Minggu, 10 November 2019

Renungan Harian 02 November 2019 TUGAS KEHIDUPAN

     Kehidupan ini bukan sesuatu yang gratis. Artinya, ada harga yang harus dibayar sebab manusia eksis atau ada tidak dengan sendirinya. Alam semesta dengan segala isinya yang menjadi fasilitas kehidupan ini juga eksis karena Allah yang menciptakan. Karena manusia eksis karena ada yang menciptakan, mau tidak mau dan tidak bisa tidak, manusia harus mengerti maksud atau tujuan dirinya diciptakan oleh Penciptanya. Manusia harus memenuhi maksud atau tujuan dirinya serta alam semesta ini diciptakan. Dalam hal ini, lebih baik seseorang tidak pernah menjadi manusia daripada menjadi manusia tetapi tidak mengerti maksud atau tujuan dirinya diciptakan dan tidak memahami tugas-tugas yang harus ditunaikannya. Manusia harus mempertanggungjawabkan hidupnya di pengadilan Tuhan di kekekalan. Jadi, apakah ia sudah membayar harga kehidupan ini menjadi persoalan terbesar dalam kehidupan setiap individu?

     Sejak semula, manusia pertama harus menghadapi segala rintangan kehidupan. Rintangan itu bukan hanya yang material, melainkan juga yang nonmaterial, bukan hanya yang fisik, melainkan juga yang metafisik. Justru, yang nonmaterial atau metafisik inilah yang lebih berat, yaitu Hillel ben Sachar atau Iblis dengan malaikat-malaikat yang terseret dalam pemberontakan melawan Allah (Yes. 14:12: Yeh. 28:18). Iblis dan malaikat- malaikatnya tidak taat, tidak menghormati dan memuliakan Allah, serta tidak mengabdi dan melayani Allah. Mereka tidak dapat dihukum sebelum ada pembuktian atas kesalahannya. Inilah tatanan Allah: sebagaimana tidak ada pelanggaran jika tidak ada Taurat (Rm. 4:15; 5:13). Dalam hal ini, Taurat adalah corpus delicti untuk membuktikan kesalahan manusia. Demikian pula, harus ada corpus delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis. Kebutuhan corpus delicti seperti sebuah hukum atau tatanan yang tidak bisa tidak, harus diselenggarakan: rule of life.

     Manusia diciptakan untuk mengalahkan Iblis, yaitu dengan menunjukkan atau membuktikan kesalahannya. Untuk membuktikan kesalahan Iblis, agar bisa dihukum, memang harus ada mahkluk ciptaan yang memiliki kehidupan sesuai dengan maksud atau tujuan dirinya diciptakan atau dapat menempatkan diri secara benar di hadapan Penciptanya. Manusia diciptakan untuk membuktikan kesalahan Iblis yang memberotak tersebut. Dengan demikian, Adam sejatinya harus mencapai kehidupan yang taat, menghormati, memuliakan Allah serta mengabdi, dan melayani-Nya secara benar sehingga terjalin persekutuan yang ideal dengan Allah sebagai Bapa. Hal tersebut dapat menjadi bukti kesalahan Iblis yang tidak menempatkan diri secara benar di hadapan Allah Bapa.

     Inilah keistimewaan makhluk manusia, yaitu dirancang menjadi alat untuk dapat membuktikan kesalahan Iblis atau menjadi corpus delicti. Jadi, salah satu tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk membinasakan pekerjaan Iblis. Inilah harga yang seharusnya dibayar oleh Adam, manusia pertama. Namun, Adam ternyata gagal memenuhi rencana Allah menjadi corpus delicti. Adam memberontak kepada Allah. Lalu, pada zaman penggenapan sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh Bapa, Anak Allah yang diberi nama Yesus—yang adalah Adam kedua atau Adam terakhir—berhasil menyelesaikan pekerjaan Bapa tersebut. Yesus berhasil menjadi “Anak Manusia” yang mencapai kehidupan yang taat, menghormati, memuliakan Allah, serta mengabdi dan melayani-Nya secara benar sehingga terjalin persekutuan yang ideal dengan Allah sebagai Bapa. Yesus berhasil menjadi corpus delicti. Orang percaya dan pengikut Yesus juga harus memiliki kehidupan seperti Yesus, menjadi corpus delicti, yaitu tugas yang gagal dipenuhi oleh Adam, nenek moyang manusia. Inilah harga yang harus dibayar oleh orang percaya, yaitu menjadi seperti Yesus sebagai corpus delicti.

     Orang percaya harus mencapai kehidupan yang taat, menghormati, memuliakan Allah, serta mengabdi dan melayani-Nya secara benar sehingga terjalin persekutuan yang ideal dengan Allah sebagai Bapa. Semua orang percaya semestinya juga dapat menjadi bukti kesalahan Iblis yang tidak menempatkan diri secara benar di hadapan Allah Bapa. Inilah yang dimaksud dengan perlombaan yang diwajibkan bagi orang percaya. Untuk meraih kualitas hidup ini, dibutuhkan perjuangan yang sangat berat. Inilah harga yang harus dibayar, yang tidak boleh dihindari oleh orang percaya. Orang yang telah ditebus oleh darah Yesus harus memberi diri sepenuhnya untuk melakukan kehendak dan rencana Allah tersebut. Tugas ini harus diselesaikan dengan sempurna


https://overcast.fm/+IqOB_wpsQ

Renungan Harian 01 November 2019 PERSIAPAN DIRI

     Banyak orang memiliki kecerdasan dalam mempersiapkan diri menghadapi segala sesuatu yang bisa terjadi di hari depannya di bumi ini. Sesuatu yang bisa terjadi tersebut mungkin adalah bencana alam, kecelakaan saat berkendara, kebakaran rumah, sakit tubuh, kehilangan barang karena dicuri atau dirampok, kebutuhan uang anak-anak sekolah, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya mereka mengasuransikan jiwa, kesehatan, dan segala sesuatu kepada agen-agen asuransi yang bisa menjamin, memberi bantuan, dan topangan bila hal-hal tersebut terjadi. Dengan mengasuransikan jiwa, kesehatan, dan segala sesuatu tersebut, seseorang merasa aman, hatinya lebih tenang. Asuransi dipandang seperti tangan kuat yang bisa menopang hidup mereka.

     Tentu tidak salah mengasuransikan diri, harta, dan lain sebagainya kepada perusahaan asuransi. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab atas keadaan hidup yang serba tidak menentu. Segala sesuatu bisa berubah setiap saat di luar dugaan, prediksi, perhitungan, dan kekuatan manusia. Inilah dunia yang sudah jatuh, dunia yang tidak akan pernah dapat memberi ketenangan hidup. Dunia seperti ini bukanlah tempat hunian ideal. Dunia semacam ini bukanlah dunia yang dirancang Tuhan sejak semula. Semua kejadian yang bisa terjadi dalam hidup seseorang, yang oleh karenanya seseorang berurusan dengan perusahaan asuransi, adalah hal-hal yang masih bersifat spekulatif. Bersifat spekulatif artinya bisa terjadi tetapi juga bisa tidak pernah terjadi; seperti kecelakaan, kebakaran, dan lain sebagainya. Semua itu tidaklah pasti.

     Kalau untuk hal-hal yang tidak pasti seseorang bersedia mengasuransikan jiwa, kesehatan, dan segala sesuatu,—artinya bersikap berjaga-jaga sebagai antisipasinya— mengapa untuk satu hal yang pasti terjadi, yaitu “kematian” dan di balik kematian ada penghakiman, seseorang tidak mempersoalkannya dengan serius: dengan mempersiapkan diri lebih serius? Penghakiman terakhir nanti menentukan apakah seseorang diperkenan masuk kemuliaan kekal, yaitu Kerajaan Surga, atau terbuang masuk kehinaan kekal, yaitu terbuang dari hadirat Allah selamanya ke dalam api kekal. Kematian dan penghakiman yang menentukan seseorang masuk surga atau neraka adalah hal yang pasti harus dihadapi oleh setiap insan. Ini merupakan realitas yang tidak seorang pun dapat menghindarinya. Allah sendiri tidak dapat menghindarkan manusia dari realitas tersebut karena itu merupakan tatanan Allah yang ada di dalam diri-Nya, yang Allah sendiri tidak akan pernah menyangkalinya.

     Kalau untuk menghadapi segala sesuatu yang bisa terjadi dalam kehidupan ini— bertalian dengan hal-hal fana, yaitu pemenuhan kebutuhan jasmani—seseorang mengasuransikan diri—karena memang ada yang menanggungnya—namun untuk kehidupan setelah kematian, tidak ada asuransi yang bisa menanggung. Masing-masing individu harus menanggungnya, yaitu dengan cara mempersiapkan diri agar saat ia menghadap takhta pengadilan Kristus, ia dapat mempertanggungjawabkan dirinya dengan baik. Dalam Lukas 21:36 Yesus menyatakan, “Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.” Kata “berdiri” dalam teks aslinya adalah stathenai (σταθῆναι), dari akar kata histemi (ἵστημι), yang berarti stand firm (berdiri teguh).

     Maksud “berdiri teguh” di hadapan Anak Manusia sebagai hakim adalah bisa mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang dilakukan selama hidup di bumi ini, yaitu mengisi kehidupan sesuai dengan maksud Allah memberikan kehidupan. Hal mana ini sama artinya dengan memenuhi panggilan sebagai orang percaya atau anak tebusan Tuhan Yesus. Panggilan tersebut adalah menjadi anak-anak Allah. Menjadi anak-anak Allah berarti menjadi manusia yang berkodrat ilahi sama seperti Bapa. Inilah tujuan keselamatan yang disediakan oleh Tuhan Yesus. Hanya jika seseorang mencapai kehidupan seperti ini, barulah ia dapat menyenangkan hati Bapa. Inilah yang dimaksud oleh Tuhan Yesus dengan melakukan kehendak Bapa atau berkenan di hadapan Allah, yang untuk hal tersebut, Paulus berjuang (2Kor. 5:9-19).

     Setiap orang percaya harus memiliki perasaan krisis terkait dengan kenyataan adanya kemungkinan bahwa dirinya belum pasti berkeadaan berkenan di hadapan Allah. Itulah sebabnya orang percaya harus mempersiapkan diri menghadap takhta pengadilan Tuhan; menyelesaikan secara sempurna proses pembentukan diri untuk memiliki kekudusan seperti Allah dan keserupaan dengan Yesus serta menyelesaikan pekerjaan yang Allah berikan sebagai tanggung jawab masing-masing individu.

https://overcast.fm/+IqOBtccbI

Renungan Harian 31 Oktober 2019 WAKTU MENGHADIRKAN KERAJAAN ALLAH

     Proses mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah ada di dalam perjalanan waktu yang terbatas. Orang percaya harus memanfaatkan waktu hidup yang singkat ini untuk mewujudkan pemerintahan Allah di dalam dirinya. Terdapat beberapa fenomena dari apa yang dilakukan oleh Tuhan Semesta Alam, yang membuka mata pengertian untuk menemukan hakikat Tuhan dan hukum yang ditetapkan-Nya. Bahwa Tuhan dalam mengerjakan sesuatu selalu dengan ketat menggunakan prinsip “proses bertahap.” Inilah hakikat Tuhan dan hukum kehidupan yang ditetapkan-Nya. Hakikat Allah dan hukum yang ditetapkan ini harus diperhatikan dengan serius. Tuhan Yesus pun dalam karya penyelamatan-Nya ada dalam proses bertahap. Yesus bertumbuh sebagaimana insan manusia. Yesus harus mengajar selama tiga setengah tahun, Ia harus mati di kayu salib pada waktu yang ditentukan oleh Allah Bapa. Ia harus naik ke surga dan orang percaya harus meneruskan karya keselamatan-Nya sampai ke ujung bumi. Injil harus sampai ke ujung bumi barulah Tuhan menyudahi sejarah dunia ini. Tuhan Yesus datang dalam waktu yang ditentukan oleh Bapa.

     Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan waktu. Manusia sadar atau tidak sadar, ada dalam perjalanan waktu. Manusia harus tunduk kepada hukum perjalanan waktu, sebab tidak seorang pun yang sanggup menghentikan perjalanan waktu ini. Setiap orang harus tunduk kepada perjalanan waktu yang telah diarunginya. Waktu menjadi anugerah bagi orang mengisi waktu hidupnya secara bijaksana (Ef. 5:15-17); sebaliknya waktu menjadi kutuk bagi orang yang mengisi hari-hari hidupnya dengan tidak bijaksana. Firman Tuhan mengataakan, “Perhatikanlah dengan seksama bagaimana kamu hidup, jadilah bijaksana, jangan seperti orang bebal atau tidak bijaksana.”

     Banyak kesempatan yang Tuhan berikan untuk mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah. Kesempatan tersebut seperti sebuah kendaraan yang membawa orang percaya kepada kebenaran Allah. Dalam Efesus 5:16, Firman Tuhan mengatakan, “… pergunakanlah waktu yang ada.” Waktu yang Tuhan sediakan akan menjadi sangat berharga, kalau digunakan untuk belajar bagaimana hidup dalam pemerintahan Allah. Waktu tetap berjalan, tidak ada yang dapat menghentikannya. Setiap orang terseret oleh waktu itu. Tetapi orang percaya tidak boleh terseret oleh waktu untuk mengerjakan hal yang sia-sia; tetapi sebaliknya, waktu harus diseret untuk mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah agar orang percaya hidup dalam pemerintahan Allah. Karenanya, sementara orang percaya ada di dalam perjalanan waktu, orang percaya mengarahkan diri ke tujuan yang benar, yaitu Kerajaan Allah (1Kor. 9:26). Waktu ini sangat singkat, artinya kesempatan untuk belajar mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah dan hidup dalam pemerintahan-Nya sangat terbatas. Oleh sebab itu, waktu yang sisa ini harus digunakan dengan baik.

     Orang percaya diperhadapkan kepada momentum-momentum atau saat-saat yang sangat berarti untuk belajar mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah guna hidup dalam pemerintahan Allah. Oleh karena itu, harus disadari bahwa momentum-momentum tersebut sangat menentukan keadaan kekal seseorang; apakah di balik kuburnya akan hidup dalam pemerintahan Allah atau pemerintahan kuasa kegelapan. Kalau orang percaya menyadari hukum kehidupan ini—yaitu perjalanan waktu yang ketat—maka ia akan bersikap berhati-hati dalam menjalani hidup terkait dengan penggunaan waktu. Hukum tabur tuai juga berlaku dalam hal penggunaan waktu: Semua yang ditabur seseorang akan dituainya. Kalau Alkitab berbicara mengenai hukum tabur tuai dalam kehidupan orang percaya, sesungguhnya tidak terkait dengan uang atau berkat jasmani, tetapi menunjuk pada persoalan bagaimana mempersiapkan diri menuai kemuliaan bersama Kristus suatu hari nanti dalam Kerajaan-Nya. Dengan menyadari hukum ini, maka seseorang akan lebih cenderung tidak hidup ceroboh.

     Kuasa kegelapan berusaha membuat banyak orang Kristen jatuh tertidur sehingga menyia-nyiakan waktu yang berharga untuk mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah guna hidup dalam pemerintahan-Nya. Dengan sikap hidup yang salah tersebut, tidak bisa tidak orang-orang tersebut menabur dalam daging, bukan menabur dalam roh. Dan hal ini membawa manusia kepada kebinasaan (Gal. 6:8). Kalau Alkitab menyatakan bahwa hari-hari ini adalah jahat, Tuhan mengingatkan orang percaya bahwa dunia yang jahat mencenderungkan manusia menabur apa yang jahat karena pengaruhnya. Oleh sebab itu orang percaya harus menjauh dari pengaruh dunia yang jahat tersebut. Orang percaya harus bangun dari tidur (Ef. 5:14-17). Kata “tidur” di sini adalah (Yun.) katheudo yang artinya jatuh tertidur (to fall asleep). Ini artinya tidak bermaksud untuk tidur, tetapi jatuh tertidur. Kalau orang percaya tidak berjaga-jaga, maka akan jatuh tertidur, artinya terlena sehingga menjadi mangsa kuasa kegelapan, terperangkap dalam kerajaan kegelapan.

https://overcast.fm/+IqOCrdDSc

Renungan Harian 30 Oktober 2019 KEMUSAFIRAN HIDUP ORANG PERCAYA

     Ketika seseorang mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah, maka ia menempatkan diri sebagai musafir atau orang yang menumpang di bumi ini. Dari sejak masa kanak-kanak, banyak orang telah terdidik memiliki pola berpikir anak-anak dunia. Mereka merasa bahwa dunia inilah satu-satunya kesempatan dan tempat yang dimiliki manusia untuk dapat dinikmati dan menjalani kehidupan. Mereka berpikir bahwa tidak ada kehidupan lain selain di bumi ini. Dengan demikian, mereka tidak mengharapkan ada kehidupan lain yang lebih baik. Cara berpikir seperti ini juga ada dalam kehidupan banyak orang Kristen. Kalau cara berpikir seperti ini tidak diubah, maka mereka akan terpenjara di dunia dan tidak memiliki naluri sebagai musafir. Orang-orang Kristen seperti yang tersebut di atas juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk menikmati dunia semaksimal mungkin. Demi menikmati dunia ini, mereka rela mengurbankan segala sesuatu. Bahkan pengiringannya kepada Tuhan pun tidak diperhatikan secara benar. Orang-orang seperti ini tidak berhasrat mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah dan hidup dalam pemerintahan-Nya.

     Rasul Petrus mengatakan bahwa sebagai orang percaya di bumi ini adalah “pendatang dan perantau” atau orang yang menumpang di bumi ini (1Ptr. 1:17; 2:11). Oleh karena langkanya atau tidak adanya pemberitaan mengenai hidup kemusafiran, maka banyak orang Kristen memandang hal kemusafiran ini sebagai sesuatu yang sangat asing atau bahkan aneh. Hal ini terjadi karena sudah sangat lama orang Kristen tidak mendengar ajaran ini. Kalau orang percaya tidak memahami pokok pengajaran ini, sulitlah menjadi orang percaya yang mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah. Perpindahan orang percaya ke Kerajaan Surga bukanlah dimulai nanti setelah kematian, tetapi harus dimulai sejak sekarang selama masih hidup di dunia.

     Orang yang tidak menjalani hidup kemusafiran dan memindahkan hati ke dalam Kerajaan Surga, tidak akan memiliki harta dalam Kerajaan Surga. Ini artinya tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Surga. Kebenaran ini harus mulai disuarakan dengan lantang sekarang; hendaknya telinga mendengar, setiap mata terbuka, dan setiap hati digetarkan agar jalannya yang sesat dikembalikan ke jalan yang benar menuju Kerajaan Surga. Selanjutnya, orang percaya harus mulai belajar untuk menghayati kehidupan sebagai musafir di dunia ini. Tanpa memiliki jiwa kemusafiran yang benar, seseorang tidak pernah memiliki iman seperti Abraham, berarti ia belum memiliki percaya yang benar kepada Tuhan Yesus.

     Abraham sebagai bapa orang percaya, menunjukkan model imannya yang menjadi teladan bagi orang percaya. Orang percaya harus memiliki jiwa kemusafiran seperti Abraham. Dalam hidupnya, Abraham memberikan segenap hidupnya disita oleh panggilan-Nya untuk menemukan negeri yang Tuhan akan tunjukkan. Sampai mati ia tidak melihat realisasi dari janji itu, tetapi ia mengakui bahwa Allah setia. Ia hanya melihat dari jauh negeri tersebut. Hal tersebut tidak mengurangi penyerahannya kepada Tuhan yang memberikan janji itu. Proses kemusafiran atau proses memiliki hati sebagai musafir inilah yang Tuhan juga kehendaki agar orang percaya jalani. Dengan kerinduan Paulus yang sangat kuat menantikan kedatangan Tuhan, membangun jiwa musafir di dalam dirinya. Ia dapat menghayati apa artinya “bukan berasal dari dunia ini” seperti yang dikatakan guru dan Tuhannya (Yoh. 17:16).

     Paulus sendiri menyadari bahwa ia adalah warga Kerajaan Surga (Flp. 3:20-21). Dengan ketidaktahuan bahwa Tuhan sebenarnya belum datang pada zamannya, menjadi cara Tuhan yang sangat efektif menjadikan Paulus sebagai model anak Allah yang berjiwa musafir di bumi ini. Pelayanan pekerjaan Tuhan bisa dikatakan sukses kalau anak-anak Allah memiliki jiwa musafir. Itulah tugas dan pekerjaan gereja; bagaimana merubah pola pikir jemaat yang duniawi menjadi pola pikir rohani sebagai musafir di bumi ini, dan menghayati bahwa mereka adalah warga Kerajaan Surga yang bukan berasal dari dunia ini. Menjadi orang Kristen yang berjiwa musafir seperti Abraham bukanlah karunia, melainkan pilihan; apakah mengarahkan hatinya ke Kerajaan Surga, atau dunia ini. Hal ini tergantung kepada masing-masing individu. Orang yang membiasakan diri mengarahkan hatinya ke Kerajaan Surga akan lebih mudah mengarahkan terus menerus sampai akhir hayat. Tetapi orang yang tidak mengarahkan hatinya ke Kerajaan Surga tidak akan mudah mengarahkannya ke sana, sampai tidak mampu mengarahkannya ke surga. Orang seperti ini tidak pernah bisa mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidupnya.

https://overcast.fm/+IqOCYPYvk

Renungan Harian 29 Oktober 2019 PERJUANGAN SEBAGAI LASKAR

     Mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah berarti menjadi bagian dari pasukan atau laskar Kristus. Orang percaya harus menyadari bahwa peperangan dan ketegangan antara kerajaan kegelapan dan Kerajaan Terang semakin dahsyat menjelang akhir zaman ini. Orang percaya harus bersikap dan menentukan berdiri di pihak siapa. Banyak orang Kristen yang tidak menunjukkan sikap yang jelas berada di pihak siapa. Kalau orang percaya tidak memiliki sikap yang jelas di pihak siapa berdiri, itu berarti akan tergiring menjadi tawanan Iblis. Dalam Lukas 11:23 ditulis, “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.” Dalam ayat ini dapat ditemukan ketegasan Tuhan agar orang percaya dapat mengetahui bagaimana posisinya hari ini di hadapan Allah.

     Orang percaya harus menyadari bahwa pemberontakan Iblis di hadapan Allah menyeret malaikat-malaikat ikut memberontak kepada Allah, peperangan berlanjut di muka bumi (Why. 12:1-4, 7-9). Peperangan beralih dari surga ke bumi ini. Iblis berusaha menyeret sebanyak mungkin manusia untuk mengikuti jejaknya: memberontak atau melawan Allah. Ini merupakan gerakan Iblis yang terus berlangsung sampai hari ini. Manusia harus menyadari hal ini (1Ptr. 5:9). Ketika Kerajaan Allah datang dan orang percaya hidup dalam pemerintahan-Nya, secara langsung hal itu memperhadapkan orang percaya kepada suatu pilihan, yaitu berdiri di pihak Allah atau di pihak musuh.

     Kerajaan Allah didatangkan atau dihadirkan oleh Tuhan Yesus merupakan isyarat dimulainya sebuah peperangan besar, yaitu peperangan untuk membinasakan pekerjaan Iblis dan mengembalikan manusia kepada pemiliknya, yaitu Allah. Sebagaimana Iblis mendayagunakan segala kekuatan dan pengikutnya untuk melawan Allah, demikian pula Tuhan Yesus mendayagunakan kekuatan-Nya dan pengikut-Nya untuk menghancurkan pekerjaan Iblis (1Yoh. 3:8). Pengikut Yesus adalah orang percaya yang mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah, yang juga adalah anggota keluarga Kerajaan Allah. Orang percaya disebut sebagai “laskar Kristus”, berarti harus memiliki kegiatan hidup yang tidak henti sebagai laskar milik Allah Bapa sampai menutup mata.

     Orang percaya dipanggil untuk masuk peperangan yang dimulai dalam diri sendiri. Orang percaya harus menghentikan kepemilikan kuasa kegelapan atas dirinya atau dari karakter buruk yang tidak sesuai dengan kesucian Allah. Jika kemerdekaan atau kelepasan sudah sampai pada tahap tertentu, barulah kemudian Tuhan memakai orang percaya tersebut untuk melepaskan manusia lain dari cengkeraman kuasa kegelapan. Peperangan tersebut dimulai dari pikiran setiap orang percaya. Siapa atau apa yang paling banyak mewarnai pikiran seseorang, dialah pemenangnya. Apakah seseorang memberi peluang bagi Tuhan sebagai pemenang untuk memiliki kehidupan ini atau kuasa lain yang memilikinya. Hal ini tergantung kepada masing-masing individu. Kalau seseorang memberi diri untuk dimiliki oleh Allah, berarti harus mengisi pikirannya dengan kebenaran firman Allah yang murni, sehingga ia dapat mengerti kehendak Allah dan melakukannya sehingga hidup dalam penguasaan Allah. Ini adalah prestasi yang baik untuk kekekalan. Harus diperhatikan bahwa seseorang tidak bisa melepaskan orang lain sementara dirinya sendiri masih terikat kuasa kegelapan atau terbelenggu dengan kodrat dosa. Hamba Tuhan yang masih terikat materialisme dan terikat dengan berbagai keinginan daging, tidak akan dapat melayani orang lain dengan benar.

     Setelah orang percaya menjadi anak Allah yang menaklukkan diri sendiri, masih ada perjuangan berat yang dijalani, yaitu perjuangan menghadapi musuh, yaitu penghulu roh-roh di udara. Kalau sebelumnya seseorang berdiri di pihak musuh—yaitu bersikap melawan Tuhan—tetapi sekarang berdiri di pihak Tuhan, maka ia harus hidup dalam kebenaran Tuhan. Ini berarti orang percaya tersebut menjadikan dirinya sebagai musuh penghulu roh-roh di udara. Dalam Efesus 6:12 Alkitab menyatakan, “karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara”. Kata “perjuangan” dalam teks aslinya adalah pale (Yun. πάλη), yang dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan wrestling, yaitu pergulatan. Seperti seorang adu gulat, ia harus berjuang dan terus bergerak untuk merebut kemenangan, sebab kepasifan berarti kekalahan. Seorang pegulat tidak boleh berhenti berjuang, ia ada dalam situasi dimana lawan terus berusaha untuk menaklukkannya. Dalam Efesus 6:10 Paulus menasihati orang percaya, “Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya”. Petrus menasihati jemaat agar berjaga-jaga (1Ptr. 5:8-9). Jadi kalau orang percaya tidak merasa ada pergumulan berat dalam menghadapi tekanan kuasa musuh, pasti ada sesuatu yang salah dalam hidupnya ini. Dalam menghadapi kenyataan, pergumulan melawan musuh ini, Tuhan Yesus menasihati orang percaya agar berjaga-jaga. Sikap berjaga-jaga ini harus dimiliki sepanjang waktu, bukan hanya sesaat. Dengan mendatangkan atau menghadirkan Kerajaan Allah dalam kehidupan ini, maka perjuangan harus dialami.


https://overcast.fm/+IqODA-Fps