Minggu, 23 Februari 2020

Silahkan install aplikasi truth, youtube:truth.id




silahkan install aplikasi ini

juga silahkan subscribe di youtube : truth.id agar jika ada live streaming, ada notifikasi di email untuk bisa megikuti live streaming Kebaktian Umum, SBT, PA......

Sabtu, 16 November 2019

Renungan Harian 16 November 2019 MENSAHKAN DIRI SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

     Pada zaman anugerah, Tuhan membuka kesempatan bagi manusia untuk menjadi anak- anak Allah, yaitu hidup dalam pimpinan Roh Allah. Roh Allah berkenan kembali diberikan untuk diam di dalam diri manusia. Inilah yang dijanjikan Tuhan Yesus, bahwa lebih berguna bagi orang percaya, jika Dia pergi. Sebab jikalau Dia tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepada orang percaya; tetapi jikalau Dia pergi, Dia akan mengutus Roh Kudus kepada orang percaya (Yoh. 16:7). Orang percaya adalah orang yang sungguh beruntung, karena menjadi orang yang terpilih untuk bisa hidup dalam pimpinan Roh Kudus. Oleh sebab itu, hendaknya orang percaya tidak mendukakan Roh Kudus yang telah dimateraikan kepada orang percaya. Jangan sampai peristiwa di Kejadian 6 terulang lagi, yaitu karena manusia tidak hidup dalam pimpinan Roh Kudus–selalu hidup dalam kedagingan–maka Roh Allah undur. Inilah yang disebut sebagai menghujat Roh Kudus. Menghujat Roh Kudus berarti menolak karya Roh Kudus yang menuntun untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Bila kesempatan ini tidak dihargai, maka tidak akan ada lagi kesempatan kedua.

     Dalam Ibrani 12:8 terdapat kata “anak gampang.” Apa sebenarnya maksudnya? Dalam teks asli Alkitab, kata “anak gampang” di sini adalah “nothos” (νόθος), yang artinya anak yang tidak resmi (Ing. illegitimate son). Kata ini juga bisa berarti anak haram (Ing. bastard). Dalam bahasa Yunani, selain kata nothos, juga ada kata huios (υἱός) yang artinya anak dalam, anak yang resmi atau anak yang sungguh-sungguh memiliki pertalian keluarga atau anak yang sah (Ing. kinship). Kata ini juga digunakan sebagai sebutan bagi Yesus yang adalah Anak Allah. Jadi, ada anak yang berstatus sebagai anak sah yang akan mewarisi kekayaan dan keagungan orangtua, atau seperti Pangeran, tetapi ada anak gampang, anak yang tidak sah yang tidak akan mewarisi kekayaan orangtua. Dalam kehidupan orang Kristen juga terdapat orang-orang yang tergolong sebagai nothos dan sebagai huios.

     Berbicara mengenai anak-anak Allah, perlu kita meninjau Yohanes 1:12, “bagi mereka yang percaya, diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah.” Kata “kuasa” berasal dari teks aslinya, exousia (ἐξουσία), yang artinya hak istimewa yang membuat seseorang memiliki fasilitas untuk bisa menjadi anak-anak Allah. Fasilitas itu adalah pemeliharaan Tuhan, Roh Kudus, Firman dan penggarapan intensif Allah atas orang yang mengasihi Dia. Jadi kuasa itu tidak otomatis membuat seorang Kristen menjadi anak-anak Allah. Tetapi kuasa itu diberikan supaya orang percaya memiliki karakter seperti Bapa. Tentu saja orang yang tidak memiliki karakter seperti Bapa tidak pantas menyebut dirinya sebagai anak-anak Allah. Ciri dari orang Kristen yang sah sebagai anak-anak Allah adalah ketika seseorang memiliki karakter Bapa.

     Alkitab menulis bahwa semua orang yang menerima-Nya, diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yoh. 1:1-12). Kata “menerima” di dalam teks ini, bahasa aslinya adalah elabon (ἔλαβον), dari akar kata lambano (λαμβάνω), yang selain berarti menerima (to accept), juga berarti to get hold of (berpegang tetap). Kata ini bisa menimbulkan berbagai penafsiran. Tetapi pada umumnya banyak orang Kristen berpikir bahwa kalau mulutnya sudah mengaku Yesus adalah Tuhan dan hatinya merasa percaya, berarti ia sudah menerima Dia. Kemudian ia merasa bahwa dirinya sudah selamat. Ini tidak benar. Hendaknya orang percaya tidak menyederhanakan kata “menerima” dalam Yohanes 1:12 ini. Menerima Yesus berarti mengakui bahwa Dia adalah Majikan yang harus dipatuhi dalam segala hal.

     Pada waktu seseorang dengan mulut mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ia diberi kuasa atau hak supaya menjadi anak-anak Allah. Ini belum tentu membuat dia sudah sah sebagai anak-anak Allah (Yun. huios). Ia masih berstatus nothos, yang artinya anak yang belum sah. Jika kemudian ia memanfaatkan kuasa atau hak itu, maka ia akan bertumbuh menjadi anak-anak Allah yang sah. Jika tidak, maka ia tidak akan bertumbuh dan menjadi anak-anak Allah yang sah. Ciri dari nothos adalah tidak mau dihajar dan diajar Bapa (Ibr. 12). Dalam hal ini respons seseorang terhadap keselamatan yang Tuhan berikan sangat penting artinya. Tanpa respons, seseorang tidak akan menjadi anak-anak Allah yang sah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata, “Berjuanglah melalui pintu yang sesak” (Luk. 13:23-24). Paulus juga berkata, “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Flp. 2:12). Orang percaya harus berjuang untuk menjadi anak-anak Allah yang sah. Oleh sebab itu, sisa umur ini hanya untuk menyelesaikan hal ini dengan sempurna.


https://overcast.fm/+IqOBkYQHs

Renungan Harian 15 November 2019 MANUSIA ADALAH ANAK-ANAK ALLAH

     Menjadi anak-anak Allah sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Namun, banyak orang tidak menyadarinya. Selama bertahun-tahun, para teolog Kristen menentang keras kalau ada usaha yang mencoba untuk menyejajarkan Allah dengan manusia. Memang benar, Allah tidak bisa disejajarkan dengan apa pun dan siapa pun, apalagi disejajarkan dengan ciptaan-Nya, seperti manusia. Namun, sikap tersebut jangan sampai menjadi ekstrem sehingga gagal menempatkan manusia pada proporsinya. Manusia ditempatkan sekadar sebagai makhluk ciptaan yang tidak memiliki unsur keilahian sama sekali, seakan-akan manusia sama dengan ciptaan Allah yang lain. Unsur “keilahian” manusia artinya adalah adanya unsur-unsur dalam diri manusia, yang sama dengan yang ada pada Allah sebagai “Master Planner”-nya. Unsur-unsur itu adalah kemampuan moralnya. Alkitab jelas menunjukkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Pernyataan ini sendiri sudah memberikan indikasi bahwa pasti ada unsur-unsur yang ada pada Allah, yang juga ada pada manusia.

     Dalam Alkitab dikatakan bahwa Adam adalah anak Allah (Luk. 3:38). Paulus menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Allah (Kis. 17:28-29). Kata “keturunan” dalam teks aslinya adalah genos (ένος), yang artinya keturunan (Ing. offspring, race, stock, descendants), kata yang sama digunakan untuk pengertian keturunan secara umum. Pernyataan ini bukan bermaksud meninggikan derajat manusia dan melecehkan Allah. Paulus,—seseorang yang dapat dipercayai—yang memiliki karunia untuk menyampaikan pesan Allah, menyatakan demikian. Pernyataan Paulus ini bukan tidak berdasar sebab kalau kita memerhatikan kisah penciptaan manusia, kita dapati bahwa “roh” manusia bukanlah sesuatu yang berasal dari sumber lain. Roh manusia bukan diciptakan, tetapi “dikeluarkan” dari dalam diri Allah. Jadi roh manusia adalah roh yang berasal dari Allah sendiri. Roh manusia tidak bisa dikatakan “diciptakan” sebab roh manusia keluar dari diri Allah ketika Allah mengembuskan nafas-Nya (Kej. 2:7). Tentu saja ketika Allah mengembuskan “sesuatu.” Ia tidak perlu menarik nafas terlebih dahulu. Ini berarti ada sesuatu yang berasal dari dalam diri Allah mengalir keluar.

     Itulah sebabnya dikatakan dalam Yakobus 4:5 bahwa “Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu.” Ia menghendaki roh manusia sebab roh itu milik-Nya. Dalam Ibrani 12:9 dikatakan bahwa “Allah adalah Bapa segala roh,” artinya, semua roh yang ada itu berasal dari Dia, termasuk roh manusia juga berasal dari Allah Bapa. Itulah sebabnya pula dengan tegas Alkitab menyatakan bahwa orang percaya adalah “manusia Allah” (Ing. man of God; Yun. anthrope tou theou—ἄνθρωπε τοῦ θεοῦ; 1Tim. 6:11). Maksud “manusia Allah” di sini bukan berarti bahwa manusia sejajar dengan Allah atau bisa menjadi Allah, melainkan manusia bisa memiliki karakter atau moral seperti Allah yang adalah Bapanya.

     Manusia adalah makhluk yang sangat berharga di mata Allah Bapa. Kalau berharga di mata Allah Bapa, ini tentu memang berarti sangat berharga adanya. Allah tidak akan menghargai sesuatu yang memang tidak memiliki nilai. Keberhargaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah anak-anak Allah Bapa. Di dalam diri manusia, Allah menempatkan roh yang berasal dari diri-Nya (Kej. 2:7; Yak. 4:5). Secara tidak langsung, manusia adalah bagian dari diri dan hidup Allah sebagai Bapa, sebagaimana di dunia ini, anak-anak adalah bagian hidup dari orangtuanya. Itulah sebabnya Allah Bapa menghendaki roh itu kembali kepada-Nya (Pkh. 12:7). Dengan demikian, bisa dimengerti kalau Allah Bapa rela memberikan Putra Tunggal-Nya. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa nilai jiwa manusia seharga dengan nilai Putra Tunggal-Nya. Nilai Putra Tunggal- Nya itu tak terhingga sebab Dia adalah anak Tunggal Bapa; Anak satu-satunya, yang berbeda dari anak-anak yang lain.

     Dalam hal ini, demi menyelamatkan manusia, Allah Bapa seakan-akan memberikan diri- Nya sendiri. Dengan demikian, betapa mahalnya harga keselamatan yang Allah Bapa dan Tuhan Yesus berikan tersebut! Itulah sebabnya orang percaya tidak boleh menyia- nyiakan keselamatan yang begitu besar (Ibr. 2:3). Penjelasan ini dimaksudkan agar orang percaya sadar bahwa sebagai anak-anak Allah adalah seseorang yang harus memiliki moral Allah, Bapa semua orang percaya. Itulah sebabnya pula, Tuhan Yesus mengatakan dengan tegas bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 5:48). Dengan kesempurnaan seperti Bapa, orang percaya dapat memiliki fellowship dengan Bapa secara ideal sehingga antara kedua belah pihak, dari hati ke hati, bisa memiliki relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.


https://overcast.fm/+IqOB6F8oQ

Renungan Harian 14 November 2019 JALAN MENEMUKAN BAPA

     Ada orang-orang yang berusaha menemukan Allah, merasakan kehadiran-Nya, dan mengalami Allah hanya pada waktu berlutut untuk berdoa. Mereka mengalami kesulitan menghadirkan hadirat Allah atau menembus semacam kabut hitam untuk bisa menjumpai Allah. Solusinya adalah bahwa setiap hari kita harus hidup dalam kesucian dan kekudusan Allah dalam segala hal; pikiran harus selalu bersih dan tidak lagi dapat dibahagiakan oleh fasilitas materi dunia dengan segala hiburannya. Dengan upaya itu, seseorang dapat menemukan Allah, merasakan kehadiran-Nya, dan mengalami hadirat Allah, bukan hanya pada waktu berlutut berdoa, melainkan justru bagaimana ia mengisi hari-hari dalam kehidupan seperti yang Yesus jalani. Tanpa memiliki kehidupan yang Yesus jalani, seseorang tidak akan dapat bersentuhan dan menjumpai Allah yang benar.

     Allah yang kudus tidak dapat dijumpai oleh orang-orang yang hidupnya masih kotor. Itulah sebabnya dalam 1 Petrus 1:16-17, Firman Tuhan mengatakan, “Sebab ada tertulis: ‘Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.’” Allah menghubungkan kekudusan-Nya dengan kekudusan yang harus dicapai oleh orang percaya, sebab tanpa kekudusan sesuai standar Alla,h tidak seorang pun dapat menjumpai Allah. Paulus dalam suratnya menulis, “Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan demikianlah firman Tuhan, Yang Mahakuasa” (2Kor. 6:17-18).

     Dalam Yohanes 14:6 Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Ayat ini bukan hanya bermaksud menunjukkan bahwa keselamatan hanya dalam Yesus Kristus, melainkan juga menunjukkan bahwa melalui Yesus orang percaya dapat memiliki persekutuan dengan Bapa dan Anak Tunggal-Nya. Bagi orang percaya, hanya melalui Yesus, manusia dapat memiliki kehidupan yang dikembalikan ke rancangan semula Allah. Sebenarnya, Yohanes 14:6 menunjukkan eksklusivitas hubungan dengan Allah sebagai Bapa. “Datang kepada Bapa” itu tidak hanya masuk surga, tetapi memiliki persekutuan dengan Bapa. Sesuai dengan doa Tuhan Yesus di Yohanes 17:21, “… Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”

     “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku,” harus dimengerti sebagai panggilan untuk memiliki hubungan yang eksklusif dengan Allah sebagai Bapa. Kata “jalan” dalam teks Yunaninya adalah hodosh—ὁδὸς. Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah jalan, sebuah lorong, atau jalan panjang yang harus dilalui bukan dalam waktu singkat. Kata kedua adalah “kebenaran.” Dalam teks aslinya, kata ini adalah alētheia (ἀληθείᾳ), yang alam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi truth. Dan akhirnya, kata “hidup” yang dalam Bahasa Yunani, zōē (ζωὴ). Kata hidup ini menunjuk hidup yang berkualitas. Jadi, Yohanes 14:6 tidak boleh hanya diartikan: di luar Kristus tidak ada keselamatan. Ayat ini juga menunjukkan adanya sebuah relasi eksklusif antara Allah sebagai Bapa dan orang percaya sebagai anak. Maksud Yohanes 14:6 adalah bahwa untuk menemukan Bapa, mengalami-Nya, serta merasakan kehadiran-Nya, seseorang harus belajar dari Tuhan Yesus sebagai jalannya, dan ini bukan sesuatu yang singkat, Ia harus mengenal kebenaran sebagai jalannya sehingga memiliki kehidupan seperti diri-Nya. Dengan demikian, barulah ia dapat menemukan Allah, merasakan kehadiran-Nya, serta mengalami Dia secara ideal.

     Yesus bukan hanya mati di kayu salib, dan darah-Nya menghapus dosa, melainkan Yesus membawa orang percaya kepada Allah Bapa. Bapa memberikan Roh Kudus agar menuntun orang percaya kepada seluruh kebenaran. Artinya, orang percaya dapat memiliki kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela seperti Yesus. Yesus menjadi teladan hidup seorang yang dapat bersekutu dengan Allah Bapa. Dengan kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela, orang percaya bisa “datang kepada Bapa.” “Datang kepada Bapa” adalah persekutuan hidup yang eksklusif dengan Dia. Jadi, ini bukan hanya masuk surga atau diperkenan masuk dunia yang akan datang. Orang yang sampai atau dating kepada Bapa dapat memiliki relasi yang saling mengisi dengan Allah Bapa, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.


https://overcast.fm/+IqOBaKbqU

Renungan Harian 13 November 2019 BUKAN DENGAN LITURGI

     Relasi dengan Allah sebagai Bapa harus dibangun dari kesucian hidup atau kualitas hidup seperti Yesus. Inilah kekristenan yang benar, sejati, asli atau yang orisinal. Namun di seluruh dunia, kekristenan sejati yang dapat membangun kehidupan bersekutu dengan Allah Bapa digantikan dengan keberagamaan. Ternyata, banyak orang Kristen yang belum memahami kekristenan dengan benar, sehingga mereka belum memiliki persekutuan dengan Bapa secara proporsional. Kata “Kristen” secara umum berarti to be like Christ (menjadi seperti Kristus). Orang percaya mula-mula disebut “Kristen” karena berperilaku seperti Yesus Kristus. Orang-orang percaya pada waktu itu belajar Injil yang murni sampai hidup sepadan dengan Injil yang mereka terima itu. Injil tersebut memuat ajaran Tuhan Yesus yang mereka kenakan dan kehidupan Kristus yang mereka teladani sehingga mereka menjadi serupa dengan Tuhan Yesus Kristus.

     Serupa dengan Tuhan Yesus Kristus berarti menemukan dan mengenakan pribadi, watak, karakter atau kepribadian Anak Allah. Inilah sebenarnya maksud keselamatan diberikan, yaitu agar manusia dikembalikan kepada rancangan semula Allah. Tidak bersedia menerima realitas ini berarti tidak bisa menjadi makhluk ciptaan, pantas dibinasakan. Ini harga mati. Oleh sebab itu, seseorang hendaknya tidak merasa sudah menjadi Kristen kalau hanya mengaku percaya dan pergi ke gereja. Untuk ini, kekristenan harus dibersihkan dari unsur-unsur agamawi dan duniawi yang merusak kemurniannya.
Banyak doktrin-doktrin gereja agamawi dan pola pikir manusiawi telah disejajarkan dengan Alkitab dan merusak.

     Kewibawaan Alkitab sebenarnya telah dirongrong oleh pola pikir yang salah tersebut, khususnya oleh tokoh-tokoh Kristen yang mengaku telah menerima pengajaran langsung dari Tuhan, yaitu pengajaran yang sangat subjektif dan tidak bisa dipercaya. Tanpa mereka sadari, mereka telah mengobrak-abrik pengajaran murni yang seharusnya dipahami jemaat. Untuk masuk ke dalam kehidupan kekristenan yang sejati, seseorang harus berani keluar dari segala tradisi keberagamaan yang selama ini dianggap sejajar dengan Alkitab. Tradisi keberagamaan dalam lingkungan Kristen menekankan liturgi, sistem organisasi, strata dalam gereja dimana ada kelompok imam dan awam.

     Banyak orang Kristen telah terlalu jauh masuk dalam kehidupan wajar anak dunia sampai mereka kehilangan arah dan tidak sanggup lagi mengenakan kehidupan Tuhan Yesus. Banyak orang Kristen tidak memiliki integritas sebagai anak-anak Allah yang benar yang mengenakan kehidupan Tuhan Yesus. Dengan keadaan seperti itu, mereka kehilangan Bapa dan persekutuan dengan diri-Nya. Pada dasarnya, kekristenan adalah proses perjalanan hidup orang percaya untuk terus-menerus mengalami perubahan karakter, sehingga bisa mengenakan cara hidup yang diperagakan Tuhan Yesus ketika mengenakan tubuh daging seperti kita dua ribu tahun yang lalu. Dengan demikian, kekristenan adalah perubahan karakter, dari karakter manusia yang mengenakan kodrat dosa (sinful nature) menjadi manusia Allah yang serupa dengan Tuhan Yesus yang mengenakan kodrat ilahi (divine nature). Orang percaya dipanggil untuk ini.

     Sekarang ini, banyak orang menggantikan kekristenan dengan ritual atau liturgi. Salah satu ciri keberagamaan—selain ritual—adalah usaha memperoleh fasilitas dari Allah yang disembah untuk kehidupan hari ini. Biasanya, untuk itu perlu sebuah ritual yang berkenan di hadapan allahnya. Salah satu ciri keberagamaan adalah terbangunnya ritual atau upacara agama. Ciri ini selalu ada hampir pada semua agama. Hampir tidak ada agama yang tidak memiliki ritual. Dari ritual agama, tampaklah identitas agama tersebut. Biasanya ritual agama juga menjadi sarana pertemuan dengan allah yang disembah. Di sini terjadi manipulasi dan banyak penipuan. Tanpa disadari, banyak orang Kristen yang pemahamannya dipengaruhi oleh dunia sekitar, sampai mereka tidak bisa lagi mendengar pengajaran yang benar.

     Banyak juga orang Kristen yang pikirannya menjadi sesat karena menggantikan hidup seperti Yesus untuk bersekutu dengan Allah sebagai Bapa dengan liturgi yang sama dengan seremonial atau upacara agama. Mereka merasa sudah memenuhi kehidupan Kristen yang mereka harus jalani, dan mereka sudah merasa sudah menjadi pengikut Yesus. Inilah adalah kesesatan yang harus disadari dan harus digantikan dengan kekeristenan yang sejati. Jika orang Kristen terjebak dalam kehidupan seperti ini, ia akan gagal menyelesaikan dengan sempurna hidup kekristenannya. Sesungguhnya, kekristenan adalah sikap hati yang diubah oleh Firman Tuhan dan usaha belajar memberi segenap hidup untuk Tuhan sebagai persiapan menjadi hamba-hamba dalam Kerajaan-Nya nanti. Itulah sebabnya panggilan sebagai orang percaya adalah panggilan sebagai murid: belajar mengenakan kehidupan Yesus, dan menyelesaikannya dengan sempurna.

https://overcast.fm/+IqOC9R-_A

Renungan Harian 12 November 2019 BUKAN HANYA STATUS, MELAINKAN RELASI

     Oleh kurban Yesus di kayu salib, orang percaya dibawa kepada Bapa seakan-akan bukan sebagai orang berdosa, bukan sebagai orang bersalah. Di hadapan Allah, orang percaya dibenarkan (Lt. justificatio; Ing. justification). Namun, orang percaya yang dibenarkan tersebut belum benar-benar berkeadaan benar. Kemudian. Roh Allah ditaruh dalam diri orang percaya sebagai meterai. Roh Allah diberikan agar menuntun orang percaya kepada seluruh kebenaran. Maksudnya adalah untuk mengubah manusia, dari manusia yang berkodrat dosa menjadi manusia yang berkodrat ilahi. Perubahan tersebut secara mutlak harus terjadi atau berlangsung sebab kalau manusia tidak mengalami perubahan menjadi berkodrat ilahi, ia tidak akan pernah dapat memiliki hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal dengan Allah. Hal ini harus menjadi pengalaman riil, bukan sekadar sebagai fantasi atau “sesuatu yang dipercayai dalam nalar.”

     Kalau ada seorang anak gelandangan diadopsi menjadi anak seorang bangsawan, anak tersebut harus mengalami perubahan atau diubah. Perubahan itu bukan hanya statusnya, melainkan karakternya juga harus berubah: dari karakter gelandangan menjadi seorang yang berkarakter bangsawan. Namun, perubahan karakter tersebut harus terjadi karena sekarang sang bangsawan mengingini suatu hubungan eksklusif dengan anak adopsinya: hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal. Kalau karakter dan kebiasan hidup anak tersebut tidak berubah, ia tidak akan “nyambung” dengan ayahanda angkatnya. Demikian pula orang percaya dalam relasinya dengan Allah sebagai Bapa yang mengangkat atau mengadopsinya. Bapa menghendaki suatu hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal.

     Itulah sebabnya orang percaya dikehendaki bukan hanya segambar dengan Allah— artinya memiliki komponen-komponen yang Allah juga miliki—melainkan juga berkeberadaan serupa dengan Allah. Serupa dengan Allah maksudnya adalah bahwa kualitas komponen-komponen yang dimiliki manusia—yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak—harus berkualitas tinggi. Kualitas tinggi tersebut menyangkut moral dan kecerdasan rohaninya sehingga bisa mengimbangi keagungan pribadi Allah sebagai Bapa. Manusia menjadi serupa dengan Allah berarti bahwa manusia bukan hanya memiliki komponen-komponen yang ada pada Allah—yaitu memiliki pikiran, dan perasaan—melainkan juga memiliki kehendak yang selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.

     Dengan demikian, orang percaya bukan hanya segambar dengan Allah, melainkan juga serupa dengan Allah. “Serupa” berarti kualitas hidup orang percaya bisa mengimbangi Bapa. Tuhan Yesus-lah manusia yang sesuai rancangan Allah semula sehingga dapat menjadi model manusia yang Allah kehendaki, yang dapat bersekutu secara ideal dengan Bapa (Yoh. 17:20-21). Itulah sebabnya semua orang yang diselamatkan harus menjadi seperti Yesus sebab kalau tidak seperti Dia, manusia tidak akan memiliki relasi dengan Bapa secara ideal dan proporsional. Dengan demikian syarat satu-satunya untuk dapat memiliki hubungan atau relasi yang saling mengisi, relasi yang eksklusif, proporsional, dan ideal adalah menjadi seperti Yesus. Jadi, kalau orang tidak semakin seperti Yesus, berarti ia belum memiliki persekutuan yang ideal dengan Bapa.

     Kalau orang percaya tidak ngotot untuk hidup tidak bercacat, tidak sungguh-sungguh untuk hidup tidak bercela, tidak ngotot hidup suci, tidak ngotot hidup serupa dengan Yesus, orang percaya itu tidak akan bersentuhan dengan Allah. Allah itu tidak kelihatan. Dia mengutus Putra Tunggal-Nya turun ke dunia selama 33,5 tahun untuk memberikan suatu role model bagaimana menjadi manusia yang bisa bersekutu dengan Allah. Itulah sebabnya di Yohanes 17, ketika Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa di surga, Ia berkata, “Mereka (orang percaya) bukan dari dunia ini, sama seperti Aku bukan dari dunia ini.” Begitu seseorang menjadi anak-anak Allah, ia terklasifikasi bukan berasal dari dunia ini. Doa Yesus untuk mereka adalah, “Kuduskan mereka dalam kebenaran, firman-Mu adalah kebenaran. Lindungi mereka dari yang jahat,” artinya “jadikan mereka kudus seperti Kita.”

     Tentu Roh Allah atau Roh Kudus menuntun orang percaya supaya memenuhi doa Yesus yang tertulis dalam Yohanes 17:20-212 yang berbunyi, “Seperti Aku (Yesus) dalam Engkau (Bapa), Engkau dalam Aku, mereka (orang percaya) dalam Kita (Bapa dan Anak).” Jika hal ini dapat dicapai, maksud keselamatan yang disediakan oleh Yesus dapat tercapai pula. Persekutuan ini menjadi awal dari persekutuan dengan Allah Bapa di kekekalan. Orang yang tidak memiliki pengalaman konkret hidup dalam persekutuan dengan Allah Bapa, dan Tuhan Yesus, tidak akan memiliki persekutuan dengan Bapa dan Tuhan Yesus selamanya. Ini berarti ia tidak akan masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan.

https://overcast.fm/+IqOBeSla4

Minggu, 10 November 2019