perlu kita meninjau Yohanes 1:12, “bagi mereka yang percaya, diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah.” Kata “kuasa” berasal dari teks aslinya, exousia (ἐξουσία), yang artinya hak istimewa yang membuat seseorang memiliki fasilitas untuk bisa menjadi anak-anak Allah. Fasilitas itu adalah pemeliharaan Tuhan, Roh Kudus, Firman dan penggarapan intensif Allah atas orang yang mengasihi Dia. Jadi kuasa itu tidak otomatis membuat seorang Kristen menjadi anak-anak Allah. Tetapi kuasa itu diberikan supaya orang percaya memiliki karakter seperti Bapa. Tentu saja orang yang tidak memiliki karakter seperti Bapa tidak pantas menyebut dirinya sebagai anak-anak Allah. Ciri dari orang Kristen yang sah sebagai anak-anak Allah adalah ketika seseorang memiliki karakter Bapa.
Alkitab menulis bahwa semua orang yang menerima-Nya, diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yoh. 1:1-12). Kata “menerima” di dalam teks ini, bahasa aslinya adalah elabon (ἔλαβον), dari akar kata lambano (λαμβάνω), yang selain berarti menerima (to accept), juga berarti to get hold of (berpegang tetap). Kata ini bisa menimbulkan berbagai penafsiran. Tetapi pada umumnya banyak orang Kristen berpikir bahwa kalau mulutnya sudah mengaku Yesus adalah Tuhan dan hatinya merasa percaya, berarti ia sudah menerima Dia. Kemudian ia merasa bahwa dirinya sudah selamat. Ini tidak benar. Hendaknya orang percaya tidak menyederhanakan kata “menerima” dalam Yohanes 1:12 ini. Menerima Yesus berarti mengakui bahwa Dia adalah Majikan yang harus dipatuhi dalam segala hal.
Pada waktu seseorang dengan mulut mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ia diberi kuasa atau hak supaya menjadi anak-anak Allah. Ini belum tentu membuat dia sudah sah sebagai anak-anak Allah (Yun. huios). Ia masih berstatus nothos, yang artinya anak yang belum sah. Jika kemudian ia memanfaatkan kuasa atau hak itu, maka ia akan bertumbuh menjadi anak-anak Allah yang sah. Jika tidak, maka ia tidak akan bertumbuh dan menjadi anak-anak Allah yang sah. Ciri dari nothos adalah tidak mau dihajar dan diajar Bapa (Ibr. 12). Dalam hal ini respons seseorang terhadap keselamatan yang Tuhan berikan sangat penting artinya. Tanpa respons, seseorang tidak akan menjadi anak-anak Allah yang sah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata, “Berjuanglah melalui pintu yang sesak” (Luk. 13:23-24). Paulus juga berkata, “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Flp. 2:12). Orang percaya harus berjuang untuk menjadi anak-anak Allah yang sah. Oleh sebab itu, sisa umur ini hanya untuk menyelesaikan hal ini dengan sempurna.
https://overcast.fm/+IqOBkYQHs
Kumpulan dari Khotbah, Seminar dan hal lain yang berhubungan dengan Gereja Rehobot Ministry
Sabtu, 16 November 2019
Renungan Harian 15 November 2019 MANUSIA ADALAH ANAK-ANAK ALLAH
Menjadi anak-anak Allah sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Namun, banyak orang tidak menyadarinya. Selama bertahun-tahun, para teolog Kristen menentang keras kalau ada usaha yang mencoba untuk menyejajarkan Allah dengan manusia. Memang benar, Allah tidak bisa disejajarkan dengan apa pun dan siapa pun, apalagi disejajarkan dengan ciptaan-Nya, seperti manusia. Namun, sikap tersebut jangan sampai menjadi ekstrem sehingga gagal menempatkan manusia pada proporsinya. Manusia ditempatkan sekadar sebagai makhluk ciptaan yang tidak memiliki unsur keilahian sama sekali, seakan-akan manusia sama dengan ciptaan Allah yang lain. Unsur “keilahian” manusia artinya adalah adanya unsur-unsur dalam diri manusia, yang sama dengan yang ada pada Allah sebagai “Master Planner”-nya. Unsur-unsur itu adalah kemampuan moralnya. Alkitab jelas menunjukkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Pernyataan ini sendiri sudah memberikan indikasi bahwa pasti ada unsur-unsur yang ada pada Allah, yang juga ada pada manusia.
Dalam Alkitab dikatakan bahwa Adam adalah anak Allah (Luk. 3:38). Paulus menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Allah (Kis. 17:28-29). Kata “keturunan” dalam teks aslinya adalah genos (ένος), yang artinya keturunan (Ing. offspring, race, stock, descendants), kata yang sama digunakan untuk pengertian keturunan secara umum. Pernyataan ini bukan bermaksud meninggikan derajat manusia dan melecehkan Allah. Paulus,—seseorang yang dapat dipercayai—yang memiliki karunia untuk menyampaikan pesan Allah, menyatakan demikian. Pernyataan Paulus ini bukan tidak berdasar sebab kalau kita memerhatikan kisah penciptaan manusia, kita dapati bahwa “roh” manusia bukanlah sesuatu yang berasal dari sumber lain. Roh manusia bukan diciptakan, tetapi “dikeluarkan” dari dalam diri Allah. Jadi roh manusia adalah roh yang berasal dari Allah sendiri. Roh manusia tidak bisa dikatakan “diciptakan” sebab roh manusia keluar dari diri Allah ketika Allah mengembuskan nafas-Nya (Kej. 2:7). Tentu saja ketika Allah mengembuskan “sesuatu.” Ia tidak perlu menarik nafas terlebih dahulu. Ini berarti ada sesuatu yang berasal dari dalam diri Allah mengalir keluar.
Itulah sebabnya dikatakan dalam Yakobus 4:5 bahwa “Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu.” Ia menghendaki roh manusia sebab roh itu milik-Nya. Dalam Ibrani 12:9 dikatakan bahwa “Allah adalah Bapa segala roh,” artinya, semua roh yang ada itu berasal dari Dia, termasuk roh manusia juga berasal dari Allah Bapa. Itulah sebabnya pula dengan tegas Alkitab menyatakan bahwa orang percaya adalah “manusia Allah” (Ing. man of God; Yun. anthrope tou theou—ἄνθρωπε τοῦ θεοῦ; 1Tim. 6:11). Maksud “manusia Allah” di sini bukan berarti bahwa manusia sejajar dengan Allah atau bisa menjadi Allah, melainkan manusia bisa memiliki karakter atau moral seperti Allah yang adalah Bapanya.
Manusia adalah makhluk yang sangat berharga di mata Allah Bapa. Kalau berharga di mata Allah Bapa, ini tentu memang berarti sangat berharga adanya. Allah tidak akan menghargai sesuatu yang memang tidak memiliki nilai. Keberhargaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah anak-anak Allah Bapa. Di dalam diri manusia, Allah menempatkan roh yang berasal dari diri-Nya (Kej. 2:7; Yak. 4:5). Secara tidak langsung, manusia adalah bagian dari diri dan hidup Allah sebagai Bapa, sebagaimana di dunia ini, anak-anak adalah bagian hidup dari orangtuanya. Itulah sebabnya Allah Bapa menghendaki roh itu kembali kepada-Nya (Pkh. 12:7). Dengan demikian, bisa dimengerti kalau Allah Bapa rela memberikan Putra Tunggal-Nya. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa nilai jiwa manusia seharga dengan nilai Putra Tunggal-Nya. Nilai Putra Tunggal- Nya itu tak terhingga sebab Dia adalah anak Tunggal Bapa; Anak satu-satunya, yang berbeda dari anak-anak yang lain.
Dalam hal ini, demi menyelamatkan manusia, Allah Bapa seakan-akan memberikan diri- Nya sendiri. Dengan demikian, betapa mahalnya harga keselamatan yang Allah Bapa dan Tuhan Yesus berikan tersebut! Itulah sebabnya orang percaya tidak boleh menyia- nyiakan keselamatan yang begitu besar (Ibr. 2:3). Penjelasan ini dimaksudkan agar orang percaya sadar bahwa sebagai anak-anak Allah adalah seseorang yang harus memiliki moral Allah, Bapa semua orang percaya. Itulah sebabnya pula, Tuhan Yesus mengatakan dengan tegas bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 5:48). Dengan kesempurnaan seperti Bapa, orang percaya dapat memiliki fellowship dengan Bapa secara ideal sehingga antara kedua belah pihak, dari hati ke hati, bisa memiliki relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.
https://overcast.fm/+IqOB6F8oQ
Dalam Alkitab dikatakan bahwa Adam adalah anak Allah (Luk. 3:38). Paulus menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Allah (Kis. 17:28-29). Kata “keturunan” dalam teks aslinya adalah genos (ένος), yang artinya keturunan (Ing. offspring, race, stock, descendants), kata yang sama digunakan untuk pengertian keturunan secara umum. Pernyataan ini bukan bermaksud meninggikan derajat manusia dan melecehkan Allah. Paulus,—seseorang yang dapat dipercayai—yang memiliki karunia untuk menyampaikan pesan Allah, menyatakan demikian. Pernyataan Paulus ini bukan tidak berdasar sebab kalau kita memerhatikan kisah penciptaan manusia, kita dapati bahwa “roh” manusia bukanlah sesuatu yang berasal dari sumber lain. Roh manusia bukan diciptakan, tetapi “dikeluarkan” dari dalam diri Allah. Jadi roh manusia adalah roh yang berasal dari Allah sendiri. Roh manusia tidak bisa dikatakan “diciptakan” sebab roh manusia keluar dari diri Allah ketika Allah mengembuskan nafas-Nya (Kej. 2:7). Tentu saja ketika Allah mengembuskan “sesuatu.” Ia tidak perlu menarik nafas terlebih dahulu. Ini berarti ada sesuatu yang berasal dari dalam diri Allah mengalir keluar.
Itulah sebabnya dikatakan dalam Yakobus 4:5 bahwa “Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu.” Ia menghendaki roh manusia sebab roh itu milik-Nya. Dalam Ibrani 12:9 dikatakan bahwa “Allah adalah Bapa segala roh,” artinya, semua roh yang ada itu berasal dari Dia, termasuk roh manusia juga berasal dari Allah Bapa. Itulah sebabnya pula dengan tegas Alkitab menyatakan bahwa orang percaya adalah “manusia Allah” (Ing. man of God; Yun. anthrope tou theou—ἄνθρωπε τοῦ θεοῦ; 1Tim. 6:11). Maksud “manusia Allah” di sini bukan berarti bahwa manusia sejajar dengan Allah atau bisa menjadi Allah, melainkan manusia bisa memiliki karakter atau moral seperti Allah yang adalah Bapanya.
Manusia adalah makhluk yang sangat berharga di mata Allah Bapa. Kalau berharga di mata Allah Bapa, ini tentu memang berarti sangat berharga adanya. Allah tidak akan menghargai sesuatu yang memang tidak memiliki nilai. Keberhargaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah anak-anak Allah Bapa. Di dalam diri manusia, Allah menempatkan roh yang berasal dari diri-Nya (Kej. 2:7; Yak. 4:5). Secara tidak langsung, manusia adalah bagian dari diri dan hidup Allah sebagai Bapa, sebagaimana di dunia ini, anak-anak adalah bagian hidup dari orangtuanya. Itulah sebabnya Allah Bapa menghendaki roh itu kembali kepada-Nya (Pkh. 12:7). Dengan demikian, bisa dimengerti kalau Allah Bapa rela memberikan Putra Tunggal-Nya. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa nilai jiwa manusia seharga dengan nilai Putra Tunggal-Nya. Nilai Putra Tunggal- Nya itu tak terhingga sebab Dia adalah anak Tunggal Bapa; Anak satu-satunya, yang berbeda dari anak-anak yang lain.
Dalam hal ini, demi menyelamatkan manusia, Allah Bapa seakan-akan memberikan diri- Nya sendiri. Dengan demikian, betapa mahalnya harga keselamatan yang Allah Bapa dan Tuhan Yesus berikan tersebut! Itulah sebabnya orang percaya tidak boleh menyia- nyiakan keselamatan yang begitu besar (Ibr. 2:3). Penjelasan ini dimaksudkan agar orang percaya sadar bahwa sebagai anak-anak Allah adalah seseorang yang harus memiliki moral Allah, Bapa semua orang percaya. Itulah sebabnya pula, Tuhan Yesus mengatakan dengan tegas bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 5:48). Dengan kesempurnaan seperti Bapa, orang percaya dapat memiliki fellowship dengan Bapa secara ideal sehingga antara kedua belah pihak, dari hati ke hati, bisa memiliki relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.
https://overcast.fm/+IqOB6F8oQ
Renungan Harian 14 November 2019 JALAN MENEMUKAN BAPA
Ada orang-orang yang berusaha menemukan Allah, merasakan kehadiran-Nya, dan mengalami Allah hanya pada waktu berlutut untuk berdoa. Mereka mengalami kesulitan menghadirkan hadirat Allah atau menembus semacam kabut hitam untuk bisa menjumpai Allah. Solusinya adalah bahwa setiap hari kita harus hidup dalam kesucian dan kekudusan Allah dalam segala hal; pikiran harus selalu bersih dan tidak lagi dapat dibahagiakan oleh fasilitas materi dunia dengan segala hiburannya. Dengan upaya itu, seseorang dapat menemukan Allah, merasakan kehadiran-Nya, dan mengalami hadirat Allah, bukan hanya pada waktu berlutut berdoa, melainkan justru bagaimana ia mengisi hari-hari dalam kehidupan seperti yang Yesus jalani. Tanpa memiliki kehidupan yang Yesus jalani, seseorang tidak akan dapat bersentuhan dan menjumpai Allah yang benar.
Allah yang kudus tidak dapat dijumpai oleh orang-orang yang hidupnya masih kotor. Itulah sebabnya dalam 1 Petrus 1:16-17, Firman Tuhan mengatakan, “Sebab ada tertulis: ‘Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.’” Allah menghubungkan kekudusan-Nya dengan kekudusan yang harus dicapai oleh orang percaya, sebab tanpa kekudusan sesuai standar Alla,h tidak seorang pun dapat menjumpai Allah. Paulus dalam suratnya menulis, “Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan demikianlah firman Tuhan, Yang Mahakuasa” (2Kor. 6:17-18).
Dalam Yohanes 14:6 Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Ayat ini bukan hanya bermaksud menunjukkan bahwa keselamatan hanya dalam Yesus Kristus, melainkan juga menunjukkan bahwa melalui Yesus orang percaya dapat memiliki persekutuan dengan Bapa dan Anak Tunggal-Nya. Bagi orang percaya, hanya melalui Yesus, manusia dapat memiliki kehidupan yang dikembalikan ke rancangan semula Allah. Sebenarnya, Yohanes 14:6 menunjukkan eksklusivitas hubungan dengan Allah sebagai Bapa. “Datang kepada Bapa” itu tidak hanya masuk surga, tetapi memiliki persekutuan dengan Bapa. Sesuai dengan doa Tuhan Yesus di Yohanes 17:21, “… Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku,” harus dimengerti sebagai panggilan untuk memiliki hubungan yang eksklusif dengan Allah sebagai Bapa. Kata “jalan” dalam teks Yunaninya adalah hodosh—ὁδὸς. Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah jalan, sebuah lorong, atau jalan panjang yang harus dilalui bukan dalam waktu singkat. Kata kedua adalah “kebenaran.” Dalam teks aslinya, kata ini adalah alētheia (ἀληθείᾳ), yang alam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi truth. Dan akhirnya, kata “hidup” yang dalam Bahasa Yunani, zōē (ζωὴ). Kata hidup ini menunjuk hidup yang berkualitas. Jadi, Yohanes 14:6 tidak boleh hanya diartikan: di luar Kristus tidak ada keselamatan. Ayat ini juga menunjukkan adanya sebuah relasi eksklusif antara Allah sebagai Bapa dan orang percaya sebagai anak. Maksud Yohanes 14:6 adalah bahwa untuk menemukan Bapa, mengalami-Nya, serta merasakan kehadiran-Nya, seseorang harus belajar dari Tuhan Yesus sebagai jalannya, dan ini bukan sesuatu yang singkat, Ia harus mengenal kebenaran sebagai jalannya sehingga memiliki kehidupan seperti diri-Nya. Dengan demikian, barulah ia dapat menemukan Allah, merasakan kehadiran-Nya, serta mengalami Dia secara ideal.
Yesus bukan hanya mati di kayu salib, dan darah-Nya menghapus dosa, melainkan Yesus membawa orang percaya kepada Allah Bapa. Bapa memberikan Roh Kudus agar menuntun orang percaya kepada seluruh kebenaran. Artinya, orang percaya dapat memiliki kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela seperti Yesus. Yesus menjadi teladan hidup seorang yang dapat bersekutu dengan Allah Bapa. Dengan kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela, orang percaya bisa “datang kepada Bapa.” “Datang kepada Bapa” adalah persekutuan hidup yang eksklusif dengan Dia. Jadi, ini bukan hanya masuk surga atau diperkenan masuk dunia yang akan datang. Orang yang sampai atau dating kepada Bapa dapat memiliki relasi yang saling mengisi dengan Allah Bapa, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.
https://overcast.fm/+IqOBaKbqU
Allah yang kudus tidak dapat dijumpai oleh orang-orang yang hidupnya masih kotor. Itulah sebabnya dalam 1 Petrus 1:16-17, Firman Tuhan mengatakan, “Sebab ada tertulis: ‘Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.’” Allah menghubungkan kekudusan-Nya dengan kekudusan yang harus dicapai oleh orang percaya, sebab tanpa kekudusan sesuai standar Alla,h tidak seorang pun dapat menjumpai Allah. Paulus dalam suratnya menulis, “Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan demikianlah firman Tuhan, Yang Mahakuasa” (2Kor. 6:17-18).
Dalam Yohanes 14:6 Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Ayat ini bukan hanya bermaksud menunjukkan bahwa keselamatan hanya dalam Yesus Kristus, melainkan juga menunjukkan bahwa melalui Yesus orang percaya dapat memiliki persekutuan dengan Bapa dan Anak Tunggal-Nya. Bagi orang percaya, hanya melalui Yesus, manusia dapat memiliki kehidupan yang dikembalikan ke rancangan semula Allah. Sebenarnya, Yohanes 14:6 menunjukkan eksklusivitas hubungan dengan Allah sebagai Bapa. “Datang kepada Bapa” itu tidak hanya masuk surga, tetapi memiliki persekutuan dengan Bapa. Sesuai dengan doa Tuhan Yesus di Yohanes 17:21, “… Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku,” harus dimengerti sebagai panggilan untuk memiliki hubungan yang eksklusif dengan Allah sebagai Bapa. Kata “jalan” dalam teks Yunaninya adalah hodosh—ὁδὸς. Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah jalan, sebuah lorong, atau jalan panjang yang harus dilalui bukan dalam waktu singkat. Kata kedua adalah “kebenaran.” Dalam teks aslinya, kata ini adalah alētheia (ἀληθείᾳ), yang alam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi truth. Dan akhirnya, kata “hidup” yang dalam Bahasa Yunani, zōē (ζωὴ). Kata hidup ini menunjuk hidup yang berkualitas. Jadi, Yohanes 14:6 tidak boleh hanya diartikan: di luar Kristus tidak ada keselamatan. Ayat ini juga menunjukkan adanya sebuah relasi eksklusif antara Allah sebagai Bapa dan orang percaya sebagai anak. Maksud Yohanes 14:6 adalah bahwa untuk menemukan Bapa, mengalami-Nya, serta merasakan kehadiran-Nya, seseorang harus belajar dari Tuhan Yesus sebagai jalannya, dan ini bukan sesuatu yang singkat, Ia harus mengenal kebenaran sebagai jalannya sehingga memiliki kehidupan seperti diri-Nya. Dengan demikian, barulah ia dapat menemukan Allah, merasakan kehadiran-Nya, serta mengalami Dia secara ideal.
Yesus bukan hanya mati di kayu salib, dan darah-Nya menghapus dosa, melainkan Yesus membawa orang percaya kepada Allah Bapa. Bapa memberikan Roh Kudus agar menuntun orang percaya kepada seluruh kebenaran. Artinya, orang percaya dapat memiliki kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela seperti Yesus. Yesus menjadi teladan hidup seorang yang dapat bersekutu dengan Allah Bapa. Dengan kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela, orang percaya bisa “datang kepada Bapa.” “Datang kepada Bapa” adalah persekutuan hidup yang eksklusif dengan Dia. Jadi, ini bukan hanya masuk surga atau diperkenan masuk dunia yang akan datang. Orang yang sampai atau dating kepada Bapa dapat memiliki relasi yang saling mengisi dengan Allah Bapa, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.
https://overcast.fm/+IqOBaKbqU
Renungan Harian 13 November 2019 BUKAN DENGAN LITURGI
Relasi dengan Allah sebagai Bapa harus dibangun dari kesucian hidup atau kualitas hidup seperti Yesus. Inilah kekristenan yang benar, sejati, asli atau yang orisinal. Namun di seluruh dunia, kekristenan sejati yang dapat membangun kehidupan bersekutu dengan Allah Bapa digantikan dengan keberagamaan. Ternyata, banyak orang Kristen yang belum memahami kekristenan dengan benar, sehingga mereka belum memiliki persekutuan dengan Bapa secara proporsional. Kata “Kristen” secara umum berarti to be like Christ (menjadi seperti Kristus). Orang percaya mula-mula disebut “Kristen” karena berperilaku seperti Yesus Kristus. Orang-orang percaya pada waktu itu belajar Injil yang murni sampai hidup sepadan dengan Injil yang mereka terima itu. Injil tersebut memuat ajaran Tuhan Yesus yang mereka kenakan dan kehidupan Kristus yang mereka teladani sehingga mereka menjadi serupa dengan Tuhan Yesus Kristus.
Serupa dengan Tuhan Yesus Kristus berarti menemukan dan mengenakan pribadi, watak, karakter atau kepribadian Anak Allah. Inilah sebenarnya maksud keselamatan diberikan, yaitu agar manusia dikembalikan kepada rancangan semula Allah. Tidak bersedia menerima realitas ini berarti tidak bisa menjadi makhluk ciptaan, pantas dibinasakan. Ini harga mati. Oleh sebab itu, seseorang hendaknya tidak merasa sudah menjadi Kristen kalau hanya mengaku percaya dan pergi ke gereja. Untuk ini, kekristenan harus dibersihkan dari unsur-unsur agamawi dan duniawi yang merusak kemurniannya.
Banyak doktrin-doktrin gereja agamawi dan pola pikir manusiawi telah disejajarkan dengan Alkitab dan merusak.
Kewibawaan Alkitab sebenarnya telah dirongrong oleh pola pikir yang salah tersebut, khususnya oleh tokoh-tokoh Kristen yang mengaku telah menerima pengajaran langsung dari Tuhan, yaitu pengajaran yang sangat subjektif dan tidak bisa dipercaya. Tanpa mereka sadari, mereka telah mengobrak-abrik pengajaran murni yang seharusnya dipahami jemaat. Untuk masuk ke dalam kehidupan kekristenan yang sejati, seseorang harus berani keluar dari segala tradisi keberagamaan yang selama ini dianggap sejajar dengan Alkitab. Tradisi keberagamaan dalam lingkungan Kristen menekankan liturgi, sistem organisasi, strata dalam gereja dimana ada kelompok imam dan awam.
Banyak orang Kristen telah terlalu jauh masuk dalam kehidupan wajar anak dunia sampai mereka kehilangan arah dan tidak sanggup lagi mengenakan kehidupan Tuhan Yesus. Banyak orang Kristen tidak memiliki integritas sebagai anak-anak Allah yang benar yang mengenakan kehidupan Tuhan Yesus. Dengan keadaan seperti itu, mereka kehilangan Bapa dan persekutuan dengan diri-Nya. Pada dasarnya, kekristenan adalah proses perjalanan hidup orang percaya untuk terus-menerus mengalami perubahan karakter, sehingga bisa mengenakan cara hidup yang diperagakan Tuhan Yesus ketika mengenakan tubuh daging seperti kita dua ribu tahun yang lalu. Dengan demikian, kekristenan adalah perubahan karakter, dari karakter manusia yang mengenakan kodrat dosa (sinful nature) menjadi manusia Allah yang serupa dengan Tuhan Yesus yang mengenakan kodrat ilahi (divine nature). Orang percaya dipanggil untuk ini.
Sekarang ini, banyak orang menggantikan kekristenan dengan ritual atau liturgi. Salah satu ciri keberagamaan—selain ritual—adalah usaha memperoleh fasilitas dari Allah yang disembah untuk kehidupan hari ini. Biasanya, untuk itu perlu sebuah ritual yang berkenan di hadapan allahnya. Salah satu ciri keberagamaan adalah terbangunnya ritual atau upacara agama. Ciri ini selalu ada hampir pada semua agama. Hampir tidak ada agama yang tidak memiliki ritual. Dari ritual agama, tampaklah identitas agama tersebut. Biasanya ritual agama juga menjadi sarana pertemuan dengan allah yang disembah. Di sini terjadi manipulasi dan banyak penipuan. Tanpa disadari, banyak orang Kristen yang pemahamannya dipengaruhi oleh dunia sekitar, sampai mereka tidak bisa lagi mendengar pengajaran yang benar.
Banyak juga orang Kristen yang pikirannya menjadi sesat karena menggantikan hidup seperti Yesus untuk bersekutu dengan Allah sebagai Bapa dengan liturgi yang sama dengan seremonial atau upacara agama. Mereka merasa sudah memenuhi kehidupan Kristen yang mereka harus jalani, dan mereka sudah merasa sudah menjadi pengikut Yesus. Inilah adalah kesesatan yang harus disadari dan harus digantikan dengan kekeristenan yang sejati. Jika orang Kristen terjebak dalam kehidupan seperti ini, ia akan gagal menyelesaikan dengan sempurna hidup kekristenannya. Sesungguhnya, kekristenan adalah sikap hati yang diubah oleh Firman Tuhan dan usaha belajar memberi segenap hidup untuk Tuhan sebagai persiapan menjadi hamba-hamba dalam Kerajaan-Nya nanti. Itulah sebabnya panggilan sebagai orang percaya adalah panggilan sebagai murid: belajar mengenakan kehidupan Yesus, dan menyelesaikannya dengan sempurna.
https://overcast.fm/+IqOC9R-_A
Serupa dengan Tuhan Yesus Kristus berarti menemukan dan mengenakan pribadi, watak, karakter atau kepribadian Anak Allah. Inilah sebenarnya maksud keselamatan diberikan, yaitu agar manusia dikembalikan kepada rancangan semula Allah. Tidak bersedia menerima realitas ini berarti tidak bisa menjadi makhluk ciptaan, pantas dibinasakan. Ini harga mati. Oleh sebab itu, seseorang hendaknya tidak merasa sudah menjadi Kristen kalau hanya mengaku percaya dan pergi ke gereja. Untuk ini, kekristenan harus dibersihkan dari unsur-unsur agamawi dan duniawi yang merusak kemurniannya.
Banyak doktrin-doktrin gereja agamawi dan pola pikir manusiawi telah disejajarkan dengan Alkitab dan merusak.
Kewibawaan Alkitab sebenarnya telah dirongrong oleh pola pikir yang salah tersebut, khususnya oleh tokoh-tokoh Kristen yang mengaku telah menerima pengajaran langsung dari Tuhan, yaitu pengajaran yang sangat subjektif dan tidak bisa dipercaya. Tanpa mereka sadari, mereka telah mengobrak-abrik pengajaran murni yang seharusnya dipahami jemaat. Untuk masuk ke dalam kehidupan kekristenan yang sejati, seseorang harus berani keluar dari segala tradisi keberagamaan yang selama ini dianggap sejajar dengan Alkitab. Tradisi keberagamaan dalam lingkungan Kristen menekankan liturgi, sistem organisasi, strata dalam gereja dimana ada kelompok imam dan awam.
Banyak orang Kristen telah terlalu jauh masuk dalam kehidupan wajar anak dunia sampai mereka kehilangan arah dan tidak sanggup lagi mengenakan kehidupan Tuhan Yesus. Banyak orang Kristen tidak memiliki integritas sebagai anak-anak Allah yang benar yang mengenakan kehidupan Tuhan Yesus. Dengan keadaan seperti itu, mereka kehilangan Bapa dan persekutuan dengan diri-Nya. Pada dasarnya, kekristenan adalah proses perjalanan hidup orang percaya untuk terus-menerus mengalami perubahan karakter, sehingga bisa mengenakan cara hidup yang diperagakan Tuhan Yesus ketika mengenakan tubuh daging seperti kita dua ribu tahun yang lalu. Dengan demikian, kekristenan adalah perubahan karakter, dari karakter manusia yang mengenakan kodrat dosa (sinful nature) menjadi manusia Allah yang serupa dengan Tuhan Yesus yang mengenakan kodrat ilahi (divine nature). Orang percaya dipanggil untuk ini.
Sekarang ini, banyak orang menggantikan kekristenan dengan ritual atau liturgi. Salah satu ciri keberagamaan—selain ritual—adalah usaha memperoleh fasilitas dari Allah yang disembah untuk kehidupan hari ini. Biasanya, untuk itu perlu sebuah ritual yang berkenan di hadapan allahnya. Salah satu ciri keberagamaan adalah terbangunnya ritual atau upacara agama. Ciri ini selalu ada hampir pada semua agama. Hampir tidak ada agama yang tidak memiliki ritual. Dari ritual agama, tampaklah identitas agama tersebut. Biasanya ritual agama juga menjadi sarana pertemuan dengan allah yang disembah. Di sini terjadi manipulasi dan banyak penipuan. Tanpa disadari, banyak orang Kristen yang pemahamannya dipengaruhi oleh dunia sekitar, sampai mereka tidak bisa lagi mendengar pengajaran yang benar.
Banyak juga orang Kristen yang pikirannya menjadi sesat karena menggantikan hidup seperti Yesus untuk bersekutu dengan Allah sebagai Bapa dengan liturgi yang sama dengan seremonial atau upacara agama. Mereka merasa sudah memenuhi kehidupan Kristen yang mereka harus jalani, dan mereka sudah merasa sudah menjadi pengikut Yesus. Inilah adalah kesesatan yang harus disadari dan harus digantikan dengan kekeristenan yang sejati. Jika orang Kristen terjebak dalam kehidupan seperti ini, ia akan gagal menyelesaikan dengan sempurna hidup kekristenannya. Sesungguhnya, kekristenan adalah sikap hati yang diubah oleh Firman Tuhan dan usaha belajar memberi segenap hidup untuk Tuhan sebagai persiapan menjadi hamba-hamba dalam Kerajaan-Nya nanti. Itulah sebabnya panggilan sebagai orang percaya adalah panggilan sebagai murid: belajar mengenakan kehidupan Yesus, dan menyelesaikannya dengan sempurna.
https://overcast.fm/+IqOC9R-_A
Renungan Harian 12 November 2019 BUKAN HANYA STATUS, MELAINKAN RELASI
Oleh kurban Yesus di kayu salib, orang percaya dibawa kepada Bapa seakan-akan bukan sebagai orang berdosa, bukan sebagai orang bersalah. Di hadapan Allah, orang percaya dibenarkan (Lt. justificatio; Ing. justification). Namun, orang percaya yang dibenarkan tersebut belum benar-benar berkeadaan benar. Kemudian. Roh Allah ditaruh dalam diri orang percaya sebagai meterai. Roh Allah diberikan agar menuntun orang percaya kepada seluruh kebenaran. Maksudnya adalah untuk mengubah manusia, dari manusia yang berkodrat dosa menjadi manusia yang berkodrat ilahi. Perubahan tersebut secara mutlak harus terjadi atau berlangsung sebab kalau manusia tidak mengalami perubahan menjadi berkodrat ilahi, ia tidak akan pernah dapat memiliki hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal dengan Allah. Hal ini harus menjadi pengalaman riil, bukan sekadar sebagai fantasi atau “sesuatu yang dipercayai dalam nalar.”
Kalau ada seorang anak gelandangan diadopsi menjadi anak seorang bangsawan, anak tersebut harus mengalami perubahan atau diubah. Perubahan itu bukan hanya statusnya, melainkan karakternya juga harus berubah: dari karakter gelandangan menjadi seorang yang berkarakter bangsawan. Namun, perubahan karakter tersebut harus terjadi karena sekarang sang bangsawan mengingini suatu hubungan eksklusif dengan anak adopsinya: hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal. Kalau karakter dan kebiasan hidup anak tersebut tidak berubah, ia tidak akan “nyambung” dengan ayahanda angkatnya. Demikian pula orang percaya dalam relasinya dengan Allah sebagai Bapa yang mengangkat atau mengadopsinya. Bapa menghendaki suatu hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.
Itulah sebabnya orang percaya dikehendaki bukan hanya segambar dengan Allah— artinya memiliki komponen-komponen yang Allah juga miliki—melainkan juga berkeberadaan serupa dengan Allah. Serupa dengan Allah maksudnya adalah bahwa kualitas komponen-komponen yang dimiliki manusia—yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak—harus berkualitas tinggi. Kualitas tinggi tersebut menyangkut moral dan kecerdasan rohaninya sehingga bisa mengimbangi keagungan pribadi Allah sebagai Bapa. Manusia menjadi serupa dengan Allah berarti bahwa manusia bukan hanya memiliki komponen-komponen yang ada pada Allah—yaitu memiliki pikiran, dan perasaan—melainkan juga memiliki kehendak yang selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.
Dengan demikian, orang percaya bukan hanya segambar dengan Allah, melainkan juga serupa dengan Allah. “Serupa” berarti kualitas hidup orang percaya bisa mengimbangi Bapa. Tuhan Yesus-lah manusia yang sesuai rancangan Allah semula sehingga dapat menjadi model manusia yang Allah kehendaki, yang dapat bersekutu secara ideal dengan Bapa (Yoh. 17:20-21). Itulah sebabnya semua orang yang diselamatkan harus menjadi seperti Yesus sebab kalau tidak seperti Dia, manusia tidak akan memiliki relasi dengan Bapa secara ideal dan proporsional. Dengan demikian syarat satu-satunya untuk dapat memiliki hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal adalah menjadi seperti Yesus. Jadi, kalau orang tidak semakin seperti Yesus, berarti ia belum memiliki persekutuan yang ideal dengan Bapa.
Kalau orang percaya tidak ngotot untuk hidup tidak bercacat, tidak sungguh-sungguh untuk hidup tidak bercela, tidak ngotot hidup suci, tidak ngotot hidup serupa dengan Yesus, orang percaya itu tidak akan bersentuhan dengan Allah. Allah itu tidak kelihatan. Dia mengutus Putra Tunggal-Nya turun ke dunia selama 33,5 tahun untuk memberikan suatu role model bagaimana menjadi manusia yang bisa bersekutu dengan Allah. Itulah sebabnya di Yohanes 17, ketika Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa di surga, Ia berkata, “Mereka (orang percaya) bukan dari dunia ini, sama seperti Aku bukan dari dunia ini.” Begitu seseorang menjadi anak-anak Allah, ia terklasifikasi bukan berasal dari dunia ini. Doa Yesus untuk mereka adalah, “Kuduskan mereka dalam kebenaran, firman-Mu adalah kebenaran. Lindungi mereka dari yang jahat,” artinya “jadikan mereka kudus seperti Kita.”
Tentu Roh Allah atau Roh Kudus menuntun orang percaya supaya memenuhi doa Yesus yang tertulis dalam Yohanes 17:20-212 yang berbunyi, “Seperti Aku (Yesus) dalam Engkau (Bapa), Engkau dalam Aku, mereka (orang percaya) dalam Kita (Bapa dan Anak).” Jika hal ini dapat dicapai, maksud keselamatan yang disediakan oleh Yesus dapat tercapai pula. Persekutuan ini menjadi awal dari persekutuan dengan Allah Bapa di kekekalan. Orang yang tidak memiliki pengalaman konkret hidup dalam persekutuan dengan Allah Bapa, dan Tuhan Yesus, tidak akan memiliki persekutuan dengan Bapa dan Tuhan Yesus selamanya. Ini berarti ia tidak akan masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan.
https://overcast.fm/+IqOBeSla4
Kalau ada seorang anak gelandangan diadopsi menjadi anak seorang bangsawan, anak tersebut harus mengalami perubahan atau diubah. Perubahan itu bukan hanya statusnya, melainkan karakternya juga harus berubah: dari karakter gelandangan menjadi seorang yang berkarakter bangsawan. Namun, perubahan karakter tersebut harus terjadi karena sekarang sang bangsawan mengingini suatu hubungan eksklusif dengan anak adopsinya: hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal. Kalau karakter dan kebiasan hidup anak tersebut tidak berubah, ia tidak akan “nyambung” dengan ayahanda angkatnya. Demikian pula orang percaya dalam relasinya dengan Allah sebagai Bapa yang mengangkat atau mengadopsinya. Bapa menghendaki suatu hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.
Itulah sebabnya orang percaya dikehendaki bukan hanya segambar dengan Allah— artinya memiliki komponen-komponen yang Allah juga miliki—melainkan juga berkeberadaan serupa dengan Allah. Serupa dengan Allah maksudnya adalah bahwa kualitas komponen-komponen yang dimiliki manusia—yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak—harus berkualitas tinggi. Kualitas tinggi tersebut menyangkut moral dan kecerdasan rohaninya sehingga bisa mengimbangi keagungan pribadi Allah sebagai Bapa. Manusia menjadi serupa dengan Allah berarti bahwa manusia bukan hanya memiliki komponen-komponen yang ada pada Allah—yaitu memiliki pikiran, dan perasaan—melainkan juga memiliki kehendak yang selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.
Dengan demikian, orang percaya bukan hanya segambar dengan Allah, melainkan juga serupa dengan Allah. “Serupa” berarti kualitas hidup orang percaya bisa mengimbangi Bapa. Tuhan Yesus-lah manusia yang sesuai rancangan Allah semula sehingga dapat menjadi model manusia yang Allah kehendaki, yang dapat bersekutu secara ideal dengan Bapa (Yoh. 17:20-21). Itulah sebabnya semua orang yang diselamatkan harus menjadi seperti Yesus sebab kalau tidak seperti Dia, manusia tidak akan memiliki relasi dengan Bapa secara ideal dan proporsional. Dengan demikian syarat satu-satunya untuk dapat memiliki hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal adalah menjadi seperti Yesus. Jadi, kalau orang tidak semakin seperti Yesus, berarti ia belum memiliki persekutuan yang ideal dengan Bapa.
Kalau orang percaya tidak ngotot untuk hidup tidak bercacat, tidak sungguh-sungguh untuk hidup tidak bercela, tidak ngotot hidup suci, tidak ngotot hidup serupa dengan Yesus, orang percaya itu tidak akan bersentuhan dengan Allah. Allah itu tidak kelihatan. Dia mengutus Putra Tunggal-Nya turun ke dunia selama 33,5 tahun untuk memberikan suatu role model bagaimana menjadi manusia yang bisa bersekutu dengan Allah. Itulah sebabnya di Yohanes 17, ketika Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa di surga, Ia berkata, “Mereka (orang percaya) bukan dari dunia ini, sama seperti Aku bukan dari dunia ini.” Begitu seseorang menjadi anak-anak Allah, ia terklasifikasi bukan berasal dari dunia ini. Doa Yesus untuk mereka adalah, “Kuduskan mereka dalam kebenaran, firman-Mu adalah kebenaran. Lindungi mereka dari yang jahat,” artinya “jadikan mereka kudus seperti Kita.”
Tentu Roh Allah atau Roh Kudus menuntun orang percaya supaya memenuhi doa Yesus yang tertulis dalam Yohanes 17:20-212 yang berbunyi, “Seperti Aku (Yesus) dalam Engkau (Bapa), Engkau dalam Aku, mereka (orang percaya) dalam Kita (Bapa dan Anak).” Jika hal ini dapat dicapai, maksud keselamatan yang disediakan oleh Yesus dapat tercapai pula. Persekutuan ini menjadi awal dari persekutuan dengan Allah Bapa di kekekalan. Orang yang tidak memiliki pengalaman konkret hidup dalam persekutuan dengan Allah Bapa, dan Tuhan Yesus, tidak akan memiliki persekutuan dengan Bapa dan Tuhan Yesus selamanya. Ini berarti ia tidak akan masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan.
https://overcast.fm/+IqOBeSla4
Minggu, 10 November 2019
subscribe live streaming
silahkan subscribe link ini, jika ada live streaming akan muncul notifikasi di email
https://youtu.be/J9mn366w5k0
https://youtu.be/J9mn366w5k0
Link Jakarta Truth Conference "The Last Chance" okt 2019
Sesi 1-3 Pak Erastus
https://youtu.be/UXcc5znQcKY
Sesi 4-5 Pak Wignyo, Rully
https://youtu.be/ltNqy3A9P-g
Sesi 6-8 Pak Erastus
https://youtu.be/u7zI4Sd3zSI
https://youtu.be/UXcc5znQcKY
Sesi 4-5 Pak Wignyo, Rully
https://youtu.be/ltNqy3A9P-g
Sesi 6-8 Pak Erastus
https://youtu.be/u7zI4Sd3zSI
Quote #1 November 2019
Quote of the day :
*"Tidak menghargai tatanan itu berarti tidak menghormati Dia, sebab tatanan itu mengalir dari dalam diri-Nya.” *
Dr. Erastus Sabdono
29 Oktober 2019
Quote of the day :
"Sehebat-hebatnya orang yang tatanan dirinya dibangun berdasarkan hukum tidak akan lebih hebat dari orang yang hidupnya dibangun di atas tatanan pikiran dan perasaan Tuhan.”
Dr. Erastus Sabdono
30 Oktober 2019
Quote of the day :
“Gereja yang diingini Tuhan adalah persekutuan orang percaya yang layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah"
Dr. Erastus Sabdono
31 Oktober 2019
Quote of the day :
“Semua masalah mungkin bisa diselesaikan dengan uang dan kekuatan relasi, tetapi ketika seseorang sudah berdiri di depan takhta pengadilan Kristus tida kada yang bisa menopang kecuali kesucian hidup.”
Dr. Erastus Sabdono
01 November 2019
Quote of the day :
“Banyak orang hanya menyelesaikan kesalahan dengan minta pengampunan dosa, tetapi tidak menyelesaikan kelemahannya dengan perjuangan”
Dr. Erastus Sabdono
02 November 2019
Quote of the day :
"Berani mengikut Tuhan Yesus berarti harus hanya memiliki satu agenda hidup; dan
agenda itu adalah menjadi anak-anak Allah"
Dr. Erastus Sabdono
03 November 2019
Quote of the day :
"Orang yang telah memindahkan hatinya di surga tidak mungkin jadi serakah; dia akan merasa cukup, dia berani menghadapi apa pun, karena tidak ada yang dia mau capai.”
Dr. Erastus Sabdono
04 November 2019
Quote of the day :
“Orang yang telah memindahkan hati di Kerajaan Surga, pasti orang-orang yang tidak akan terikat dengan dunia ini.”
Dr. Erastus Sabdono
05 November 2019
Quote of the day :
"Orang yang memindahkan hatinya di Kerajaan Surga, orang yang pasti merindukan kematian, bertemu dengan Tuhan."
Dr. Erastus Sabdono
06 November 2019
Quote of the day :
“Bukan ‘berapa banyak’ yang kitamiliki, tapi ketika kita memiliki hubungan yang harmoni dengan Tuhan, maka berapapun dan apa pun jadi membahagiakan.”
Dr. Erastus Sabdono
07 November 2019
Quote of the day :
"Orang yang berusaha membandingkan dirinya dengan orang lain adalah orang yang tidak mengerti dan tidak menerima kebesaran serta keagungan Allah yang menciptakan setiap kita dengan keunikan dan keistimewaan masing-masing".
Dr. Erastus Sabdono
08 November 2019
Quote of the day :
Kita harus memahami kebenaran, karena kebenaran itu akan memberikan kita landasan untuk mengerti tindakan-tindakan Tuhan dalam hidup kita.
Dr. Erastus Sabdono
09 November 2019
Quote of the day :
"Keseriusan hidup kita ditandai dengan seberapa kita sungguh-sungguh mencari Tuhan, mengerti kehendak-Nya, melakukan kehendak-Nya, dan mengalami Tuhan".
Dr. Erastus Sabdono
10 November 2019
Quote of the day :
"Dalam setiap peristiwa hidup yang dialami tidak mungkin tidak ada tangan Tuhan, karena Allah bekerja dalam segala hal.”
Dr. Erastus Sabdono
11 November 2019
*"Tidak menghargai tatanan itu berarti tidak menghormati Dia, sebab tatanan itu mengalir dari dalam diri-Nya.” *
Dr. Erastus Sabdono
29 Oktober 2019
Quote of the day :
"Sehebat-hebatnya orang yang tatanan dirinya dibangun berdasarkan hukum tidak akan lebih hebat dari orang yang hidupnya dibangun di atas tatanan pikiran dan perasaan Tuhan.”
Dr. Erastus Sabdono
30 Oktober 2019
Quote of the day :
“Gereja yang diingini Tuhan adalah persekutuan orang percaya yang layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah"
Dr. Erastus Sabdono
31 Oktober 2019
Quote of the day :
“Semua masalah mungkin bisa diselesaikan dengan uang dan kekuatan relasi, tetapi ketika seseorang sudah berdiri di depan takhta pengadilan Kristus tida kada yang bisa menopang kecuali kesucian hidup.”
Dr. Erastus Sabdono
01 November 2019
Quote of the day :
“Banyak orang hanya menyelesaikan kesalahan dengan minta pengampunan dosa, tetapi tidak menyelesaikan kelemahannya dengan perjuangan”
Dr. Erastus Sabdono
02 November 2019
Quote of the day :
"Berani mengikut Tuhan Yesus berarti harus hanya memiliki satu agenda hidup; dan
agenda itu adalah menjadi anak-anak Allah"
Dr. Erastus Sabdono
03 November 2019
Quote of the day :
"Orang yang telah memindahkan hatinya di surga tidak mungkin jadi serakah; dia akan merasa cukup, dia berani menghadapi apa pun, karena tidak ada yang dia mau capai.”
Dr. Erastus Sabdono
04 November 2019
Quote of the day :
“Orang yang telah memindahkan hati di Kerajaan Surga, pasti orang-orang yang tidak akan terikat dengan dunia ini.”
Dr. Erastus Sabdono
05 November 2019
Quote of the day :
"Orang yang memindahkan hatinya di Kerajaan Surga, orang yang pasti merindukan kematian, bertemu dengan Tuhan."
Dr. Erastus Sabdono
06 November 2019
Quote of the day :
“Bukan ‘berapa banyak’ yang kitamiliki, tapi ketika kita memiliki hubungan yang harmoni dengan Tuhan, maka berapapun dan apa pun jadi membahagiakan.”
Dr. Erastus Sabdono
07 November 2019
Quote of the day :
"Orang yang berusaha membandingkan dirinya dengan orang lain adalah orang yang tidak mengerti dan tidak menerima kebesaran serta keagungan Allah yang menciptakan setiap kita dengan keunikan dan keistimewaan masing-masing".
Dr. Erastus Sabdono
08 November 2019
Quote of the day :
Kita harus memahami kebenaran, karena kebenaran itu akan memberikan kita landasan untuk mengerti tindakan-tindakan Tuhan dalam hidup kita.
Dr. Erastus Sabdono
09 November 2019
Quote of the day :
"Keseriusan hidup kita ditandai dengan seberapa kita sungguh-sungguh mencari Tuhan, mengerti kehendak-Nya, melakukan kehendak-Nya, dan mengalami Tuhan".
Dr. Erastus Sabdono
10 November 2019
Quote of the day :
"Dalam setiap peristiwa hidup yang dialami tidak mungkin tidak ada tangan Tuhan, karena Allah bekerja dalam segala hal.”
Dr. Erastus Sabdono
11 November 2019
Renungan Harian 11 November 2019 RELASI YANG EKSKLUSIF
Allah sebagai Bapa ingin memiliki relasi dengan ciptaan-Nya yang juga adalah anak-anak- Nya dalam relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal. Manusia disebut anak-anak Allah sebab manusia sejatinya berasal juga dari Dia. Dengan anak-anak-Nya, Bapa berkehendak memiliki relasi demikian. Untuk membuktikan bahwa memang manusia adalah berasal dari Allah, kita perlu memerhatikan Yakobus 4:5, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: ‘Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!’” Bagaimana pun, hubungan seorang ayah dengan anak kandung darah dagingnya sendiri berbeda dengan hubungan mereka yang bukan darah dagingnya sendiri. Anak dan cucu seseorang mewarisi bagian dari diri orang tersebut. Allah menaruh roh yang berasal dari diri-Nya dalam diri manusia. Ini bukan Roh Kudus atau Roh Allah, tetapi roh manusia. Roh manusia tersebut berasal dari Allah sehingga sebenarnya manusia dapat menjadi “bagian” dari Allah. Artinya, manusia bisa ada di hati Allah Bapa-Nya. Allah mengasihi manusia seperti Dia mengasihi diri-Nya sendiri. Allah sebagai Bapa selalu menyediakan dan mengupayakan kebaikan bagi manusia yang adalah anak-anak- Nya.
Ketika Allah menciptakan manusia, Allah mengembus (Ibr. way·yip·paḥ; חפיו), menaruh roh-Nya (Ibr. niš·maṯ ḥay·yîm; תמשנ םייח ) (the power of life) dalam diri kita. Itulah sebabnya dalam Ibrani 12:9-10 dikatakan bahwa “Allah adalah Bapa segala roh.” Semua makhluk yang memiliki roh, rohnya berasal dari Bapa. Dan, itulah sebabnya juga Adam dikatakan sebagai anak Allah karena roh dalam diri Adam itu roh dari Allah. Dan, bukan tanpa alasan pula kalau Kitab Suci mengatakan, “Roh yang ditempatkan dalam diri kita diingini dengan cemburu.” “Kecemburuan” itu bertalian dengan perasaan atau rasa keberhakan Allah atas diri manusia yang adalah milik-Nya. Allah berhak memiliki manusia sepenuhnya karena roh manusia berasal dari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya Allah menghendaki roh manusia suatu hari nanti—setelah menjalani hidup di bumi ini—untuk kembali kepada Dia.
Kalau memerhatikan Yakobus 4:1-4, tampak jelas adanya banyak keinginan dalam diri manusia yang menuntut untuk dipuaskan. Hal tersebut bisa mengakibatkan manusia hidup dalam belenggu keinginan-keinginan dunia, yaitu keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Ini yang menyebabkan seseorang menjadi sahabat dunia, sehingga menjadikan dirinya sebagai musuh Allah. Orang seperti ini akan terseret masuk ke dalam persekutuan dengan kerajaan gelap dan terhilang. Allah mau agar diri-Nya sebagai Bapa memiliki relasi dengan manusia yang adalah anak-anak-Nya. Relasi ini tidak bisa dibahasakan dengan kata-kata seperti relasi manusia dengan anak-anaknya. Hubungan antara anak dan bapak memiliki ikatan naluriah yang saling bersentuhan atau tersambung. Demikian pula hubungan Allah dengan manusia. Itulah sebabnya di dalam diri setiap anak manusia ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh siapa pun dan apa pun, kecuali oleh Allah sendiri, Bapanya.
Walaupun Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Roh Allah masih ada di dalam diri manusia sampai di Kejadian 6. Dalam Kejadian 6:2-3 tertulis, “Maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka. Berfirmanlah TUHAN: ‘Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja.’” Allah undur dari manusia dikarenakan manusia “daging” adanya. Maksudnya bahwa dalam berperilaku, manusia hanya mau memuaskan keinginan “daging”-nya sehingga tidak melakukan kehendak Allah. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku mereka dalam memilih pasangan hidup.
Manusia itu daging (Ibr. ḇā·śār; ר ש ב), hanya mau menyenangkan diri sendiri sehingga tidak bisa bersekutu dengan dengan Allah melalui Roh-Nya. Sejak Roh Allah undur, tidak ada lagi relasi atau hubungan ideal atau proporsional antara Allah dan manusia. Sejak itu juga, manusia memiliki kekosongan dalam dirinya yang tidak pernah dapat terisi oleh apa pun dan siapa pun, sebab hanya Allah di dalam dan melalui Roh-Nya yang dapat mengisinya. Keselamatan dalam Yesus Kristus dapat mengembalikan hubungan itu. Hubungan Allah sebagai Bapa dengan manusia sebagai anak yang terputus. Salib Kristus yang menghubungkan kembali Allah dengan manusia dan karena salib itu Allah memberikan Roh Kudus sebagai meterai dalam kehidupan orang percaya. Oleh sebab itu, orang percaya harus membuka diri dan berjuang untuk memiliki kembali hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.
https://overcast.fm/+IqOBg-7pg
Ketika Allah menciptakan manusia, Allah mengembus (Ibr. way·yip·paḥ; חפיו), menaruh roh-Nya (Ibr. niš·maṯ ḥay·yîm; תמשנ םייח ) (the power of life) dalam diri kita. Itulah sebabnya dalam Ibrani 12:9-10 dikatakan bahwa “Allah adalah Bapa segala roh.” Semua makhluk yang memiliki roh, rohnya berasal dari Bapa. Dan, itulah sebabnya juga Adam dikatakan sebagai anak Allah karena roh dalam diri Adam itu roh dari Allah. Dan, bukan tanpa alasan pula kalau Kitab Suci mengatakan, “Roh yang ditempatkan dalam diri kita diingini dengan cemburu.” “Kecemburuan” itu bertalian dengan perasaan atau rasa keberhakan Allah atas diri manusia yang adalah milik-Nya. Allah berhak memiliki manusia sepenuhnya karena roh manusia berasal dari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya Allah menghendaki roh manusia suatu hari nanti—setelah menjalani hidup di bumi ini—untuk kembali kepada Dia.
Kalau memerhatikan Yakobus 4:1-4, tampak jelas adanya banyak keinginan dalam diri manusia yang menuntut untuk dipuaskan. Hal tersebut bisa mengakibatkan manusia hidup dalam belenggu keinginan-keinginan dunia, yaitu keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Ini yang menyebabkan seseorang menjadi sahabat dunia, sehingga menjadikan dirinya sebagai musuh Allah. Orang seperti ini akan terseret masuk ke dalam persekutuan dengan kerajaan gelap dan terhilang. Allah mau agar diri-Nya sebagai Bapa memiliki relasi dengan manusia yang adalah anak-anak-Nya. Relasi ini tidak bisa dibahasakan dengan kata-kata seperti relasi manusia dengan anak-anaknya. Hubungan antara anak dan bapak memiliki ikatan naluriah yang saling bersentuhan atau tersambung. Demikian pula hubungan Allah dengan manusia. Itulah sebabnya di dalam diri setiap anak manusia ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh siapa pun dan apa pun, kecuali oleh Allah sendiri, Bapanya.
Walaupun Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Roh Allah masih ada di dalam diri manusia sampai di Kejadian 6. Dalam Kejadian 6:2-3 tertulis, “Maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka. Berfirmanlah TUHAN: ‘Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja.’” Allah undur dari manusia dikarenakan manusia “daging” adanya. Maksudnya bahwa dalam berperilaku, manusia hanya mau memuaskan keinginan “daging”-nya sehingga tidak melakukan kehendak Allah. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku mereka dalam memilih pasangan hidup.
Manusia itu daging (Ibr. ḇā·śār; ר ש ב), hanya mau menyenangkan diri sendiri sehingga tidak bisa bersekutu dengan dengan Allah melalui Roh-Nya. Sejak Roh Allah undur, tidak ada lagi relasi atau hubungan ideal atau proporsional antara Allah dan manusia. Sejak itu juga, manusia memiliki kekosongan dalam dirinya yang tidak pernah dapat terisi oleh apa pun dan siapa pun, sebab hanya Allah di dalam dan melalui Roh-Nya yang dapat mengisinya. Keselamatan dalam Yesus Kristus dapat mengembalikan hubungan itu. Hubungan Allah sebagai Bapa dengan manusia sebagai anak yang terputus. Salib Kristus yang menghubungkan kembali Allah dengan manusia dan karena salib itu Allah memberikan Roh Kudus sebagai meterai dalam kehidupan orang percaya. Oleh sebab itu, orang percaya harus membuka diri dan berjuang untuk memiliki kembali hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.
https://overcast.fm/+IqOBg-7pg
( Sunday Bible Teaching ) SBT, 27 Oktober 2019 " Mengukir Sejarah Hidup " Bag 2 Pdt. Dr. Erastus Sabdono
Mimpi bisa menjadi sarana Tuhan berbicara kepada kita, itu bisa memuat pesan Tuhan.
Orang bisa belum sempurna, tetapi bisa mengasihi Tuhan.
Yang penting jangan berhenti berubah.
Tuhan juga tidak berhenti merubah kita.
Setiap kita diciptakan dengan khas dan khusus.
Yang tidak mungkin sama dengan siapapun.
Kemahatahuan Allah cerdasnya arsitek agung ini.
Dia merancang kita sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.
Matius 3 : 17
" Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadaNya Aku berkenan."
Tuhan melihat kemungkinan jalan hidup kita.
Keputusan - keputusan yang salah pasti bertalian dengan pembentukan karakter.
Setiap keputusan yang kita ambil itu terkait
dengan pembentukan karakter atau watak kita.
Kita tidak tahu peta hidup kita, kita tidak maha tahu.
Jika kita memperkarakan ini dengan Tuhan.
Pasti Tuhan menunjukkan kepada kita, pasti Tuhan tidak diam.
Kalau itu bejana atau lukisan, Tuhan pasti memberitahu kita.
Dalam keadaan kita yang carut - marut, compang - camping kita harus memiliki tekad, niat yang kuat untuk selalu berubah, karena Dia bersedia merubah.
Ketika kita berkerinduan untuk hidup tidak bercela, sesuci - sucinya kita akan mendengar suara.
Makin haus dan lapar akan kebenaran, kita akan dipuaskan.
Suara itu adalah pimpinan Roh Kudus atau Roh Allah.
Tetapi kalau kita tidak niat untuk hidup tidak bercela, kita puas dengan apa yang kita lakukan.
Kita akan mencari hal - hal yang memuaskan diri kita.
Kita tidak akan mendengar Dia berbicara.
Apa yang kita lakukan, sebelum kita lakukan, benihnya di pikiran kita.
Tidak mungkin tidak ada benih di dalam batin atau hati, kecuali kecelakaan.
Semua ada benihnya.
Kalau kita mengisi pikiran dengan kebenaran dan kesucian, mau naruh marah saja sudah tidak bisa.
Tidak ada ruangan untuk itu.
Kalau kita ingin barang ini, barang itu, tidak mungkin mendadak, tetapi sudah ada peta dalam diri kita ini.
Kalau orang mau baik, santun menurut hukum, logika agama cukup membuat kita tidak melanggar hukum.
Paulus berkata ditinjau dari hukum taurat, aku tidak bercela, jadi tidak perlu menggunakan kekuatan apapun, cukup logika beragama.
Tapi dalam segala hal yang kita lakukan sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah kita membutuhkan target kesucian, kekudusan setinggi - tingginya, tidak bercacat dan tidak bercela.
Kita harus memperkarakan firman itu di pikiran kita.
Medan pertempuran kita di dalam pikiran kita.
Peta pikiran kita harus benar - benar bersih.
Filipi 4 : 8
Jangan mengganggap ini perkara kecil, ini perkara besar.
Kita harus bersih dalam seluruh hidup kita, termasuk apa yang kita pikirkan.
1 Petrus 1 : 15
Kalau tidak mau membunuh, Kita harus membuang segala hal yang menyangkut kebencian itu.
Kita harus mau sungguh - sungguh membersihkan pikiran di kaki Tuhan.
Kita bait Roh Kudus.
Bagaimaan mekanisme karya Roh Kudus dalam hidup kita ?
Roh Allah disebut Roh Kudus supaya kita menyadari bahwa Allah itu kudus.
Ada percakapan kita dengan Roh kudus, melalui pengalaman hidup menjadi suara.
Tuhan memakai firman menjadi suara.
Firman yang dijelaskan menjadi suara dan Roh Kudus nanti akan memperkarakannya dalam diri kita.
Jadi tidak heran kalau orang yang serius mau hidup tidak bercacat dan tidak bercela, pada saat melakukan kesalahan damai sejahteranya hilang, hidupnya tidak tenang.
Roma 12 : 1 - 2
Jangan berhenti berjuang untuk perubahan.
Kita jangan menjadi manusia yang kita mau, tetapi menjadi manusia yang Tuhan mau kehendaki.
Target kita hidup kudus, tak bercacat tak bercela.
Roh Kudus baru berbicara kepada kita.
Untuk pembaharuan budi, hidup kita harus dipersembahkan, artinya kita harus memiliki satu fokus.
Fokus kita adalah Tuhan dan kerajaanNya.
Jadi kalau kita belum mempersembahkan total hidup kita, kita masih membias.
Ayat 1 berbicara fokus hidup, artinya jangan kita menyisakan apapun untuk dunia.
Tapi mempersembahkan seluruhnya untuk Tuhan.
Kalau sudah begitu kamu bisa mengalami pembaharuan pikiran, karena tidak ada beban, distorsi, gangguan dan macam - macam.
Jadi ayat ini mau mengajak orang percaya untuk tidak menyisakan apapun, tujuannya ini tidak serupa dengan dunia.
Kita masih ada unsur - unsur dunia, unsur - unsur kekafiran.
Jadi antara pengertian kita yang harus diubah dengan
daging kita merekam segala kenikmatan, itu perjuangan.
Tetapi makin kuat kita mengalami pembaharuan pikiran, daging kita harus ditundukkan sehingga dari orang yang hidup menurut daging menjadi orang yang hidup menurut roh.
Tidak ada ruangan untuk yang lain.
Ruangannya hanya untuk firman.
Makanya ada pernyataan suci itu bukan tidak berbuat dosa, tetapi tidak bisa
berbuat dosa.
Itu dari pikiran.
Pikiran yang bersih.
Pikiran yang dikuduskan.
Di sini kita melihat kehendak bebas manusia.
Allah memiliki kedaulatan.
Di dalam kedaulatan Allah memberi kehendak bebas.
Yang diperbaharui pikiran
Kalau pikiran diperbaharui tidak mungkin meleset.
Kalau Allah mengambil pikiran manusia dalam arti memberi kehendak, manusia jadi robot.
Jadi tidak mungkin menentukan seseorang selamat, yang lain dibiarkan.
Allah memberi kehendak bebas.
Masing - masing individu menentukan, memilih Allah atau tidak, hidup suci atau tidak baru memutuskan.
Masalahnya adalah bagaimana keputusan kita itu benar - benar bernilai tinggi, berkualitas tinggi ?
Itu juga perlu proses.
Jadi orang tidak bisa mendadak suci, mendadak menjadi berkenan di hadapan Allah.
Memang di dunia kita orang lebih mudah rusak daripada baik.
Tapi kehendak bebas kita, aku memilih mendengar firman.
Diakumulasi, sampai tidak ada tempat filosofi dunia, baru kehendak kita sesuai dengan Tuhan.
Jadi jangan anggap remeh, - Membaca Alkitab 10 - 15 menit.
- Mendengar khotbah pada waktu kita di mobil.
- Doa dan merenung, dari hari ke hari.
Yang tidak membiasakan diri mau memborong, tidak mungkin bisa.
Harus akumulasi, tiap hari berdoa, membaca Alkitab, baru bisa terbangun pikirannya.
Kesetiaan mengakumulasi.
Itu kuasa gelap bermanover.
Ada waktu untuk hal lain, ada waktu kita menggumuli firman.
Mengakumulasi sampai memiliki cara berpikir Kristus.
Seiring tekad kita untuk hidup tidak bercacat tidak bercela, lalu jatuh bangun tetapi kita tidak berhenti berusaha berubah.
Kita temui salah kita, kita minta ampun.
Mungkin besok salah lagi, salah yang sama, tetapi kita tidak berhenti minta ampun.
Ibrani 12 : 4 - 5
Dengan kita menyadari kesalahan kita, mengaku bersalah, kembali terus.
Berlaku firman, yang diampuni banyak, mengasihi banyak.
Jadi seiring dengan kesucian kita bertumbuh cinta kita kepada Tuhan bertumbuh sangat kuat.
Orang yang menghayati pengampunan Tuhan, sabarnya Tuhan meghadapiku, hidupnya lebih mengasihi Tuhan.
Tidak mungkin orang yang karakternya buruk mencintai Tuhan sangat kuat.
Seiring dengan karakter Tuhan yang ubah terus, cintanya kepada Tuhan semakin murni, bersih.
Betapa sabarnya menggarap kita.
Tuhan Yesus berkata Jadikan semua bangsa muridKu.
Karena Dia juga belajar.
Yesus bisa berbuat salah, tetapi Dia memilih tidak berbuat salah.
Dia mengalami pencobaan - pencobaan, supaya bisa menolong orang yang dicobai.
Dia belajar taat dari apa yang dideritanya sampai mencapai kesempurnaan menjadi pokok keselamatan.
Hanya bedanya Yesus tidak pernah jatuh, kita jatuh berkali - kali.
Jangan berhenti berubah, berhenti belajar.
Masalahnya waktu kita makin singkat.
Karena Tuhan tidak memberi
paket kilat.
Tuhanemberi paket bertahap yang harus diisi.
Maka waktu itu adalah anugrah.
Pergunakan waktu yang ada.
Jangan berkata Dia Allah, dia tidak berbuat salah.
Dia mengosongkan diri seperti manusia, termasuk kemungkinan salah.
Tapi Dia tidak melakukan kesalahan.
Ini berat, tapi kita bisa.
Sekarang kita tahu betapa lebar hati Tuhan untuk kita, asal kita berusaha untuk tidak berhenti berubah
Kita menjadi mesin kehidupan yang cerdas,yang sehingga mengerti apa yang baik, berkenan, dan sempurna, maka persembahkan tubuhmu, jangan disisakan.
Kita punya kesempatan sekali.
Manusia batiniah itu hebat.
Kenapa tidak kita olah untuk menjadi manusia batiniah yang agung.
Kalau gagal dibuang, diolah lagi sampai menjadi mesin kehidupan yang cerdas, baru memiliki pikiran dan perasaan Kristus.
Setiap belokan kesalahan kita menentukan karakter kita, akan menentukan hidup kita, maka harus hati - hati.
Kolose 3 : 2
Jadi urusan kita :
1. Keluarga
2. Pekerjaan
3 . Gereja
JBU 💐
Orang bisa belum sempurna, tetapi bisa mengasihi Tuhan.
Yang penting jangan berhenti berubah.
Tuhan juga tidak berhenti merubah kita.
Setiap kita diciptakan dengan khas dan khusus.
Yang tidak mungkin sama dengan siapapun.
Kemahatahuan Allah cerdasnya arsitek agung ini.
Dia merancang kita sesuai dengan apa yang Dia kehendaki.
Matius 3 : 17
" Inilah Anakku yang Kukasihi, kepadaNya Aku berkenan."
Tuhan melihat kemungkinan jalan hidup kita.
Keputusan - keputusan yang salah pasti bertalian dengan pembentukan karakter.
Setiap keputusan yang kita ambil itu terkait
dengan pembentukan karakter atau watak kita.
Kita tidak tahu peta hidup kita, kita tidak maha tahu.
Jika kita memperkarakan ini dengan Tuhan.
Pasti Tuhan menunjukkan kepada kita, pasti Tuhan tidak diam.
Kalau itu bejana atau lukisan, Tuhan pasti memberitahu kita.
Dalam keadaan kita yang carut - marut, compang - camping kita harus memiliki tekad, niat yang kuat untuk selalu berubah, karena Dia bersedia merubah.
Ketika kita berkerinduan untuk hidup tidak bercela, sesuci - sucinya kita akan mendengar suara.
Makin haus dan lapar akan kebenaran, kita akan dipuaskan.
Suara itu adalah pimpinan Roh Kudus atau Roh Allah.
Tetapi kalau kita tidak niat untuk hidup tidak bercela, kita puas dengan apa yang kita lakukan.
Kita akan mencari hal - hal yang memuaskan diri kita.
Kita tidak akan mendengar Dia berbicara.
Apa yang kita lakukan, sebelum kita lakukan, benihnya di pikiran kita.
Tidak mungkin tidak ada benih di dalam batin atau hati, kecuali kecelakaan.
Semua ada benihnya.
Kalau kita mengisi pikiran dengan kebenaran dan kesucian, mau naruh marah saja sudah tidak bisa.
Tidak ada ruangan untuk itu.
Kalau kita ingin barang ini, barang itu, tidak mungkin mendadak, tetapi sudah ada peta dalam diri kita ini.
Kalau orang mau baik, santun menurut hukum, logika agama cukup membuat kita tidak melanggar hukum.
Paulus berkata ditinjau dari hukum taurat, aku tidak bercela, jadi tidak perlu menggunakan kekuatan apapun, cukup logika beragama.
Tapi dalam segala hal yang kita lakukan sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah kita membutuhkan target kesucian, kekudusan setinggi - tingginya, tidak bercacat dan tidak bercela.
Kita harus memperkarakan firman itu di pikiran kita.
Medan pertempuran kita di dalam pikiran kita.
Peta pikiran kita harus benar - benar bersih.
Filipi 4 : 8
Jangan mengganggap ini perkara kecil, ini perkara besar.
Kita harus bersih dalam seluruh hidup kita, termasuk apa yang kita pikirkan.
1 Petrus 1 : 15
Kalau tidak mau membunuh, Kita harus membuang segala hal yang menyangkut kebencian itu.
Kita harus mau sungguh - sungguh membersihkan pikiran di kaki Tuhan.
Kita bait Roh Kudus.
Bagaimaan mekanisme karya Roh Kudus dalam hidup kita ?
Roh Allah disebut Roh Kudus supaya kita menyadari bahwa Allah itu kudus.
Ada percakapan kita dengan Roh kudus, melalui pengalaman hidup menjadi suara.
Tuhan memakai firman menjadi suara.
Firman yang dijelaskan menjadi suara dan Roh Kudus nanti akan memperkarakannya dalam diri kita.
Jadi tidak heran kalau orang yang serius mau hidup tidak bercacat dan tidak bercela, pada saat melakukan kesalahan damai sejahteranya hilang, hidupnya tidak tenang.
Roma 12 : 1 - 2
Jangan berhenti berjuang untuk perubahan.
Kita jangan menjadi manusia yang kita mau, tetapi menjadi manusia yang Tuhan mau kehendaki.
Target kita hidup kudus, tak bercacat tak bercela.
Roh Kudus baru berbicara kepada kita.
Untuk pembaharuan budi, hidup kita harus dipersembahkan, artinya kita harus memiliki satu fokus.
Fokus kita adalah Tuhan dan kerajaanNya.
Jadi kalau kita belum mempersembahkan total hidup kita, kita masih membias.
Ayat 1 berbicara fokus hidup, artinya jangan kita menyisakan apapun untuk dunia.
Tapi mempersembahkan seluruhnya untuk Tuhan.
Kalau sudah begitu kamu bisa mengalami pembaharuan pikiran, karena tidak ada beban, distorsi, gangguan dan macam - macam.
Jadi ayat ini mau mengajak orang percaya untuk tidak menyisakan apapun, tujuannya ini tidak serupa dengan dunia.
Kita masih ada unsur - unsur dunia, unsur - unsur kekafiran.
Jadi antara pengertian kita yang harus diubah dengan
daging kita merekam segala kenikmatan, itu perjuangan.
Tetapi makin kuat kita mengalami pembaharuan pikiran, daging kita harus ditundukkan sehingga dari orang yang hidup menurut daging menjadi orang yang hidup menurut roh.
Tidak ada ruangan untuk yang lain.
Ruangannya hanya untuk firman.
Makanya ada pernyataan suci itu bukan tidak berbuat dosa, tetapi tidak bisa
berbuat dosa.
Itu dari pikiran.
Pikiran yang bersih.
Pikiran yang dikuduskan.
Di sini kita melihat kehendak bebas manusia.
Allah memiliki kedaulatan.
Di dalam kedaulatan Allah memberi kehendak bebas.
Yang diperbaharui pikiran
Kalau pikiran diperbaharui tidak mungkin meleset.
Kalau Allah mengambil pikiran manusia dalam arti memberi kehendak, manusia jadi robot.
Jadi tidak mungkin menentukan seseorang selamat, yang lain dibiarkan.
Allah memberi kehendak bebas.
Masing - masing individu menentukan, memilih Allah atau tidak, hidup suci atau tidak baru memutuskan.
Masalahnya adalah bagaimana keputusan kita itu benar - benar bernilai tinggi, berkualitas tinggi ?
Itu juga perlu proses.
Jadi orang tidak bisa mendadak suci, mendadak menjadi berkenan di hadapan Allah.
Memang di dunia kita orang lebih mudah rusak daripada baik.
Tapi kehendak bebas kita, aku memilih mendengar firman.
Diakumulasi, sampai tidak ada tempat filosofi dunia, baru kehendak kita sesuai dengan Tuhan.
Jadi jangan anggap remeh, - Membaca Alkitab 10 - 15 menit.
- Mendengar khotbah pada waktu kita di mobil.
- Doa dan merenung, dari hari ke hari.
Yang tidak membiasakan diri mau memborong, tidak mungkin bisa.
Harus akumulasi, tiap hari berdoa, membaca Alkitab, baru bisa terbangun pikirannya.
Kesetiaan mengakumulasi.
Itu kuasa gelap bermanover.
Ada waktu untuk hal lain, ada waktu kita menggumuli firman.
Mengakumulasi sampai memiliki cara berpikir Kristus.
Seiring tekad kita untuk hidup tidak bercacat tidak bercela, lalu jatuh bangun tetapi kita tidak berhenti berusaha berubah.
Kita temui salah kita, kita minta ampun.
Mungkin besok salah lagi, salah yang sama, tetapi kita tidak berhenti minta ampun.
Ibrani 12 : 4 - 5
Dengan kita menyadari kesalahan kita, mengaku bersalah, kembali terus.
Berlaku firman, yang diampuni banyak, mengasihi banyak.
Jadi seiring dengan kesucian kita bertumbuh cinta kita kepada Tuhan bertumbuh sangat kuat.
Orang yang menghayati pengampunan Tuhan, sabarnya Tuhan meghadapiku, hidupnya lebih mengasihi Tuhan.
Tidak mungkin orang yang karakternya buruk mencintai Tuhan sangat kuat.
Seiring dengan karakter Tuhan yang ubah terus, cintanya kepada Tuhan semakin murni, bersih.
Betapa sabarnya menggarap kita.
Tuhan Yesus berkata Jadikan semua bangsa muridKu.
Karena Dia juga belajar.
Yesus bisa berbuat salah, tetapi Dia memilih tidak berbuat salah.
Dia mengalami pencobaan - pencobaan, supaya bisa menolong orang yang dicobai.
Dia belajar taat dari apa yang dideritanya sampai mencapai kesempurnaan menjadi pokok keselamatan.
Hanya bedanya Yesus tidak pernah jatuh, kita jatuh berkali - kali.
Jangan berhenti berubah, berhenti belajar.
Masalahnya waktu kita makin singkat.
Karena Tuhan tidak memberi
paket kilat.
Tuhanemberi paket bertahap yang harus diisi.
Maka waktu itu adalah anugrah.
Pergunakan waktu yang ada.
Jangan berkata Dia Allah, dia tidak berbuat salah.
Dia mengosongkan diri seperti manusia, termasuk kemungkinan salah.
Tapi Dia tidak melakukan kesalahan.
Ini berat, tapi kita bisa.
Sekarang kita tahu betapa lebar hati Tuhan untuk kita, asal kita berusaha untuk tidak berhenti berubah
Kita menjadi mesin kehidupan yang cerdas,yang sehingga mengerti apa yang baik, berkenan, dan sempurna, maka persembahkan tubuhmu, jangan disisakan.
Kita punya kesempatan sekali.
Manusia batiniah itu hebat.
Kenapa tidak kita olah untuk menjadi manusia batiniah yang agung.
Kalau gagal dibuang, diolah lagi sampai menjadi mesin kehidupan yang cerdas, baru memiliki pikiran dan perasaan Kristus.
Setiap belokan kesalahan kita menentukan karakter kita, akan menentukan hidup kita, maka harus hati - hati.
Kolose 3 : 2
Jadi urusan kita :
1. Keluarga
2. Pekerjaan
3 . Gereja
JBU 💐
Renungan Harian 10 November 2019 TERKUNCI OLEH BAPA
Oleh karena kasih-Nya, Allah mengunci manusia dengan keadaan di mana ia tidak akan pernah dapat dipuaskan tanpa Allah sebagai Bapanya dalam atau melalui relasi yang ideal. Hal ini dimaksudkan agar manusia hidup hanya untuk mencari dan bergantung kepada Allah sebagai Bapanya. Mencari dan bergantung kepada Allah bukan karena pemenuhan kebutuhan jasmani atau karena hal apa pun, melainkan karena kebutuhan untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah guna memuaskan dahaga jiwa. Dengan demikian, manusia tidak akan pernah dapat hidup terpisah dari Allah sebagai Bapa. Allah mengunci manusia dengan cara menaruh keadaan unik dan istimewa dalam dirinya tersebut. Keadaan unik yang ada pada manusia ini tidak ada dalam makhluk lain. Keadaan unik itu ialah seperti adanya rongga kosong dalam jiwa manusia yang tidak bisa diisi oleh siapa pun dan apa pun selain oleh Allah sendiri.
Allah sebagai Bapa yang menciptakan langit dan bumi juga menciptakan manusia dengan keadaan memiliki rongga kosong di dalam diri manusia yang hanya bisa diisi oleh Allah sebagai Bapa. Dalam hal ini, Allah mengunci manusia dengan kehausan yang tidak dapat dipuaskan oleh siapa pun dan apa pun selain oleh Allah sendiri. Tuhan Yesus menyatakan bahwa jika manusia minum air dari dunia ini, ia akan menjadi haus lagi; tetapi kalau ia minum air yang diberikan oleh Tuhan Yesus, ia akan menjadi puas (Yoh. 4:13-14). Air yang dimaksud adalah persekutuan dengan Allah sebagi Bapa. Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa diri-Nya adalah Air Kehidupan. Tentu maksudnya adalah dengan menemukan Yesus, manusia dipertemukan dengan Allah sebagai Bapanya sebab Yesus adalah satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup untuk dapat sampai kepada Bapa.
Sebenarnya, kehausan jiwa terhadap Allah sudah disadari oleh umat Perjanjian Lama, sehingga mereka bisa mengatakan, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (Mzm. 42:2-3). Di bagian lain, terdapat pengakuan ini, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm. 73:25-26). Hal ini bisa dialami oleh mereka yang memiliki persekutuan dengan Allah. Mereka menyadari kehausan jiwa seperti itu. Namun faktanya, memang sangat sedikit umat Perjanjian Lama yang menyadari akan kehausan ini.
Dengan demikian, rongga kosong yang membuat manusia bisa merasakan kehausan tersebut menjadi ikatan yang kudus bagi manusia dengan Allah Bapa. Ini bukan ikatan yang membinasakan, melainkan ikatan yang menghidupkan. Manusia justru seharusnya bersyukur dengan adanya ikatan tersebut sebab tanpa ikatan ini manusia menjadi liar dan terhilang. Inilah belenggu yang memerdekakan. Sebaliknya, kalau manusia terpisah atau merdeka dari Allah, manusia justru memosisikan dirinya dalam belenggu kebinasaan.
Oleh kasih-Nya, Bapa menempatkan kehausan akan diri-Nya dalam kehidupan manusia yang adalah anak-anak-Nya, agar manusia tidak dapat terpisah dari diri- Nya sebagai Bapanya. Sesungguhnya, inilah yang membatasi manusia. Manusia bisa tidak dibatasi dalam daya nalar dan intelektual atau rasionya. Bahkan kemungkinan besar, manusia bisa menciptakan segala sesuatu yang tidak terbatas, meskipun tentu tidak akan pernah bisa menyamai Allah. Namun bagaimana pun, manusia tidak pernah akan dapat dibebaskan dari kehausan yang kudus, yaitu kehausan untuk memiliki persekutuan dengan Allah, Bapanya. Kalau orang tidak memiliki kehausan yang kudus, yaitu kehausan akan Allah, Bapanya, ia akan terjebak dengan kehausan terhadap perkara-perkara dunia fana ini.
Dalam keadaan manusia yang sudah rusak, manusia bisa tidak merasa terikat dengan Allah, malahan semakin memberontak. Manusia akan semakin menjauh dari Allah dengan mengingini banyak hal dalam dunia ini. Banyak orang Kristen yang belum menyadari keadaan mereka yang masih terbelenggu dengan percintaan dunia, sehingga jika hal itu tidak diakhiri orang Kristen itu akan binasa. Pada dasarnya, setiap orang harus memilih, apakah terikat dengan Alah sebagai Bapanya atau terikat dengan dunia di mana Iblis yang menjadi bapanya. Sejak hidup di dunia ini seseorang harus benar-benar memutuskan siapakah yang akan menjadi Bapanya. Kalau orang percaya menjadikan Allah sebagai Bapanya, ketika menutup mata, Bapa akan mengutus malaikat-Nya untuk menjemputnya pulang ke rumah Bapa.
https://overcast.fm/+IqODPTHIU
Allah sebagai Bapa yang menciptakan langit dan bumi juga menciptakan manusia dengan keadaan memiliki rongga kosong di dalam diri manusia yang hanya bisa diisi oleh Allah sebagai Bapa. Dalam hal ini, Allah mengunci manusia dengan kehausan yang tidak dapat dipuaskan oleh siapa pun dan apa pun selain oleh Allah sendiri. Tuhan Yesus menyatakan bahwa jika manusia minum air dari dunia ini, ia akan menjadi haus lagi; tetapi kalau ia minum air yang diberikan oleh Tuhan Yesus, ia akan menjadi puas (Yoh. 4:13-14). Air yang dimaksud adalah persekutuan dengan Allah sebagi Bapa. Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa diri-Nya adalah Air Kehidupan. Tentu maksudnya adalah dengan menemukan Yesus, manusia dipertemukan dengan Allah sebagai Bapanya sebab Yesus adalah satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup untuk dapat sampai kepada Bapa.
Sebenarnya, kehausan jiwa terhadap Allah sudah disadari oleh umat Perjanjian Lama, sehingga mereka bisa mengatakan, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (Mzm. 42:2-3). Di bagian lain, terdapat pengakuan ini, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm. 73:25-26). Hal ini bisa dialami oleh mereka yang memiliki persekutuan dengan Allah. Mereka menyadari kehausan jiwa seperti itu. Namun faktanya, memang sangat sedikit umat Perjanjian Lama yang menyadari akan kehausan ini.
Dengan demikian, rongga kosong yang membuat manusia bisa merasakan kehausan tersebut menjadi ikatan yang kudus bagi manusia dengan Allah Bapa. Ini bukan ikatan yang membinasakan, melainkan ikatan yang menghidupkan. Manusia justru seharusnya bersyukur dengan adanya ikatan tersebut sebab tanpa ikatan ini manusia menjadi liar dan terhilang. Inilah belenggu yang memerdekakan. Sebaliknya, kalau manusia terpisah atau merdeka dari Allah, manusia justru memosisikan dirinya dalam belenggu kebinasaan.
Oleh kasih-Nya, Bapa menempatkan kehausan akan diri-Nya dalam kehidupan manusia yang adalah anak-anak-Nya, agar manusia tidak dapat terpisah dari diri- Nya sebagai Bapanya. Sesungguhnya, inilah yang membatasi manusia. Manusia bisa tidak dibatasi dalam daya nalar dan intelektual atau rasionya. Bahkan kemungkinan besar, manusia bisa menciptakan segala sesuatu yang tidak terbatas, meskipun tentu tidak akan pernah bisa menyamai Allah. Namun bagaimana pun, manusia tidak pernah akan dapat dibebaskan dari kehausan yang kudus, yaitu kehausan untuk memiliki persekutuan dengan Allah, Bapanya. Kalau orang tidak memiliki kehausan yang kudus, yaitu kehausan akan Allah, Bapanya, ia akan terjebak dengan kehausan terhadap perkara-perkara dunia fana ini.
Dalam keadaan manusia yang sudah rusak, manusia bisa tidak merasa terikat dengan Allah, malahan semakin memberontak. Manusia akan semakin menjauh dari Allah dengan mengingini banyak hal dalam dunia ini. Banyak orang Kristen yang belum menyadari keadaan mereka yang masih terbelenggu dengan percintaan dunia, sehingga jika hal itu tidak diakhiri orang Kristen itu akan binasa. Pada dasarnya, setiap orang harus memilih, apakah terikat dengan Alah sebagai Bapanya atau terikat dengan dunia di mana Iblis yang menjadi bapanya. Sejak hidup di dunia ini seseorang harus benar-benar memutuskan siapakah yang akan menjadi Bapanya. Kalau orang percaya menjadikan Allah sebagai Bapanya, ketika menutup mata, Bapa akan mengutus malaikat-Nya untuk menjemputnya pulang ke rumah Bapa.
https://overcast.fm/+IqODPTHIU
Renungan Harian 09 November 2019 KEKOSONGAN
Allah menciptakan manusia sebagai anak-anak-Nya agar manusia memiliki hubungan dengan Allah sebagai Bapa, sehingga kedua belah pihak saling mengisi. Keterpisahan antara Allah dan manusia menyisakan sebuah rongga kosong dalam diri manusia yang tidak bisa diisi oleh siapa pun dan apa pun. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan kepada perempuan Samaria di kota Sikhar, di perigi Yakub, “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 4:13-14). Kata “air ini” yang dimaksud Tuhan Yesus adalah kekayaan dunia, kepuasaan jasmani, makan, minum, seks, dan lain sebagainya. Semua itu adalah “air dunia” yang tidak akan dapat memuaskan jiwa dan kehidupan manusia. Kalau seseorang sudah kecanduan, kesenangan dunia tersebut menjadi ikatan yang sampai taraf tertentu tidak bisa lagi dibebaskan. Sampai pada tingkat tertentu berarti sampai seseorang telah menghujat Roh Kudus. Menghujat Roh Kudus menunjukkan sikap hidup yang selalu menolak karya Roh Kudus di dalam hidupnya, sampai akhirnya Roh Kudus tidak bisa lagi menggarap orang tersebut.
Kesalahan banyak orang adalah berusaha mengisi kekosongan dalam dirinya dengan materi kekayaan dunia dan segala hiburan dunia ini, selanjutnya juga berusaha memuaskan keinginan daging dengan kepuasan-kepuasan “daging”-nya. Orang-orang seperti ini bukannya memperoleh apa yang dibutuhkan, melainkan sebaliknya, malah terperangkap ke dalam kubangan kuasa kegelapan. Mengingini dunia untuk membangun kepuasan hidup merupakan tindakan menyembah Iblis (Luk. 4:5-8). Banyak orang tertipu oleh kuasa dunia sehingga mereka terbelenggu dengan berbagai kesenangan dan keinginan dunia. Mereka tergiring menuju kegelapan abadi. Bapak mereka bukanlah Allah Bapa di surga, melainkan kuasa kegelapan. Ketika mereka meninggal, bapa mereka—yaitu kuasa kegelapan—akan menjemput mereka.
Dalam hal tersebut, dapat dibedakan antara anak-anak Allah yang benar dan anak-anak Allah yang palsu. Anak-anak Allah yang benar merasa hanya dapat dibahagiakan oleh Allah dan Kerajaan-Nya, tetapi anak-anak Allah yang palsu merasa hanya dapat dibahagiakan oleh dunia ini. Sebagai anak-anak Allah, orang percaya harus belajar untuk meninggalkan kesenangan dunia, kemudian menikmati Tuhan dan hadirat-Nya. Hal ini membutuhkan perjuangan karena selama bertahun-tahun manusia telah terbiasa hidup dengan berbagai kesenangan dunia, yang membuat seluruh hasrat dan cita rasa jiwanya telah terbelenggu oleh kesenangan dunia ini. Mereka sama sekali tidak mudah untuk dapat melepaskannya. Namun, dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, Roh Kudus dengan Firman Kebenaran akan menuntunnya sehingga orang percaya dapat memperoleh kemerdekaan.
Rongga kosong dalam diri manusia tidak dapat diisi oleh apa pun dan siapa pun kecuali oleh Allah dengan hubungan yang harmonis di dalam dan melalui Roh Kudus. Oleh sebab itu, sejak Roh Allah undur dari manusia yang dikisahkan dalam Kejadian 6, manusia tidak lagi berpotensi untuk dapat membangun hubungan yang harmonis sebagai anak dengan Allah sebagai Bapa. Bisa dimengerti mengapa kehidupan umat pilihan Perjanjian Lama belum bisa diajar untuk bagaimana hidup sebagai anak-anak Allah. Proyeksi dan orientasi hidup mereka hanya berkat-berkat jasmani: tanah yang berlimpah susu dan madu, kejayaan kerajaan duniawi, panen raya yang berlimpah, menang dari musuh, bebas dari epidemi penyakit, dan lain sebagainya, yang bertalian dengan pemenuhan kebutuhan jasmani.
Tanpa keselamatan dalam Yesus seseorang tidak dapat membangun diri untuk kembali ke rancangan semula Allah, yaitu menjadi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah. Dengan keberadaan tidak segambar dan tidak serupa dengan Allah, seseorang tidak dapat memiliki persekutuan (fellowship) yang ideal dengan Allah sebagai Bapa. Karakter yang belum sesuai dengan gambar dan rupa Allah tidak memungkinkan manusia untuk memiliki relasi yang harmonis dengan Allah. Oleh sebab itu, hanya umat pilihan Perjanjian Baru yang dimungkinkan dikembalikan ke rancangan semula sehingga dapat memiliki persekutuan dengan Allah Bapa secara ideal. Oleh karena itu, sebagai umat pilihan Perjanjian Baru, kita harus berusaha mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar, yaitu bagaimana memiliki pikiran dan perasaan Kristus, supaya bisa “nyambung” dengan Bapa (Flp. 2:5-13). Hal ini harus diselesaikan dengan sempurna,
Kesalahan banyak orang adalah berusaha mengisi kekosongan dalam dirinya dengan materi kekayaan dunia dan segala hiburan dunia ini, selanjutnya juga berusaha memuaskan keinginan daging dengan kepuasan-kepuasan “daging”-nya. Orang-orang seperti ini bukannya memperoleh apa yang dibutuhkan, melainkan sebaliknya, malah terperangkap ke dalam kubangan kuasa kegelapan. Mengingini dunia untuk membangun kepuasan hidup merupakan tindakan menyembah Iblis (Luk. 4:5-8). Banyak orang tertipu oleh kuasa dunia sehingga mereka terbelenggu dengan berbagai kesenangan dan keinginan dunia. Mereka tergiring menuju kegelapan abadi. Bapak mereka bukanlah Allah Bapa di surga, melainkan kuasa kegelapan. Ketika mereka meninggal, bapa mereka—yaitu kuasa kegelapan—akan menjemput mereka.
Dalam hal tersebut, dapat dibedakan antara anak-anak Allah yang benar dan anak-anak Allah yang palsu. Anak-anak Allah yang benar merasa hanya dapat dibahagiakan oleh Allah dan Kerajaan-Nya, tetapi anak-anak Allah yang palsu merasa hanya dapat dibahagiakan oleh dunia ini. Sebagai anak-anak Allah, orang percaya harus belajar untuk meninggalkan kesenangan dunia, kemudian menikmati Tuhan dan hadirat-Nya. Hal ini membutuhkan perjuangan karena selama bertahun-tahun manusia telah terbiasa hidup dengan berbagai kesenangan dunia, yang membuat seluruh hasrat dan cita rasa jiwanya telah terbelenggu oleh kesenangan dunia ini. Mereka sama sekali tidak mudah untuk dapat melepaskannya. Namun, dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, Roh Kudus dengan Firman Kebenaran akan menuntunnya sehingga orang percaya dapat memperoleh kemerdekaan.
Rongga kosong dalam diri manusia tidak dapat diisi oleh apa pun dan siapa pun kecuali oleh Allah dengan hubungan yang harmonis di dalam dan melalui Roh Kudus. Oleh sebab itu, sejak Roh Allah undur dari manusia yang dikisahkan dalam Kejadian 6, manusia tidak lagi berpotensi untuk dapat membangun hubungan yang harmonis sebagai anak dengan Allah sebagai Bapa. Bisa dimengerti mengapa kehidupan umat pilihan Perjanjian Lama belum bisa diajar untuk bagaimana hidup sebagai anak-anak Allah. Proyeksi dan orientasi hidup mereka hanya berkat-berkat jasmani: tanah yang berlimpah susu dan madu, kejayaan kerajaan duniawi, panen raya yang berlimpah, menang dari musuh, bebas dari epidemi penyakit, dan lain sebagainya, yang bertalian dengan pemenuhan kebutuhan jasmani.
Tanpa keselamatan dalam Yesus seseorang tidak dapat membangun diri untuk kembali ke rancangan semula Allah, yaitu menjadi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah. Dengan keberadaan tidak segambar dan tidak serupa dengan Allah, seseorang tidak dapat memiliki persekutuan (fellowship) yang ideal dengan Allah sebagai Bapa. Karakter yang belum sesuai dengan gambar dan rupa Allah tidak memungkinkan manusia untuk memiliki relasi yang harmonis dengan Allah. Oleh sebab itu, hanya umat pilihan Perjanjian Baru yang dimungkinkan dikembalikan ke rancangan semula sehingga dapat memiliki persekutuan dengan Allah Bapa secara ideal. Oleh karena itu, sebagai umat pilihan Perjanjian Baru, kita harus berusaha mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar, yaitu bagaimana memiliki pikiran dan perasaan Kristus, supaya bisa “nyambung” dengan Bapa (Flp. 2:5-13). Hal ini harus diselesaikan dengan sempurna,
Renungan Harian 08 November 2019 DINAMIKA RELASIONAL
Dalam Amsal 30:18-19 tertulis sebagai berikut, “Ada tiga hal yang mengherankan aku, bahkan, ada empat hal yang tidak kumengerti: jalan rajawali di udara, jalan ular di atas cadas, jalan kapal di tengah-tengah laut, dan jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis.” Kata “yang mengherankan” berasal dari kata bahasa Ibrani, pawlaw ( ָּפ א ל ), yang bisa berarti sesuatu “yang menakjubkan” atau “memukau” karena luar biasa (to be marvellous, be wonderful). Penulis Amsal menunjukkan kekagumannya terhadap karya Allah yang luar biasa tersebut. Salah satunya adalah “jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis.” Frasa ini dalam bahasa Inggris diterjemahkan “the way of a man with a virgin.” Hal ini menunjuk relasi yang menakjubkan kalau seorang pria dan wanita saling jatuh cinta. Relasi yang terbangun antara kedua insan tersebut adalah keajaiban yang Allah ciptakan.
Kecakapan Allah bukan hanya ditunjukkan dengan menciptakan alam semesta beserta hukum-hukumnya, melainkan juga hubungan antar pribadi yang merupakan bukti atau ekspresi dari keahlian Tuhan semesta alam. Allah juga menciptakan segala tatanan atau hukum alam, seperti: jalannya kapal di atas air yang sesuai dengan Hukum Archimedes, salah satu hukum dari sekian banyak hukum yang mengatur kehidupan. Allah juga menciptakan relasi istimewa antara diri-Nya dengan orang percaya. Dalam Efesus 5:31- 32, Paulus menjelaskan hubungan istimewa antara pria dan wanita yang terikat dalam hubungan suami istri, yang dinilai mengandung misteri, dan ternyata dapat menjadi lambang hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Paulus menulis, “This is a great mystery: but I speak concerning Christ and the church” (Alkitab terjemahan King James Version dari Ef. 5:32). Dalam tulisan yang lain Paulus menunjukkan bahwa hubungan jemaat dengan Tuhan Yesus itu sebagai hubungan mempelai pria dengan mempelai wanita (2Kor. 11:2- 3). Perjalanan hidup orang percaya adalah perjalanan menemukan hubungan yang luar biasa antara orang percaya sebagai mempelai wanita dengan Yesus sebagai mempelai pria, dan juga hubungan antara orang percaya sebagai anak dengan Allah sebagai Bapa.
Agar manusia sebagai anak bisa berinteraksi dengan Allah sebagai Bapanya, manusia harus memiliki komponen-komponen yang ada pada Allah dan juga memiliki kualitas yang baik atas komponen-komponen tersebut. Itulah sebabnya manusia diciptakan menurut gambar Allah dan juga dikehendaki untuk memiliki rupa atau kualitas seperti yang dikehendaki Allah. Komponen-komponen yang ada pada diri manusia yang juga ada pada diri Allah adalah pikiran dan perasaan. Dengan pikiran dan perasaan tersebut, manusia dapat membangun kehendak atau keinginan. Dengan keinginan atau kehendak, manusia bisa memilih untuk hidup dalam pemberontakan atau penurutan terhadap Allah. Ini berarti manusia dapat memilih untuk mengasihi dan menghormati Allah, atau tidak mengasihi dan tidak menghormati Dia. Dengan keberadaan manusia seperti ini, terbuka peluang terjadinya sebuah dinamika yang tulus, jujur, dan natural antara Allah dan manusia.
Kalau manusia didesain untuk harus mengasihi dan menghormati Allah—sehingga manusia secara otomatis melakukannya—tidak ada dinamika yang tulus, jujur, dan natural antara Allah dan manusia. Dalam hal ini, arah dan nasib manusia seakan-akan sudah ditentukan oleh Allah. Jelas, ini tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Kebenaran adanya kehendak bebas supaya manusia bisa ber-“fellowship” dengan Allah sebagai Bapa dengan tulus, jujur ,dan natural ditunjukkan dengan fragmen Allah menempatkan dua buah pohon di Taman. Allah memberi nasihat dan peringatan kepada Adam dan Hawa yang mewakili manusia yang akan dihadirkan di bumi. Kemudian faktanya, Allah tidak mencegah ketika mereka memetik buah yang dilarang untuk dikonsumsi tersebut. Tentu sebagai akibat dan konsekuensinya adalah manusia gagal memiliki kehidupan yang berkualitas untuk dapat membangun relasi dengan Allah sebagai Bapa.
Dinamika relasi yang indah yang seharusnya terbangun antara manusia sebagai anak dan Allah sebagai Bapa telah gagal karena manusia tidak mencapai standar kualitas manusia yang serupa dengan Allah. Manusia memang masih memiliki pikiran dan perasaan, dan manusia masih bisa memiliki kehendak atau keinginan, tetapi kehendak atau keinginan manusia terkunci dalam keadaan tidak akan pernah mampu mencapai standar kesucian Allah. Dalam hal ini, manusia telah kehilangan kemuliaan Allah seperti yang dikemukakan Paulus di dalam Roma 3:23. Dalam teks aslinya kata “kehilangan” adalah yustereo, yang lebih tepat diterjemahkan kekurangan atau tidak mencapai standar. Karena manusia tidak mencapai standar kesucian Allah, manusia tidak bisa membangun hubungan yang sepatutnya dengan Allah sebagai Bapa. Kesempatan hidup di bumi sebagai orang percaya harus dipergunakan hanya untuk menyelesaikan dengan sempurna panggilan agar memiliki relasi dengan Allah tersebut.
https://overcast.fm/+IqOCh9pOc
Kecakapan Allah bukan hanya ditunjukkan dengan menciptakan alam semesta beserta hukum-hukumnya, melainkan juga hubungan antar pribadi yang merupakan bukti atau ekspresi dari keahlian Tuhan semesta alam. Allah juga menciptakan segala tatanan atau hukum alam, seperti: jalannya kapal di atas air yang sesuai dengan Hukum Archimedes, salah satu hukum dari sekian banyak hukum yang mengatur kehidupan. Allah juga menciptakan relasi istimewa antara diri-Nya dengan orang percaya. Dalam Efesus 5:31- 32, Paulus menjelaskan hubungan istimewa antara pria dan wanita yang terikat dalam hubungan suami istri, yang dinilai mengandung misteri, dan ternyata dapat menjadi lambang hubungan Kristus dengan jemaat-Nya. Paulus menulis, “This is a great mystery: but I speak concerning Christ and the church” (Alkitab terjemahan King James Version dari Ef. 5:32). Dalam tulisan yang lain Paulus menunjukkan bahwa hubungan jemaat dengan Tuhan Yesus itu sebagai hubungan mempelai pria dengan mempelai wanita (2Kor. 11:2- 3). Perjalanan hidup orang percaya adalah perjalanan menemukan hubungan yang luar biasa antara orang percaya sebagai mempelai wanita dengan Yesus sebagai mempelai pria, dan juga hubungan antara orang percaya sebagai anak dengan Allah sebagai Bapa.
Agar manusia sebagai anak bisa berinteraksi dengan Allah sebagai Bapanya, manusia harus memiliki komponen-komponen yang ada pada Allah dan juga memiliki kualitas yang baik atas komponen-komponen tersebut. Itulah sebabnya manusia diciptakan menurut gambar Allah dan juga dikehendaki untuk memiliki rupa atau kualitas seperti yang dikehendaki Allah. Komponen-komponen yang ada pada diri manusia yang juga ada pada diri Allah adalah pikiran dan perasaan. Dengan pikiran dan perasaan tersebut, manusia dapat membangun kehendak atau keinginan. Dengan keinginan atau kehendak, manusia bisa memilih untuk hidup dalam pemberontakan atau penurutan terhadap Allah. Ini berarti manusia dapat memilih untuk mengasihi dan menghormati Allah, atau tidak mengasihi dan tidak menghormati Dia. Dengan keberadaan manusia seperti ini, terbuka peluang terjadinya sebuah dinamika yang tulus, jujur, dan natural antara Allah dan manusia.
Kalau manusia didesain untuk harus mengasihi dan menghormati Allah—sehingga manusia secara otomatis melakukannya—tidak ada dinamika yang tulus, jujur, dan natural antara Allah dan manusia. Dalam hal ini, arah dan nasib manusia seakan-akan sudah ditentukan oleh Allah. Jelas, ini tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Kebenaran adanya kehendak bebas supaya manusia bisa ber-“fellowship” dengan Allah sebagai Bapa dengan tulus, jujur ,dan natural ditunjukkan dengan fragmen Allah menempatkan dua buah pohon di Taman. Allah memberi nasihat dan peringatan kepada Adam dan Hawa yang mewakili manusia yang akan dihadirkan di bumi. Kemudian faktanya, Allah tidak mencegah ketika mereka memetik buah yang dilarang untuk dikonsumsi tersebut. Tentu sebagai akibat dan konsekuensinya adalah manusia gagal memiliki kehidupan yang berkualitas untuk dapat membangun relasi dengan Allah sebagai Bapa.
Dinamika relasi yang indah yang seharusnya terbangun antara manusia sebagai anak dan Allah sebagai Bapa telah gagal karena manusia tidak mencapai standar kualitas manusia yang serupa dengan Allah. Manusia memang masih memiliki pikiran dan perasaan, dan manusia masih bisa memiliki kehendak atau keinginan, tetapi kehendak atau keinginan manusia terkunci dalam keadaan tidak akan pernah mampu mencapai standar kesucian Allah. Dalam hal ini, manusia telah kehilangan kemuliaan Allah seperti yang dikemukakan Paulus di dalam Roma 3:23. Dalam teks aslinya kata “kehilangan” adalah yustereo, yang lebih tepat diterjemahkan kekurangan atau tidak mencapai standar. Karena manusia tidak mencapai standar kesucian Allah, manusia tidak bisa membangun hubungan yang sepatutnya dengan Allah sebagai Bapa. Kesempatan hidup di bumi sebagai orang percaya harus dipergunakan hanya untuk menyelesaikan dengan sempurna panggilan agar memiliki relasi dengan Allah tersebut.
https://overcast.fm/+IqOCh9pOc
Renungan Harian 07 November 2019 SEMPURNA DALAM KESUCIAN
Pembahasan tentang kesempurnaan tidak dapat lepas dari kesucian. Apakah sebenarnya “kesucian” itu? “Kesucian,” dari akar kata “suci,” dalam bahasa Indonesia bisa berarti: bersih, bebas dari dosa, tidak bersalah, tidak bernoda, tidak bercela, dan murni. Sinonim dari kata “suci” adalah “kudus.” Memahami kesucian dari perspektif kekristenan harus didasarkan pada apa yang dikemukakan Alkitab. Dalam kekristenan, “kesucian” menunjuk pada keadaan di mana seseorang dapat bersekutu dengan Allah karena berkeadaan sesuai dengan kesucian Allah. Ini bukan hanya keadaan tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum, tetapi memiliki keadaan diri di mana seseorang bisa sepikiran dan seperasaan dengan Allah. Kesucian di sini bukanlah hanya kesucian lahiriah, melainkan juga kesucian batiniah. Kesucian ini bukan sekadar keadaan tidak berdosa karena tidak melakukan suatu perbuatan amoral yang kelihatan, melainkan juga suatu sikap hati yang tidak mengandung unsur-unsur kejahatan terhadap sesama (Mat. 15:17-20).
Kesempurnaan dalam kesucian bukanlah fantasi sebab kesempurnaan dalam konteks kehidupan orang percaya memiliki ukuran Tuhan sendiri. Kalau Tuhan adalah pribadi yang hidup dan benar-benar nyata, ukuran kesempurnaan juga benar-benar nyata, bukan sebuah fantasi atau halusinasi. Orang yang tidak mengakui adanya kesempurnaan yang berdasarkan perspektif Allah bisa mendekati keadaan ateis, artinya ia tidak mengakui keberadaan Allah. Orang Kristen seperti ini tidak berusaha untuk berinteraksi dengan Allah untuk mengerti kehendak Allah dan melakukannya. Mereka dapat membuat rumusan, definisi, kajian dan doktrin-doktrin teologi, tetapi tidak bersentuhan dengan Allah secara pribadi. Ironisnya, justru kelompok ini adalah mereka yang belajar teologi dan menjadi pengajar di sekolah-sekolah teologi dan bahkan menjadi pejabat sinode di dalam gereja.
Banyak orang Kristen tidak mau mengerti bahwa orang percaya dipanggil untuk sempurna dalam kesucian. Sempurna dalam kesucian di sini adalah kehidupan yang bersih dalam ukuran manusia sesuai dengan yang ditargetkan atau dikehendaki Allah untuk dicapai seseorang. Kesempurnaan dalam kesucian masing-masing individu tentu saja sesuai dengan kapasitas yang dapat dicapai oleh masing-masing individu tersebut. Dalam hal ini, setiap komunitas dan individu memiliki tuntutan yang berbeda. Bagi umat pilihan Perjanjian Lama, mereka hanya dituntut untuk melakukan Hukum Taurat dengan sebaik-baiknya atau sesempurna mungkin. Namun untuk umat pilihan Perjanjian Baru, mereka dituntut untuk serupa dengan Tuhan Yesus. Standar kesucian umat Perjanjian Baru bukan Hukum, melainkan Tuhan sendiri. Itulah sebabnya orang percaya harus berprinsip, “Tuhan adalah hukumku.”
Oleh sebab itu, orang percaya harus berurusan dengan Allah secara pribadi. Orang percaya harus memiliki kepekaan terhadap kehendak Allah dan menemukan penilaian Allah terhadap dirinya. Orang percaya yang benar selalu “menggelar perkara” di hadapan Allah. Perkara yang digelar adalah dirinya sendiri, yaitu apakah keadaan dirinya sudah berkenan di hadapan Allah atau belum. Orang percaya yang menggelar perkara di hadapan Allah selalu mempersoalkan, “Apakah ada hal-hal yang Tuhan kehendaki yang masih belum dilakukan atau apakah keberadaan orang percaya tersebut sudah memuaskan hati Allah atau belum?” Dalam hal ini, orang percaya harus belajar dari pemazmur yang meminta kepada Tuhan agar Tuhan menyelidiki dirinya. Maksud hal tersebut adalah untuk menemukan apakah jalannya serong atau menyimpang (Mzm. 139:23-24). Koreksi diri ini harus menjadi irama hidup dan kebiasaan setiap hari.
Dalam pergumulan hidup orang percaya untuk mengerti kehendak Allah dan melakukan kehendak-Nya, pusat hidupnya bukanlah hukum yang tertulis, tetapi Allah sendiri. Dengan demikian, orang percaya, tidak bisa tidak, harus menjadi teosentris, bukan antroposentris. Teosentris di sini berarti menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan, dimana orang percaya hidup hanya untuk melakukan kehendak Allah, bukan kehendaknya sendiri. Yesus adalah model atau prototipe atau purwarupa manusia yang memiliki kesempurnaan dalam kesucian Sebagai umat pilihan yang ditentukan untuk serupa dengan Dia, orang percaya memiliki panggilan untuk berjuang menjadi serupa dengan Yesus. Perjuangan untuk serupa dengan Yesus sebenarnya sama artinya
dengan perjuangan untuk sempurna dalam kesucian. Orang percaya harus menghabiskan sisa umur hidupnya hanya untuk menyelesaikan dengan sempurna kesucian hidupnya yang berstandar Yesus. Bagi mereka yang sisa umur hidupnya tinggal beberapa tahun, ia sejatinya harus lebih memiliki perasaan krisis, yaitu bagaimana memanfaatkan waktu yang ada untuk mencapai kesempurnaan dalam kesucian.
https://overcast.fm/+IqOBuqkwI
Kesempurnaan dalam kesucian bukanlah fantasi sebab kesempurnaan dalam konteks kehidupan orang percaya memiliki ukuran Tuhan sendiri. Kalau Tuhan adalah pribadi yang hidup dan benar-benar nyata, ukuran kesempurnaan juga benar-benar nyata, bukan sebuah fantasi atau halusinasi. Orang yang tidak mengakui adanya kesempurnaan yang berdasarkan perspektif Allah bisa mendekati keadaan ateis, artinya ia tidak mengakui keberadaan Allah. Orang Kristen seperti ini tidak berusaha untuk berinteraksi dengan Allah untuk mengerti kehendak Allah dan melakukannya. Mereka dapat membuat rumusan, definisi, kajian dan doktrin-doktrin teologi, tetapi tidak bersentuhan dengan Allah secara pribadi. Ironisnya, justru kelompok ini adalah mereka yang belajar teologi dan menjadi pengajar di sekolah-sekolah teologi dan bahkan menjadi pejabat sinode di dalam gereja.
Banyak orang Kristen tidak mau mengerti bahwa orang percaya dipanggil untuk sempurna dalam kesucian. Sempurna dalam kesucian di sini adalah kehidupan yang bersih dalam ukuran manusia sesuai dengan yang ditargetkan atau dikehendaki Allah untuk dicapai seseorang. Kesempurnaan dalam kesucian masing-masing individu tentu saja sesuai dengan kapasitas yang dapat dicapai oleh masing-masing individu tersebut. Dalam hal ini, setiap komunitas dan individu memiliki tuntutan yang berbeda. Bagi umat pilihan Perjanjian Lama, mereka hanya dituntut untuk melakukan Hukum Taurat dengan sebaik-baiknya atau sesempurna mungkin. Namun untuk umat pilihan Perjanjian Baru, mereka dituntut untuk serupa dengan Tuhan Yesus. Standar kesucian umat Perjanjian Baru bukan Hukum, melainkan Tuhan sendiri. Itulah sebabnya orang percaya harus berprinsip, “Tuhan adalah hukumku.”
Oleh sebab itu, orang percaya harus berurusan dengan Allah secara pribadi. Orang percaya harus memiliki kepekaan terhadap kehendak Allah dan menemukan penilaian Allah terhadap dirinya. Orang percaya yang benar selalu “menggelar perkara” di hadapan Allah. Perkara yang digelar adalah dirinya sendiri, yaitu apakah keadaan dirinya sudah berkenan di hadapan Allah atau belum. Orang percaya yang menggelar perkara di hadapan Allah selalu mempersoalkan, “Apakah ada hal-hal yang Tuhan kehendaki yang masih belum dilakukan atau apakah keberadaan orang percaya tersebut sudah memuaskan hati Allah atau belum?” Dalam hal ini, orang percaya harus belajar dari pemazmur yang meminta kepada Tuhan agar Tuhan menyelidiki dirinya. Maksud hal tersebut adalah untuk menemukan apakah jalannya serong atau menyimpang (Mzm. 139:23-24). Koreksi diri ini harus menjadi irama hidup dan kebiasaan setiap hari.
Dalam pergumulan hidup orang percaya untuk mengerti kehendak Allah dan melakukan kehendak-Nya, pusat hidupnya bukanlah hukum yang tertulis, tetapi Allah sendiri. Dengan demikian, orang percaya, tidak bisa tidak, harus menjadi teosentris, bukan antroposentris. Teosentris di sini berarti menjadikan Allah sebagai pusat kehidupan, dimana orang percaya hidup hanya untuk melakukan kehendak Allah, bukan kehendaknya sendiri. Yesus adalah model atau prototipe atau purwarupa manusia yang memiliki kesempurnaan dalam kesucian Sebagai umat pilihan yang ditentukan untuk serupa dengan Dia, orang percaya memiliki panggilan untuk berjuang menjadi serupa dengan Yesus. Perjuangan untuk serupa dengan Yesus sebenarnya sama artinya
dengan perjuangan untuk sempurna dalam kesucian. Orang percaya harus menghabiskan sisa umur hidupnya hanya untuk menyelesaikan dengan sempurna kesucian hidupnya yang berstandar Yesus. Bagi mereka yang sisa umur hidupnya tinggal beberapa tahun, ia sejatinya harus lebih memiliki perasaan krisis, yaitu bagaimana memanfaatkan waktu yang ada untuk mencapai kesempurnaan dalam kesucian.
https://overcast.fm/+IqOBuqkwI
Renungan Harian 06 November 2019 PENGERTIAN SEMPURNA
Dalam membahas tema buku ini, mau tidak mau kita harus memahami apa yang dimaksud dengan “sempurna” itu. Kesempurnaan artinya keadaan atau sesuatu yang bersifat sempurna. Kata “sempurna” sebenarnya bisa memiliki banyak pengertian, antara lain: utuh, lengkap atau tidak kurang, berkeadaan tidak bercacat dan tidak bercela, telah selesai, tuntas, teratur, bekerja secara benar, sampai tujuan atau mencapai yang ditargetkan, dan baik sekali. “Kesempurnaan mutlak” hanya ada pada Allah. Kesempurnaan mutlak adalah sempurna dalam arti tidak terbatas, tidak terhingga, tidak pernah dan tidak akan pernah bercacat serta tidak bercela sama sekali, tidak pernah dan tidak akan pernah tidak lengkap, selalu utuh dan segala sesuatunya selalu teratur. Kesempurnaan yang dibicarakan dalam buku ini bukanlah kesempurnaan Allah, sebab kesempurnaan Allah sudah selesai, tidak perlu diragukan lagi. Banyak orang selalu menghubungkan kesempurnaannya dengan keberadaan Allah. Ini adalah pemikiran yang salah sehingga mereka menolak ketika ada yang membahas kesempurnaan terkait dengan manusia.
Mereka yang menolak fakta manusia bisa sempurna atau berkenan di hadapan Allah pasti tidak berjuang maksimal atau secara proporsional untuk bertumbuh di dalam Tuhan. Dengan pemikiran yang salah mengenai hal tersebut, mereka ber-mental block, artinya sudah merasa tidak akan pernah mencapai kesempurnaan sampai kapan pun. Pikiran mereka telah terpasung oleh pemikiran tersebut, sehingga mereka sudah gagal sebelum mencoba atau berusaha. Kesempurnaan yang dibicarakan dalam buku ini adalah keberadaan manusia yang harus menjadi lengkap, utuh, tidak bercacat, dan tidak bercela di hadapan Allah. Memang tidak salah kalau ada pemikiran bahwa manusia adalah makhluk lemah dalam kaitannya dengan perilakunya untuk menjadi sempurna. Sangatlah benar bahwa manusia tidak akan pernah bisa menjadi sempurna dengan kekuatannya sendiri. Dosa telah mengunci manusia dalam ketidakberdayaan untuk melakukan kehendak Allah dengan sempurna. Namun, keselamatan dalam Yesus Kristus menyediakan fasilitas untuk sempurna seperti Bapa, artinya dapat melakukan segala sesuatu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah (Mat. 5:48). Bagi manusia, hal menjadi sempurna memang mustahil, tetapi tidak bagi Allah (Mat. 19:26).
Seharusnya, setiap orang percaya memahami dengan benar kata “sempurna” sesuai dengan konteks Alkitab. Penolakan terhadap kebenaran ini sangat merugikan. Orang percaya tidak boleh bersikap skeptis. Skeptis artinya kurang percaya atau tidak yakin bisa melakukan jika hal ini berkaitan dengan pengajaran sehingga ragu-ragu untuk memercayainya. Skeptis terkait dengan kemungkinan dapat sempurna artinya tidak yakin, ragu-ragu, dan memandang terlalu sulit untuk dapat mencapai kesempurnaan. Firman Tuhan menyatakan bahwa orang percaya harus sempurna. Ini berarti bahwa orang percaya bisa mencapai kesempurnaan. Sikap skeptis adalah sikap tidak memercayai pribadi Allah. Kesempurnaan masing-masing individu itu berbeda. Sikap skeptis menunjukkan ketidakpahamannya mengenai kesempurnaan orang percaya di dalam Tuhan. Orang-orang tersebut pasti tidak pernah menggumulinya dengan benar. Sikap curiga dan skeptis ini akhirnya berujung pada penolakan. Penolakan terhadap panggilan untuk sempurna sama dengan penolakan untuk mengerjakan keselamatan, penolakan untuk menjadi seperti Yesus dan lulus sebagai corpus delicti.
Setiap orang percaya mendapat panggilan untuk mencapai kesempurnaan tersebut. Untuk itu, perhatian orang percaya tidak boleh terbelah sehingga dapat mengganggu pertumbuhan untuk menjadi sempurna seperti Bapa. Dalam kesaksiannya, Paulus menyatakan, “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus” (Flp. 3:12). Orang percaya yang benar dan mengerti panggilannya pasti berjuang untuk mencapai kesempurnaan; sehingga suatu hari nanti, ketika menutup mata, mereka dijumpai Tuhan berkeadaan berkenan di hadapan-Nya.
Dalam hal ini, kesempurnaan berpijak dan berangkat dari keinginan dan kehendak Allah. Hal ini sama dengan bahwa kesempurnaan itu berorientasi pada diri Allah sendiri, yaitu pada pikiran dan perasaan Allah, yang merupakan segala sesuatu yang menyenangkan hati-Nya. Dari hal ini sangat dapat dimengerti mengapa Paulus mengatakan bahwa yang diusahakan adalah mengerti kehendak Allah, yaitu apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna (Rm. 12:2). Selanjutnya, Paulus berusaha untuk berkenan kepada Allah, sebab kehidupan setiap orang akan diperhadapkan kepada penghakiman-Nya (2Kor. 5:9- 10). Suatu sikap atau tindakan yang tidak sesuai dengan keinginan atau kehendak Allah itu bukanlah kesempurnaan, walaupun hal tersebut tampaknya baik dan tidak melanggar norma umum manusia. Untuk mencapai kesempurnaan ini, orang percaya harus menyelesaikan panggilannya dengan sempurna.
https://overcast.fm/+IqOBWRrik
Mereka yang menolak fakta manusia bisa sempurna atau berkenan di hadapan Allah pasti tidak berjuang maksimal atau secara proporsional untuk bertumbuh di dalam Tuhan. Dengan pemikiran yang salah mengenai hal tersebut, mereka ber-mental block, artinya sudah merasa tidak akan pernah mencapai kesempurnaan sampai kapan pun. Pikiran mereka telah terpasung oleh pemikiran tersebut, sehingga mereka sudah gagal sebelum mencoba atau berusaha. Kesempurnaan yang dibicarakan dalam buku ini adalah keberadaan manusia yang harus menjadi lengkap, utuh, tidak bercacat, dan tidak bercela di hadapan Allah. Memang tidak salah kalau ada pemikiran bahwa manusia adalah makhluk lemah dalam kaitannya dengan perilakunya untuk menjadi sempurna. Sangatlah benar bahwa manusia tidak akan pernah bisa menjadi sempurna dengan kekuatannya sendiri. Dosa telah mengunci manusia dalam ketidakberdayaan untuk melakukan kehendak Allah dengan sempurna. Namun, keselamatan dalam Yesus Kristus menyediakan fasilitas untuk sempurna seperti Bapa, artinya dapat melakukan segala sesuatu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah (Mat. 5:48). Bagi manusia, hal menjadi sempurna memang mustahil, tetapi tidak bagi Allah (Mat. 19:26).
Seharusnya, setiap orang percaya memahami dengan benar kata “sempurna” sesuai dengan konteks Alkitab. Penolakan terhadap kebenaran ini sangat merugikan. Orang percaya tidak boleh bersikap skeptis. Skeptis artinya kurang percaya atau tidak yakin bisa melakukan jika hal ini berkaitan dengan pengajaran sehingga ragu-ragu untuk memercayainya. Skeptis terkait dengan kemungkinan dapat sempurna artinya tidak yakin, ragu-ragu, dan memandang terlalu sulit untuk dapat mencapai kesempurnaan. Firman Tuhan menyatakan bahwa orang percaya harus sempurna. Ini berarti bahwa orang percaya bisa mencapai kesempurnaan. Sikap skeptis adalah sikap tidak memercayai pribadi Allah. Kesempurnaan masing-masing individu itu berbeda. Sikap skeptis menunjukkan ketidakpahamannya mengenai kesempurnaan orang percaya di dalam Tuhan. Orang-orang tersebut pasti tidak pernah menggumulinya dengan benar. Sikap curiga dan skeptis ini akhirnya berujung pada penolakan. Penolakan terhadap panggilan untuk sempurna sama dengan penolakan untuk mengerjakan keselamatan, penolakan untuk menjadi seperti Yesus dan lulus sebagai corpus delicti.
Setiap orang percaya mendapat panggilan untuk mencapai kesempurnaan tersebut. Untuk itu, perhatian orang percaya tidak boleh terbelah sehingga dapat mengganggu pertumbuhan untuk menjadi sempurna seperti Bapa. Dalam kesaksiannya, Paulus menyatakan, “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus” (Flp. 3:12). Orang percaya yang benar dan mengerti panggilannya pasti berjuang untuk mencapai kesempurnaan; sehingga suatu hari nanti, ketika menutup mata, mereka dijumpai Tuhan berkeadaan berkenan di hadapan-Nya.
Dalam hal ini, kesempurnaan berpijak dan berangkat dari keinginan dan kehendak Allah. Hal ini sama dengan bahwa kesempurnaan itu berorientasi pada diri Allah sendiri, yaitu pada pikiran dan perasaan Allah, yang merupakan segala sesuatu yang menyenangkan hati-Nya. Dari hal ini sangat dapat dimengerti mengapa Paulus mengatakan bahwa yang diusahakan adalah mengerti kehendak Allah, yaitu apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna (Rm. 12:2). Selanjutnya, Paulus berusaha untuk berkenan kepada Allah, sebab kehidupan setiap orang akan diperhadapkan kepada penghakiman-Nya (2Kor. 5:9- 10). Suatu sikap atau tindakan yang tidak sesuai dengan keinginan atau kehendak Allah itu bukanlah kesempurnaan, walaupun hal tersebut tampaknya baik dan tidak melanggar norma umum manusia. Untuk mencapai kesempurnaan ini, orang percaya harus menyelesaikan panggilannya dengan sempurna.
https://overcast.fm/+IqOBWRrik
Renungan Harian 05 November 2019 KEBERHARGAAN MANUSIA
Tidak banyak orang yang menyadari betapa berharganya manusia. Keberhargaan manusia bukan karena ia memiliki metabolisme tubuh dan seluruh keberadaan fisiknya yang luar biasa sehingga bisa berinteraksi dengan alam secara sempurna dan bisa menikmatinya secara berlimpah di dalam atau dengan tubuh fisiknya. Berharganya hidup manusia adalah karena adanya potensi dan kesempatan untuk berinteraksi dengan Dia yang Mahaagung, Bapa di surga dan Anak Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus. Seharusnya, setiap insan menyadari, mengakui, dan menerima bahwa salah satu maksud atau tujuan penciptaan manusia yang terutama adalah agar manusia dapat memiliki relasi atau hubungan yang benar dengan Bapa-Nya. Dengan relasi itu, Allah sebagai Bapa dan manusia sebagai anak bisa saling mengisi dalam relasi yang saling membahagiakan. Relasi seperti ini telah dimiliki oleh Bapa dengan Anak Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus, di kekekalan. Jadi, di kekekalan, Allah Bapa telah memadu kasih dengan Anak Tunggal- Nya itu. Relasi seperti ini adalah relasi yang dikehendaki oleh Allah Bapa dengan anak- anak-Nya yang lain, yaitu manusia. Sejak semula, memang Yesus adalah Anak Sulung Allah Bapa dari banyak anak-anak Allah lainnya.
Relasi manusia dengan Allah sebagai Bapa adalah relasi yang khas dan unik yang tidak bisa disejajarkan dengan relasi dengan siapa pun dan apa pun. Relasi ini lebih dari sekadar “istimewa,” karena begitu “sangat istimewa” dan luar biasa. Demi terbangunnya relasi ini, orang percaya harus mengerti dan menerima bahwa manusia adalah benar- benar anak-anak Allah. Keberadaan manusia sangat luar biasa. Hal ini memberi potensi manusia dapat berinteraksi dengan Allah, Bapanya. Relasi yang dibangun antara Allah sebagai Bapa dan manusia sebagai anak adalah relasi yang dirancang sebagai relasi kekal. Itulah sebabnya manusia diciptakan sebagai makhluk kekal. Dengan demikian, manusia sebenarnya tidak dirancang untuk mengalami kematian. Manusia dirancang untuk memiliki kekekalan seperti Bapa juga kekal. Seandainya manusia tidak memberontak kepada Allah, Bapanya, manusia dapat memiliki kehidupan yang tidak berakhir, sebuah kehidupan yang berlangsung dalam keabadian. Allah yang besar, agung dan mulia, serta cerdas adalah Allah yang merancang kehidupan sempurna bagi manusia dalam keabadian agar dapat berinteraksi dengan diri-Nya. Namun dalam perjalanan sejarah kehidupan, manusia sendiri merusak rancangan Allah yang sangat baik dalam dirinya tersebut.
Kehidupan yang dimiliki manusia hari ini bukanlah kehidupan ideal yang dirancang Allah. Ini adalah kehidupan yang sudah merosot nilainya, jauh dari rancangan semula Allah. Kehidupan di bumi menjadi produk kehidupan yang gagal atau rusak karena manusia yang diberi kehidupan itu sendiri merusaknya dengan pemberontakannya terhadap Allah. Keadaan ini tentu saja bukan kesalahan pihak Allah. Namun dalam kasih- Nya, Allah sebagai Bapa, berkenan menyelamatkan manusia, anak-anak-Nya. Untuk penyelamatan ini Allah harus mengurbankan milik kesayangan-Nya, yaitu Anak Tunggal- Nya yang ada “di pangkuan Allah Bapa” dan yang menjadi kesukaan Bapa sebelum dunia diciptakan. Allah Bapa memberi keselamatan kepada manusia melalui dan di dalam Anak Tunggal-Nya, supaya manusia dapat dikembalikan kepada rancangan semula Allah, yaitu memiliki relasi yang istimewa dengan diri Allah, Bapanya.
Allah memiliki segala sesuatu, tetapi apa pun dan siapa pun yang Allah Bapa miliki tidak akan melebihi milik kesayangan-Nya, yaitu Putra Tunggal-Nya. Namun demi kecintaan Allah Bapa kepada manusia, ia memberikan Anak Tunggal-Nya tersebut. Terkait dengan hal ini, Firman Tuhan menyatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Kalau orang Kristen tidak memiliki relasi yang dikehendaki oleh Allah Bapa seperti rancangan semula, orang Kristen tersebut belum mengenal dan memiliki keselamatan yang Allah berikan. Hidup kekal dalam ayat ini bukan hanya mengenai kehidupan nanti di surga, melainkan juga kehidupan sekarang di bumi. Kualitas kehidupan sekarang di bumi justru menunjukan kehidupan yang akan datang nanti di kekekalan. Jadi, peta kehidupan seseorang hari ini menunjukkan peta kehidupannya di kekekalan nanti. Oleh sebab itu, setiap orang percaya harus berjuang untuk menemukan relasi istimewa dengan Allah, Bapanya, selama hidup di bumi.
https://overcast.fm/+IqOBi0hHQ
Relasi manusia dengan Allah sebagai Bapa adalah relasi yang khas dan unik yang tidak bisa disejajarkan dengan relasi dengan siapa pun dan apa pun. Relasi ini lebih dari sekadar “istimewa,” karena begitu “sangat istimewa” dan luar biasa. Demi terbangunnya relasi ini, orang percaya harus mengerti dan menerima bahwa manusia adalah benar- benar anak-anak Allah. Keberadaan manusia sangat luar biasa. Hal ini memberi potensi manusia dapat berinteraksi dengan Allah, Bapanya. Relasi yang dibangun antara Allah sebagai Bapa dan manusia sebagai anak adalah relasi yang dirancang sebagai relasi kekal. Itulah sebabnya manusia diciptakan sebagai makhluk kekal. Dengan demikian, manusia sebenarnya tidak dirancang untuk mengalami kematian. Manusia dirancang untuk memiliki kekekalan seperti Bapa juga kekal. Seandainya manusia tidak memberontak kepada Allah, Bapanya, manusia dapat memiliki kehidupan yang tidak berakhir, sebuah kehidupan yang berlangsung dalam keabadian. Allah yang besar, agung dan mulia, serta cerdas adalah Allah yang merancang kehidupan sempurna bagi manusia dalam keabadian agar dapat berinteraksi dengan diri-Nya. Namun dalam perjalanan sejarah kehidupan, manusia sendiri merusak rancangan Allah yang sangat baik dalam dirinya tersebut.
Kehidupan yang dimiliki manusia hari ini bukanlah kehidupan ideal yang dirancang Allah. Ini adalah kehidupan yang sudah merosot nilainya, jauh dari rancangan semula Allah. Kehidupan di bumi menjadi produk kehidupan yang gagal atau rusak karena manusia yang diberi kehidupan itu sendiri merusaknya dengan pemberontakannya terhadap Allah. Keadaan ini tentu saja bukan kesalahan pihak Allah. Namun dalam kasih- Nya, Allah sebagai Bapa, berkenan menyelamatkan manusia, anak-anak-Nya. Untuk penyelamatan ini Allah harus mengurbankan milik kesayangan-Nya, yaitu Anak Tunggal- Nya yang ada “di pangkuan Allah Bapa” dan yang menjadi kesukaan Bapa sebelum dunia diciptakan. Allah Bapa memberi keselamatan kepada manusia melalui dan di dalam Anak Tunggal-Nya, supaya manusia dapat dikembalikan kepada rancangan semula Allah, yaitu memiliki relasi yang istimewa dengan diri Allah, Bapanya.
Allah memiliki segala sesuatu, tetapi apa pun dan siapa pun yang Allah Bapa miliki tidak akan melebihi milik kesayangan-Nya, yaitu Putra Tunggal-Nya. Namun demi kecintaan Allah Bapa kepada manusia, ia memberikan Anak Tunggal-Nya tersebut. Terkait dengan hal ini, Firman Tuhan menyatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Kalau orang Kristen tidak memiliki relasi yang dikehendaki oleh Allah Bapa seperti rancangan semula, orang Kristen tersebut belum mengenal dan memiliki keselamatan yang Allah berikan. Hidup kekal dalam ayat ini bukan hanya mengenai kehidupan nanti di surga, melainkan juga kehidupan sekarang di bumi. Kualitas kehidupan sekarang di bumi justru menunjukan kehidupan yang akan datang nanti di kekekalan. Jadi, peta kehidupan seseorang hari ini menunjukkan peta kehidupannya di kekekalan nanti. Oleh sebab itu, setiap orang percaya harus berjuang untuk menemukan relasi istimewa dengan Allah, Bapanya, selama hidup di bumi.
https://overcast.fm/+IqOBi0hHQ
Renungan Harian 04 November 2019 BERASAL DARI ALLAH SENDIRI
Manusia telah kehilangan kemuliaan Allah. Maksudnya, manusia tidak memiliki kehidupan tepat persis seperti yang dikehendaki oleh Allah Bapa. Keadaan manusia seperti ini adalah keadaan manusia yang pasti tidak dapat memiliki fellowship dengan Allah sebagai Bapa. Ini berarti sebuah kehidupan yang meleset atau tidak sesuai dengan rancangan Allah semula dalam menciptakan manusia. Allah tidak menghendaki kehidupan seperti ini, sebaik apa pun keadaan orang tersebut di mata manusia. Dalam hal ini, orang percaya harus memahami bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat secara mutlak dan absolut. Kehendak-Nya harus dituruti secara penuh atau sempurna, mutlak, dan absolut. Dengan keadaan manusia yang benar, kedua belah pihak—antara Allah dan manusia—dapat saling mengisi. Allah berkehendak untuk menikmati manusia sebagai anak-anak-Nya dengan standar “kenikmatan” yang dikehendaki oleh Dia.
Ketika manusia pertama tidak mencapai standar yang Allah inginkan, Allah mengusir Adam dari Taman Eden. Sekilas, hal ini mengesankan bahwa Allah adalah pribadi yang kejam dan sewenang-wenang. Namun, sebenarnya tidak demikian sebab Allah menghendaki persekutuan yang eksklusif. Akan tetapi, Adam tidak memenuhi standar sehingga ia harus undur dari hadapan Allah. Allah berhak bertindak demikian. Namun sebelum hal itu terjadi, Allah sudah memberi peringatan. Ini seperti sebuah perjanjian antara Allah dengan Adam, bahwa ketidaktaatan Adam membuat Adam kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Di sini manusia diperlakukan sebagai pribadi yang terhormat yang dipandang dapat dipercayai atau diberi tanggung jawab. Ketika manusia mengingkari tanggung jawabnya, manusia pun harus menuai akibatnya. Tatanan keadilan Allah menuntut hal tersebut ditegakkan.
Manusia adalah makhluk yang sangat berharga di mata Allah Bapa, tetapi bukan berarti manusia secara otomatis atau dengan sendirinya bisa hidup dalam persekutuan dengan Bapa. Manusia diberi tanggung jawab untuk memilih: apakah mau menjadi anak-anak Allah atau anak-anak Iblis. Menjadi anak-anak Allah berarti hidup dalam persekutuan dengan Dia. Sebaliknya, jika tidak demikian berarti manusia memosisikan diri sebagai pemberontak. Dalam hal ini, apakah seseorang mau menjadi agung atau tidak, itu tergantung pada dirinya sendiri. Hidup di dalam dunia yang singkat ini merupakan satu-satunya kesempatan untuk membangun keagungan pribadi sebagai anak- anak Allah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus datang memberi kuasa atau hak supaya orang percaya menjadi anak-anak Allah. Adapun apakah seseorang menggunakan kuasa atau hak (Yun. exousia) tersebut atau tidak, itu tergantung masing-masing individu dan hal tersebut menentukan kualitas hidupnya.
Sebenarnya, peta hidup manusia sudah jelas, bahwa di ujung perjalanan hidup di bumi ini adalah kematian, dan sesudah itu manusia diperhadapkan kepada penghakiman. Jika seseorang meninggal dunia, tidak ada satu pun benda dan kehormatan yang ia telah diperjuangkan selama hidup akan dibawa. Sebagaimana seseorang datang sendiri, ia pun akan pulang sendiri. Sebagaimana seseorang tanpa membawa apa-apa datang ke dunia ini, ia pun akan kembali tanpa membawa apa-apa juga. Ini adalah sesuatu yang pasti dan merupakan hukum kehidupan yang tidak dapat ditolak. Seharusnya, setiap orang memikirkan apa yang bisa dibawa sebagai bekal dalam kehidupan yang akan datang nanti.
Dalam Ayub 1: 21 tertulis, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya …!” Pengertian kata “kandungan ibu” di sini bisa menunjuk kepada Allah Bapa sebagai pemberi roh. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa manusia berasal dari Allah (Kej. 2:7; Pkb. 12:7). Kata “mengaruniakan” dalam Pengkhotbah 12:7 adalah natan (ןתנ), yang lebih tepat diterjemahkan: memberikan atau menempatkan atau ditempatkan (be laid). Makhluk manusia bukan tidak jelas asal muasalnya. Manusia berasal dari Allah sendiri sehingga orang percaya yang telah dilahirkan oleh Allah boleh memanggil Dia sebagai Bapa.
Harus disadari betapa berharganya manusia sebab di dalam dirinya ada roh dari Allah. Inilah yang diperjuangkan oleh Allah Bapa, sehingga Bapa mengutus Putra Tunggal-Nya untuk menebus manusia. Dalam hal ini, manusia seakan-akan seharga dengan diri Anak Tunggal-Nya yang paling dikasihi-Nya. Bapa menghendaki agar roh yang berasal dari Dia—yang diberi daging—melakukan kehendak-Nya; bukan melakukan kehendak dan keinginannya sendiri. Jika manusia melakukan keinginannya sendiri, ia menjadikan dirinya sebagai musuh Allah, Bapanya (Yak. 4:1-5). Orang yang hidup hanya melakukan keinginan dirinya sendiri tidak akan dapat memiliki persekutuan yang benar dengan Allah sebagai Bapa.
https://overcast.fm/+IqOA5yXbQ
Ketika manusia pertama tidak mencapai standar yang Allah inginkan, Allah mengusir Adam dari Taman Eden. Sekilas, hal ini mengesankan bahwa Allah adalah pribadi yang kejam dan sewenang-wenang. Namun, sebenarnya tidak demikian sebab Allah menghendaki persekutuan yang eksklusif. Akan tetapi, Adam tidak memenuhi standar sehingga ia harus undur dari hadapan Allah. Allah berhak bertindak demikian. Namun sebelum hal itu terjadi, Allah sudah memberi peringatan. Ini seperti sebuah perjanjian antara Allah dengan Adam, bahwa ketidaktaatan Adam membuat Adam kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Di sini manusia diperlakukan sebagai pribadi yang terhormat yang dipandang dapat dipercayai atau diberi tanggung jawab. Ketika manusia mengingkari tanggung jawabnya, manusia pun harus menuai akibatnya. Tatanan keadilan Allah menuntut hal tersebut ditegakkan.
Manusia adalah makhluk yang sangat berharga di mata Allah Bapa, tetapi bukan berarti manusia secara otomatis atau dengan sendirinya bisa hidup dalam persekutuan dengan Bapa. Manusia diberi tanggung jawab untuk memilih: apakah mau menjadi anak-anak Allah atau anak-anak Iblis. Menjadi anak-anak Allah berarti hidup dalam persekutuan dengan Dia. Sebaliknya, jika tidak demikian berarti manusia memosisikan diri sebagai pemberontak. Dalam hal ini, apakah seseorang mau menjadi agung atau tidak, itu tergantung pada dirinya sendiri. Hidup di dalam dunia yang singkat ini merupakan satu-satunya kesempatan untuk membangun keagungan pribadi sebagai anak- anak Allah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus datang memberi kuasa atau hak supaya orang percaya menjadi anak-anak Allah. Adapun apakah seseorang menggunakan kuasa atau hak (Yun. exousia) tersebut atau tidak, itu tergantung masing-masing individu dan hal tersebut menentukan kualitas hidupnya.
Sebenarnya, peta hidup manusia sudah jelas, bahwa di ujung perjalanan hidup di bumi ini adalah kematian, dan sesudah itu manusia diperhadapkan kepada penghakiman. Jika seseorang meninggal dunia, tidak ada satu pun benda dan kehormatan yang ia telah diperjuangkan selama hidup akan dibawa. Sebagaimana seseorang datang sendiri, ia pun akan pulang sendiri. Sebagaimana seseorang tanpa membawa apa-apa datang ke dunia ini, ia pun akan kembali tanpa membawa apa-apa juga. Ini adalah sesuatu yang pasti dan merupakan hukum kehidupan yang tidak dapat ditolak. Seharusnya, setiap orang memikirkan apa yang bisa dibawa sebagai bekal dalam kehidupan yang akan datang nanti.
Dalam Ayub 1: 21 tertulis, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya …!” Pengertian kata “kandungan ibu” di sini bisa menunjuk kepada Allah Bapa sebagai pemberi roh. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa manusia berasal dari Allah (Kej. 2:7; Pkb. 12:7). Kata “mengaruniakan” dalam Pengkhotbah 12:7 adalah natan (ןתנ), yang lebih tepat diterjemahkan: memberikan atau menempatkan atau ditempatkan (be laid). Makhluk manusia bukan tidak jelas asal muasalnya. Manusia berasal dari Allah sendiri sehingga orang percaya yang telah dilahirkan oleh Allah boleh memanggil Dia sebagai Bapa.
Harus disadari betapa berharganya manusia sebab di dalam dirinya ada roh dari Allah. Inilah yang diperjuangkan oleh Allah Bapa, sehingga Bapa mengutus Putra Tunggal-Nya untuk menebus manusia. Dalam hal ini, manusia seakan-akan seharga dengan diri Anak Tunggal-Nya yang paling dikasihi-Nya. Bapa menghendaki agar roh yang berasal dari Dia—yang diberi daging—melakukan kehendak-Nya; bukan melakukan kehendak dan keinginannya sendiri. Jika manusia melakukan keinginannya sendiri, ia menjadikan dirinya sebagai musuh Allah, Bapanya (Yak. 4:1-5). Orang yang hidup hanya melakukan keinginan dirinya sendiri tidak akan dapat memiliki persekutuan yang benar dengan Allah sebagai Bapa.
https://overcast.fm/+IqOA5yXbQ
Renungan Harian 03 November 2019 MEMPERSIAPKAN KEDATANGAN TUHAN
Dalam Wahyu 6:11 tertulis bahwa kedatangan Tuhan Yesus menunggu genapnya atau lengkapnya “jumlah orang yang kehilangan nyawa karena dibunuh.” Kata “dibunuh” dalam teks aslinya adalah apokteino (ἀποκτείνω). Kata ini secara metafora juga berarti memadamkan (to extinguish) atau menghapuskan (abolish) kehidupan atau nyawa. Dalam teks aslinya, kata “nyawa” adalah terjemahan dari kata psukhe (ψυχή) yang menunjuk pada pikiran, perasaan, dan keinginan atau kehendak. Kata “dibunuh” tidak harus berkaitan dengan pembunuhan secara fisik. Kalau “pembunuhan” hanya dikaitkan dengan fisik manusia, berarti mereka yang bisa mengalahkan Iblis hanyalah yang mengalami aniaya fisik. Padahal, Firman Tuhan mengatakan bahwa yang bisa mengalahkan Iblis adalah “darah Anak Domba Allah, dan oleh perkataan kesaksian mereka, karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut” (Why. 12:11). Mengalahkan Iblis berarti Iblis atau Lusifer beserta pengikutnya dapat dibuang ke dalam kegelapan abadi.
Orang yang memiliki “perkataan kesaksian” adalah orang yang benar-benar telah mengalami suatu perjuangan sungguh-sungguh, sampai tidak menyayangkan nyawanya. Tidak menyayangkan nyawa juga berarti tidak memiliki kesenangan atau keinginan dunia, kecuali melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Hal ini sama dengan berusaha menjadi corpus delicti. Sejatinya, inilah isi dan kualitas kehidupan Tuhan Yesus (Yoh. 4:34). Dalam hal ini, dapat dimengerti mengapa Tuhan Yesus memberi syarat kepada pengikut-Nya untuk tidak menyayangkan nyawa jika seseorang mau menjadi pengikut yang benar (Mat. 10:39; 16:25). Dalam jiwa, ada berbagai keinginan dan hasrat. Di dalam jiwa, ada pula berbagai pengertian dan filosofi. Oleh sebab itu, seorang yang rela kehilangan nyawa harus rela mengubah filosofi hidupnya. Perubahan ini bisa terjadi melalui pembaruan pikiran oleh kebenaran (Rm. 12:2).
Orang-orang yang tidak mengasihi nyawa bukan hanya menunjuk pada mereka yang mengalami aniaya fisik dan dibunuh secara fisik, melainkan juga mereka yang rela tidak menikmati dunia, tidak seperti anak-anak dunia yang tenggelam dengan percintaan dunia. Orang-orang yang tidak menyayangkan nyawa adalah orang-orang yang rela menderita bersama-sama dengan Tuhan Yesus demi melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan Bapa. Mereka adalah orang-orang yang menerima baptisan yang sama seperti yang Yesus terima, yaitu penderitaan (Mrk. 10:38-39). Dengan hal tersebut, jelas sekali bahwa Tuhan menghendaki orang-orang percaya memiliki fokus hidup yang benar dan pelayanan orang percaya adalah berusaha menjadi pribadi yang tidak menyayangkan nyawa, artinya rela meninggalkan kesenangan diri sendiri. Selanjutnya, pelayanan orang percaya adalah juga menolong orang lain untuk memiliki kualitas hidup yang sama.
Dengan kehidupan yang rela kehilangan nyawa,—yang juga berarti hidup tidak bercacat dan tidak bercela—orang percaya menjadi corpus delicti. Apabila jumlah corpus delicti memenuhi kuota atau genap, kedatangan Tuhan Yesus dapat terjadi atau berlangsung. Hal ini dapat mempercepat kedatangan Tuhan atau dihukumnya Iblis dan semua pengikutnya. Dalam 2 Petrus 3:11-13 tertulis, “Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.”
Dalam ayat-ayat tersebut di atas terdapat kalimat bahwa orang percaya dapat “mempercepat kedatangan Tuhan.” Kata “mempercepat” dalam teks aslinya adalah speudo (σπεύδω). Kata ini juga bisa diartikan sebagai membuat tergesa-gesa (to haste atau make haste). Itulah sebabnya Iblis dan pengikutnya berusaha menghambat terlaksananya eksekusi hukuman atas dirinya dan para pengikutnya. Dengan cara bagaimanakah mereka menghambat hari Allah itu? Dengan cara mencegah orang percaya memiliki kehidupan yang saleh tidak bercacat dan tidak bercela (2Ptr. 3:11,14). Sulit dimengerti, tetapi demikian adanya, bahwa kedatangan Tuhan Yesus untuk mengakhiri sejarah dunia bisa dipercepat oleh orang-orang percaya. Dengan demikian, terkesan bahwa orang percaya dilibatkan dalam penentuan waktu diakhirinya sejarah dunia. Oleh sebab itu, semua orang percaya harus menyadari panggilannya untuk serupa dengan Yesus atau menjadi corpus delicti. Inilah panggilan satu-satunya yang harus ditunaikan orang percaya sampai selesai dengan sempurna.
https://overcast.fm/+IqOBFkK0Y
Orang yang memiliki “perkataan kesaksian” adalah orang yang benar-benar telah mengalami suatu perjuangan sungguh-sungguh, sampai tidak menyayangkan nyawanya. Tidak menyayangkan nyawa juga berarti tidak memiliki kesenangan atau keinginan dunia, kecuali melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Hal ini sama dengan berusaha menjadi corpus delicti. Sejatinya, inilah isi dan kualitas kehidupan Tuhan Yesus (Yoh. 4:34). Dalam hal ini, dapat dimengerti mengapa Tuhan Yesus memberi syarat kepada pengikut-Nya untuk tidak menyayangkan nyawa jika seseorang mau menjadi pengikut yang benar (Mat. 10:39; 16:25). Dalam jiwa, ada berbagai keinginan dan hasrat. Di dalam jiwa, ada pula berbagai pengertian dan filosofi. Oleh sebab itu, seorang yang rela kehilangan nyawa harus rela mengubah filosofi hidupnya. Perubahan ini bisa terjadi melalui pembaruan pikiran oleh kebenaran (Rm. 12:2).
Orang-orang yang tidak mengasihi nyawa bukan hanya menunjuk pada mereka yang mengalami aniaya fisik dan dibunuh secara fisik, melainkan juga mereka yang rela tidak menikmati dunia, tidak seperti anak-anak dunia yang tenggelam dengan percintaan dunia. Orang-orang yang tidak menyayangkan nyawa adalah orang-orang yang rela menderita bersama-sama dengan Tuhan Yesus demi melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan Bapa. Mereka adalah orang-orang yang menerima baptisan yang sama seperti yang Yesus terima, yaitu penderitaan (Mrk. 10:38-39). Dengan hal tersebut, jelas sekali bahwa Tuhan menghendaki orang-orang percaya memiliki fokus hidup yang benar dan pelayanan orang percaya adalah berusaha menjadi pribadi yang tidak menyayangkan nyawa, artinya rela meninggalkan kesenangan diri sendiri. Selanjutnya, pelayanan orang percaya adalah juga menolong orang lain untuk memiliki kualitas hidup yang sama.
Dengan kehidupan yang rela kehilangan nyawa,—yang juga berarti hidup tidak bercacat dan tidak bercela—orang percaya menjadi corpus delicti. Apabila jumlah corpus delicti memenuhi kuota atau genap, kedatangan Tuhan Yesus dapat terjadi atau berlangsung. Hal ini dapat mempercepat kedatangan Tuhan atau dihukumnya Iblis dan semua pengikutnya. Dalam 2 Petrus 3:11-13 tertulis, “Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.”
Dalam ayat-ayat tersebut di atas terdapat kalimat bahwa orang percaya dapat “mempercepat kedatangan Tuhan.” Kata “mempercepat” dalam teks aslinya adalah speudo (σπεύδω). Kata ini juga bisa diartikan sebagai membuat tergesa-gesa (to haste atau make haste). Itulah sebabnya Iblis dan pengikutnya berusaha menghambat terlaksananya eksekusi hukuman atas dirinya dan para pengikutnya. Dengan cara bagaimanakah mereka menghambat hari Allah itu? Dengan cara mencegah orang percaya memiliki kehidupan yang saleh tidak bercacat dan tidak bercela (2Ptr. 3:11,14). Sulit dimengerti, tetapi demikian adanya, bahwa kedatangan Tuhan Yesus untuk mengakhiri sejarah dunia bisa dipercepat oleh orang-orang percaya. Dengan demikian, terkesan bahwa orang percaya dilibatkan dalam penentuan waktu diakhirinya sejarah dunia. Oleh sebab itu, semua orang percaya harus menyadari panggilannya untuk serupa dengan Yesus atau menjadi corpus delicti. Inilah panggilan satu-satunya yang harus ditunaikan orang percaya sampai selesai dengan sempurna.
https://overcast.fm/+IqOBFkK0Y
( Sunday Bible Teaching ) SBT, 20 Oktober 2019 " Kembara Yang Bernilai " Pdt. Dr. Erastus Sabdono
Untuk Menjadi seorang yang berkenan kepada Tuhan kita tidak membutuhkan karunia
khusus.
Sebab setiap kita memiliki kesempatan yang sama.
Anugrah yang sama, potensi, peluang untuk berkenan.
Tergantung masing - masing individu memanfaatkan, menggunakan kesemparan yang Tuhan berikan.
Jadi jangan berpikir kita tidak memiliki karunia khusus, maka kita tidak dapat hidup berkenan di hadapan Allah.
Jangan kita memandang Allah diskriminatif.
Allah tidak dismikrinatif.
Kita memiliki waktu 24 jam dalam 1 hari, 7 hari dalam seminggu, 30 atau 31 hari dalam sebulan.
Memang kita memiliki umur yang berbeda.
Tetapi dalam keadilanNya, Allah tidak menuntut apa yang tidak bisa kita lakukan.
Yang diberi banyak dituntut banyak, yang diberi sedikit dituntut sedikit.
Kita harus menjadikan hidup ini petualangan yang hebat dan luar biasa.
Sebab hari - hari hidup kita, tahun - tahun hidup kita akan mengukir sejarah kehidupan abadi yang bernilai kekal.
70,80,90 th tidak lebih dari 100 umur hidup kita
mengukir sejarah kehidupan abadi yang akan berharga dan bernilai di mata Allah.
Dan itu akan menjadi catatan abadi, yang menjadi arsip kekal yang diarsipkan di kerajaan Allah.
Karena kita semua akan dihakimin, dan segala sesuatu yang kita lakukan selama hidup di dunia 🌎 ini
menjadi catatan yang tidak terhapus.
Apakah itu di kekekalan dalam kemuliaan bersama Allah di kerajaan Tuhan Yesus kita, atau di dalam kerajaan kegelapan.
Menghayati ini mestinya kita menjadi gentar, sebab perjalanan hidup kita ini menentukan keadaan kekal kita.
Perjalanan hidup kita di dunia yang singkat ini, tidak sebanding setetes air di lautan, sebab setetes - setetes air bisa menjadi air sebanyak air di lautan.
Tetapi kekekalan itu tidak berujung, tidak bertepi.
Betapa dasyatnya kekekalan itu dan keadaan nasib kita ditentukan oleh langkah - langkah hidup kita.
Dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun sampai usai di kembara hidup kita.
Di gereja dengan suasana hikmat, kita bisa merenungankan hal ini.
Apalagi ada di rumah duka suasana yang mendukung.
Langkah hidup kita di bumi menentukan kekekalan kita.
Supaya kita lebih berhati - hati merenungkan, mengisi bejana renungan pikiran kita jangan dengan sampah, kita bisa menghalaunya.
Kita tidak bisa melarang burung terbang di atas kepala kita, tetapi kita bisa menghalau kalau ia mau membuat sarang di kepala kita.
Banyak pikiran lalu lalang di pikiran dan renungan hati kita.
Seringkali kita tidak bisa melarangnya, karena dari apa yang kita lihat, kita dengar muncul sebuah bayangan visual di pikiran kita, tetapi kita bisa mengusirnya.
Kita tidak menerima sebagai tamu bejana renungan pikiran kita.
Sebab kalau kita menerimanya nanti akan terkristal dalam tindakan dan perbuatan.
Kita harus menghalau,
Setiap kata yang kita ucapkan, setiap tindakan perbuatan yang kita lakukan harus benar - benar kita perhatikan.
Perkara - perkara kecil, dari perkara sepele.
Wahyu 14 :13
Perbuatan yang kita lakukan menyertai.
Kalau kita melakukannya sesuai pikiran dan perasaan Allah, sesuai pikiran dan perasaan Roh Kudus yang dimeteraikan dalam diri kita menyertai kita.
Dan kita terhisap sebagai orang - orang yang berbahagia.
Tetapi kalau bejana hati dan pikiran kita menjadi sarang dari burung - burung yang Tuhan tidak kehendaki hinggap dan bersarang di situ, maka kematian tidakmembahagiakan.
Setiap hari kita menerima kanvas baru, betapa berharganya satu hari itu.
Firman Tuhan berkata : "Kamu tidak dapat menambah satu hastapun umur hidupmu."
Jadi kalau kita masih memiliki usia, Tuhan perkenankan kita untuk melanjutkan perjalanan hidup ini, satu lembar kanvas baru, betapa indahnya.
Kita sering tidak menghargai kanvas hidup yang Tuhan berikan, sehingga kita tidak mengukir, tidak melukis dengan ukiran yang indah di kanvas hari hidup kita.
Kita sedang diukir oleh Tuhan di lembar kanvas hidup kita sebuah goresan kisah dari dimensi yang lain.
Kita seperti diukir.
Siapan kita ini ? Ditemukan oleh Tuhan.
Tuhan mengukir kita.
Kita seperti tanah liat, lempung, yang tidak bernilai.
Di tangan penjunan yang indah berguna, di konteks zaman di mana perkakas terbuat dari tanah liat.
Tetapi tanah liat tetap tanah liat, dia akan menjadi sampah.
Tetapi kalau sempat di tangan penjunan, dan tanah liat mau dibentuk akan menjadi bejana yang indah.
Jadi jangan sampai kita ini dibentuk dunia, yang sama sekali tidak berguna sama sekali bagi Tuhan.
Yang tidak akan ditempatkan dalam kerajaan Allah Bapa atau rumah Bapa kita.
Coba kita pikirkan, menjadi bejana apa kita ?
Kalau suatu kita menutup mata, apakah kita telah menjadi bejana yang menyukakan hati Bapa.
Dan kita dipandang bernilai sehingga kita ditanam di taman abadi.
Kalau di dunia wajah kita dipandang buruk tidak masalah.
Karena di kekekalan akan terbuka wajah kita masing - masing.
Jangan karena kita dipuji, dikagumi, dihormati kita malah tidak koreksi diri.
Betapa memalukan ketika di pengadilan Allah wajah kita buruk, tidak indah sama sekali.
Lebih baik kita dipandang buruk, tapi suatu hari ada perhitungannya.
Dan itu membawa kita ke dampak kekekalan.
Kita akan selalu tergoda membela diri, bikin nama baik.
Kalau kita teduh, bisa mengoreksi diri, terima kasih kepada Tuhan atas keadaan ini.
Kita telah melewati tahap - tahap perjalanan hidup. Tuhan telah bentuk kita.
Kita adalah orang - orang rusak, tidak mau mengalah, mau dianggap baik, dipuji, lau jadi terhormat.
Kita jatuh bangun, tetapi Bapa di Surga dengan sabarnya menuntun kita.
Kita sering salah, sudah minta ampun.
Bukan tidak mungkin berbuat salah lagi.
Jangan terus menerus, Tuhan bisa pukul kita, dan itu sakit.
Sabarnya Tuhan, artinya aku sering gagal, aku tidak menjadi bejana yang bagus.
Tapi Dia terus memberi kesempatan berikut.
Jangan kita tenggelam dengan berbagai obsesi, cita - cita, sampai kita lupa cita - cita Tuhan.
Ketika Dia menciptakan kita, memperkenankan kita eksis kita hadir, Tuhan bisa melihat kita bisa jadi manusia macam apa ?
Itulah sebabnya Alkitab mengatakan, Aku tahu, rancangan - rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu.
Kita ini menjadi manusia oleh karena rancangan menjadi satu pribadi yang agung yang akan menjadi perhiasan di rumah Bapa.
Jangan menjadi barang afkir yang dibuang.
Tapi menjadi barang yang dinilai patut masuk kemuliaan bersama Yesus.
Ini hal yang menegangkan.
Kalau kamu memanggil Allah Bapa yang tidak memandang muka.
Bukan karena memanggil Allah Bapa jadi berharga, tetapi Dia Allah yang tidak memandang muka, tetapi menghakimi berdasarkan perbuatan.
Tuhan hanya melihat perbuatan kita.
Kita harus serius selama ada kesempatan.
Tuhan tidak berurusan dengan kita 5 th yang lalu, atau kemarin, tetapi Tuhan berurusan dengan kita hari. ini.
Siapa kita hari ini, bisa menjadi apa kita nanti ?
Kita bersyukur punya Allah yang jika mengampuni dan melupakan.
Setiap kita harus menyadari kesalahan dan bertobat.
Pengampunan itu mahal, karena darah Yesus ditumpahkan di Bukit Kalvari.
Mestinya pengampunan itu kita hargai mengerti apa maksud pengampunan itu diberikan.
Pengampuan diberikan agar bisa diterima Bapa, itu pembenaran.
Oleh pembenaran itu Bapa memberikan Roh Kudus.
Roh Kudus menuntun kita ke seluruh kebenaran yang sama artinya menjadi pribadi seperti yang dirancang Allah
Setiap kita ini berharga.
Orang merasa tidak berharga, Karena sudah dirusak gambar dirinya.
Mungkin selama ini orang tidak menghargaimu.
Tetapi Allah yang punya segala kuasa, kemuliaan, dan kerajaan, Allah yang tiada tertandingi menghargai dirimu
Dan kamu masih bisa menjadi bejana yang indah, yang ditaruh di rumah Bapa.
Ibarat bunga aromamu yang dipandang busuk, warnamu tidak indah, Tuhan akan membuat engkau indah dipandang Allah dan harum penciumanNya.
Engkau akan dicabut dari taman dunia ini, dan ditanam di taman abadi.
Jangan kecil hati.
Jangan minder.
Jangan kecewa terhadap siapapun, baik orang tuamu, saudaramu.
Bersyukurlah kalau kamu mengalami hari - hari sulit itu, karena akan memotivasi kita menjadi Anak Allah yang berkenan.
Berbeda dengan orang yang dimanja, disayang, diprotec begitu rupa, punya suami yang kaya, sayang, dan ganteng sampai lupa siapa dirinya, sehingga tidak menginginkan Firdaus yang lain, karena telah menemukan Firdaus di bumi.
Tapi kamu yang tidak memiliki firdaus di bumi, engkau merindukan Firdaus yang lain.
Dia yang mengasihi kita berkata : " Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal,
Aku pergi menyediakan tempat bagimu, Kalau Aku sudah pergi menyediakan tempat bagimu akan membawa kamu supaya di mana Aku ada kamu ada ".
Kebenaran Firman ini dapat menyembuhkan kita.
Kita berharga di mata Tuhan.
Jangan menoleh ke belakang.
Allah tidak berurusan dengan kita di masa lalu, tetapi Allah mau berurusan dengan kita hari ini, bisa menjadi apa nanti ?
Mungkin hari ini kita bukan hanya terbuang oleh orang tua, terbuang oleh suami, juga membuang diri, karena hidup suka - suka sendiri, hidup dalam dosa, kebejatan, menjadi lengkaplah keadaanmu rusak
Tetapi Sang Penjunan bisa mengubah bejana yang rusak ini menjadi bejana indah di mataNya.
Karena itu jangan mengingini apapun lagi.
Kita hanya mau indah di mata Tuhan.
JBU 💐
khusus.
Sebab setiap kita memiliki kesempatan yang sama.
Anugrah yang sama, potensi, peluang untuk berkenan.
Tergantung masing - masing individu memanfaatkan, menggunakan kesemparan yang Tuhan berikan.
Jadi jangan berpikir kita tidak memiliki karunia khusus, maka kita tidak dapat hidup berkenan di hadapan Allah.
Jangan kita memandang Allah diskriminatif.
Allah tidak dismikrinatif.
Kita memiliki waktu 24 jam dalam 1 hari, 7 hari dalam seminggu, 30 atau 31 hari dalam sebulan.
Memang kita memiliki umur yang berbeda.
Tetapi dalam keadilanNya, Allah tidak menuntut apa yang tidak bisa kita lakukan.
Yang diberi banyak dituntut banyak, yang diberi sedikit dituntut sedikit.
Kita harus menjadikan hidup ini petualangan yang hebat dan luar biasa.
Sebab hari - hari hidup kita, tahun - tahun hidup kita akan mengukir sejarah kehidupan abadi yang bernilai kekal.
70,80,90 th tidak lebih dari 100 umur hidup kita
mengukir sejarah kehidupan abadi yang akan berharga dan bernilai di mata Allah.
Dan itu akan menjadi catatan abadi, yang menjadi arsip kekal yang diarsipkan di kerajaan Allah.
Karena kita semua akan dihakimin, dan segala sesuatu yang kita lakukan selama hidup di dunia 🌎 ini
menjadi catatan yang tidak terhapus.
Apakah itu di kekekalan dalam kemuliaan bersama Allah di kerajaan Tuhan Yesus kita, atau di dalam kerajaan kegelapan.
Menghayati ini mestinya kita menjadi gentar, sebab perjalanan hidup kita ini menentukan keadaan kekal kita.
Perjalanan hidup kita di dunia yang singkat ini, tidak sebanding setetes air di lautan, sebab setetes - setetes air bisa menjadi air sebanyak air di lautan.
Tetapi kekekalan itu tidak berujung, tidak bertepi.
Betapa dasyatnya kekekalan itu dan keadaan nasib kita ditentukan oleh langkah - langkah hidup kita.
Dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun sampai usai di kembara hidup kita.
Di gereja dengan suasana hikmat, kita bisa merenungankan hal ini.
Apalagi ada di rumah duka suasana yang mendukung.
Langkah hidup kita di bumi menentukan kekekalan kita.
Supaya kita lebih berhati - hati merenungkan, mengisi bejana renungan pikiran kita jangan dengan sampah, kita bisa menghalaunya.
Kita tidak bisa melarang burung terbang di atas kepala kita, tetapi kita bisa menghalau kalau ia mau membuat sarang di kepala kita.
Banyak pikiran lalu lalang di pikiran dan renungan hati kita.
Seringkali kita tidak bisa melarangnya, karena dari apa yang kita lihat, kita dengar muncul sebuah bayangan visual di pikiran kita, tetapi kita bisa mengusirnya.
Kita tidak menerima sebagai tamu bejana renungan pikiran kita.
Sebab kalau kita menerimanya nanti akan terkristal dalam tindakan dan perbuatan.
Kita harus menghalau,
Setiap kata yang kita ucapkan, setiap tindakan perbuatan yang kita lakukan harus benar - benar kita perhatikan.
Perkara - perkara kecil, dari perkara sepele.
Wahyu 14 :13
Perbuatan yang kita lakukan menyertai.
Kalau kita melakukannya sesuai pikiran dan perasaan Allah, sesuai pikiran dan perasaan Roh Kudus yang dimeteraikan dalam diri kita menyertai kita.
Dan kita terhisap sebagai orang - orang yang berbahagia.
Tetapi kalau bejana hati dan pikiran kita menjadi sarang dari burung - burung yang Tuhan tidak kehendaki hinggap dan bersarang di situ, maka kematian tidakmembahagiakan.
Setiap hari kita menerima kanvas baru, betapa berharganya satu hari itu.
Firman Tuhan berkata : "Kamu tidak dapat menambah satu hastapun umur hidupmu."
Jadi kalau kita masih memiliki usia, Tuhan perkenankan kita untuk melanjutkan perjalanan hidup ini, satu lembar kanvas baru, betapa indahnya.
Kita sering tidak menghargai kanvas hidup yang Tuhan berikan, sehingga kita tidak mengukir, tidak melukis dengan ukiran yang indah di kanvas hari hidup kita.
Kita sedang diukir oleh Tuhan di lembar kanvas hidup kita sebuah goresan kisah dari dimensi yang lain.
Kita seperti diukir.
Siapan kita ini ? Ditemukan oleh Tuhan.
Tuhan mengukir kita.
Kita seperti tanah liat, lempung, yang tidak bernilai.
Di tangan penjunan yang indah berguna, di konteks zaman di mana perkakas terbuat dari tanah liat.
Tetapi tanah liat tetap tanah liat, dia akan menjadi sampah.
Tetapi kalau sempat di tangan penjunan, dan tanah liat mau dibentuk akan menjadi bejana yang indah.
Jadi jangan sampai kita ini dibentuk dunia, yang sama sekali tidak berguna sama sekali bagi Tuhan.
Yang tidak akan ditempatkan dalam kerajaan Allah Bapa atau rumah Bapa kita.
Coba kita pikirkan, menjadi bejana apa kita ?
Kalau suatu kita menutup mata, apakah kita telah menjadi bejana yang menyukakan hati Bapa.
Dan kita dipandang bernilai sehingga kita ditanam di taman abadi.
Kalau di dunia wajah kita dipandang buruk tidak masalah.
Karena di kekekalan akan terbuka wajah kita masing - masing.
Jangan karena kita dipuji, dikagumi, dihormati kita malah tidak koreksi diri.
Betapa memalukan ketika di pengadilan Allah wajah kita buruk, tidak indah sama sekali.
Lebih baik kita dipandang buruk, tapi suatu hari ada perhitungannya.
Dan itu membawa kita ke dampak kekekalan.
Kita akan selalu tergoda membela diri, bikin nama baik.
Kalau kita teduh, bisa mengoreksi diri, terima kasih kepada Tuhan atas keadaan ini.
Kita telah melewati tahap - tahap perjalanan hidup. Tuhan telah bentuk kita.
Kita adalah orang - orang rusak, tidak mau mengalah, mau dianggap baik, dipuji, lau jadi terhormat.
Kita jatuh bangun, tetapi Bapa di Surga dengan sabarnya menuntun kita.
Kita sering salah, sudah minta ampun.
Bukan tidak mungkin berbuat salah lagi.
Jangan terus menerus, Tuhan bisa pukul kita, dan itu sakit.
Sabarnya Tuhan, artinya aku sering gagal, aku tidak menjadi bejana yang bagus.
Tapi Dia terus memberi kesempatan berikut.
Jangan kita tenggelam dengan berbagai obsesi, cita - cita, sampai kita lupa cita - cita Tuhan.
Ketika Dia menciptakan kita, memperkenankan kita eksis kita hadir, Tuhan bisa melihat kita bisa jadi manusia macam apa ?
Itulah sebabnya Alkitab mengatakan, Aku tahu, rancangan - rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu.
Kita ini menjadi manusia oleh karena rancangan menjadi satu pribadi yang agung yang akan menjadi perhiasan di rumah Bapa.
Jangan menjadi barang afkir yang dibuang.
Tapi menjadi barang yang dinilai patut masuk kemuliaan bersama Yesus.
Ini hal yang menegangkan.
Kalau kamu memanggil Allah Bapa yang tidak memandang muka.
Bukan karena memanggil Allah Bapa jadi berharga, tetapi Dia Allah yang tidak memandang muka, tetapi menghakimi berdasarkan perbuatan.
Tuhan hanya melihat perbuatan kita.
Kita harus serius selama ada kesempatan.
Tuhan tidak berurusan dengan kita 5 th yang lalu, atau kemarin, tetapi Tuhan berurusan dengan kita hari. ini.
Siapa kita hari ini, bisa menjadi apa kita nanti ?
Kita bersyukur punya Allah yang jika mengampuni dan melupakan.
Setiap kita harus menyadari kesalahan dan bertobat.
Pengampunan itu mahal, karena darah Yesus ditumpahkan di Bukit Kalvari.
Mestinya pengampunan itu kita hargai mengerti apa maksud pengampunan itu diberikan.
Pengampuan diberikan agar bisa diterima Bapa, itu pembenaran.
Oleh pembenaran itu Bapa memberikan Roh Kudus.
Roh Kudus menuntun kita ke seluruh kebenaran yang sama artinya menjadi pribadi seperti yang dirancang Allah
Setiap kita ini berharga.
Orang merasa tidak berharga, Karena sudah dirusak gambar dirinya.
Mungkin selama ini orang tidak menghargaimu.
Tetapi Allah yang punya segala kuasa, kemuliaan, dan kerajaan, Allah yang tiada tertandingi menghargai dirimu
Dan kamu masih bisa menjadi bejana yang indah, yang ditaruh di rumah Bapa.
Ibarat bunga aromamu yang dipandang busuk, warnamu tidak indah, Tuhan akan membuat engkau indah dipandang Allah dan harum penciumanNya.
Engkau akan dicabut dari taman dunia ini, dan ditanam di taman abadi.
Jangan kecil hati.
Jangan minder.
Jangan kecewa terhadap siapapun, baik orang tuamu, saudaramu.
Bersyukurlah kalau kamu mengalami hari - hari sulit itu, karena akan memotivasi kita menjadi Anak Allah yang berkenan.
Berbeda dengan orang yang dimanja, disayang, diprotec begitu rupa, punya suami yang kaya, sayang, dan ganteng sampai lupa siapa dirinya, sehingga tidak menginginkan Firdaus yang lain, karena telah menemukan Firdaus di bumi.
Tapi kamu yang tidak memiliki firdaus di bumi, engkau merindukan Firdaus yang lain.
Dia yang mengasihi kita berkata : " Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal,
Aku pergi menyediakan tempat bagimu, Kalau Aku sudah pergi menyediakan tempat bagimu akan membawa kamu supaya di mana Aku ada kamu ada ".
Kebenaran Firman ini dapat menyembuhkan kita.
Kita berharga di mata Tuhan.
Jangan menoleh ke belakang.
Allah tidak berurusan dengan kita di masa lalu, tetapi Allah mau berurusan dengan kita hari ini, bisa menjadi apa nanti ?
Mungkin hari ini kita bukan hanya terbuang oleh orang tua, terbuang oleh suami, juga membuang diri, karena hidup suka - suka sendiri, hidup dalam dosa, kebejatan, menjadi lengkaplah keadaanmu rusak
Tetapi Sang Penjunan bisa mengubah bejana yang rusak ini menjadi bejana indah di mataNya.
Karena itu jangan mengingini apapun lagi.
Kita hanya mau indah di mata Tuhan.
JBU 💐
Langganan:
Postingan (Atom)