Pikiran bisa menjadi tempat di mana Iblis dapat memiliki akses atau jalan untuk menguasai kehidupan seseorang dan melaksanakan kehendaknya. Bila hal ini terjadi maka kehendak Allah dijauhkan dan rencana-Nya dihambat, bahkan digagalkan. Itulah sebabnya Paulus menasihati orang percaya agar tidak memberi “kesempatan” kepada Iblis (Ef. 4:27). Kata kesempatan dalam teks aslinya adalah topon (τόπον), yang bisa berarti tempat (Ing. place). Kata topon juga berarti tempat berpijak (Ing. foothold). Tempat berpijak di sini sama dengan pangkalan. Tidak memberi kesempatan kepada Iblis artinya agar tidak mengisi pikiran dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan kebenaran Tuhan.
Sebagai contoh kasus, seperti yang diungkapkan Tuhan Yesus dalam Matius 16:21-23. Tuhan Yesus memberitahukan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus ke Yerusalem, sengsara, mati dan dibangkitkan. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegur dengan nama Allah. Petrus mengira ide atau pikiran tersebut berasal dari Allah, sedangkan pernyataan Tuhan Yesus dianggap bukan dari Allah. Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Tuhan Yesus mengusir Iblis dari diri Petrus, yaitu di dalam ide atau pikirannya. Pikiran Petrus menjadi batu sandungan atau halangan terhadap rencana Tuhan. Banyak orang beranggapan bahwa apa yang dipikirkan asal wajar-wajar saja- tidak melanggar hukum- maka hal tersebut bukan dari Iblis. Tetapi dari pernyataan Tuhan tersebut jelas bahwa semua pikiran yang bukan berasal dari Allah berarti dari Iblis.
Dalam hal ini bukan tanpa alasan apabila Paulus takut kalau-kalau pikiran jemaat disesatkan oleh Iblis. Dalam tulisannya ia berkata: “Tetapi aku takut, kalau- kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya” (2Kor. 11:3). Dari pernyataan ini diperoleh pelajaran bahwa dosa masuk melalui penyesatan dalam pikiran, demikian juga penyesatan dalam gereja terjadi melalui pikiran. Penyesatan tersebut bisa melalui pengajaran yang tidak berlandaskan pada kebenaran Firman Tuhan. Pengajaran seperti itu disebarkan melalui khotbah yang tidak diangkat dari penafsiran yang benar. Pengajaran-pengajaran tersebut dikemas menjadi doktrin, dan tanpa disadari oleh anggota jemaat doktrin-doktrin tersebut diakui sebagai Firman Tuhan atau sejajar dengan Firman Tuhan.
Pengajaran hasil pikiran manusia yang bercampur dengan pemikiran dari roh-roh jahat memang melahirkan pengajaran yang logis dan mudah diterima, seolah-olah adalah Firman Tuhan. Pengajar atau penafsirnya berpikir bahwa simpulan dari idenya adalah suara Roh Kudus atau sebuah penemuan yang lahir dari hikmat Tuhan, padahal bukan dari Tuhan. Hal ini sangat mengerikan. Orang percaya harus waspada bahwa pikiran manusia dapat disesatkan oleh Iblis (2Kor. 11:3). Pikiran manusia atau idenya dapat menjadi kendaraan pikiran atau rencana Iblis. Dalam hal ini dapat ditemukan bahwa seorang pengajar atau pembicara di mimbar memiliki tanggung jawab dan pergumulan yang berat. Pertumbuhan rohani dan kualitas iman jemaat tergantung oleh isi pengajaran pembicara atau pengkhotbah dalam gereja. Itulah sebabnya Alkitab berkata bahwa seorang guru atau pengajar dihakimi dengan ukuran yang lebih berat (Yak. 3:1).
Tuhan memanggil orang percaya supaya dapat menggunakan akal budi semaksimal mungkin untuk menggali kekayaan Firman Tuhan dan mengerti dengan benar. Itulah sebabnya Tuhan Yesus menunjukkan bahwa seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi tergantung pada hukum mengasihi Tuhan dengan segenap “akal budi” juga. Kata akal budi di sini dianoia, yang berarti pikiran atau pengertian (understanding). Menggunakan rasio semaksimal mungkin untuk memahami kebenaran Alkitab adalah sesuatu yang mutlak. Pikiran harus diaktifkan untuk menggumuli kebenaran Tuhan secara terus menerus. Berhenti menggunakan pikiran untuk menggumuli kebenaran Firman Tuhan berarti sebuah kemunduran yang mengarah kepada kehancuran.
Banyak orang Kristen yang cerdas dalam banyak bidang, tetapi tidak cerdas memahami kebenaran Alkitab. Mereka bersikap demikian karena merasa, bahwa untuk mengerti kebenaran Firman Tuhan dibutuhkan karunia khusus. Tidak sedikit mereka yang merasa untuk memahami kebenaran Tuhan bukanlah bagian hidup mereka. Seharusnya setiap orang percaya menggunakan akal budi (ratio) untuk memahami kebenaran Firman Tuhan (teologi). Hal ini merupakan sarana untuk bersekutu atau berinteraksi secara harmonis dengan Tuhan. Manusia yang tidak berteologi adalah manusia yang tidak bisa berinteraksi dengan Tuhan dengan harmonis. Jadi berteologi haruslah menjadi irama hidup setiap manusia. Masalahnya adalah bahwa teologi yang diajarkan haruslah Alkitabiah.
https://overcast.fm/+IqOAR6NmU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar